Tuesday, December 22, 2009

Negara Islam Tidak Ada dalam Konsep Kemerdekaan Indonesia


oleh: Aliman Syahrani

DARI pembacaan saya terhadap beberapa studi historis tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, kesimpulan sementara yang dapat saya berikan adalah, bahwa berbagai peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang dan pendiri negara Indonesia yang kita sebut sebagai perjuangan kemerdekaan, bermula dari perlawanan terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan para penguasa. Mereka melakukan pemberontakan karena tidak tahan dengan pajak yang terlalu mencekik, atau karena penggusuran tanah yang semena-mena, atau karena lahan-lahan pertanian dikorbankan untuk kepentingan para pemilik modal besar, atau karena kekejaman aparat pemerintah. Tak pernah mereka berontak karena ingin mendirikan Negara Republik Indonesia. Konsep “bangsa” dan “negara” masih asing buat mereka, apalagi nasionalisme.

Begitu tidak jelasnya konsep ini bagi kebanyakan pejuang Indonesia dan pemimpinnya, hingga dalam pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno harus memberikan kursus singkat tentang kebangsaan. Ia mengutip para pakar ilmu politik dari Eropa bak sebuah kuliah di depan para mahasiswa baru. Buat kebanyakan ulama, yang waktu itu berada di garda depan dalam perlawanan terhadap Belanda, nasionalisme dipahami sangat samar-samar.

A. Hasan menuding nasionalisme sebagai ‘ashabiyyah. Bila orang berjuang untuk nasionalisme, ia mati jahiliah. Polemik pun bergulir antara tokoh nasionalisme dan para ulama Islam – dimulai dari debat ideologis antara A. Hasan dan Bung Karno. Kalau begitu, apakah para pemimpin Islam berjuang untuk mendirikan negara Islam? Tidak juga. Konsep “negara” saja sudah samar-samar, apalagi negara Islam. Konsep negara Islam baru hangat diperbincangkan, dianalisis, dijelaskan, setelah Konstituante terbentuk. Dalam hal ini pun, tak ada kesepakatan di antara para ulama Islam.

Jadi, sudah dapat dipastikan, ketika Pangeran Diponegoro menaiki kuda dalam jubah putihnya, atau ketika Imam Bonjol bersama para ulama meledakkan perang bertahun-tahun, atau ketika para ulama Aceh memimpin Perang Sabil, atau ketika Ajengan Zaenal Mustafa dari Tasikmalaya melawan Jepang, atau ketika Pangeran Samudera yang diislamkan oleh Chatib Dayyan dari Demak,*) dengan semangat waja sampai ka puting memerangi Belanda di tanah Banjar, tidak terpikir pada benak mereka upaya untuk mendirikan negara Islam. Mereka juga belum merumuskan bagaimana sistem pemerintahan yang mereka jalankan: presidentil, kerajaan, parlementer, teokrasi, aristokrasi, monokrasi, atau demokrasi. Mereka juga berjuang bukan untuk mengusir orang asing semata. Mereka melawan orang asing itu karena mereka melakukan penindasan, kezaliman, dan kekejaman. Siapa saja yang berbuat zalim, tak peduli warna kulitnya, mereka lawan. Dalam banyak hal, mereka menentang bahkan sesama bangsa, seperti ketika Amangkurat I membunuhi para ulama di alun-alun. Alih-alih konsep-konsep yang abstrak, yang mengilhami para pejuang kita adalah peribahasa sederhana: Raja adil, raja disembah; raja lalim, raja disanggah.

Dalam sejarah Islam sendiri dapat kita jumpai, bahwa ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa risalah agama, tidak lebih dari itu. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Muhammad terpilih berdasarkan wahyu, Abu Bakar diangkat dengan sistem perwakilan kabilah (semacam DPR sebelum reformasi), Umar mendapat kekuasaan karena diwariskan Abu Bakar, Ustman diangkat dengan mekanisme formatur (tiap suku dan kabilah mengirimkan utusan untuk dipilih), Ali ditetapkan berdasarkan hasil pemungutan suara rakyat (seperti sistem pemilu langsung di masa reformasi sekarang). Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan, sistem dinasti. Yang terakhir ini tidak jarang dijalankan dengan cara pembunuhan dan pertumpahan darah. Sebelumnya, tiga dari empat khalifah pertama (Umar, Ustman dan Ali) tewas terbunuh oleh rival politik masing-masing karena urusan politik.

Praktek negara khilafah sendiri sebenarnya tidak “secemerlang” seperti yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain.

Secara historis bentuk kekuasaan politik dalam masyarakat Muslim memang terus berubah. Kita tidak memungkiri fakta mengenai pernah terbentuknya komunitas politik dalam Islam, namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh syariah. Kekhalifahan yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah semata. Untuk urusan agama sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik.

Dalam menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan Rasul di Madinah adalah upaya menegoisasikan antara nila-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-of antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Umat Islam mesti terus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Sebab, “Islam”-nya Rasul di Madinah hanyalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.

Konsep ijtihad pemikiran semacam inilah yang barangkali turut mewarnai lahirnya Surat Pernyaataan antara PB NU dan PP Muhammadiyah saat menyambut Tahun Baru Islam 1427 H lalu. Pada point 4 disebutkan: “PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama menyerukan agar pelaksanaan syariat Islam di bumi Indonesia dilakukan secara Indonesiawi, melalui sistem dan tata hukum yang berlaku di Indonesia. Keinginan untuk meletakkan agama secara berhadapan dengan negara serta meletakkan kekuasaan negara secara berhadapan dengan agama harus ditinggalkan jauh-jauh. Umat Islam Indonesia justru sangat berkepentingan terhadap lestarinya Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.” **)

Jauh dalam kerak sejarah, kita menemukan konsep Ratu Adil. Konsep itu akrab bukan saja dengan para pemikir yang tercerahkan, tetapi juga dengan rakyat kecil yang mencabuti patok-patok kayu di halaman Pangeran Diponegoro. Entah bagaimana, dalam perjalanan sejarah, sesuai dengan kemajuan zaman, konsep Ratu Adil kini teronggok dalam museum antropologi untuk mengacu kepada pemikiran bangsa-bangsa “primitif.”

Lalu, kita sibuk mendiskusikan konsep nasionalisme, negara Islam, khilafah, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lain. Pembicaraan kita makin jauh dari kamus rakyat kebanyakan. Wacana kita menjadi eksklusif dan eletis. Kita sendiri makin lama makin tidak mengerti apa yang kita bicarakan. Tetapi, dalam benak rakyat yang tertindas, ketidak-adilan tidak lagi menjadi konsep yang abstrak. Ketidak-adilan adalah kenyataan hidup yang mereka rasakan.

Kita, umat Islam Indoesia, tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan. Ada di antara kita yang mati-matian ingin mendirikan negara Islam dan khilafah tanpa dengan jelas menegaskan makhluk yang bernama negara Islam dan khilafah itu. Mereka mau mengajukan syariat Islam sebagai alternatif bagi kehidupan hukum kita yang dianggap bobrok. Tapi dia ibarat menyodorkan kucing dalam karung. Kita tidak pernah tahu, kucingnya warna apa dan bulunya seperti apa. Ada juga yang mengatakan bahwa kita harus menempatkan umat Islam (baca: aktivis Islam dan partai Islam) pada posisi-posisi yang strategis. Ada juga yang berjuang sederhana saja: bagaimana caranya agar orang-orang Islam rajin salat, haji, umrah, dan ngaji. Karena tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan, maka berbeda-bedalah pandangan kita tentang situasi Islam di Indonesia hari ini. Yang memperjuangkan negara Islam dan khilafah sebagiannya terus terbuai dalam mimpi-mimpi jelaga dan romantisme sejarah, sementara sebagian yang lain tampaknya sudah meninggalkan garis perjuangannya. Tidak realistis. Yang menginginkan posisi strategis kini tengah mensyukuri keberhasilan perjuangan mereka karena sudah menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Yang ingin memasyarakatkan ritus-ritus Islam jelas kini melihat kebangkitan Islam di Indonesia.

Mengapa kita tidak berbicara dengan bahasa yang dipahami semua orang? Mengapa kita tidak berbicara tentang apa yang dirasakan banyak orang? Mengapa kita tidak merujuk pada yang dirujuk para pejuang pendahulu kita atau pada gagasan yang disimpan dalam hati rakyat kecil sepanjang sejarah? Siapa di antara kita yang tidak setuju dengan Ratu Adil? []


*) Peristiwa itu terjadi sekitar empat setengah abad lebih yang silam. Pengislaman itu sendiri tepatnya dilaksanakan pada 6 September 1526. Delapan belas hari sesudahnya, Sultan Suriansyah wafat dan dimakamkan di Kuin Cerucuk, Kecamatan Banjarmasin Utara. Hari itu dianggap sebagai hari jadi Kotamadya Banjarmasin, 24 September 1526.

**) Berita Resmi Muhammadiyah No.02 Tahun 2006. Rabiul Akhir 1427 H / Mei 2006 M diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah hal.4

Saturday, September 26, 2009

Karamat atau Karamput



Oleh Aliman Syahrani

Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat.



SEWAKTU mengaji duduk membaca kitab kuning, saya hafal betul definisi karamat. Biasanya, karamat atau karamah diartikan sebagai ’amr khâriqun lil `âdah (Arab), atau perkara-perkara menakjubkan atau mencengangkan yang melampaui atau bersifat luar biasa (lita’âjubiyah). Agar definisinya jâmi` (meliputi apa-apa yang masuk katagori karamat) dan mâni` (mereduksi apa-apa yang bukan), definisi itu dikunci hanya pada ”perkara-perkara mencengangkan yang ditunjukkan oleh para tuan guru atau ulama saja, dengan campur-tangan dari Yang Mahakuasa”. Kunci ini pula yang diberlakukan untuk definisi mukjizat, yang berlaku hanya bagi para nabi atau rasul.

Dengan begitu, keajaiban-keajaiban yang bukan hasil kreasi para tuan guru atau ulama, seperti yang diperagakan tukang sihir, dukun, pesulap, ataupun manusia-manusia jenius di bidangnya, dianggap bukan karamat tetapi istidrat (lanjuran). Atas dasar itulah, karamat dibedakan dengan sihir, sulap, tenung, atau keajaiban yang bukan bersumber dari para tuan guru dan ulama.

Untuk tahu fungsi karamat, kita dengan gampang dapat menganalisis asal kata karamat itu sendiri, yaitu karim. Kata Arab karim yang merupakan kata dasar dari karamat itu berarti mulia atau kemuliaan. Kemuliaan di sini dimaksudkan memiliki kelebihan, sesuatu yang melemahkan atau membuat takjub dan takluk mereka yang menjadi objek pesan yang sedang disampaikan sang penyampai (tuan guru atau ulama). Fungsi dan definisi ini juga sama dengan arti mu’zi, yaitu asal kata mukjizat yang disematkan kepada para nabi atau rasul.

Dalam kisah para nabi dan rasul, konon, dengan kemampuan menghadirkan naganya ular, Musa mampu membuat takjub dan takluk para penyihir Fir’aun di era yang masih magis itu. Konon, dengan keperkasaan dan kekuatan tenaganya menempa besi menjadi peralatan perang, Daud berhasil memesona umatnya, dan mengajak mereka menjalankan risalah Ilahi. Dengan pelbagai kemampuan di bidang terapi penyakit, Isa mampu memikat beberapa umatnya, dan menebarkan risalah kasih sayang kepada umat manusia. Konon, Al Qur’ân yang dianggap sebagai mukjizat terbesar Islam, hadir mencengangkan di masa-masa keemasan prestasi kepenyairan Arab di jarizah Arab, dan banyak menginspirasi jalan hidup umat Islam sampai kini.

Dalam manakib para tuan guru, ulama dan wali – yang di dalamnya banyak saya temukan dongeng-dongeng –, konon, Syekh Abdul Qadir Jailani mampu menghidupkan kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang hingga kemudian mengucap syahadat. Konon, Datu Sanggul bisa shalat Jum’at setiap minggu ke Masjidil Haram di Mekkah dan pulangnya membawa nasi kabuli yang dibungkus daun pisang.* Konon, Alimul ‘Alamah Al Arif Billah Asy Syekh HM Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) mampu menghadirkan buah rambutan di luar musimnya; dikjaya menghentikan arus banjir ketika hendak menghadiri haul datuknya sendiri, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.** Dan seabrek bentuk karamat lainnya dari para tuan guru dan ulama.

Namun, masihkah bentuk-bentuk mukjizat zaman arkaik dan karamat zaman datu tersebut betul-betul menakjubkan dan berfungsi bagi manusia zaman kini? Sebagian mungkin ya, sebagian lagi tidak. Apalah artinya ular memakan ular untuk zaman kita kini; dan pesona apakah yang bisa ditebar oleh bernyawanya kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang bila pertunjukan sulap pun sudah dapat memamerkannya? Ketakjuban apakah yang bisa ditawarkan dari menghadirkan buah rambutan di luar musimnya kalau di era lemari es dan makanan kaleng berpengawet ini sudah demikian mudah didapatkan? Apalah kelebihannya menghentikan arus banjir di zaman Manohara ini, ketika Dedy Corbozer dan Limbad pun dapat lebih dari itu melakukannya.

Saya tertarik menyoroti contoh karamat yang terakhir. Benarkah kedikjayaan Guru Sekumpul menghentikan arus banjir ketika menghadiri haulan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru (secara ideologis) sekaligus datuknya (secara biologis) itu adalah sebuah karamat atau justru karamput? Ada dua argumen yang mendukung keraguan saya terhadap bentuk karamat tersebut – bahkan terhadap bentuk-bentuk karamat pada umumnya. Pertama, identifikasi sebuah ke-karamat-an yang disematkan terhadap seorang tuan guru atau ulama dilakukan tanpa melalui metode yang arjah (menguji dan membandingkan argumentasi dasar, sumber dan metode yang lebih kuat). Semua hanya bersumber dari ujar ke ujar tanpa penyeleksian secara saksama tentang keotoritatifan ujar-ujar tersebut sebagaimana lazimnya diberlakukan dalam penyeleksian dan pengklasifikasian shahih tidaknya sebuah hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan, karena secara ilmiah ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits. Metode ini rasanya tidak pernah diberlakukan untuk meneliti otentisitas sebuah ujar tentang karamat. Dengan demikian, ujar-ujar berkenaan karamat tersebut tidak memenuhi standar baku sebagaimana metode untuk meneliti otentisitas sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Jadi dengan sendirinya ujar-ujar tersebut gugur, tidak dapat dipakai untuk mendukung dasar sebuah karamat. Atau – sebagaimana dalam kaidah penelitian hadits – ujar-ujar tersebut termasuk dalam ujar maudhu, palsu, atau karamput! Ala kulli hal, kalau sebuah hadits yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’ân saja sering dan bisa dipalsukan, apatah lagi hanya dengan sebuah karamat.

Kedua, jika apa yang diujarkan tentang peristiwa Guru Sekumpul saat menghadiri pelaksanaan haul Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura itu adalah benar sebuah karamat, maka dengan sedikit lancang saya sebutkan kalau ke-karamat-an itu didasarkan atas “penghinaan” dan “pengkhianatan” (dengan atau tanpa tanda kutif) terhadap guru sekaligus datuk Guru Sekumpul itu sendiri. Berikut argumentasi saya:

Dalam kitab Sabilal Muhtadin lit Tafaquhi fid Din (Jalan Orang yang Memperoleh Petunjuk dalam Memahami Ajaran Agama), tepatnya pada buku kedua bab Jenazah, halaman 741-742, terbitan PT Bina Ilmu Surabaya tahun 2005 cetakan keempat (disalin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Drs. H. Muhammad Aswadie Syukur, Lc) disebutkan:

“Sunat bagi seisi kampung yang kematian dan seluruh keluarga sekalipun jauh membawa makanan untuk keluarga yang kematian untuk makanan mereka pada siang hari dan malamnya atau untuk selama mereka masih dalam keadaan bersedih hendaklah mereka selalu makan untuk menjaga kondisi kesehatannya.”

“Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti yang kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat. Makruh lagi bid’ah menghadiri undangan itu dan haram menyediakan makanan untuk yang menangis dengan suara nyaring karena yang seperti itu dapat membawa kepada kemaksiatan. Makruh lagi bid’ah menyembelih binatang di atas kuburan dan tidak sah wasiat untuk memperbuat yang seperti itu dan menurut para ulama perbuatan yang seperti itu adalah perbuatan orang di masa Jahiliyah. Makruh lagi bid’ah mencium atau mengecup bagian dari kuburan atau tangga tempat ziarah kuburan para ulama dan aulia.”

Pembaca pasti sudah hafal benar bahwa kitab tersebut dikarang oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru dan datuknya Guru Sekumpul.*** Saya pun merasa tak perlu lagi menjelaskan kandungan fatwa hukum dari kutipan kitab tersebut. Namun saya hanya ingin bertanya, tidakkah keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan haul itu kontradiktif dengan kandungan fatwa hukum dalam kitab karangan guru dan datuknya tersebut? Lalu, pantaskah seorang yang telah melakukan “penghinaan” dan “pengkhianatan” terhadap fatwa guru sekaligus datuknya sendiri disebut karamat? Layakkah seorang yang terang-terangan menyelesihi tuntunan syari’at diberi gelar karamat? Pembaca barangkali mempunyai jawaban beragam, di samping terkejut, tersinggung atau bahkan mungkin marah terhadap testimoni saya ini. Tapi saya masih punya argumen lain:

Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa, dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.

Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Tetapi dalam hal ritual penyelenggaran jenazah, pada banyak sisi, tata-cara ritual tersebut sudah bersifat “fixed” alias harga mati dan boleh dikatakan baku sistem tuntunannya.

Namun demikian, saya tentu tidak menjadikan kutipan dalam kitab Sabilal Muhtadin tersebut sebagai sumber satu-satunya yang menjadi standar hukum seputar ritual dan tata-cara penyelenggaraan jenazah. Karena sebagai salah satu kitab fikih, Sabilal Muhtadin, sebagaimana kitab-kitab fikih pada umumnya, kitab ini lahir sebagai “buah pemikiran” sang pengarang dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, kitab ini selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsirtan” umat Islam terhadap ajaran Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada ketika itu.

Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik. Hal ini juga sebagai apresiasi terhadap pesan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sendiri dalam mukaddimah kitabnya tersebut: “…kuharapkan pula dari orang yang alim untuk memperbaiki isi kitab ini, dengan bahasa yang lebih baik dan dengan pendapat yang lebih benar.”

Namun dalam konteks status hukum dan tuntunan tata-cara ritual penyelenggaran jenazah, sejumlah hadits dan atsar sudah sejak awal-awal memberikan pengajaran cukup jelas dan tegas (mudahan ini tidak dianggap menggurui): Diriwayatkan dari ‘AbdulLah ibn Ja’far ia berkata: “Ketika datang berita tentang Ja’far bahwa ia telah terbunuh, maka berkata Nabi Saw.: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang musibah yang membuat mereka berduka cita’.” (HR Thabrani, Baihaqi, Hakim, Syafi’i, Daruqutni dan lain-lain).

“Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan sesudah mayit ditanam (dikuburkan) adalah termasuk meratap.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

“Ketika Jabir datang kepada Umar ia ditanya: ‘Apakah mayit – kaummu – diratapi? Jabir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi, ‘Apakah mereka membuat makanan di keluarga mayit? Dijawab: ‘Benar.’ Umar berkata: ‘Itu ratapan.’”

Saya tak perlu lagi menjelaskan karena saya yakin pembaca tentu sudah paham betul maksud riwayat di atas. Namun saya ingin memberi sedikit catatan. Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw.. menganjurkan bagi para pelayat untuk membuat makanan bagi keluarga yang mengalami musibah kematian, bukan sebaliknya. Pada kedua atsar disebutkan pendapat para sahabat Nabi Saw.. yang melarang meratapi mayat, berkumpul di rumah duka dan membuat makanan.

Dengan dasar hadits dan atsar tersebut, berarti esensi dan subtansi dari fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan ketentuan hukum yang telah dituntunkan dalam sunnah Nabi Saw. dan atsar sahabat sebagai sumber dasar dalam yurispudensi hukum Islam setelah Al Qur’an. Ini berarti pula, bahwa praktik-praktik yang inkosisten dengan tuntunan riwayat tersebut merupakan “penghinaan” dan “pengkhianatan” tidak saja terhadap fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin itu saja, tetapi juga kepada sekte (mazhab) Imam Syafi’i, yang, seperti diakui oleh pengarang sendiri, bahwa kitab Sabilal Muhtadin tersebut ditulis sebagai kitab fikih menurut aliran sekte Imam Syafi’i yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah ini. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah kitab yang menjadi rujukan pengarang seperti Syarah Minhaj karangan Zakariya Anshari, Al Mugni karangan Syekh Khatib Syarbaini, At Tuhfah karangan Ibnu Hajar Al-Haitami, An Nihayah Syekh Jamal karangan Sykeh Ramli dan beberapa buah kitab sarah dan komentar lainnya.

Oleh karena esensi fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan tuntunan RasululLah Saw. dalam haditsnya, maka dapat pula dikatakan bahwa perlakuan orang-orang yang menyelisihinya sama juga dengan “penghinaan” dan “pengkhianatan” (sekali lagi, dengan atau tanpa tanda petik) terhadap sunnah Nabi Saw.!

Dengan argumen-argumen itu, apakah lantas saya menjadi orang yang tidak percaya atau menolak karamat? Saya tidak mau menjawab pertanyaan ini. Saya hanya akan mengajukan hipotesa berikut: Menolak, atau paling tidak mempersoalkan tentang karamat, tidak sama dengan tidak percaya. Dalam pandangan saya, menolak dan mempersoalkan ke-karamat-an seorang tuan guru atau ulama bukan berarti menyurutkan dan menyudutkan otoritas dan kualitas ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an pribadi bersangkutan. Bahkan lebih meneguhkan lagi ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an mereka dalam bentuk dan makna yang sangat manusiawi. Karena tunduknya umat terhadap tuan guru, ulama atau bahkan wali, tidaklah sampai ke tingkat melenyapkan kedudukan mereka sebagai manusia dan yang serupa dengan itu. Umat tidak harus memposisikan mereka sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals).

Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat.

Sudah saatnya, pencitraan sosok tuan guru dan ulama yang selama ini terlalu menonjolkan aspek-aspek heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna, mesti dieliminasi. Kita perlu mengapresisasi dan mengekpresi sosok tuan guru dan ulama kepada hakekatnya yang profesional dan proporsional sebagai warasatul anbiya; penerus dan pewaris para Nabi, pun sebagai seorang manusia biasa yang bisa “terpeleset” ke dalam lubang kesalahan, di samping kesalehan. Kita juga berharap kaum tuan guru dan ulama sendiri jangan pula memposisikan diri mereka yang dengan sadar dapat berakibat pada pengkultusan yang over dosis untuk kemudian dijelmakan sebagai sosok heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna. Dengan begitu, sosok tuan guru dan ulama akan menjadi khazanah teladan ideal dan figuratif otentik di tengah-tengah umat sebagai warasatul anbiya sebagaimana mestinya.

Sekarang, buat apalah bacaan-bacaan dan amalan-amalan tuan guru dan ulama bila tidak menstimulasi umatnya untuk menghadirkan karamat-karamat baru yang lebih dahsyat di zaman modern ini? Kini, dunia semakin berkembang berkat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap hari, ada saja perkembangan terbaru di bidang sains dan teknologi. Di manakah letak dan kontribusi umat Islam?

Tuan guru dan ulama memang ada yang sedikit-banyak berbicara perihal sains dan teknologi, soal alam raya, watak-watak dan gejala-gejala yang ditimbulkannya, seperti fenomena bintang-gemintang dan bahkan gunung-gunung dan gurun-gurun. Tapi sedikit sekali yang bisa menerjemahkan ”karamat saintifik” sunatulLah itu ke dalam penelitian yang mampu memahami dan menjinakkan watak bengis alam raya yang kadang-kadang muncul seketika.

Ada juga tuan guru dan ulama yang secara normatif menganjurkan umat Islam untuk mencermati bagaimana si burung bisa melanglang-buana di angkasa raya, dan langit bisa terbentang tanpa tiang. Tapi hanya BJ Habibie yang mengerti bagaimana caranya burung besi mampu terbang ke hamparan angkasa. Kini terasa betul, kita membutuhkan karamat-karamat modern dari para jenius-jenius Islam yang lebih menakjubkan.

Karamat-karamat tersebut dapat saja diabdikan untuk menekan angka kematian dan menaikkan tingkat harapan hidup; mempermudah sarana transportasi dan komunikasi, serta mengantisipasi kemalangan dan dampak buruk bencana alam. Tentu masih banyak lagi fungsinya yang diharapkan.

Di sini, karamat dalam artian yang konvensional, seperti yang dimuat kitab kuning dan diajarkan di pesantren itu, sudah bergeser maknanya. Ia tidak hanya datang dari tuan guru dan ulama atau wali karena dengan begitu tidak akan ada lagi karamat. Sementara, dunia terus saja mengharap karamat.

Karamat di masa kini dan di sini, kita maknai sebagai segala bentuk terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang oleh umat beragama dapat saja dijadikan sebagai bentuk keterpanggilannya oleh ayat-ayat kauniyyah Alqur’an, dan lebih penting lagi, diabdikan untuk sebanyak mungkin kemaslahatan manusia.

Dengan kemampuan membuat lebih banyak karamat itulah umat Islam akan dihargai di tingkat dunia dan kebesaran Islam dan umat Islam dapat dicapai. Selagi kita tidak dapat membuat karamat-karamat baru, kita akan tetap menjadi tumbal dari karamat ”burung besi” yang dipaksa terbang meski sudah tua dan renta. Tanpa kemampuan mengkreasi karamat-karamat baru dalam pelbagai lapangan kehidupan, kita akan selalu menjadi pengumpat kemurkaan alam, walau dengan niat baik menyebutnya sebagai bala atau ujian Tuhan.

Dengan kemampuan menghadirkan karamat dalam teknik penanggulangan gempa, misalnya, kita terbebas dari efek destruktif gempa sekaligus kecenderungan berburuk sangka kepada AlLah. Rasanya, kita memang membutuhkan lebih banyak karamat lagi, sekalipun tidak datang dari seorang tuan guru atau ulama bahkan wali.

Sejatinya, seorang tuan guru dan ulama atau wali yang dikatakan punya karamat adalah mereka yang selalu meminta hidayah untuk semua umat. Sedang mereka yang selalu meminta hadiah kepada semua umat adalah seorang tuan guru dan ulama atau wali yang karamput! []

*) Padahal, secara letak geografis terdapat selisih waktu hampir lima jam antara Indonesia dengan Arab Saudi. Artinya, ketika di Indonesia masuk waktu shalat Jum’at, di Arab Saudi baru selesai shalat Subuh. Dapat pula dibuktikan bahwa pisang bukanlah tumbuhan dari Arab Saudi. Jadi bukankah tidak masuk akal Datuk Sanggul pulang shalat Jum’at dari Masjidil Haram sambil membawa nasi kabuli berbungkus daun pisang.
**) Sebagaimana sering dikutif sejumlah media massa di Kalimantan Selatan dari buku “Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari” yang dutulis oleh Abu Daudi atau KH Irsyad Zien.
***) Guru Sekumpul adalah juriat dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dengan jenjang silsilah keturunan yang ke sembilan.



Kandangan, 26 September 2009
Rata Penuh

Thursday, September 3, 2009

Bakul Santri vs Mobil Kiai


Oleh Aliman Syahrani

Pertanyaannya sekarang bukan lagi masalah salah atau benar, wajar atau tidak. Tetapi mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa fenomena ulama amplop dan juru dakwah bayaran itu bisa berlangsung?


SUATU
pagi di hari Jum’at, tiga orang pemuda tanggung datang ke kompleks perumahan. Mereka semua berpakaian hampir seragam; mengenakan sarung, baju koko wara putih dan berkopiah haji warna putih pula. Ini entah sudah yang ke berapa kali mereka datang ke kompleks perumahan pada hari dan dengan tujuan yang sama.

Sebenarnya saya tidak perlu lagi bertanya, sebab, dari busana yang mereka kenakan, saya sudah bisa memastikan bahwa mereka, kalau tidak dari jamaah sebuah pengajian atau majlis taklim, pastilah dari panitia pembangunan langgar atau masjid, atau mungkin santri dari sebuah pondok pesantren. Paling jauh, mereka pasti dari group maulid atau kru tarbanger. Dan dari bakul purun bertuliskan “Mohon Sumbangan Sukarela” yang masing-masing mereka bawa, makin menegaskan maksud kedatangan mereka. Tapi saya tetap juga bertanya, dari mana dan apa maksud kedatangan mereka.

Benar saja. Para remaja tanggung itu memang santri dari sebuah pondok pesantren tradisional di wilayah Kandangan, bahkan kiai pimpinan pesantrennya cukup akrab dengan saya. Mereka saban pagi Jum’at setiap minggunya “bergerilya” menadahkan bakul purun guna mengumpulkan sumbangan dari kaum muslimin di daerah ini berupa uang, baik dari zakat, infak, sedekah, atau sumbangan tidak mengikat lainnya. Hasil sumbangan itu, menurut mereka, digunakan untuk menunjang kelangsungan aktivitas thalabul ilmi di pondok pesantren mereka. Memperhatikan para santri yang datang berkelompok sambil menadahkan bakul purun untuk mengumpulkan sumbangan itu, saya jadi teringat dengan film-film Thailand yang menampilkan kegiatan para biksu muda yang juga secara berkala mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengumpulkan derma untuk kegiatan agama Budha dan kebutuhan hidup mereka di kuil-kuil.

Saya tidak ingin menceritakan kepada Anda apakah saya memberikan sumbangan atau tidak terhadap para santri penadah “bakul amal” tersebut. Saya hanya ingin bercerita sedikit tentang interaksi yang pernah saya alami dengan pesantren. Meski secara fisik saya tidak pernah mondok dan nyantri di sebuah pesantren, namun sejak dulu saya sering bergaul dengan banyak santri, sering juga mengikuti pengajian ala pesantren (mangaji duduk mambaca kitab kuning) dan pernah pula bermalam di sejumlah pesantren. Di perpustakaan pribadi di rumah, terpampang koleksi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, meski kebanyakan dalam edisi terjemah. Bahkan, saya juga banyak kenal dan bergaul akrab dengan beberapa ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren.

Saya tertarik menyoroti yang terakhir. Dari sejumlah ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren di HSS (dan barangkali juga di daerah-daerah lain), sebagian besar dari mereka – kalau tidak dikatakan seluruhnya – sekarang sudah berada dalam strata kehidupan yang tidak bisa dibilang “rendah”; mayoritas para ustadz dan kiai pemilik pesantren di HSS – dan pemuka agama pada umumnya – sekarang sudah menjadi golongan masyarakat kelas kakap (height class) dengan kelompok sosial ekonomi tinggi. Sebagai barometer umum, rata-rata para ustadz dan kiai pemilik pesantren dan pemuka agama itu telah memiliki rumah cukup mewah, lengkap dengan fasilitas pendukungnya, dari motor yang selalu hampir baru hingga sebuah mobil. Barometer ini berlaku juga pada diri kiai pemilik pesantren yang santrinya saban Jum’at datang menadahkan bakul purun ke kompleks perumahan itu.

Salahkah bila seorang ustadz atau kiai pemilik pesantren memiliki fasilitas mewah semacam itu? Anehkah bila seorang pemuka agama seperti tuan guru, ustadz atau habib mempunyai dan menikmati kelebihan berupa harta atau benda? Jawabnya tentu saja tidak. Tetapi, kenapa saya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu? Tidakkah seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren bila memiliki fasilitas semacam itu akan semakin mendukung pelaksanaan segala aktivitasnya dalam pengelolaan pesantren? Bukankankah seorang pemuka agama seperti tuan guru atau habib yang mempunyai kelebihan harta akan lebih memudahkannya dalam melaksanakan kegiatan dakwah keagamaan yang ia jalankan? Tidakkah wajar bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren, pemuka agama, tuan guru atau habib yang bertugas sebagai penjaga moral dan spiritual umat, sebagai pengemban dakwah keagamaan yang tidak mendapat gaji dari pemerintah seperti pegawai pada umumnya, diberikan dan memperoleh imbalan berupa uang atau fasilitas lainnya dari umat atau jamaah yang dibimbingnya?

Kenyataan lain akan segera menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu retoris belaka. Karena betapa banyak pemuka agama seperti ustadz atau kiai yang justru hidup hanya semata-mata dari ”isi amplop” yang ia dapatkan sebagai pembayaran dari kegiatan dakwah yang ia jalankan, tanpa memiliki pekerjaan atau kegiatan usaha yang lain. Tak terhitung pemuka agama yang menggantungkan hidupnya semata-mata hanya dari penghasilannya sebagai juru dakwah bayaran. Tidak sedikit para pemuka agama dan juru dakwah yang menjadikan aktivitas keagamaannya dan profesi keulamaannya sebagai pekerjaan yang mesti mendapatkan upah, dan mengelola lembaga keagamaannya – baik itu pesantren, majlis taklim, group maulid, dan yang lainnya – layaknya sebuah badan usaha yang mesti menghasilkan fulus guna memenuhi segala keperluan hidupannya. Bukannya menjadikan profesi dan kegiatan dakwahnya serta lembaga keagamaan yang dikelolanya tersebut sebagai sebuah tugas apalagi kewajiban, baik secara individu maupun kolektif, sebagai pemuka agama atau penggiat dakwah. Jika hal ini benar terjadi, apa bedanya seorang pemuka agama yang berprofesi dan bergiat sebagai aktivis dakwah dengan pekerja komersil atau karyawan pabrik dan perusahaan yang mendapatkan upah dan gaji? Apa bedanya kegiatan para santri yang bergerilya menadahkan bakul purun itu dengan kegiatan para biksu yang mengumpulkan derma seperti dalam ajaran Budha?

Belum lagi, hati ini rasanya giris sekaligus marah ketika menemukan ratusan atau bahkan ribuan ”kotak amal” untuk pembangunan rumah Tuhan atau kegiatan pendidikan pesantren bertebaran hampir di setiap tempat umum di Kandangan seperti di emperan mini market, di pojok-pojok pertokoan, di ujung meja warung, di sudut perkantoran bahkan di pelataran instansi pemerintah. Beginikah wajah Islam kita, khususnya di Kandangan? Apakah sudah sedemikian lemahnya kehidupan warga sesama kita, sehingga mengesankan hal-hal yang bukan saja kurang pantas tetapi juga memalukan sekaligus menghinakan terjadi di muka umum? Bagaimana hati ini tidak giris dan marah melihat Islam yang ditampilkan di ruang publik dengan cara demikian murah seolah mengidentikkan umat Islam sebagai kaum pengemis atau kelas melarat, karena secara spektakuler kita telah mempertontonkan kepedulain sosial yang begitu kerdil di antara kita. “Bagi mereka yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Bukankah ironis sekali bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren atau pemuka agama dan juru dakwah yang sudah memiliki fasilitas rumah cukup mewah hingga mobil baru tapi masih ”mengeksploitasi” para santri atau jamaahnya untuk bergerilya menadahkan bakul purun demi penggalangan dana guna mendukung aktivitas belajar-mengajar – atau mungkin untuk kebutuhan makan dan hidupnya – di pesantren, majlis taklim atau lembaga keagamaan yang ia kelola. Tidakkah menggelikan, para pemuka agama yang sudah berada dalam strarata kehidupan golongan masyarakat kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; yang telah memiliki rumah cukup mewah dilengkapi fasilitas motor bahkan mobil, tapi terus menerima pemberian zakat yang dikeluarkan umat? Apakah fenomena ini disebabkan oleh sebuah hadits yang berlatar ”klenik” dan dicomot sebagiannya kemudian ditafsirkan seperti sistem ”waralaba”? Inna ahaqqa ma-akhajtum ’alaihi ajran katabulLah. ”Upah yang paling berhak kamu ambil adalah upah Kitab AlLah.” (HR. Bukhari).

Pertanyaannya sekarang bukan lagi masalah salah atau benar, wajar atau tidak. Tetapi mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa fenomena ulama amplop dan juru dakwah bayaran itu bisa berlangsung? Catatan sejarah yang cukup panjang telah menjelaskan: ustadz, kiai, pemuka agama dan juru dakwah di kampung-kampung (juga di kota-kota!), biasanya, mengumpulkan zakat, sedekah, infak, atau sumbangan masyarakat untuk membangun pesantren, masjid, madrasah, atau fasilitas keagamaan lainnya. Bahkan para kiai secara pribadi bisa (atau membiasakan?) menerima zakat dan semua “pemberian” dari para pengikutnya. Praktik di lapangan menunjukkan, “zakat” merupakan sumber kekuatan tokoh-tokoh agama serta perkumpulan yang mereka kelola. Dalih agamisnya, seorang ustadz atau kiai yang menjalankan aktivitas dakwah dimasukkan dalam delapan kelompok orang yang berhak menerima zakat, yaitu sebagai fisabililLah. Sebuah argumen yang sebenarnya masih melahirkan perdebatan dan kritik tajam. “Memang kata sabililLah itu artinya banyak sekali,” kata Imam Malik. “Tetapi saya belum menjumpai perselisihan pendapat bila kata itu diartikan dengan peperangan di jalan AlLah.”

Di sisi lain, realitas tersebut sungguh kontradiktif dengan fakta yang terjadi di lapangan. Dari pengalaman saya sebagai petugas amil zakat di sejumlah langgar dan masjid di Kandangan, ditambah lagi dengan sejumlah observasi lainnya, fakta menunjukkan bahwa hampir tidak pernah ada nama seorang pemuka agama di Kandangan yang terdaftar sebagai muzakki, (orang yang menunaikan kewajiban zakat). Yang ada ya itu tadi, justru nama sejumlah pemuka agama dan juru dakwah terpampang dan ”selalu terdepan” (meminjam slogan iklan Yamaha) dalam deretan sebagai mustahiqq al-zakat (kelompok orang yang ”berhak” menerima zakat).

Hal ini menjadi kritik sebagai monopoli tokoh-tokoh agama atas sumber daya ekonomi yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan umat yang lebih banyak. Meskipun mereka sering berargumentasi, karena kiai-kiai pengelola pesantren dan pemuka agama pelaku dakwah itu tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah dan jarang disokong secara finansial oleh pemerintah. Sehingga zakat dan sedekah dari masyarakat menjadi sumber kehidupan sekaligus “kekuatan politik” para tokoh agama itu. Dengan sokongan itu, konon, para pemuka agama tidak terkooptasi dan terkontaminasi oleh pemerintah, dan bisa menjaga independensi terhadap kekuasaan.

Namun, catatan sejarah kembali membuktikan, selama berabad-abad, tidak sedikit para pemuka agama, yang memimpin atau mengajar di pesantren atau tidak, berlindung di balik tameng sebagai “polisi moral” umat yang sesungguhnya telah dikebiri. Dengan uang, baik berupa zakat, sedekah, infak atau sumbangan umat lainnya, yang percaya kepada mereka, mereka membangun pondok-pondok pesantren, madrasah, universitas, panti, yayasan, rumah sakit, masjid, halaqah, organisasi, bahkan partai, dan di dalamnya mereka menimbun dan bergelimang serta berkubang harta kekayaan yang meruah sambil menebarkan dan melegalkan kebohongan dan kebodohan – baik sosial maupun kultural – kepada umat. Lebih parah lagi, dalam kubangan harta serta kemewahan itulah mereka berkoar sebagai tulang punggung agama dan penjaga moral umat di atas kenistaan dan kemelaratan umat itu sendiri.

Geliat lanjut dari kebobrokan kultural dan struktural semacam itu, tak pelak lagi, terhumbalanglah ulama dari percaturan dunia dan hanya terserak di pojok-pojok masjid, di emper-emper majlis taklim atau di keremangan pondok-pondok pesantren. Ulama yang seharusnya menjadi lokomotif “penyuplai” warasatul ‘anbiya telah tereliminasi dari sentral perannya yang sejatinya tidak sekadar tentatif.

Selanjutnya, fungsi ulama juga hanya sekadar sebagai “polisi moral” yang wewenangnya telah dikebiri. Maka mewabahlah kejumudan, taklid buta, khurafat, takhayul, ta’assyub dan kultuistik di kalangan umat.

Ulama sejatinya adalah anak kandung dari penderitaan dan rasa cinta kasih dalam nilai-nilai agama. Ulama sejatinya selalu datang dengan suatu simpati yang besar kepada setiap penderitaan umat, dan menawarkan cinta kasih sebagai landasan paling pokok untuk melawan penderitaan itu. Sebelum disibukkan oleh aturan hukum yang disokong oleh birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik, ulama adalah sumber cinta kasih dan simpati pada mereka yang menderita. Kesibukan ulama yang terlalu berlebihan dengan ritual, seremoni, hukum, dan aturan-aturan yang dijaga ketat oleh ortodoksi agama, bisa membuat ulama itu kehilangan sensitivitas dan sentuhan akan penderitaan mereka yang lapar, mereka yang hak-haknya dirampas, mereka yang ada di pinggiran kekuasaan. Ulama yang telah merosot hanya menjadi fasilitator “ibadah” badaniah belaka atau segerombolan petugas hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai expired canonist atau ulama kadaluarsa.

Ulama sebagai fasilitator upacara ritual memang diperlukan. Umat, sekali-sekali dalam hidupnya, perlu upacara, dan agama menyediakan ”perkakas keagamaan” untuk penyelenggaraan upacara itu, sedang ulama menjadi “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” dalam Islam. Tetapi, jelas upacara dan ritual dalam Islam hanyalah ornamen atau hiasan luar. Ibadah dan hukum-hukum dalam Islam adalah semacam eksterior atau ruang bagian luar dari Islam. Interior atau ruang dalam Islam adalah cita-cita, esensi, makna dan hakekat yang menjadi alasan kenapa agama ini lahir ke muka bumi. Salah satu cita-cita mendasar Islam adalah simpati dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tersingkirkan (dha’if wa mustadh’afin). Dalam konteks inilah ulama memegang kendali utama sebagai lokomotif terdepan dalam rangka merealisasikan cita-cita dasar Islam tersebut.

Manakala ulama telah kehilangan kepekaan kepada semangat zaman, maka sudah selayaknya jika umatnya mulai mempersoalkan ulama itu sendiri atau bahkan meninggalkannya. Islam tak menghendaki kepada ulama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat umat melaksanakan ajaran agama adalah dengan cara menyuguhkan ‘kegembiraan di kemudian hari’, tetapi tidak kegembiraan di dunia dan kehidupan sekarang ini.

Ulama yang “fresh” adalah ulama yang membimbing umat untuk melaksanakan ajaran agama guna menghadapi masalah di dunia saat ini, yang menyapa umat yang mengalami penderitaan, yang menjanjikan keselamatan bukan saja di dunia nanti, tetapi juga di dalam kehidupan saat ini. Ulama yang menjadikan ketaatan agama berorientasi kepada doktrin, ritus dan seremoni sebagai tujuan pokoknya; yang berperan hanya sebagai “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” belaka; yang menggunakan jampi-jampi agama untuk konsumsi ekonomis atau komoditi politis, bisa disebut sebagai ulama kadaluarsa yang sudah kehilangan identitas dasarnya sebagai warasatul anbiya.

Dalam perkembangan selanjutnya, saya khawatir ulama akan berfungsi multi-ganda sebagai fasilitator, operator, obligator atau bahkan predator agama! Na’uzubilLah summa na’uzubilLah! $¥

Bulan Penuh Pencuri


RAMADHAN sering dinisbatkan sebagai bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan. Ramadhan kadang juga disebut sebagai bulan perjuangan, karena di dalamnya umat Islam selama sebulan penuh berjuang melawan segala keinginan diri (hawa nafsu). Ramadhan dikatakan pula sebagai syayyid as syahru (penghulu bulan), karena di dalamnya terdapat satu malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu lailat al Qadr (“Malam Kekuasaan”). Di bulan Ramadhan pulalah pertama kali diturunkannya al Qur’än (nuzulul Qur’än).

Di bulan Ramadhan, segala keistemewaan dicurahkan, segala kasih sayang dan kebaikan disemaikan, segala ampunan ditautkan. Pendeknya, Ramadhan ibaratnya adalah muara tempat berkumpulnya segenap mata air kesucian dan sumber kebaikan yang mengalir dari hari-hari di segenap bulan dan tahun.

Di balik semua keistemewaan itu, Ramadhan sebenarnya juga berpotensi sebagai bulan penuh pencuri. Kenapa demikian?

Rasulullah saw. bersabda: "Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dari shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai RasululLah, bagaimana ia mencuri dari shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya." (HR. Ahmad)

Kisah ini terjadi ketika setelah selesai shalat berjamaah, RasululLah duduk bersama para sahabatnya di salah satu sudut masjid. Kemudian datang seorang laki-laki ke bagian sudut lain dan langsung mengerjakan shalat sendirian. Dalam shalatnya orang itu rukuk dan sujud dengan cara sebentar-sebentar karena terburu-buru.

Melihat hal itu, RasululLah kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Apakah kalian menyaksikan orang ini? Barang siapa meninggal dalam keadaan shalatnya seperti ini, maka ia meninggal di luar agama Muhammad.”

Jadi, apabila kita tidak menyempurnakan thuma'minah, shalat kita bukan sekadar tidak sah, tetapi shalat itu dianggap tidak ada. AlLah bahkan mencabar orang-orang yang shalatnya seperti itu dengan ancaman bahwa mereka akan celaka. Sebab, dengan meninggalkan thuma' ninah (tenang sejenak) berarti kita sudah lalai dalam shalat (an shalatihim sahũn) (QS al Ma'un: 4).

Kawan, sekarang kita tengah berada di bulan suci Ramadhan, yaitu bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan. Kalau di bulan-bulan dan di hari-hari lain kita sering shalat tidak thuma'ninah, maka di bulan Ramadhan ada sebuah tantangan besar bagi kita untuk shalat lebih tidak thuma'ninah lagi, yaitu ketika shalat qiyamu Ramadhan atau yang sering kita namakan shalat tarawih. Karena ingin mendapatkan jumlah raka’at yang banyak, kita justru melakukannya dengan cara serba extra; extra cepat, extra singkat dan extra kilat (gerakannya extra cepat, ayatnya extra singkat dan bacaannya extra kilat).

Kalau ini yang terjadi, maka Ramadhan bukan saja menjadi bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan, tetapi juga sekaligus menjadi bulan penuh pencuri. Yaitu pencuri shalat. Berani hadapi tantangan untuk tidak jadi pencuri? []


Wednesday, August 19, 2009

Ulama Martapura dan Ulama Hulu Sungai


OTORITAS
dan kualitas keulamaan dalam masyarakat Kalimantan Selatan sampai saat ini masih kuat beraroma Martapura-Kaum Tuha. Para tuan guru dari sana menjadi kiblat dan amalam-amalannya serta ujar-ujarnya menjadi rujukan masyarakat Islam yang tinggal di daerah Hulu Sungai dan kawasan lain di Kalimantan Selatan. Dahulu, KH. Abdul Aziz Syarbini, ulama sepuh dari Kandangan (AlLahummaghfirlahu wa ‘afihi wa fu’anhu) beserta mayoritas ulama dari Kandangan, Barabai dan sejumlah ulama dari Hulu Sungai lainnya, dalam sebuah mudzakarah yang dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 23 Oktober 1993 di langgar Darus Syukri Kandangan, pernah menfatwakan haram atas penggunaan alat tarbang dalam pelaksanaan Maulid Nabi.* Namun fatwa tersebut seperti tak memiliki “taring” lantaran ulama-ulama dari Martapura dan ulama-ulama daerah lain yang “berapiliasi” ke sana menghalalkannya, bahkan menyunahkannya, khususnya dari ulama yang memelopori dan mempopolerkan tarbang saat itu, KH. Zaini Abdul Ghani (AlLahummaghfirlahu wa ‘afihi wa fu’anhu) dari Sekumpul, Martapura.

Mayoritas masyarakat Islam Kalimantan Selatan tidak menggubris fatwa pengharaman tarbang oleh para ulama Hulu Sungai karena berdasar pada fatwa dan amalan ulama Martapura itu. Tidak hanya masalah tarbang, ketika terjadi satu soal atau kasus di suatu daerah di Kalimantan Selatan, masyarakat di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Martapura atau paling tidak pada ulama yang berkiblat ke sana. Masyarakat lebih sreg mentaklid pendapat-pendapat dan “ujar-ujar” ulama yang datang dari Martapura ketimbang yang lainnya. Walhasil, bagi masyarakat Islam Kalimantan Selatan, Martapura merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah fatwa, hukum dan amalan dalam Islam di daerah ini. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam di daerah ini pun bisa mereka anggap efektif dan afdhal kalau dilakukan oleh para ulama dari Martapura atau mereka yang bermazhab ke sana.

Sementara para ulama non-Martapura dianggap “pinggiran” dan fatwa-fatwanya dipandang sebelah mata. Apakah ini, salah satunya, karena ulama non-Martapura diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang secara simbol memang cukup marak hidup di Martapura. Jika orangnya dianggap `ajam, maka fatwa-fatwanya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam di daerah ini? Tak pelak lagi, fatwa-fatwa dan karya-karya yang dikreasikan para ulama Hulu Sungai atau non-Martapura kontemporer sekalipun agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Kalimantan Selatan. Otoritas dan kualitas ulama Hulu Sungai selamanya seperti tak memiliki wibawa, “kalah tadah” di hadapan ulama Martapura.

Padahal, begitu banyak kualitas ulama “`ajam” non-Martapura dan Hulu Sungai yang brilian dan otoritatif, lebih pokok lagi tidak secara over dosis terkooptasi dan terkontaminasi oleh “Sekte Martapuraisme”, dan bisa menjaga independensi terhadap nilai-nilai keilmuan semata. Misalnya, KH Anang Ramli (Tanah Laut), KH Fadhli Muis (Batu Licin), KH Abdul Khaliq (Tapin), KH Mochjar Dahri (Kandangan), KH Sofyan Maksum (Negara), KH Musa Yusuf, Gr. Ahmad Tabu Darat, (HST), KH Sulikan Sariyun, DR (Hadits) KH Saberan (Amuntai), Ust. Febriansyah (Batu Mandi/Balangan), dan sederet ulama Hulu Sungai berpengaruh lainnya. Belum lagi para ulama dari daerah di luar Hulu Sungai non-Martapura lainnya, akan menjadi daftar yang sangat panjang jika dimuat di sini.

Dengan fakta ini, dua hal bisa dikatakan. Pertama, otoritas dan kualitas ulama Hulu Sungai tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “tempat terasing”, para ulama Hulu Sungai telah memposisikan diri dan keilmuan mereka secara monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Martapura. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal keagamaan di daerah sendiri ke ulama Martapura itu tak selalu perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan tersebut adalah ulama di daerah itu sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas keilmuan ulama Hulu Sungai ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Martapura. Saya kira, ulama Hulu Sungai yang namanya saya sebutkan di atas – sekadar menyebut sejumlah nama – tak kalah ‘alim dan cerdas dibanding ulama klasik hingga ulama kontemporer Martapura sekalipun.

Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Kalimantan Selatan, khususnya dari Hulu Sungai, untuk tak canggung membuat dan melahirkan karya-karya besar Islam di daerah ini. Bukankah, para ulama Hulu Sungai itu, meski dengan jumlah yang belum bisa disebut banyak, tetap cukup percaya diri dengan eksistensinya. Sebab, terus terang, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Martapura adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama Hulu Sungai selama ini. Para ulama “`ajam” Hulu Sungai harus terus membuktikan bahwa otoritas, kualitas, fatwa dan karya-karya kreatif mereka tidak “kalah tadah” dan bisa dikelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Martapura. []

__________________
*) Mudzakarah itu sendiri dilaksanakan sehubungan dengan maraknya pemakaian alat tarbang dalam kegiatan Maulid Nabi di Kalimantan Selatan. Pada perkembangan selanjutnya, pemakaian alat tarbang dalam majlis Maulid Nabi tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Kalimantan Selatan, ada pro dan kontra. Sejumlah ulama memperbolehkan dan sebagian lagi mengharamkan, dengan masing-masing argumentasi, dalil dan nash yang dimiliki. Dari situasi yang “panas” itu tak pelak lagi terjadilah dua “kubu” di kalangan ulama dan pengikutnya di Kalimantan Selatan saat itu (lihat: Aliman Syahrani, “Tarbang, dari Tradisi, Diskusi hingga Ambisi” dalam Menangkis Jampi-Jampi Agama, Tahura Media, April 2009 hal.107).

Wednesday, August 5, 2009

Adakah Dikhotomi Belajar Agama



DALAM banyak kesempatan diskusi agama (Islam), saya sering disuguhi pertanyaan berikut: “Dari mana anda belajar agama?” Pertanyaan tersebut lahir dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ketika saya lebih banyak berbeda pendapat dengan teman diskusi atau pendapat umum. Kedua, karena performance saya yang lebih mewakili sosok urang jaba ketimbang potongan urang alim, meskipun nama saya Aliman.

Jika saja pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui jalur akademis atau jenjang pendidikan formal yang pernah saya lalui, maka jujur saja saya akui bahwa saya termasuk orang yang kurang beruntung dalam hal ini. Saya tidak pernah mengecap “maqam” keilmuan semacam itu dikarenakan berbagai hal dan keterbatasan.

Tapi saya tak harus berkecil hati, karena seorang ulama sekaliber DR. Yusuf Qardhawi saja juga sering disuguhi pertanyaan itu. Dalam pengantar bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” beliau mengatakan bahwa dirinya sering ditanya seperti itu. Sayangnya, menurut Qardhawi, pertanyaan tersebut sudah mengarah kepada kritik bahkan gugatan yang tidak sehat hanya karena jalur pendidikan formal dan sumber keilmuan yang ia lalui tidak sepenuhnya sejalan dengan mainstream umum yang selama ini berlaku.

Selanjutnya saya punya kesan, bahwa pertanyaan semacam itu diajukan bukan sekadar ingin menelisik latar belakang jalur akademis dan jenjang pendidikan formal yang dimiliki seseorang semata-mata. Tetapi sudah mengarah kepada apakah “sumber” itu bisa diakui atau sebaliknya, sah atau tidak, tentu dengan ukuran menurut standarisasi pribadi atau kelompok si penanya. Ada dua standar yang barangkali “wajib” mereka gunakan: Pertama, keilmuan seseorang mesti diukur dengan “baju” mereka. Kedua, orang belum benar-benar dianggap alim kalau tidak belajar/berguru kepada kelompok mereka.

Saya kira, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru kita boleh mendiskusikan dan mengamalkan ajaran agama. Tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran keilmuan lebih-lebih keshalihannya. Keilmuan seseorang tidak selalu dapat ditakar dari jalur akademis dan jenjang pendidikan formal serta “sumber” yang telah dilaluinya semata. Ke-Islam-an seseorang tidak diukur dari hitam-putih kopiah dan besar-kecilnya lilitan surban yang dikenakannya. Atau bahkan tidak ditimbang dari sikap lahir seseorang karena banyak sujud dan amaliah kepada Allah semata. Tetapi nilai keilmuan dan sikap ritual peribadatannya itu mesti diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Chauvanistic Doctrine

Lebih jauh saya menengarai, lebih sering mengalami, bahwa diskusi agama kita memang sering dihadapkan pada ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, paalimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya.

Karena itulah saya tidak terlalu heran bila dalam banyak pengajian Islam atau majlis taklim, khususnya di daerah ini, di mana masih ada pemuka agamanya yang mewanti-wanti kepada para murid dan jamaah untuk tidak berguru kecuali kepada dirinya (atau paling tidak kepada orang-orang yang “sepaham” dengannya). Sejumlah lembaga pendidikan tradisional Islam semacam pesantren juga masih ada yang membatasi kitab-kitab yang mesti dipelajari santrinya, dus mengkhotomi umat untuk tidak berinteraksi dengan kelompok atau organisasi lain hanya karena memiliki penafsiran dan pemahaman keagamaan yang berbeda.

Dalam bahasa yang lebih lugas saya ingin mengatakan, buah dari doktrin sempit semacam itu mengakibatkan mayoritas masyarakat Islam di daerah ini masih menstandarisasikan pemahaman dan pengamalan keagamaan mereka kepada bagaimana corak keagamaan yang dipraktikkan di suatu tempat atau oleh kelompok masyarakat tertentu. Seolah-seolah apa yang dipraktikkan oleh kelompok di tempat tertentu itu sudah menjadi model terbaik dan dijadikan bahan rujukan yang hakiki.

Dalam konteks masyarakat Kalimantan Selatan, Martapura dan Sekumpul menjadi model tersebut. Otoritas pemuka agama dan praktik keagamaan ala “Martapuraisme” dan “Sekumpulisme” dalam dinamika keberagamaan mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh pemuka agama “Martapuraismse” dan “Sekumpulisme” telah menjadi “ujar guru” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Hal ini barangali tidak lepas dari faktor sejarah di mana di daerah tersebut telah melahirkan sejumlah ulama besar pada zamannya. Dan tentu saja realitas yang saya kemukakan ini bukan berarti melemahkan otoritas dan kredibelitas para pemuka agama di daerah itu sendiri.

Ironisnya, di kalangan sebagian besar aktivis muda Islam yang sejatinya lebih kritis dan realistis juga terjadi kebuntuan berpikir semacam itu. Bagi kalangan yang ingin saya sebut “mazhab-pembaca-Sabili” atau kaum “haraky”, pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, Sayid Hawwa, Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad al-Gazhali, Abul A’la al-Maududi, Ali Syariati dan yang lainnya dimistifikasi begitu rupa sehingga seolah-olah Islam hanya bisa dibaca dan dibenarkan melalui “lensa” pemikir-pemikir dan tokoh-tokoh itu. Corak-corak Islam yang lain dianggap sebagai “sesat”, distortif, atau melenceng dari “manhaj” atau jalan lempang yang direstui oleh AlLah.

Di kalangan teman-teman muda pengikut Hizbut Tahrir, gagasan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dianggap seolah-olah satu-satunya “bleu-print” atau cetak biru kebangkitan Islam yang tidak mungkin salah. An-Nabhani, meminjam istilah kawan-kawan Syi’ah, menjadi semacam “marja’-e taqlid” yang merupakan ukuran utama untuk menilai apakah sebuah kelompok masih di “dalam” atau sudah melesat ke “luar” Islam.

Saudara-saudara dari kalangan yang mendaku “pengikut generasi awal” atau salafy melihat kebajikan dan keluhuran sebuah gagasan yang bersumber di masa lampau, karenanya mereka sangat mengutamakan karya-karya klasik standar yang mencerminkan “ideologi” kaum Sunni yang mainstream, seperti karya-karya Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, serta karya-karya fikih klasik elementer seperti al-Taqrib, Fathul Mu’in, Kifayat al-Ahkyar dan sejenisnya. Akibatnya, mereka kurang menaruh perhatian terhadap konsensus-konsensus kontemporer terhadap kondisi aktual dan realitas sosial umat.

Sebagian kawan-kawan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga banyak yang ikut-ikutan “latah”. Kaum Nahdiyin masih banyak yang “apriori” dengan gagasan-gagasan dan referensi keagamaan dari “pihak lain”, sehingga lebih membatasi kajian hanya dari Bahtsul Masa’il dan apa-apa yang sudah difatwakan para pemuka agama mereka sendiri. Warga Muhammadiyah juga masih ada yang terpaku dan mengungkung pembahasan keislaman “hanya” dalam cakupan Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Meskipun kenyataan ini bukan berarti mengenyampingkan kedua bentuk ijtihad dari dua organisasi Islam terbesar di Tanahair itu.

Dogmatisme

Musuh paling berbahaya dalam diskusi agama kita berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, doktrin demikian adalah penyakit spiritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan.

“Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog/diskusi tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya.

Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos.

Menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. []

Wednesday, April 1, 2009

Do'a, Jin dan Lampu Aladin (Renungan buat Para Caleg pada Pemilu 2009)



Oleh Aliman Syahrani


MENJELANG Pemilu, seorang politikus berniat akan turut bersaing sebagai calon legislatif (caleg). Ia mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya; dari “meminang” partai pengusung, waktu dan bentuk deklarasi, strategi kampanye dan sosialisasi, jurkam, slogan, jargon, penggalangan dan pengerahan massa, visi dan misi, tim sukses, dan tentu saja uang yang banyak. Sejumlah hobby pun terpaksa ditinggalkannya. Kini setiap ada kesempatan ia juga membaca buku-buku yang bermuatan politik, analisis-analisis para pakar dan pemerhati Pemilu, psikologi massa, dan sejenisnya. Tak lupa ia memperhitungkan dan mengkaji kekuatan dan kelemahan caleg dari partai-partai lain yang akan jadi saingannya kelak.

Pokoknya si caleg saban harinya selalu sibuk dengan aktivitas-aktivitas yang berbau politik. Semua daya dan upaya dicurahkan pada satu fokus: menang dalam Pemilu dan jadi anggota dewan! Dan untuk mencapai tujuan itu upaya batiniah pun dilakukan dengan intensitas tinggi. Si caleg senantiasa melaksanakan puasa-puasa sunnat, mengerjakan shalat malam, dan setiap saat berdo’a; memohon kekuatan dan petunjuk agar Pemilu yang akan dihadapinya bisa berjalan dengan baik dan memperoleh kemenangan. Tidak cukup hanya dengan upaya batiniah itu, si caleg juga melibatkan sejumlah pemuka agama, tuan guru, ustadz, ulama dan habib. Keterlibatan para “pawang agama” itu baik dalam pelaksanaan shalat hajat atau traidisi-tradisi keagamaan yang ia adakan secara berkala, maupun dalam kegiatan kampanye untuk menarik simpati massa agar mendukung dirinya.

“AlhamdulilLah, segala puji hanya milik AlLah yang telah berkenan mengabulkan do’aku,” demikian ungkapan rasa syukur si caleg setelah ia dengan tanpa kesulitan berarti mendapatkan partai pendukung dan nomor urut serta dapil yang diharapkan. Terasa olehnya betapa AlLah Mahaadil, Mahabijak dan Mahakasih. AlLah telah mendengarkan do’anya dan memberikan apa yang diinginkannya. Selangkah lagi, garis finis dari do’anya akan tergapai: menang Pemilu dan jadi anggota dewan.

Akhirnya hari “H” pelaksanaan Pemilu tiba. Si caleg dengan berdebar-debar menantikan hasil perhitungan suara. Di hatinya telah terbetik keyakinan bahwa ia akan memperoleh suara tertinggi dan memenangkan pesta demokrasi lima tahunan itu. Keyakinan si caleg tersebut bukan tanpa alasan. Karena sebelumnya, sejak dari waktu deklarasi hingga masa kampanye, jumlah masa pendukungnya yang hadir selalu membludak melebihi jumlah massa pendukung dari para caleg dari partai-partai lainnya. Keyakinan si caleg makin bertambah lagi dengan hasil poling sejumlah media massa lokal yang selalu menjagokan diri dan partainya. Apalagi hingga memasuki masa tenang, sejumlah ulama, tuan guru, dan habib beserta orang-orang yang mengikuti mereka, terang-terangan menyatakan dukungan.

Namun kenyataan berkata lain, jumlah suara si caleg kalah dari jumlah suara para caleg lawannya, meskipun kalah tipis. Semua sumber lembaga perhitungan suara baik dari KPU kabupaten, propinsi, pemantau indipenden dan sasksinya sendiri menyatakan bahwa dia memang kalah!

Si caleg terduduk lemas, tak percaya dengan hasil perolehan suara yang ia dapatkan. Karena selama ini ia telah melakukan segalanya dengan maksimal, baik dari segi tenaga, pikiran lebih-lebih dana. Namun ikhtiar yang dilakukannya tanpa kenal lelah dan diiringi dengan do’a itu belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Dia mulai lelah dan frustrasi. Bahkan dia mulai merasa do’anya tak berguna, nonsense. Lalu sampailah dia pada satu kesimpulan bahwa shalat hajat dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ia lakukan bersama para “pawang agama”, puasa sunat, duduk bertafakkur dan bangun di tengah malam yang sepi untuk shalat tahajud sambil mendaraskan untaian do’a, bantuan terhadap lembaga sosial dan organisasi keagamaan seperti masjid, langgar, majelis taklim dan pesantren: adalah sia-sia belaka. “Tuhan tidak mengabulkan do’aku mungkin karena dosaku sendiri. Tapi siapa di antara kita yang tidak berdosa? Kalau begitu, apa gunanya aku berdo’a? Toh, do’aku tidak akan didengar apalagi dikabulkan!” protes si caleg gagal.

Kini si caleg gagal lebih banyak tinggal di rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merenung. Dalam hatinya masih tersisa angan-angan muluk, angan-angan yang telah berubah menjadi azam, renjana, bahkan nafsu, untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan yang diinginkan sesuai dengan usaha dan do’a yang dipanjatkannya. Apabila hal itu terkabul maka sudah terbayang pula olehnya kehidupan yang serba “wah”, mewah dan “ah”, dan itulah sebenarnya keinginan yang sudah lama terperam di dasar hatinya.

Karena keinginan kuat yang sudah berubah menjadi nafsu itu tanpa sadar si caleg gagal telah mendiktekan kemauannya kepada AlLah. Seolah-olah dia menjadi boss yang merasa berhak dilayani oleh pembantunya. Padahal dalam kenyataannya dia hanyalah seorang hamba dan AlLah adalah “Boss” segala boss (Qs 20:144).

Tanpa disadarinya, si caleg gagal sebenarnya telah berbuat zalim kepada Zat yang siapa dan apa saja bergantung. Ia tak menyadari bahwa AlLah Mahatahu akan apa yang terbaik bagi hambaNya sehingga AlLah tak perlu didikte. AlLah tidak harus mengabulkan semua permintaan hambaNya karena Dia Mahakuasa. AlLah tidak punya kewajiban apa pun kepada hambaNya. Sebaliknya, manusialah yang mempunyai banyak kewajiban kepadaNya. Manusia wajib menjauhi cegahanNya dan wajib melaksanakan instruksiNya. Manusia harus berikhtiar untuk mencapai keinginannya namun kepastian tetap berada di tanganNya. Dan si caleg gagal tak menyadari bahwa yang termulia bagi manusia adalah berusaha menjadi manusia kesayangan AlLah. Manusia kesayangan AlLah akan memperoleh kebaikan-kebaikan, yang diminta maupun yang tidak diminta.

Banyak orang seperti si caleg. Dari kecewa kepada kehidupan, ia kecewa kepada Tuhan. Orang miskin yang selalu diperlakukan tidak adil oleh masyarakat di sekitarnya; mahasiswa cerdas yang dijatuhkan dosen yang iri akan kecerdasannya; perempuan berjilbab yang dikhianati suaminya, yang dahulu terkesan salih dan ‘alim; profesor yang memilih untuk “kafir” karena ia ditipu ratusan juta oleh seorang kiai; pemikir Islam yang kecewa dengan keadaan umat Islam yang miskin dan terbelakang; kader dakwah yang dijemuruskan oleh organisasi atau kelompok Islam; aktivis partai dan anggota legislatif yang dieksploitasi oleh partainya yang justru berasas Islam; politisi yang dikibuli oleh ulama dan habib yang mendukungnya. Semuanya sampai pada kesimpulan: berdo’a tidak perlu. Pertama, kesulitan hidupnya tak pernah selesai dengan do’a. Kedua, bila do’a kita tidak dikabulkan karena dosa, sedang semua berdosa, apa perlunya berdo’a.

Sayangnya, semua lupa untuk meninjau kembali konsep do’a. Anda memandang do’a sebagai mantera magis untuk mengendalikan alam semesta. Tuhan dilihat sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauan Anda. Do’a Anda, kata Jalaluddin Rahmat dalam Reformasi Sufistik, mirip lampu Aladin dan Tuhan menjadi jin. Ketika Anda berdo’a, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di depan Anda, “Tuan katakan kehendak Tuan.” Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendak Anda, Anda marah kepadaNya. Anda kecewa dan Anda segera membuang lampu Aladin itu.

“Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan,” kata Imam Ja’far ash-Shadiq, “lihatlah di mana posisi Tuhan di hati Anda.” Alangkah rendahnya Anda di mata Tuhan, bila Anda memperlakukan Dia hanya sebagai jin untuk lampu Aladin Anda. Anda berdalih, do’a adalah ungkapan cinta. Tetapi, Anda hanya berdo’a kepadaNya ketika Anda memerlukanNya. Jadi, Anda mencintaiNya karena Anda memerlukanNya. Erich Fromm menulis, “Immature love says, ‘I love you because I need you.’ Mature love says, ‘I need you because I love You.”

Zakariya a.s. adalah Nabi dan manusia sempurna yang terpelihara dari dosa. Puluhan tahun doanya tidak dipenuhi. Berhentikah ia berdo’a? Kecewakah ia kepada Tuhan? Tuhan memuji Zakariya, setelah Zakariya memuji Tuhan, Ingatlah rahmat Tuhanmu untuk hambaNya Zakariya. Ketika ia berdo’a kepada Tuhannya dengan suara lembut. Ia berkata, “Tuhanku, sungguh sudah rapuh tulangku, sudah berkilau kepalaku karena uban, tetapi aku belum pernah kecewa untuk berdo’a kepadaMu, ya Tuhanku.” (QS 19:2-4). Kekasih Tuhan yang lain, Musa a.s., berjuang dan berdo’a untuk kejatuhan Fir’aun. “Ada rentang waktu empat puluh tahun antara permulaan do’a Musa a.s. dengan tenggelamnya Fir’aun,” kata Imam Ja’far.

Lantas, apakah do’a para caleg lain yang telah memperoleh suara cukup banyak dan berhasil menjadi anggota dewan nanti mendapat ridha AlLah dan dia memang dicintaiNya?

Dalam kesempatan lain, Imam Ja’far, penghulu wali AlLah ini berkata, “Bila seorang kekasih AlLah berdo’a kepadaNya, Dia berkata kepada seorang malaikatNya, ‘Penuhi keperluan hambaKu, tetapi jangan segera, karena Aku senang mendengar rintihannya.’ Bila seorang musuh AlLah berdo’a kepadaNya, Dia berkata kepada salah seorang malaikatNya, ‘Penuhi keperluannya dengan segera, karena Aku benci mendengar rengekannya.”

Dengan begitu, apakah para caleg yang kalah adalah kekasih AlLah, dan para caleg yang menang adalah musuh AlLah? AlLahu’alam bis-shawab.

Sunday, March 1, 2009

Teater Kesalehan

Rata Penuh


Oleh Aliman Syahrani


Kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.


KAWAN saya, Yanson, berasal dari Loksado. Ia baru saja memeluk Islam dan berganti nama dengan Muhammad Yasin. Ia kemudian menetap di Kandangan di bagian kota paling elit untuk ukuran kota ini. Di kawasan itu para penghuninya adalah dari golongan kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; kepala dinas, anggota DPRD, kepala kepolisian, komandan tentara, Jaksa, Hakim, direktur, para eksekutif, dan beberapa pemuka agama. Semua penduduk kawasan itu beragama Islam, bahkan sudah haji dan umrah berulangkali.

Kawasan itu terpisah dari daerah perumahan atau bidak sewaan yang kumuh hanya oleh cara hidup dan cara makan. Tidak dengan tembok benteng yang tebal. Tepat di belakang perumahan elit itu, terdapat sebuah perkampungan kumuh. Di situ, ada seorang janda berusia akhir limapuluhan yang menyediakan gubuknya yang kecil dan reot untuk anak-anak belajar membaca al-Qur'an. Setiap selesai shalat Magrib, anak-anak tidak mampu di perkampungan kumuh itu mengaji dengan memperebutkan sebuah al-Qur'an tua dan lusuh yang jilidnya sudah lepas.

Yanson terharu menyaksikan mereka. Ia berusaha membantu mereka dengan menyediakan fasilitas belajar. Ia bertanya setengah memprotes kepada saya, “Mengapa ratusan orang Kandangan pergi melakukan ibadah haji dan ribuan orang menggelar prosesi tradisi maulid Nabi setiap tahun, menghabiskan uang miliaran rupiah, tetapi tidak memperhatikan pendidikan anak-anak yang tidak mampu? Mengapa pula kepala daerahnya dan wakil rakyatnya yang sebagian besar disokong oleh partai berasas Islam, tidak menerapkan satu sistem pemerintahan yang lebih memperhatikan nasib anak-anak kurang mampu di daerah ini, misalnya mengadakan program pendidikan dan kesehatan murah atau bahkan gratis? Apakah Perda Khatam Qur’an dipandang lebih islami daripada perda pendidikan dan kesehatan gratis? Saya menilai Perda Khatam Qur’an sebagai perda kampungan. Alasannya, tanpa diperdakan pun orang-orang juga selalu mengkhatamkan al-Qur'an, bahkan sejak di kampung-kampung. Berbeda dengan pendidikan dan kesehatan, tidak semua orang bisa menikmatinya, apalagi dengan cara murah dan gratis. Saya bertekad tidak akan naik haji dan melaksanakan maulid Nabi, sebelum anak-anak seperti di kampung itu mendapat pendidikan yang layak.”

Yanson belum lama masuk Islam. Ia bingung mengapa miliaran uang dibuang hanya untuk sebuah upacara ibadah. Saya bingung juga untuk menjelaskan bahwa haji adalah rukun Islam yang kelima. Bahwa maulid Nabi adalah sebagai manifestasi rasa cinta kepada RasululLah saw. Kewajiban haji jelas termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan kewajiban membantu pedidikan tidak disebutkan di dalam keduanya dengan tegas. Keutamaan dan perintah melaksanakan maulid Nabi, meskipun tidak didukung oleh dasar yang kuat, tetapi sangat didudukung dan dianjurkan oleh sebagian besar pemuka agama, sedangkan keutamaan dan perintah memfasilitasi pendidikan murah dan gratis tidak pernah digubris oleh para pemuka agama. Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga. Apa pahala yang kita peroleh untuk membiayai pendidikan? Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka Nabi saw. akan memberinya syafaat pada hari kiamat.* Apa syafaat yang akan diterima oleh mereka yang memperhatikan pendidikan? Bila orang yang mampu tidak mau naik haji, ia akan mati sebagai Nasrani atau Yahudi. Bila orang kaya mengabaikan pendidikan dan kesehatan orang miskin di sekitarnya, ia akan mati baisa saja. Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka ia akan tinggal bersama Nabi saw. di surga.* Apa ada jaminan bagi orang yang memfasilitasi pendidikan dan kesehatan akan tinggal bersama Nabi saw. di surga? Bila orang meneteskan air mata di ‘Arafah, Tuhan akan mengampuni seluruh dosanya. Bila Anda meneteskan air mata di gubuk orang miskin, Anda hanya dianggap sebagai orang yang cengeng saja. Siapa saja yang mendermakan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka seolah-olah ia mendermakan emas sebesar gunung Uhud.* Apa keuntungan bagi wakil rakyat yang memberi perhatian kepada otak-otak cerdas yang disia-siakan karena tidak sanggup membiayai pendidikan yang semakin melangit? Apa balasan bagi kepala daerah yang menjalankan program pendidikan dan kesehatan gratis?

Saya ingin menjelaskan semuanya kepada Yanson. Tetapi, saya segera sadar. Semua argumentasi itu lahir karena saya rasa ia menyerang cara beragama saya. Ia menggugat pemahaman dan pemaknaan saya terhadap syariat Islam. Ia bahkan memukul hati nurani saya. Jauh di dalam lubuk hati, saya mulai bertanya-tanya juga, layakkah kita menghabiskan dana begitu besar untuk kepuasan spiritual yang sifatnya individual bahkan seremonial? Tetapi, bila kita meninggalkan ibadah haji, tidakkah kita mengabaikan salah satu tonggak penting ajaran Islam? Bila kita tidak melaksanakan maulid Nabi, tidakkah kita akan dikucilkan di tengah masyarakat karena dianggap tidak mencintai dan menghidupkan sunnah Nabi saw.? Yang paling baik tentu saja haji dan menghidupkan sunnah Nabi saw. sekaligus juga menolong fakir-miskin. Yang begini ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Kenyatannya, karena dana terbatas, kita harus memilih salah satu. Yang kita pilih, tentu saja haji dan maulid Nabi.

Mengapa? Argumentasi yang sama berulang. Haji jelas termaktub dalam nash. Maulid sangat dianjurkan dan didukung oleh mayoritas pemuka agama, habib, bahkan pemerintah. Apakah membantu pendidikan tidak ada dalam nash? Mungkinkah Tuhan yang mengatur kaki mana yang pertama kali masuk ke toilet mengabaikan persoalan pendidikan masyarakat? Mungkinkah Nabi saw. yang mengatur batas celana agar jangan sampai menutup mata kaki (isbal) mengenyampingkan masalah pendidikan dan kesehatan umat? Soal “kaki mana yang dipilih” hampir tidak mempengaruhi kejayaan masa depan umat Islam. Kepedulian tentang pendidikan jelas menentukan masa depan umat. Masalah “batas kain celana” hampir tidak berimplikasi terhadap kemajuan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi masyarakat Islam. Keberpihakan pada pendidikan dan kesehatan jelas membawa dampak positif bagi kualitas dan sumberdaya umat Islam di kancah peradaban.

Saya tersemplak. Saya telah terjerembab pada ritualisme. Ada dua pokok ritualisme, kata Jalaluddin Rakhmat dalam Reformasi Sufistik. Pertama, keterikatan pada makna yang tersurat dari teks-teks keagamaan. Bila tidak tercantum tegas dalam nash, kita mengabaikannya. Kedua, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan dengan setia, tetapi lupa pada tujuan ritus-ritus itu. Kita sibuk memperhatikan letak tangan dalam berdiri shalat, namun lupa akan implikasi shalat kita dalam kehidupan sehari-sehari. Kita hapalkan betul ucapan takbir, tetapi mengabaikan esensi takbir: mengecilkan diri kita dan hanya membesarkan Tuhan semata. Kita sibuk mengatur jadwal dan bentuk dalam pelaksanaan maulid, namun lupa akan isensi maulid: demi terlahirnya suatu kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian Rasulullah saw. Kita hapalkan betul shalawat, syair dan puji-pujian kepada Nabi saw. dalam semua kitab maulid, tetapi acuh dari makna dan subtansi shalawat dan pujian terhadap Nabi saw.: menemukan dan mengaktualisasikan fungsi primer maupun pragmatis dalam pengembangan dakwah Islam yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi dan masyarakat untuk senantiasa menghidupkan sunnah Nabi saw.

Keduanya bisa saling berkaitan. Karena kita memusatkan perhatian hanya pada bunyi teks, kita melupakan konteks. Karena kita tertarik hanya pada segi-segi ritual, kita mengabaikan teks yang merujuk kepada hal-hal yang esensial. Kita hapal betul ucapan RasululLah saw. bahwa haji mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga. Tetapi kita abaikan penjelasan Nabi saw. sesudah itu; bahwa di antara tanda-tanda haji mabrur adalah, “Berbicara yang bagus dan membagikan makanan.” Kita hapal betul hadits RasululLah saw. bahwa siapa yang mencintai Nabi saw. akan bersama beliau di dalam surga. Tetapi kita lupakan penjelesan beliau sebelum itu; bahwa salah satu indikasi cinta kepada Nabi saw. adalah, “menghidupkan sunnah-sunnah beliau.” Ketika berbagai cara haji disampaian kepadanya, Nabi saw. bersabda, “Boleh, tidak apa-apa.” Beliau tidak mempersoalkan ritus-ritus itu. Ketika para sahabat memperselisihkan prosedur haji, ayat al-Qur'an turun: “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS 2:197). Ketika sudah ada tuntunan yang jelas tentang bagaimana bentuk dan tata cara bershalawat yang benar menurut hadits Nabi saw., kita sibuk mencari, membuat, menggubah, memodifikasi dan merenovasi berbagai bentuk dan cara bershalawat. “Bila kalian kerjakan suatu amalan dalam agama yang datangnya bukan dari kami, maka amalan tesebut akan tertolak.” (HR. Muslim).

Jangan sekali-kali diartikan bahwa ritus-ritus itu tidak penting. Ia tetap harus dilakukan. Ritualisme keliru karena berhenti pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.

Orientasi ritualisme Islam tidak cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual, upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari Islam yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. Dengan kalimat-kalimat tersebut saya mau mengatakan bahwa dalam ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Orang harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman.

Jika dimaknai secara lebih radikal lagi, ritualisme juga berarti kemampuan untuk memahami esensi dan semangat Islam melampaui ketentuan-ketentuan yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci atau bahkan ucapan-ucapan Nabi sendiri. “Menjadi Islam” tidak cukup sekadar mengikuti secara benar dan literal semua yang tertulis dalam agama, tetapi juga menembus tulisan dan huruf-huruf dalam ajaran agama itu hingga ke inti. Menjadi Islam adalah seperti yang diformulasikan dalam ayat ketiga surah Al-Baqarah: “Alladzina yu’minuna bil ghaibi”, orang-orang beriman adalah mereka yang percaya pada esensi sesuatu yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Orang beriman tidaklah memadai imannya jika masih terkungkung oleh huruf-huruf ajaran, tetapi harus menembus ke inti ajaran agama itu sendiri.

Lebih jauh, saya mau dengan sedikit “nakal” mempersoalkan duduk perkara ibadah kita selama ini: bahwa sebenarnya, diam-daim, tanpa kita sadari, kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Kegiatan masyarakat Islam yang begitu tinggi dalam menjalankan ritual agama, membuat kita berkesimpulan bahwa umat Islam adalah umat yang taat dan saleh. Hal itu sudah tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi apa yang ada di balik teater itu? Apakah subtansi yang ada di baliknya? Apakah kesalehan teatrikal yang penuh dengan kegairahan dan kekhusukan ini menandakan akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial kita?

Saya ragu, bahwa di balik pertunjukkan ibadah yang kolosal ini, ada suatu “magma” sosial yang akan mengubah struktur masyarakat agar mendekati cita sosial yang dikehedaki oleh Islam. Kecenderungan yang makin kuat saat ini dipandang sebagai “inti” agama yang harus diperjuangkan habis-habisan. Kesan yang tampil ke permukaan: seolah-olah kalau umat Islam taat beribadah secara ritual, maka seluruh masalah yang menghimpit mereka dengan sendirinya, sekali lagi “dengan sendirinya”, hilang begitu saja. Wa law amana ahlul qura wattaqaw lafatahna ‘alaihim barakatin minas sama’i wal ardl, sekiaranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, maka Aku akan bukakan tingkap-tingkap dan hamparan bumi, sehingga berkahKu mengucur deras. “Iman” di sana kerap kali dimaknai sebagai pelaksanaan ritual dalam bentuk-bentuknya yang teatrikal: shalat, haji, puasa, zakat, gamis, jilbab, surban, jenggot, isbal, rukyah, maulid, haul, dan seterusnya.

Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.

Di manakah pangkal kekalutan yang memalukan ini?

Dalam konteks ini saya mengamini diagnosa Abdalla. Menurut Abdalla, ini bersumber dari cara pengajaran agama yang hanya menekankan sikap “taatilah dan jalankanlah aturan agama, jangan rewel, jangan tanya, nanti Tuhan marah.” Agama diajarkan sebagai komando dan khotbah moral yang berbusa-busa, kadang diselingi retorika kebencian yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan. Umat dipandang oleh para pemuka agama sebagai kerbau yang tercocok hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik, mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul kafirun, kata sebuah ayat yang suka disemburkan oleh para pemuka agama itu; barangsiapa yang tak mau berhukum kepada hukum AlLah, maka ia adalah kafir. Umat tidak layak untuk diajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis mengenai agama dianggap sebagai “cabaran” (penodaan) atas agama.

Diagnosa lain, masih menurut Abdalla, agama diajarkan semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering diabaikan, sehingga akhirnya agama kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang atau perda?

Ini semua berujung pada satu titik: agama berhenti sebagai teater yang tidak mempengaruhi kehidupan secara luas. Puasa, shalat, zakat, haji, maulid, dan ritualitas kita, rupanya, telah terjerambab ke dalam liang ini. Dari waktu ke waktu ibadah kita dipertunjukkan sebagai teater kolosal, tetapi setelah pertunjukkan itu “the and”, keadaan kembali kepada situasi semula: ketidak-adilan masih merajalela di mana-mana, penjajahan dan penindasan (baik secara moral, spiritual dan sosial) terus mengudapaksa, dan korupsi meruyak seperti virus ganas yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh masyarakat.

Masihkan kita ingin meneruskan karnaval dangkal ini?

Berkenaan dengan ritualisme inilah RasululLah saw. bersabda, “Akan datang kepada manusia, satu zaman, ketika tuhan-tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka seks, agama mereka uang, kemuliaan mereka pada kekayaan. Tidak tersisa dari iman, kecuali namanya; tidak tersisa dari Islam, kecuali upacaranya; tak tersisa dari al-Qur'an, kecuali pelajarannya. Masjid-masjid mereka ramai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Mereka tidak mengenal ulama, kecuali dari pakaian keulamaannya yang mewah. Mereka tidak mengenal al-Qur'an, kecuali dari suara bacaannya yang (di)bagus(-baguskan). Mereka duduk rapat di masjid, tetapi zikirnya dunia dan kecintaannya dunia.” (Jami’ al-Akhbar).

Yanson benar ketika ia mengkritik ritualisme. Tetapi ia keliru ketika bertekad untuk tidak naik haji karena melihat orang yang mengabaikan pendidikan. Ia bergabung dengan sebagian orang yang meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahir. Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini pulalah yang menyebabkan orang sampai batamat sambahiyang. Mereka mengatakan bahwa ritus-ritus itu hanya wahana saja untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Ketika mereka menyatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim itu, dalam tasawuf, disebut ‘ujb (merasa kagum dengan diri sendiri). Iblis jatuh karena itu.

Ritualisme sama ekstremnya dengan subtansialisme. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagaimana AlLah (Dialah Yang Lahir dan Yang Batin – QS 57:3), seorang Muslim menjalankan dimensi keberagamaan yang lahir dan yang batin sekaligus. 


*) teks-teks tersebut oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hadits dan digunakan dasar pelaksanaan maulid Nabi. Otentisitas teks-teks tersebut tidak memenuhi standar baku sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Dengan demikian, teks-teks tersebut termasuk dalam hadits maudhu atau palsu!

Maulid Nabi, Antara Inovasi Terlarang dan Kemubajiran Kultural



Oleh: Aliman Syahrani

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin). Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!


MENENGOK fakta aktual saban kali tibanya bulan Rabiul ‘Awal, khususnya berkenaan dengan tradisi Maulid Nabi, wajarlah kita merasa khawatir. Gegap gempitanya acara, variatifnya model prosesi, justru lebih sering membingungkan. Sebagai contoh, di beberapa tempat di negeri ini, khususnya di Kalimantan Selatan, kita melihat perayaannya banyak yang hanya sebatas “memperingati”, belum sampai pada livel meneladani.

Sering kita lihat pada acara Maulid Nabi yang berlangsung hanya seremoni tahunan, kenduri, tahlilan, pembacaan Sirah Nabi, atau ceramah agama yang cenderung besar-besaran yang tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Acaranya begitu spontan, seketika dan instan. Tapi, sesudah itu apa? Tanpa kesan dan pesan; tidak terlahir adanya kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian RasululLah SAW. Yang terlihat justru terjadinya kompetesi paduan suara di antara qori pelantun syair-syair Barzanji atau Habsyi dan sejenisnya atau bahkan adu gengsi dengan pamer kekayaan bagi si pelaksana kegiatan.

Sebagai contoh “kecil” dapat kita saksikan pada saat undangan menikmati hidangan yang disuguhkan di akhir acara. Banyak kita lihat dari para undangan tersebut yang memegang gelas dengan TANGAN KIRI ketika minum, dengan alasan karena tangan kanan belepotan dengan noda sisa makanan. Mereka lebih rela mengotori sunnah daripada menodai cangkir! Padahal katanya sedang melaksanakan acara yang berorientasi pada penghidupan dan pengamalan sunnah Nabi SAW.! Belum lagi dari waktu acara yang malah sering baru berakhir setelah melewati waktu shalat fardhu. Padahal, menurut Nabi, salah satu ibadah yang paling afdhal adalah shalat di awal waktu! Atau bahkan bagi para ibu-ibu yang biasanya karena kelewat sibuk mempersiapkan breakfast hingga lunch buat para deklamator Barzanzi, vokalis-vokalis Habsy – dan kru-kru terbanger serta fans berat pagelaran Maulidmania lainnya – hingga lalai melaksanakan kewajiban shalat. Lantas, di manakah titik temu “menghidupkan sunnah” yang dimaksud dalam kegiatan tersebut?

Di sisi lain, ada group-group para roker Barzanzi dan vokalis-vokalis Habsy tadi yang justru memasang “tiket” dengan tarif bersaing untuk order “show” mereka. Bahkan ketika bulan Maulid tiba, tidak sedikit group-group Habsy atau Barzanji dengan roker-roker dan vokalis-vokalis barunya bermunculan meramaikan belantika per-Maulid-an dengan profit bisnis! Momentum Maulid Nabi telah dijadikan ajang komersial demi kepentingan fulus! Terjadi pergeseran basis perekonomian umat ke abad multi livel marketing paling spektakuler. Umat telah terbuai dalam suatu gebyar kompetesi niaga, bahkan atas nama agama! Na’udzubillah!

Kalau tengarai ini benar, sulit bagi kita menemukan relevansi antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Maulid Nabi itu sendiri. Masih untung kalau peringatan Maulid Nabi itu tidak dicampur dengan kegiatan-kegiatan berbau bid’ah, khurafat dan syirik. Lebih sulit lagi, menemukan apa fungsi pragmatisnya dalam pengembangan dakwah yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi. Karena di beberapa tempat, sebut saja di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, peringatan Maulid Nabi sering “dibumbui” ketiga penyakit tauhid tadi. Kalau demikian, Maulid Nabi sebagai monomental terhadap keagungan ajaran RasululLah SAW. telah dikotori dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntunan dan ajarannya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Ironis!

Di sisi lain, ada pihak yang “menggugat” kontinyuitas tradisi Maulid Nabi tersebut dengan argumen tidak “nyunah”. Karena tidak “nyunah” berarti inovasi terlarang (bid’ah) dan untuk itu wajib dieliminasi. (Barangkali pengertian tidak “nyunah” di sini adalah tidak tercantum perintahnya dalam teks-teks hadits Nabi SAW.).

Akar Historis

Barangkali yang lebih tepat dan realistis, adalah dengan mengarahkan tradisi peringatan Maulid Nabi seperti sekarang ke arah yang lebih proporsional. Langkah pertama adalah dengan mengembalikan tradisi perayaan Maulid Nabi tersebut kepada akar historisnya. Tentu dengan begitu akan lebih jelas bagi kita mengapa dan bagaimananya, apa sebab dan esensinya.

Sebagaimana termaktub dalam I’anut Thalibin (Syarah Fathul Mu’in), perayaan Maulid Nabi mula- mula dilaksanakan oleh Mudzaffar bin Abu Said, Penguasa di negeri Irbil (daerah Irak sekarang) pada kurang lebih abad ke-IV Hijriyah. Khalifah Mudzaffar dengan dilandasi motivasi meningkatkan ketahanan umat atau rakyatnya guna menghadapi ekspansi Jenghis Khan, mencari langkah-langkah yang tepat. Hal itu ternyata terealisasi dengan mengadakan sayembara penulisan Sirah Nabi yang menghabiskan biaya lumayan besar. Upaya tersebut, ternyata sangat efektif. Semangat juang yang tinggi dari para prajurit dan rakyat yang dijiwai semangat jihad RasululLah SAW. sanggup mengeliminasi ekspansi Jenghis Khan.

Dikaitkan dengan kondisi kekinian, kiranya makna kontekstual langkah-langkah Khalifah Mudzaffar tersebut masih relevan. Kalau dulu Jenghis Khan dan pasukannya berhasil mengeliminasi warisan intelektual Muslim yang sangat berharga, saat ini eksponsor abad 21 berbuat lebih dari itu. Perkembangan Iptek dan derasnya arus modernisasi globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi di berbagai lapangan kehidupan, di samping banyak membawa hal positif, tidak sedikit pula menyisakan hal-hal negatif sebagai implikasinya. Kita melihat banyak manusia terlena ke arah pola hidup nikmat sesaat, materialisme, hedonisme, individualisme, tampulisme dan seabrek “isme-isme” lainnya yang semakin menjamur di tengah-tengah kita.

Penetrasi peradaban semacam ini, sedikit demi sedikit namun dahsyat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan yang mapan. Akibatnya, umat hanya sempat menapaki laku Islam dalam seremoni religi belaka, dalam kaitannya dengan upacara-upacara untuk Tuhan dalam rangka merebut kapling di sorga. Sedang dalam kaitannya dengan masyarakat dunia, ia menapaki laku sebaliknya. Ia menjadi seorang hipokrit dengan kepribadian pecah. Ia memproklamirkan diri sebagai pemeluk Islam namun tak mampu mengejawantahkan konsep Islam itu sendiri yang menjadi landasan hidupnya. Ia terperangkap di tengah kesenjangan antara nilai-nilai religi yang berkembang bagai siput dengan nilai-nilai profan yang bergerak cepat bagai kilat.

Belum lagi, bagaimana nasib saudara-saudara kita di belahan dunia lainnya yang hak-haknya diperkosa sedemikian rupa oleh agresor-agresor kafir Barat macam Bosnia, Checnya, Kosovo, Somalia, Palestina, Afghanisthan, Thaliban, Irak, atau warga Muslim minoritas di kepulauan Mindanau, Filipina dan di Tanah Air sendiri (baca: Ambon, Maluku, Aceh, Sambas dan lain-lain) maupun pelosok lainnya, terkoyak-koyak oleh kebiadaban yang berkepanjangan.

Inovasi Terlarang

Kurang bijaksana memang dengan mengklaim perayaan Maulid Nabi sebagai sesuatu yang mutlak “salah”. Tetapi sulit bagi kita mencari relevansinya jika model perayaan Maulid Nabi seperti yang diaktualisasikan sekarang harus dikaitkan dengan problematika umat dalam kondisi kekinian, apalagi kalau harus dikatakan sebagai suatu refleksi ibadah, jauh panggang dari api! Hal itu jelas merupakan suatu inovasi terlarang (bid’ah)! Karena berdasarkan fakta historis, Maulid Nabi baru dilaksanakan sekitar 400 tahun setelah wafatnya baginda Nabi SAW., yaitu pada sekitar abad ke-IV Hijriah seperti disinggung di awal tulisan ini.

Dengan argumentasi fakta historis semacam itu, maka tereliminisilah segala dalil, dasar, dan nash yang selama ini dijadikan justifikasi bahwa Maulid Nabi merupakan suatu refleksi ibadah yang datangnya dari Nabi SAW., baik itu yang dikalim sebagai hadits, atsar maupun fatwa ulama sebagai bagian landasan obyektif ibadah dalam Islam.

Sejatinya, Maulid Nabi perlu kita gaungkan sebagai genta yang menyadarkan dan membangunkan manusia agar kembali ke khittah penciptaannya – sebagai Khalifatullah fil Ardhi. Sebagai makhluk yang bertanggungjawab bagi estafetisasi tegaknya ajaran Rasululah SAW. di muka bumi.

Bagaimana caranya? Sederhana saja. Tidak perlu besar-besaran. Tidak perlu kendurenan akbar dengan biaya wah, mewah dan “ah”. Apalagi dengan cara-cara yang berbau maksiat, bid’ah, khurafat dan syirik. Cukup dengan kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya, menyumbang untuk pembangunan masjid, majlis ta’lim, balai pengobatan, panti, rumah sakit, madrasah dan fasilitas umat lainnya yang realitasnya masih banyak ditemui belum meratanya fasilitas atau sarana dan prasarana tersebut, terutama di daerah kawasan Timur dari negeri ini.

Kemubajiran Kultural

Kalau mau mengkalkulasi, dana yang dihabiskan dalam setiap pelaksanaan acara Mualid Nabi oleh masyarakat kita, di tempat tinggal penulis di Hulu Sungai Selatan (HSS) saja misalnya, jumlahnya sungguh spektakuler; mencapai dibet milyaran rupiah lebih setiap tahunnya!

Data tersebut sangat rasional sekali bila kita mengobservasi realitas yang terjadi di lapangan. Dalam sebuah kampung di kabupaten HSS yang melaksanakan acara Maulid Nabi setiap tahunnya biasanya tidak kurang dari 10 buah rumah (Kepala Keluarga) sebagai penyelenggara kegiatan, baik dengan dana yang dikeluarkan secara pribadi, patungan atau yang dikelola dengan sistem arisan keluarga, atau dengan pengelolaan-pengelolaan lainnya. Setiap satu orang penyelenggara dapat menggelontorkan dana sebanyak 2 juta rupiah lebih yang bila dikalikan dengan jumlah seluruh penyelenggara dalam satu kampung yaitu 10 orang, maka akan menghabiskan dana yang cukup besar yaitu 20 juta rupiah! Padahal, hampir seluruh kampung dan desa di pelosok kabupaten HSS tidak mau ketinggalan dalam perhelatan akbar Maulid Nabi. Bahkan acaranya kadang dilaksanakan tidak hanya pada setiap siang hari di bulan Rabi’ul Awal saja, tapi juga dilaksanakan pada malam harinya karena kada mayu ari. Prosentasi masyarakat yang melaksanakan perayaan tradisi Maulid Nabi ini pun terus membengkak dalam setiap tahunnya. Hal ini belum lagi kalau dihitung secara regional Kalimantan Selatan atau bahkan nasional. Bukankah hal ini merupakan sebuah “kemubaziran kultural” yang perlu dieliminasi (untuk tidak menyebut “diharamkan!”).

Dana yang dihabiskan secara spektakuler itu jika dikelola secara lebih arif dan dipergunakan secara proporsional dan bijaksana maka mungkin tidak akan kita temukan lagi bangunan masjid dan langgar yang terbengkalai, pendirian madrasah yang tidak juga selesai-selesai, gedung panti yang merana karena terus kekurangan dana, dan berbagai fasilitas umat lainnya.

Secara lebih konkrit, jika saja misalnya masyarakat di HSS tidak melaksanakan model prosesi Maulid Nabi seperti yang dilakukan selama ini dalam satu tahun saja, sekali lagi, satu tahun saja, kemudian dananya dialokasikan untuk pembangunan masjid Taqwa Kandangan atau pesantren Baladul Amin yang saat ini tengah dilangsungkan, maka dana tersebut akan lebih dari cukup. Dengan arti lain, pembangunan masjid Taqwa Kandangan dan pesantren Baladul Amin tersebut tidak memerlukan injeksi dari dana APBD seperti yang dilakukan oleh Pemkab HSS saat ini. Bukankah dana APBD tersebut hak rakyat HSS yang tidak semuanya muslim? Yang sejatinya dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan satu golongan atau kelompok apalagi ambisi individu tententu?

Dengan kearifan semacam itu, kita tidak lagi harus menadahkan “kotak amal” dan bapintaan di jalan-jalan, menjajakan amplop-amplop sumbangan, “memasang” celengan di warung-warung, toko, perkantoran dan lain-lian tempat untuk menggalang dana guna pengadaan fasilitas umat tersebut, yang sesungguhnya cara-cara itu membuat nurani kita tersayat karena merendahkan muru’ah (citra) keislaman kita sendiri, karena memang Islam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi pengemis. Bukankah RasululLah SAW. dengan tegas mewantikan, bahwa “bagi orang-orang yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Modifikasi Efektif

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin) macam para pengungsi di berbagai daerah di Tanah Air yang sekarang tak punya tempat lagi buat melabuh selapik harapan atau sekadar menambatkan serumpun cita-cita dan sejumput masa depan, yang bersembunyi di balik kepahitan derita dan linangan air mata berkarat. Pun bagi para korban berbagai bencana alam, serta beragam tragedi yang menimpa saudara seiman yang akhir-akhir ini tengah mengalami berbagai penderitaan akibat kerusuhan, konflik, teror, perang dan intimidasi.

Banyak lagi cara-cara yang lebih sederhana dan efektif yang orientasinya untuk menghidupkan ajaran-ajaran RasululLah SAW. Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!

Secara lebih konkrit, alangkah baiknya lembaga-lembaga yang punya kewenangan, yang mampu menggalang dan mengendalikan massa, apakah itu NU, Muhammadiyah, MUI, DDII, ICMI, Depag atau yang semacamnya mulai menggalakkan tradisi-tradisi yang lebih berbobot dan punya arti pragmatis (karena selama ini lembaga-lembaga tersebut, kecuali Muhammadiyah, justru terlihat lebih menyemarakkan peringatan Maulid Nabi dengan berbagai macam bentuk dan pariasi yang kurang memiliki muatan nilai konstruktif). Kita bisa mengadopsi langkah-langkah Khalifah Mudzaffar atau memodifikasinya.

Kecuali kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas, kita bisa juga menyelenggarakan lomba penulisan epos, penerbitan buletin, naskah drama ataupun karya tulis ilmiah lainnya yang mengandung muatan teladan RasululLah SAW. Kita barangkali juga bisa mengeliminasi tradisi kompetesi pagelaran “show”-nya roker-roker Barzanji atau vokalis-vokalis Habsyi yang nampak sakral dan syahdu – juga tidak jarang “melengking” – namun tak dimengerti itu, dengan pementasan-pementasan teater misalnya, yang lebih mudah dicerna masyarakat awam.

Dengan begitu, kita telah menghidupkan dan mengagungkan sunnah Nabi SAW.

Insya-AlLah! 