Friday, January 30, 2009

Fikih, Syari'at dan Partai Islam

Oleh Aliman Syahrani


Jika Islam dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 M, lalu dijadikan sebagai ‘prasasti’ sejarah yang tidak boleh disentuh tangan peradaban, itu bukan agama saya!


GARA-gara umat Islam begitu obsesif menanyakan hukum segala hal, akibatnya fiqh menjadi membengkak, perintah-perintah dan larangan-larangan agama menjadi mekar begitu luas, dalil-dalil hukum juga menjadi menggelembung begitu banyak. Teks-teks Islam yang semula hanyalah menyangkut kasus-kasus spesifik yang ada pada zaman Nabi – yang belum pasti relevan untuk zaman berikutnya – yang semula merupakan teks-teks partikular menjadi universal. Dan tiba-tiba "berislam" sama saja dengan "berfiqih". Apa yang sudah ditetapkan oleh fikih tidak boleh lagi diganggu gugat; sudah dianggap sebagai “blue print” atau cetak biru syari’at Islam yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Jamal Al Banna, adik kandung Hasan Al Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, menyebut bahwa tampaknya fiqih pelan-pelan sudah menjadi "agama tersendiri".

Itu jelas tidak benar. Fikih sebagai salah satu yurispudensi hukum dalam Islam niscaya akan selalu mengalami perkembangan, bahkan perubahan. Sebab, fikih lahir sebagai “buah pemikiran” sang mujtahid/ulama Islam dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, fikih selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran (syari’at) Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya.

Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” (dengan atau tanpa tanda petik) umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik.

Selanjutnya, sebagian besar masyarakat Muslim bahkan ada yang menyenadakan fikih dengan syari’at Islam. Melaksanakan fiqih berarti menegakkan syari’at Islam. Karena, dalam anggapan mereka, syariat Islam adalah Islam itu sendiri. Perlu diketahui, Manoucher Paydar, dalam salah satu bukunya, Legitimasi Negara Islam, menyatakan bahwa syariat Islam sebagaimana kita ketahui sekarang adalah kumpulan-kumpulan dari pendapat, opini, interpretasi, bahkan inovasi-inovasi yang diwariskan para fuqaha terkemuka abad ke-5 setelah Rasulullah saw wafat. Dengan kata lain, syariat Islam tidak dapat dianggap sepenuhnya merupakan ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi umat.

Fakta ini perlu digarisbawahi untuk menjawab sinisme kaum agama, terutama yang biasanya memandang rendah potensi akal manusia.

Parahnya lagi, seringkali kaum literalis atau mereka yang mengaku “pengikut generasi awal” (saya agak takut menyebut fundamentalis), memperlakukan syariat Islam sebagai solusi final dalam menghadapi kondisi kekinian. Cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir yang menganggap enteng setiap permasalahan. Seolah syariat Islam – yang notabene merupakan produk pemikiran abad pertengahan – dapat selalu menjawab kompleksitas permasalahan yang dihadapi umat sekarang. Tentu hal ini sangat naif.

Dengan sendirinya, kehadiran partai-partai Islam saat ini (yang ikut pemilu atau tidak, semacam HTI?) patut dipertanyakan. Alih-alih sebuah tuntunan Islam, model yang mereka pakai merupakan model yang sedikitnya diadopsi dari pemikiran Barat (nah, lho, makanya kita jangan “alergi” berhadapan dengan segala sesuatu yang berbau Barat, apalagi dilawan [jika benar “Barat” memang harus dilawan]. Sejatinya, Barat – dalam banyak hal – lebih tepat dianggap sebagai “sparring fartner” bahkan guru untuk belajar). Jadi, apa sih yang hendak diperjuangkan lewat partai? Melaksanakan hukum fiqih untuk menegakkan syari’at Islam? Atau menegakkan syariat Islam demi menyelamatkan agama? Sepertinya terlalu arogan kalau kita berpikir demikian, karena bukankah kedatangan agama justru untuk menyelamatkan umat manusia?

Karenanya, ide mengenai negara agama harus didiskusikan lebih jauh. Kalau umat Islam mau mengatur hidup mereka berdasarkan agama, itu hak mereka sendiri, tetapi tidak serta-merta meminta negara mengatur itu karena negara merupakan lembaga milik publik. Jadi, kalau agama mau mengatur kehidupan publik, harus dibicarakan dulu oleh publik. Karena, spirit dasar agama adalah sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang atau bahkan negara?

Posisi saya, dalam hal ini mungkin adalah seorang liberal. Ya, katakanlah begitu. Karena menurut sementara pendapat saya, “Jika Islam dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 M, lalu dijadikan sebagai ‘prasasti’ sejarah yang tidak boleh disentuh tangan peradaban, itu bukan agama saya!”

Hal-hal seperti ini, sekali lagi, mesti terus kita diskusikan lebih intens, mengkaji dengan kritis, mendialogkan secara sehat dan berkeadilan. Sayangnya, tidak semua orang mau diajak diskusi secara kritis. Sekarang, kalau kita mendiskusikan masalah-masalah itu secara kritis, lantas dianggap menghina syariat, menghina agama, bahkan melecehkan Tuhan!

AlLahu’alam bish-shawab.

Friday, January 23, 2009

B O S S


Oleh Aliman Syahrani

MENJELANG
ujian akhir, seorang calon sarjana demikian tekun belajar. Temannya adalah buku, kamarnya adalah perpustakaan. Segala bentuk hoby dan kesenangan ia eliminasi. Semua daya dan upaya dicurahkan pada satu fokus: lulus ujian. Dan untuk mencapai tujuan itu upaya batiniah pun dilakukan dengan intensitas tinggi. Si calon sarjana senantiasa melaksanakan puasa-puasa sunnat, mengerjakan shalat malam, dan setiap saat berdo’a; memohon kekuatan dan petunjuk agar ujian akhir yang akan dihadapinya bisa ditempuh dengan baik.

“Alhamdulillah, segala puji hanya milik AlLah yang telah berkenan mengabulkan do’aku,” demikian ungkapan rasa syukur si (calon) sarjana setelah terbukti lulus ujian. Terasa olehnya betapa AlLah Mahaadil, Mahabijak dan Mahakasih. AlLah telah mendengarkan do’anya dan memberikan apa yang diinginkannya.

Dengan modal ijazah dan gelar yang baru diperolehnya, si sarjana mulai “menjajakan diri” dengan mengetuk kantor ini, kantor itu, baik swasta maupun negeri, untuk mendapatkan pekerjaan. Sudah berapa banyak pintu kantor yang diketuknya dengan penuh harapan. Namun ikhtiar yang dilakukannya tanpa kenal lelah dan diiringi dengan do’a itu belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Dia mulai lelah dan frustrasi. Bahkan dia mulai merasa do’anya tak berguna, nonsense. Lalu sampailah dia pada satu kesimpulan bahwa segala puasa sunat, duduk bertafakkur dan bangun di tengah malam yang sepi untuk shalat tahajud sambil mendaraskan untaian do’a adalah sia-sia belaka.

Kini si sarjana lebih banyak tinggal di rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merenung. Dalam hatinya masih tersisa angan-angan muluk, angan-angan yang telah berubah menjadi azam, renjana, bahkan nafsu, untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkan sesuai dengan taraf pendidikannya. Apabila hal itu terkabul maka sudah terbayang pula olehnya kehidupan yang serba “wah”, mewah dan “ah”, dan itulah sebenarnya keinginan yang sudah lama terperam di dasar hatinya.

Karena keinginan kuat yang sudah berubah menjadi nafsu itu tanpa sadar si sarjana telah mendiktekan kemauannya kepada AlLah. Seolah-olah dia menjadi boss yang merasa berhak dilayani oleh pembantunya. Padahal dalam kenyataannya dia hanyalah seorang hamba dan AlLah adalah “Boos” segala boss (Qs 20:144).

Tanpa disadarinya si sarjana sebenarnya telah berbuat dzalim kepada Zat yang siapa dan apa saja bergantung. Ia tak menyadari bahwa AlLah Mahatahu akan apa yang terbaik bagi hambaNya sehingga AlLah tak perlu didikte. AlLah tidak harus mengabulkan semua permintaan hambaNya karena Dia Mahakuasa. AlLah tidak punya kewajiban apa pun kepada hambaNya. Sebaliknya, manusialah yang mempunyai banyak kewajiban kepadaNya. Manusia wajib menjauhi cegahanNya dan wajib melaksanakan instruksiNya. Manusia harus berikhtiar untuk mencapai keinginannya namun kepastian tetap berada di tanganNya. Dan si sarjana tak menyadari bahwa yang termulia bagi manusia adalah berusaha menjadi manusia kesayangan AlLah. Manusia kesayangan AlLah akan memperoleh kebaikan-kebaikan, yang diminta maupun yang tidak diminta. Si sarjana tidak sadar bahwa “lebih berharga untuk menjadi manusia yang manusiawi daripada sekadar menjadi wanita, pun untuk sekadar menjadi seorang lelaki.”

Sayangnya, si sarjana lupa untuk meninjau kembali konsep do’a. Si sarjana memandang do’a sebagai mantera magis untuk mengendalikan alam semesta. Tuhan dilihatnya sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauannya. Do’anya mirip lampu Aladin dan Tuhan menjadi jin. Ketika si sarjana berdo’a, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di hadapannya, “Tuan katakan kehendak Tuan.” Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendaknya, si sarjana marah kepadaNya. Si sarjana kecewa dan ia segera membuang lampu Aladin itu.

“Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan,” kata Imam Ja’far ash-Shadiq, “lihatlah di mana posisi Tuhan di hati Anda.” Alangkah rendahnya Anda di mata Tuhan, bila Anda memperlakukan Dia hanya sebagai jin untuk lampu Aladin Anda. Anda berdalih, do’a adalah ungkapan cinta. Tetapi, Anda hanya berdo’a kepadaNya ketika Anda memerlukanNya. Jadi, Anda mencintaiNya karena Anda memerlukanNya. Erich Fromm menulis, “Immature love says, ‘I love you because I need you.’ Mature love says, ‘I need you because I love You.”

Sekarang, betapa banyak “sarjana-sarjana” yang telah menganggap dan memposisikan dirinya sebagai boss di hadaan Tuhan, dengan berbagai keinginan dan kemauan yang tidak boleh tidak mesti dipenuhiNya, namun mereka tidak menyadari telah terjebak dalam perangkap kedzaliman spektakuler semacam itu. Dari “sarjana-sarjana” itu termasuk yang membaca dan yang membuat tulisan ini!

Thursday, January 15, 2009

Cinta, Wanita dan AlLah


Oleh Aliman Syahrani

WANITA itu tengah berziarah di pusara Rasul. Dengan bibir bergemeletar dia berkata: “Bukannya aku tak mencintaimu, ya Rasul. Tetapi seluruh bilik hati dan jiwaku telah tergadai dan terpenuhi cinta kepada AlLah, sehingga tak ada tempat lagi buat berseminya cintaku padamu.”

Rabiah Al Adawiyah, sang wanita yang suaranya terdengar bergemeletar itu, sedang khusuk menikmati indahnya keimanan dan keimanan yang indah. Level Rabiah adalah level cinta. Tapi ia tidak berhenti pada kata-kata atau zikir yang diam, melainkan “aksi keimanan”-nya berlanjut pada fase kesalehan. Sekilas ia tampak menyepelekan realitas kultural yang demikian kusut dan camuh. Ia memilih aktif mempertahankan dirinya dari godaan materi dan teori.

Alternatif Rabiah untuk terlibat dalam kontemplasi yang berorientasi pada kesalehan semacam itu memang sah. Meski dengan pilihannya itu terbuka peluang yang cukup lebar untuk disembur kritik. Sebab dari kacamata kaum strukturalis tampak jelas, begitu Rabiah mamasuki mihrabnya untuk memuji Sang Kekasih Agung, pada saat itu pula ia lari dari concren sosialnya. Lari dari tanggung jawab sebagai khalifah AlLah yang ditugasi untuk membereskan persoalan bumi. Menegakkan kedaulatan ummat, keadilan ummat, demokrasi ummat, dan tata tertib ummat. Seakan ia mati-rasa terhadap membengkaknya kerakusan, kekerasan dan keserakahan. 

“Semua tindakanku ini bukan suatu hal yang istemewa. Aku hanya ingin menunjukkan kebebasan agama, melalui aspek zuhud demi mencari keridhaan AlLah,” kata Rabiah. Ia mengajak manusia pada hablulLah, yaitu mencintai AlLah tanpa reserve. Kawasan yang dijelajahinya tidak diciutkan oleh batas ruang dan waktu. Ia menembus eksistensi kemanusiannya untuk sampai pada alam keabadian, cakrawala makrifat. Fakta yang ia hadapi bukan lagi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan dalam arti material dan struktural, melainkan kemelaratan, kejahilan, dan penindasan yang bermakna ruhani; krisis iman dan akhlak.

Untuk itukah ia memilih tidak menikah? Di sinilah kewanitaan Rabiah patut dipertanyakan. Ia tak sanggup membagi cinta kepada makhluk. “Aku hanya punya satu cinta dan sudah kugadaikan sepenuhnya kepada AlLah,” tegasnya.

Rabiah memang terasa ganjil. Apalagi di era globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi seperti sekarang ini. Ketika emansipasi wanita telah ditafsirkan selonggar mungkin hingga agama bukan lagi sebagai acuan nilai yang diyakini guna membangun peradaban tauhid. Ketika surplus gincu dan saham kemaksiatan tertanam di sana sini. Ketika bedak dan cermin telah merubah fungsi jadi topeng berbisa. Adakah pilihan Rabiah untuk menyendiri terasa aneh dan kocak?

Mungkin, karena terpenjara oleh hal-hal sensual, material dan visual, kita kehilangan kepekaan pada stimulus ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar jeritan batin kita, apalagi jeritan orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang diungkapkan dalam eufemisme. Sebabnya barangkali karena selama ini agama kita pelajari dan yakini semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering kita abaikan, sehingga akhirnya keberagamaan kita kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. 

Mungkin saja figur Rabiah tidak pas untuk menjadi sosok idola. Ia tak menggelar dan menggelora. Ia tak lantang pidato sambil mengacung-acungkan tangannya. Ia tak galak di mimbar dan tak pernah ikut seminar. Ia tak pernah berdandan menor dan tak selincah peragawati yang melenggang-lenggok sambil mengumbar ‘aurat di catwalk. Ia juga tak pandai menggunting pita seperti ibu-ibu pejabat.

Tapi ia lembut, sopan dan beriman. Ia memilih bergaul dan mengakrabi AlLah tinimbang sibuk memoles bedak di wajah dan memutar-mutar tubuh di depan cermin. Bahkan ia tak kenal apa makna kosmetik dan salon. Ia hanya berdandan buat Sang Kekasih Agung Tercinta.

Wednesday, January 7, 2009

Palestina, Rumit di Sana, Rumit di Sini


Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.

Oleh Aliman Syahrani


TOLONG bacakan Laa ilaha ilalLah AlLahu Akbar + surah Al-Ikhlas 3x untuk keselamatan Masjid Al-Aqsa dan umat Islam yang ada di Palestina yang jam ini sedang dikepung dan diserang Israel dan sekutu Amerika, Zionis dan Kristen yang anti Islam (orang-orang kafir). Sms-kan kepada 10 orang sebagai partisipasi jihad Anda. “Allahu Akbar!”.

Akhir-akhir ini saya banyak menerima layanan pesan pendek (short missage service) itu. Entah dari mana sumbernya sms-sms itu, tapi barangkali erat kaitannya dengan persoalan konflik yang melanda Palestina saat ini. Padahal dari berita-berita media massa saya juga belum mendengar ada pemintaan resmi baik dari pemerintah Palestina maupun dari rakyat Palestina sendiri yang menyatakan bahwa mereka memerlukan ”paket” berupa tahlil, surah al-Qur’an atau pekik takbir dan jihad tersebut. Saya bahkan dengan sedikit nakal menduga, jangan-jangan sms tersebut justru berasal dari salah satu operator jaringan selular di Indonesia untuk tujuan keuntungan finansial.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah hubungan Palestina dengan umat Islam di Indonesia? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dari segi geografis, Indonesia dipisahkan oleh jarak ribuan mil dari tanah yang menjadi kelahiran para nabi itu. Tetapi, dari segi ”ikatan batin”, ada semacam hubungan psikologis yang begitu mendalam antara umat Islam di sini dan kejadian-kejadian yang berlangsung di sana. Setiap masalah Palestina muncul ke permukaan, resonasinya sudah barang pasti akan berimbas ke negeri kita, dalam satu dan lain bentuk.
Menarik untuk dipersolakan: kenapa respon terhadap masalah Palestina hanya datang dari segelintir umat Islam di Indonesia. Jika soal Palestina dipersepsikan oleh umat Islam di sini sebagai masalah antara hak bangsa Palestina yang ”muslim” dan perampasan atas hak tersebut oleh orang Yahudi yang ”nonmuslim”, mengapa hanya satu lapis kecil saja dari umat Islam Indonesia yang bangkit melakukan protes? Jika soalnya adalah antara ”Islam” dan orang kafir (baca: Yahudi, yang disokong negara-negara Barat, yakni Amerika), kenapa tidak seluruh umat Islam ikut terlibat dalam aksi-aksi itu?

Aksi-aksi solidaritas Palestina yang berlangsung akhir-akhir ini di berbagai pelosok Tanahair, khususnya di Jakarta sebenarnya hanya diikuti oleh sebagian kecil dari umat Islam di Indonesia. Bahkan, mereka yang ikut dalam aksi-aksi itu pun tidak bisa menggambarkan seluruh keragaman umat Islam yang ada di Indonesia. Walhasil, mereka ini hanyalah secuil dari seluruh umat Islam yang begitu beragam. Jumlah mereka pun tidak cukup signifikan. Ini menggambarkan bahwa soal Palestina sudah tentu dilihat secara berbeda-beda oleh umat Islam di sini. Soal Palestina, sudah pasti, tidak sekadar dilihat sebagai penghadapan antara ”Islam” dan ”nonIslam”. Jika itu soalnya, akan dengan mudah umat Islam ”dimobilisasi” untuk isu tersebut.

Yang menarik adalah, mereka yang paling bersemangat mengangkat isu Palestina itu bukan dari kelompok Islam ”arus utama”. Terus terang, saya tidak punya data yang cukup untuk mendukung pernyataan ini. Tetapi, sekilas melihat tokoh-tokoh dan massa yang ikut dalam aksi-aksi solidaritas Palestina ini, tampak bahwa mereka bukan dari kelompok umat Islam utama, yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, dan lain-lain. Besar kemungkinan, ada perorangan dari ormas-ormas tersebut yang turut dalam aksi-aksi itu. Tetapi, secara kelembagaan, tidak terdapat suatu tanda bahwa masalah Palestina adalah agenda yang penting buat mereka. Ini bukan saja berlaku sekarang. Tetapi, jika kita menoleh ke periode-periode sebelumnya, soal Palestina bukanlah agenda yang cukup penting buat ormas-ormas besar Islam di Indonesia.

Jika kita telisik lebih dalam, soal Palestina sebagaimana ”dipersepsikan” oleh sebagian umat Islam Indonesia ternyata lebih menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri ketimbang mencerminkan masalah Palestina yang sesungguhnya sebagaimana terjadi di Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem. Boleh jadi sangat sedikit dari para peserta aksi solidaritas itu yang tahu kompleksitas dan keruwetan, baik dalam tubuh bangsa Palestina maupun Israel, serta hubungan antara mereka. Lebih sedikit lagi yang memahami bagaimana proses perdamaian itu sendiri, ketika kepentingan-kepentingan politik para tokoh lebih menonjol ketimbang bangsa yang mereka wakili. Boleh jadi orang-orang Islam di sini memahami kunjungan Ariel Sharon ke Haram El Syarief (lebih tepatnya: El Haram El Syarief, sebagaimana orang Palestina sendiri menyebutnya) beberapa waktu lalu, yang menandai periode baru dalam konflik Arab-Israel, sebagai semata-mata cerminan sikap orang Yahudi konservatif, dan tidak membayangkan bahwa hal itu adalah bagian dari persaingan antara Ariel dan Ehud Barak, rival politiknya.

Soal Palestina biasanya memang menjadi agenda kelompok-kelompok tertentu dalam umat Islam. Jelas sulit untuk menyebutkan kelompok mana, tetapi yang jelas bukan bagian dari ”arus utama” umat Islam. Sebagian ada yang menyebut mereka ini sebagai kelompok Islam ”garis keras” (sekeras apa, juga sulit dijelaskan). Mereka inilah yang biasanya menjadikan isu-isu dalam dunia Islam sebagai salah satu agenda penting. Isu-isu seperti Afghanistan, Bosnia, Chechnya, minoritas Moro, Irak, dan terakhir Palestina biasanya mejadi masalah yang penting buat mereka. Ada kecenderungan, bahkan, bahwa isu-isu itu menjadi semacam ”identitas” yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain dalam umat Islam. Bahkan boleh jadi pula ada dari kelompok aski solidaritas itu yang memanfaatkan momen-momen tersebut untuk kepentingan politis kelompok mereka sendiri. Taruhlah misalnya untuk menarik simpati massa guna mendulang suara pada Pemilu 2009 nanti. Indikasi ini bisa kita kemukakan karena ada saja dari kelompok massa dalam aksi solidaritas itu yang sempat-sempatnya membawa atribut salah satu partai politik. Ibarat pribahasa, ”sambil menyelam minum dukungan”.

Setiap kelompok umat Islam biasanya mempunyai ”wilayah keprihatinan” (are of concern) yang berbeda-beda. Isu mengenai ”pemberdayaan masyarakat sipil”, misalnya, mencirikan satu kelompok tertentu dalam umat, dan hampir mustahil isu ini akan disuarakan oleh kelompok lain. Kelompok-kelompok dalam umat Islam yang lebih tertarik pada isu-isu hak asasi dan pluralisme biasanya kurang suka dengan isu Palestina ini, atau sekurang-kurangnya kurang menganggapnya sebagai agenda yang penting.

Yang juga patut dipersoalkan adalah cara sekelompok umat Islam di sini mempermasalahkan isu Palestina. Apakah masalah Palestina dianggap sebagai melulu soal ”Islam” dan ”Yahudi”/Barat, atau soal ketidakadilan yang bisa berlaku universal? Tampaknya, yang lebih menonjol di Indonesia, masalah Palestina lebih dipersepsikan sebagai masalah ”Islam” versus ”Barat”, yakni masalah ”identitas kultural dan politik”. Sedangkan masalah ketidakadilan kurang diproblematisasi di sana.

Itulah sebabnya pertanyaan patut diajukan kepada kelompok-kelompok umat Islam yang lebih menyukai isu-isu ketidakadilan: kenapa mereka kurang tertarik pada isu Palestina; apakah bedanya ketidakadilan bagi masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, dengan di Palestina, toh ketidakadilan sebagai ”nilai” adalah tembus ruang dan waktu. Tetapi, pertanyaan serupa juga pantas diajukan kepada kelompok-kelompok yang ”asyik” dengan soal Palestina: kenapa mereka hanya membela bangsa Palestina yang diperlakukan tidak adil oleh Israel; kenapa mereka tidak mengajukan protes ketika orang-orang Papua juga diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh pemerintahan pusat. Bahkan, jika soal kesamaan agama menjadi penting di sini, kenapa soal Aceh kurang menempati agenda yang penting dalam ”wilayah keprihatinan” mereka?

Agaknya, Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.

Sebagaimana Palestina ”rumit” di sana, ia juga ”rumit” di sini. ψ

Thursday, January 1, 2009

H a b i b

Gelar Habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah Habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualudan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para Habib, baik dalam kegiatan umum maupun dalam aktivitas politik mereka menegaskan argumen ini.


Oleh Aliman Syahrani

BAGI mereka yang dekat dengan kehidupan pesantren, apalagi yang pernah nyantri, pasti sudah akrab dengan sebutan Habib. Dalam khasanah budaya pesantren, Habib adalah sebagai pribadi dengan performance yang demikian dihargai dan dihormati karena memiliki berbagai kelebihan dan karamah. Biasanya ia adalah anak seorang kiai bisa juga seorang kiai, atau paling tidak termasuk sanak kerabat “orang ‘alim” yang punya garis keturunan langsung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Maka tak aneh jika dalam satu pesantren banyak Habib, karena Habib cenderung suka berkeluarga banyak. Dalih agamisnya, untuk “menyububurkan” keturunan Muhammad. Tapi Habib, tidak semua memang, sering “mucil” dan gendeng, minimal paradoks dengan anak-anak sebayanya.
Kendati demikian, setiap santri tetap inggih dan mentaati. Dalam jingukan saya, setidaknya ada dua motif yang melatari sikap para santri tersebut. Pertama, ketaatan kepada Habib dianggap sama nilainya dengan kepatuhan terhadap guru, kiai, ulama, bahkan Nabi saw. Dan sikap tunduk, patuh dan tawadhu pada Habib tadi diyakini punya pengaruh terhadap keberhasilan seorang santri yang tengah thalabul ilmi.
Kedua, seorang Habib dipercaya bakal jadi manusia cerdik pandai. Ia kelak mewarisi kedudukan ayahnya bahkan datuknya – Muhammad saw. – jadi kiai, tuan guru atau ulama. Mereka takut katulahan (kualat) kalau tidak taat apalagi sampai berani menentang atau menantang Habib. Maka dalam romantika pesantren, termasuk untung bila bisa bergaul seakrab mungkin dengan Habib. Dan itu juga bisa menjadi sebuah kebanggaan bahkan prestasi sekaligus pristise. Inilah yang akhirnya sering menelan korban, santri lupa belajar dan ngaji; mengabaikan waktu sehari-hari lantaran terbuai keyakinan bahwa bergaul dengan Habib ilmu bakal datang sendiri seakan runtuh begitu saja dari langit.
Keyakinan di atas ternyata tidak hanya mengakar di lingkungan pesantren. Dalam masyarakat ternyata juga banyak yang “terjangkit wabah Habib”, lebih-lebih dalam masyarakat dengan pola keberagamaan tradisional. Fakta ini terlihat dengan banyaknya pribadi-pribadi di masyarakat yang mencantumkan identitas Habib di depan namanya layaknya seperti gelar dalam dunia akademis. Predikat Habib di sini barangkali punya kesepadanan nilai tertentu dengan sebutan “Gus” bagi para putra dan kiai di Jawa; “Gusti” bagi para juriat raja-raja Banjar di Kalimantan; atau bahkan “Haji” bagi para alumnus Padang Arafah non-Arab. Meskipun dalam hal-hal tertentu, predikat-predikat tersebut justru kontradiktif dengan dalil syar’i dan fakta historis; di mana RasululLah saw. dan kerabatnya tidak pernah disebut “Habib” dan tidak ada yang bertitel “Haji”.
Bahkan, “wabah” Habib tersebut tidak sedikit pula yang menjangkiti pribadi para politisi dalam format keberpolitikan mereka. Sejumlah politisi kentara sekali menampilkan elitisme politik yang bernuansa primordialistik-relegik dengan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dan figur pemuka agama yang berpredikat Habib. Bahkan lagi, tidak sedikit pula tokoh politik berpredikat Habib yang terjun langsung dalam kancah politik praktis sebagai politisi. Untuk daerah Kalimantan Selatan, nama Aboe Bakar al-Habsyi tentu sudah sangat populer sebagai politisi melebihi predikatnya sebagai pemuka agama atau tokoh masyarakat sebagaimana jamaknya seorang Habib.
Untuk predikat Gus, nama Abdurrahman Wahid tentu sudah sangat menasional baik sebagai politisi maupun agamawan. Untuk predikat Gusti, di tingkat lokal ada nama-nama berikut: Hasan Aman (mantan Gubernur Kalsel) dan Khairul Saleh (Bupati Banjar) yang juga tidak asing lagi bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Ketenaran mereka selaku pejabat dan politisi melebihi kewibawaan keduanya sebagai juriat raja-raja Banjar.
Seperti halnya Abdurrahman Wahib yang lebih adem dipanggil “Gus Dur”, Aboe Bakar al-Habsyi yang menempelkan “Habib” di depan namanya, Hasan Aman dan Khairul Shaleh yang menjiplakan sebutan ”Gusti” beserta nama mereka, semuanya sengaja membiarkan elistisme “Gus”, “Habib” dan ”Gusti” itu sebagai penentu asimetri kedudukan antara mereka dan segenap pejabat rakyat dan aktivis politik lainnya. Ketiganya melancarkan eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkulturnya ke tengah publik hingga ke tingkat nasional.
Gelar Habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah Habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualudan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para Habib, baik dalam kegiatan umum maupun dalam aktivitas politik mereka menegaskan argumen ini. Sebagian Habib memang ada yang menolak di-wali-kan oleh para pemujanya, tapi penolakan tersebut terlampau ringan dan sambil lalu dibandingkan dengan betapa seriusnya retardasi atau keterbelakangan politik yang terkandung dalam pemujaan irasional demikian.
Sampai di sini saya jadi tercenung. Dan tiba-tiba saya teringat dengan akronim seorang kawan dari Alabio tentang Habib. Menurutnya, di Alabio, Habib adalah akronim dari HAyam Banyak Itik Banyak. Bahkan, saya juga sering mendengar istilah Habib diplesetkan menjadi: HAntu BIBi**an! Ufs! 

Doktrin Asabiyah dan Kemandegan Dialog Agama (Di Balik Penyerangan Massa di Sirih)

Oleh Aliman Syahrani

Dialog agama tidak membutuhkan orang-orang yang picik-pikiran dan suka menyesatkan sesama Muslim. Intinya, belum tentu kalau suatu kelompok “merasa paling benar” lantas dengan sendirinya bisa menyudahi dialog dan menuduh kelompok yang lain salah, sesat, bathil, menyelesihi syariat, murtad, kafir, kada sampai, dan seterusnya.
Bagaimana berbeda pendapat dalam dialog agama (bahkan dalam agama itu sendiri), dan tidak dituduh serta dicabar sebagai kafir dan murtad, itulah masalah utama yang menjadi keprihatinan saya – tentunya juga orang-orang lain yang masih meyakini akan manfaat sebuah dialog.

PERISTIWA penyerangan massa di desa Sirih pada tanggal 8 Juni 2000, delapan tahun lalu, masih segar dalam ingatan saya. Dalam insiden itu, tiga warga asal Kandangan mengalami luka-luka, bahkan satu orang sampai kritis hingga harus dirawat beberapa minggu di rumah sakit. Mobil yang digunakan warga asal Kandangan itu juga tak luput dari amukan massa, seluruh bagian mobil mengalami rusak berat. Tragedi itu kemudian menjadi headline sejumlah surat kabar di Kalimantan Selatan. Banjarmasin Post menurunkan berita di bawah judul “Tiga Warga Asal Kandangan Diserang Usai Diskusi” (Jum’at, 9 Juni 200 hal.1). Berita lain dimuat oleh Metro Banjar dan Kalimantan Post. Bahkan, 12 hari setelahnya Borneo Post memuat berita dengan judul yang sedikit nylekit: “Tuan Guru Jadi Provokator” (Kamis, 22 Juni 2000 hal.3).
Penyerangan itu terjadi ketika tiga warga asal Kandangan akan melaksanakan dialog agama dengan seorang tuan guru di desa Sirih. Kedatangan warga asal Kandangan itu sendiri sebenarnya sudah yang ketiga kalinya. Penyerangan itu dipicu oleh isu bahwa kedatangan warga Kandangan tersebut akan melakukan pengeroyokan dan tindakan kekerasan fisik terhadap si tuan guru, bukan untuk melaksanakan dialog. Entah siapa yang menyebarkan isu keliru tersebut. Padahal, selain tiga warga Kandangan dan keluarga tuan guru, tidak ada pihak lain yang mengetahui pelaksanaan dialog tersebut.
Tak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Apakah si tuan guru merasa tidak siap atau tidak sanggup meladeni warga asal Kandangan itu untuk berdialog, atau karena ada faktor-faktor lainnya, tetapi yang pasti pada waktu akan dilaksanakan dialog berikutnya itulah, seperti diberitakan sejumlah media tersebut, si tuang guru ”memprovokasi” warganya bahwa ada orang yang akan mencelakakan dirinya. Warga yang menerima kabar sepihak itu serta-merta bereaksi dengan melakukan pengadangan. Dan, terjadilah peristiwa penyerangan tersebut. Hebatnya, peristiwa anarkis itu tidak pernah diproses secara hukum, padahal tindakan penyerangan itu jelas mengandung unsur kriminal.
Saya sendiri – kecuali turut prihatin – juga cukup bersyukur karena ”tertinggal” dalam kegiatan dialog tersebut. Padahal sejak sehari sebelumnya saya telah menyatakan diri untuk bergabung dalam dialog lanjutan itu. Sampai saat ini, dalam catatan saya peristiwa itu merupakan tragedi terbesar yang pernah terjadi di Hulu Sungai Selatan bahkan di Kalimantan Selatan berkenaan dengan upaya dialog agama.
Peristiwa itu kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemuka agama, ormas Islam bahkan MUI HSS dan Kalsel. Sebabnya tentu sangat sederhana: karena faktor dialog dalam agama acapkali dipahami sebagai ”faktor yang tabu” dalam setiap konflik sosial yang pecah melalui simbol agama. Dialog agama dianggap sebagai ”bumbu penambah” saja dalam pertengkaran itu, sementara ”bumbu utama”nya adalah faktor-faktor ekonomi-politik. Sekiranya soal-soal ekonomi politik itu bisa diselesaikan, begitu diandaikan, maka secara otomatis konflik itu akan selesai, dan faktor dialog agama akan hilang dengan sendirinya. Tampaknya ada semacam keengganan untuk memasuki wilayah dialog dalam agama, karena sifatnya yang sensitif.
Dialog memang sebuah bidang yang belum populer, terutama dalam masyarakat dengan corak keberagamaan yang masih tradisional dan komunal. Salah satu penyebabnya saya pastikan adalah doktrin yang ditanamkan oleh para tokoh dalam satu kelompok agama bahwa orang lain di luar kelompok mereka adalah salah, sesat, bathil, menyelisihi syariat, “murtad” bahkan “kafir”. Pada lokal Kandangan, atau kalau mau diperluas Kalimantan Selatan, saya berani secara terang-terangan menuding bahwa doktrin semacam itu ditanamkan secara sistematis dan radikal oleh kelompok yang sering disebut sebagai “Kaum Tuha”. Kecurigaan ini berani saya kedepankan karena selama menjalani pendidikan dan berinteraksi di tengah-tengah komunitas kelompok ini saya pribadi pernah dicekoki bahkan sampai “termakan” doktrin-doktrin tersebut. Terlalu banyak pameo yang bisa dijadikan contoh untuk kasus ini.
Kecenderungan untuk menyalahkan dan menganggap “kada sampai” kelompok lain juga lebih menonjol dalam kelompok “Kaum Tuha”. Kesan saya selama bersentuhan dengan kelompok ini adalah bahwa kaum lain salah semua; yang benar adalah kaum mereka sendiri. Sikap absolutisme dan eksklusifisme sangat kuat dalam doktrin ini. Tak heran, jika sikap ini mudah sekali membiaskan dan membiakkan kekerasan, meskipun secara tak langsung.
Sudah saatnya agar kita berhenti menyalahkan “orang lain” dalam setiap bentuk kekerasan yang terjadi atas nama agama. Penyakit “menyalahkan dan menyesatkan orang lain“ ini merupakan kendala utama bagi kelompok agama manapun, termasuk dalam kelompok “Kaum Tuha” untuk melihat sejumlah borok dalam kelompok mereka sendiri.
Dialog agama kita sekarang menghadapi ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Salah satu cara untuk menanamkan doktrin-doktrin semacam itu, seperti dilakukan para ulama “Kaum Tuha”, sampai-sampai memasang rambu-rambu “Tidak Ada Pertanyaan” dalam setiap pengajian mereka, baik di pesantren-pesantren, masjid atau majlis taklim. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, paalimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya.
Memang sulit mencari kaitan langsung antara doktrin asabiyah dengan sikap-sikap keagamaan fanatik, apalagi dengan tindakan kekerasan fisik semisal tragedi Sirih itu, fanatisme lahir karena sejumlah faktor penyebab yang kompleks dan beragam. Begitu juga dengan kekerasan fisik atas nama agama. Amat naif jika mengandaikan bahwa satu sebab saja telah memadai untuk menjelaskan kenapa seseorang menjadi fanatik atau “anarkis”. Tetapi, harus diakui bahwa “fanatisme agama” pada satu kelompok tertentu dalam pengertian yang negatif memang gampang meletup jika seseorang menerima begitu saja doktrin asabiyah seperti dalam kelompok “Kaum Tuha”.
Sejak waktu yang tidak bisa disebutkan, doktrin asabiyah pada “Kaum Tuha” (atau pada kelompok “pengikut generasi awal” yang saat ini mulai marak di Kandangan), dan pada kelompok-kelompok keagamaan “eksklusif” semisal lainnya, memperlihatkan sikap agresif dan “anarkis” dalam menyalahkan kelompok-kelompok Islam yang lain. Bahkan spirit dasar doktrin asabiyah dalam kelompok-kelompok ini adalah “purifikasi” atau pembersihan unsur-unsur keyakinan dari kelompok lain yang mereka anggap secara “liar” masuk dan mengotori keyakinan dan pemahaman mereka. Para pemuka agama dalam kelompok-kelompok ini di mana-mana sangat keras dan bahkan “ganas” dalam menyerang kelompok-kelompok Islam yang berbeda paham dan keyakinan dengan mereka.
Salah satu kelompok yang paling sering “diserang” dan sangat “dimusuhi” oleh “Kaum Tuha” adalah dari kalangan yang juga sering kita kenal sebagai “Kaum Muda”. Hampir semua perbedaan paham dan keyakinan dari kelompok ini tidak pernah diberi toleransi oleh “Kaum Tuha”. Contoh klasik dan terlalu sering diketengahkan dalam hal ini adalah masalah ushalli (melafadzkan niat ketika hendak memulai shalat); doa qunut dalam shalat Subuh; mentalqinkan mayit di atas kubur; tawassul dalam berdoa atau shalat hajat, dan beberapa persoalan furu’iyah dan khilafiah lainnya.
Selama menjalani pendidikan, pengajian dan berinteraksi dalam komunitas kelompok “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”, saya tidak pernah menemukan kesatuan pendapat atas persoalan-persoalan itu. Para ulama “Kaum Tuha” dengan tegas mefatwakan bahwa masalah-masalah tersebut, seperti shalat tanpa ushalli misalnya, adalah tidak sah, dan tidak sah pula shalatnya orang yang mengikuti (bermakmum) dengan mereka yang tidak menggunakan ushalli. Konsensus hukum ini bahkan disuarakan dengan lantang oleh para ustadz dan tuan guru yang mengisi pengajian di majlis-majlis taklim maupun oleh para da’i dan penceramah yang babacaaan di masjid dan langgar-langgar. Bahkan didiklamatorkan oleh para da’i dan penceramah yang “hanyar pacah di karungkung” sekalipun. Meskipun ketika ditanyakan dasar hukumnya mereka sepakat bahwa ushalli tidak mempunyai dasar dari sumber hadits, melaikan hanya merujuk kepada pendapat para ulama mereka saja dan dari tradisi “urang bahari” doang, yang dalam bahasa agama sendiri hal itu justru dikategorikan sebagai inovasi terlarang (bid’ah).
Sikap lebih toleran diperlihatkan oleh “Kaum Muda”. Meskipun sudah jelas persoalan ushalli tidak mempunyai dasar hukum dari sumber primer Islam (qur’an dan hadits), yang berarti inovasi terlarang (bid’ah), tetapi mereka tidak sampai menghukumkan tidak sah bagi mereka yang shalatnya memakai ushalli, dan tetap sah pula mereka yang bermakmum dengan mereka yang menggunakan ushalli. Tetapi perbuatan tersebut tetap dihukumkan sebagai inovasi terlarang (bid’ah) yang wajib dihindarkan, tanpa pengklasifikasian-pengklasifikasian jenis bid’ah itu sendiri menjadi beberapa bagian seperti yang lazim dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha”.
“Permusuhan” ini, kadang-kadang, berlebihan dan tidak masuk akal, tidak ilmiah dan meyimpang jauh dari etika syariat. Dari itu kemudian saya menduga, bahwa “permusuhan” ini bukan semata-mata bersifat “keakidahan” dan khilafiah semata-mata, tetapi juga ada unsur politis di sana. Kita tahu, bahwa sekitar 80% penduduk Kalimantan Selatan memiliki corak keberagamaan “Kaum Tuha”. Mereka ini sangat “ditakuti” sekaligus dibutuhkan oleh pemerintah, karena dikhawatirkan akan menjadi kekuatan “oposisi” yang “tidak mendukung” pemerintah, khususnya dalam waktu penggalangan suara di saat pemilu dan pilkada. Saya kira, ulama “Kaum Tuha”, secara sadar atau tidak sadar, dipakai oleh pihak penguasa untuk “menyerang” pemahaman keagamaan seperti pada kelompok “Kaum Muda” guna menghindarkan kemungkinan munculnya oposisi politik dari para pengikutnya. Fakta ini begitu spektakuler diperlihatkan pemerintah dengan mendukung penuh setiap kegiatan baik dalam tradisi, seremoni dan sarana keagamaan “Kaum Tuha”, dengan berbagai fasilitas, bentuk dan cara. Hal ini seolah menegaskan bahwa pemerintah juga adalah “salah satu” dari mereka.
Tindakan “preventif” dari pemerintah itu dari segi kepentingan politik mereka sendiri memang cukup beralasan. Pengandaiannya adalah, jika pemikiran “Kaum Muda” yang lebih bercorak realis dan kritis sampai memasuki ranah keberagamaan pengikut “Kaum Tuha”, dikhawatirkan dapat mengeliminasi ketaatan spritual dan kepatuhan sosial mereka terhadap ulama “Kaum Tuha” dan pemerintah. Pengandaian selanjutnya, pengikut “Kaum Tuha” dengan jumlah statistik yang mayoritas itu akan menjelma menjadi kekuatan oposisi yang dapat mengancam “kelembaman sosial” dalam stabilitas politik status qou dari pemerintah.
Bagi ulama “Kaum Tuha” sendiri, “ketakutan” juga dialamatkan kepada “ancaman” pemikiran “Kaum Muda”. Kalau pemikiran kalangan ini berhasil mempengaruhi para pengikut “Kaum Tuha” dikhawatirkan akan mengeliminasi wibawa “spiritual” yang dimiliki oleh ulama “Kaum Tuha” sekaligus dapat memutus “mata rantai” mereka dengan pengikutnya sendiri. Mata rantai di sini tidak saja semata-mata bersifat teologis, tetapi juga dari segi ekonomis dan bahkan politis.
Mata rantai dimaksud adalah, pemanfaatan ketaatan dan kepercayaan pengikut “Kaum Tuha” yang bisa dijadikan “lahan garapan” untuk tujuan ekonomis sekaligus politis itu sendiri. Contoh kongkritnya, para ulama “Kaum Tuha” tidak akan lagi bisa secara leluasa “mengeksploitasi” pengikutnya untuk dijadikan “sapi perahan” seperti dalam melaksanakan “proyek” bapintaan maupun penarikan zakat atau sumber ekonomi umat lainnya yang dialamatkan untuk mendukung lembaga keagamaan atau pribadi para ulama “Kaum Tuha” sendiri. Dan hal ini terjadi, lebih-lebih terbukti dalam dinamika keberagamaan “Kaum Muda”, di mana antara pemuka agamannya dan pengikutnya tidak terlahir sikap fanatisme dan kultus individu yang kebablasan.
Jika pemerintah berupaya mempertahankan “kelembaman sosial” dalam stabilitas politik status qou, maka para ulama “Kaum Tuha” berupaya mempertahankan keseimbangan “birokrasi” feodalistik dari fanatisme pengikutnya. Sebab, seperti kita ketahui, bahwa otoritas ulama dalam dinamika keberagamaan “Kaum Tuha” masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan ulama “Kaum Tuha” telah menjadi “blue print” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah.
Saya punya contoh bagus terhadap dua streotif ini. Pertama, Yudi Wahyuni (Walikota Banjarmasin saat ini), yang mempunyai historis pribadi dan latar belakang keberagamaan dari kalangan “Kaum Muda”, dalam posisinya sebagi walikota sering terlihat dan terlibat dalam acara-acara ritual dan seremonial dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha”, yang, dalam kerangka pemahaman keberagamaan “Kaum Muda” sendiri, justru berupaya dengan gigih dieliminasi.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga punya bentuk dan misi (baik dilihat dari latar belakang pribadi para pengurus maupun ideologi gerakan yang diterapkan) lebih sejalan dengan pemahaman keagamaan “kaum Muda”, tetapi juga tidak dapat mengelak dari arus politik yang berlangsung deras di lapangan. Meskipun kondisi ini sering diakui oleh para aktivis dan elite PKS sendiri sebagai situasi yang delematis, sehingga sikap “terbaik” yang sementara bisa mereka ambil hanyalah diam, paling tidak untuk batas waktu tertentu. Ke depannya, jika PKS sebagai sebuah partai politik sudah mempunyai kekuasaan yang “memadai”, demikian diandaikan, umat akan dikader supaya memiliki pengetahuan agama yang baik dan “dikendalikan” agar hanya mempraktikkan nilai-nilai agama yang “lurus” saja. Pengkaderan itu boleh jadi akan dilakukan PKS lewat wadah “sayap dakwah” yang selama ini mereka galakkan.
Namun, alih-alih merasa “ngalih” atau paling tidak “diam” dalam beragam pemahaman dan tradisi keagamaan umat yang “belum lurus” itu, PKS sendiri justru tampil (men)jadi pelopor dan fasilitator seremoni-seremoni dan ritualitas dalam tradisi keagamaan yang “belum lurus” tersebut. Fakta ini bisa kita lihat seperti kegiatan yang dilakukan oleh kader, aktivis, caleg, dan pengurus PKS dalam setiap acara mobilisasi massa. Fakta lain adalah sosialisasi di media massa dan spanduk atau tulisan di sejumlah brosur atau famplet yang isinya mengajak umat untuk secara bersama-sama melaksanakan seremoni dan tradisi keagamaan yang “belum lurus” itu pada momen-momen tertentu. Khusus untuk tulisan di spanduk dan brosur atau famplet, PKS kerap memuat teks-teks agama yang tidak diklasifikasi dan menguji keabsahan para perawi yang metransmisikan teks-teks agama tersebut. Fakta terakhir menyebutkan, seorang kader PKS yang saat ini menjadi wakil kepala dearah berupaya mengundur upacara resmi kenegaraan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 63 hanya karena tanggal 17 Agustus pada hari itu berbarengan dengan nisfu Sya’ban. (Sekadar perbandingan, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto pernah dilaksanakan Upacara HUT RI meskipun bertepatan dengan hari libur nasional yaitu Hari Raya Idul Adha). Konon, upaya wakil kepala daerah dari kader PKS itu untuk menghormati kelompok masyarakat yang sedang melaksanakan tradisi keagamaan tertentu pada hari nisfu Sya’ban tersebut. Tetapi saya curiga hal itu dilakukan justru untuk tujuan politis, misalnya menarik simpati massa guna mendulang suara pada pemilu 2009 nanti.
Apakah sikap elite PKS tersebut dikarenakan – sebagai pejabat baru – belum “fasih” bagaimana memposisikan ketentuan-ketentuan kenegaraan dengan azas-azas “religi”; merasa “ngalih”; tujuan politis, atau memang berangkat dari keyakinan yang sama? Yang jelas, perlakuan itu mencerderai keyakinan nilai-nilai religi yang dianut oleh kader-kader PKS sendiri sebagaimana mereka proklamirkan selama ini.
Perlu dicatat, kegiatan-kegiatan itu dilakukan oleh para ilite dari kader-kader PKS, khususnya di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan. Fakta-fakta tersebut sekaligus menampik argumen para “petinggi” PKS yang kadangkala masih berkilah bahwa aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan bukan oleh ”orang-orang” PKS, melainkan oleh para simpatisan yang notabene belum dikader dan belum memiliki pemahaman serta keyakinan keagamaan yang ”lurus”.
Baik Yudi Wahyuni maupun PKS dalam kapasitasnya sebagai politisi dan partai politik, saya lihat memang punya dasar pertimbangan kuat yang dijadikan justifikasi, apalagi kalau bukan “demi massa”. Tetapi mafhumnya tentu saja bukan “demi masa/waktu” seperti dalam surat Wal-Ashri. Melainkan “demi massa” atau masyarakat alias dukungan pemilih untuk suara partai dalam pemilu atau pilkada. Dalam bahasa Guru Sekumpul (KH. Zaini Abdul Ghani), dalil atas sikap dualisme para politisi dan aktivis partai semacam itu adalah: iyyakana’budu wa “partai” nasta’in!
“Dalil” Guru Sekumpul memang sejalan dengan fakta yang berlangsung di lapangan. Saya menyaksikan, setiap ada kegiatan politik seperti dalam kampanye pilkada dan pemilu, kedua streotif politisi dan parpol seperti pada contoh di atas, begitu suka bermain silat lidah dan retorika bahasa dengan mengutip teks-teks agama yang seolah-olah meyakinkan, khususnya dari para politisi dan partai politik yang berlatar belakang dan berasas serta berbasis massa Islam. Teks-teks agama kerap dihambur-hamburkan dan disembur-semburkan. Ketika berorasi atau berbicara, setelah satu dua kalimat langsung penuh sesak dengan kutipan-kutipan dari Kitab Suci. Seolah-olah sebuah orasi dan kampanye yang penuh dengan teks-teks agama akan benar dengan sendirinya.
Tidak cukup hanya dengan itu, para politisi dan model partai politik itu juga begitu keranjingan mengangkut atribut dan perkakas agama dalam kegiatan politiknya. Ulama, tuan guru, ustadz, habib diangkut dan dipamerkan di muka publik. Seolah-olah mereka adalah “tentara Tuhan” (meminjam istilah Ahmad Juhaidi) yang akan mengamankan tahta dan kerajaanNya dari serbuan partai politik dan politisi selain mereka. Kehadiran para “operator ritualitas” dan “teknisi seremoni” keagamaan itu seolah menjadi justifikasi sekaligus legitimasi atas segala gerak dan corak politik dalam partai mereka. Dengan klaim sebagai partai politik yang berazas atau berbasis massa Islam seolah mereka merasa berhak memakai dan memelintir teks-teks Kitab Suci sesuai keinginan mereka, kemudian mengendalikan segala perangkat ritualitas dan perkakas keagamaan demi menyokong kepentingan-kepentingan mereka. Dalam ranah partai mereka, agama seolah difungsikan layaknya sebuah jampi-jampi untuk mengeruk berbagai keuntungan, baik politis maupun ekonomis.
Itulah pengalaman yang sering saya saksikan dan begitu membekas pada diri saya hingga sekarang. Dan oleh karena itu pulalah yang membuat saya agak "muak" melihat para politisi dan aktivis partai saat melakukan kegiatan politiknya yang setiap berbicara atau berorasi selalu memercikkan teks-teks agama, mengangkut dan menjajakan atribut dan perkakas keagamaan ke mana-mana. Saya khawatir, agama bisa mengalami inflasi jika diobral dengan cara demikian.
Kembali ke pokok persoalan. Penyebab doktrin asabiyah dari golongan “Kaum Tuha” ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena “ketakutan” pemerintah yang mencabar pemikiran “Kaum Muda” sebagai ancaman kekuatan oposisi. Kedua, karena “wibawa spiritual” yang dimiliki oleh ulama “Kaum Tuha” sebagai “polisi moral” umat. Citra di kalangan umat Islam, khususnya di Kalimantan Selatan, bahwa ulama “Kaum Tuha” adalah termasuk orang-orang yang mempunyai karamah bahkan beberapa termasuk dalam maqam wali, juga demikian mengakar. Garanya-garanya sederhana saja: ulama “Kaum Tuha” mengenakan sorban dan sarung(an); menggunakan biji tasbih; rantas membaca kitab kuning; bisa mambari banyu; mau membuatkan rajah dan zimat, atau manjur bila mamandi’i urang; punya kekuatan supranatural sehingga dapat berperan ganda jadi “dukun putih” (untuk membantu pemenangan pilkada atau pemilu misalnya); dan ketika meninggal kuburannya diberi kubah dan kain kuning. Itu semua merupakan simbol kekaramahan dan kewalian dari ulama “Kaum Tuha”.
Banyak masyarakat Islam yang terpukau saat ziarah ke makam para “wali” tersebut: setiap saat pemakaman dijejali oleh para penziarah dari berbagai pelosok dan dari berbagai status pula. Mereka datang untuk memohon ini-itu kepada arwah di dalam kubur atau demi menunaikan nazar karena hajat dan keinginannya telah terkabul. Meskipun saya pastikan hajat dan keinginan yang dipanjatkan atau yang sudah diperoleh itu hampir semuanya dari segi keuntungan ekonomi – beberapa atas kepentingan politik – bukan karena kesadaran atas nilai-nilai keagamaan yang tulus atau mengambil suri tauladan dari keilmuan dan kesalehan (kalau memang ‘alim dan saleh?) dari pribadi si mayit semasa hidupnya.
Ini semua telah mematrikan suatu kesan bahwa ulama-ulama “Kaum Tuha” itu benar-benar karamat dan wali. Sedikit yang (di)sadar(kan) bahwa praktik-praktik semacam itu justru tidak pernah dilakukan oleh RasululLah saw., para sabahat dan ulama pendahulu Islam dalam generasi salafus shalih, yang, dalam bahasa agama sendiri, hal itu disebut bid’ah (inovasi terlarang). Dan tiap-tiap bid’ah (inovasi terlarang), menurut hadits, adalah menyesatkan. Sedang tiap-tiap yang menyesatkan (tempatnya) di neraka!
Dengan mencermati persoalan-persoalan semacam itu, saya punya kesan lain yang makin kuat sekarang ini, bahwa setiap kali melihat “pertengkaran” terjadi di antara umat, para pemuka agama selalu terjebak dalam repetisi yang menjemukan, dengan menekankan terus-menerus bahwa agama ini (Islam) tidak menghendaki pertengkaran tetapi perdamaian; bahwa perbedaan di kalangan umat adalah rahmat (ikhtilafu umati rahmatan). Namun kenyataan pahit di lapangan dicoba untuk diatasi dengan cara mempertontonkan suatu “seremoni” yang menampilkan sejumlah pertunjukan di atas pentas, di mana dikesankan bahwa seolah-olah semua golongan, aliran, kelompok, dan organisasi dalam Islam, bisa diperdamaikan, dipersatukan bahkan bersanding “mesra”. Akan tetapi, “kemesraaan” itu hanya berlangsung secara “seremonial” pula. Saya ingin menyebut hal ini sebagai staged encounter, (“teater perdamaian”), pertemuan antar golongan yang direkayasa di pentas, tetapi tidak menjangkau hingga ke kesadaran individual, apalagi kolektif, yang paling dalam.
Terkadang dialog agama juga diliputi berbagai prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah pemuka agama sendiri. Maksud saya adalah, bahwa para pemuka agama yang mengaku “Kaum Tuha” atau “kaum Muda” yang paling “pluralis” dan “moderat” sekalipun (yang bersedia dan setuju dengan adanya dialog antar kelompok agama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok lain selain mereka, sehingga dialog agama makin sulit berlangsung. Anggapan-anggapan bahwa kelompok selain kelompok mereka adalah “sesat”, “salah”, “bathil”, “murtad”, “beda imam”, “lain mazhab”, “menyelesihi syariat”, “kada sampai” dan lain-lain, terlalu sering kita dengar, sehingga tidak layak lagi untuk diajak berbicara dan berdialog. Contoh kecil dalam konteks ini adalah tragedi penyerangan warga di Sirih seperti sudah disinggung di awal tulisan.
Akibatnya adalah bahwa wacana dialog hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal percaya akan manfaat dialog, tetapi tidak pernah terjadi antarkelompok agama, misalnya antara “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”. Sebetulnya, penggunaan dua istilah ini juga kurang bermanfaat dari segi pengembangan dialog, karena mengandung prasangka penilaian tertentu. Saya kira sudah saatnya dialog agama justru sesering mungkin diadakan, setidaknya, antara dua kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan perdebatan yang mengganjal di tengah umat selama ini bisa diatasi dengan terbuka.
Selanjutnya saya melihat, fanatisme golongan yang lahir dari doktrin asabiyah merupakan salah satu “musuh” utama dialog yang sesunggguhnya. Kita perlu melakukan tafsir ulang atas doktrin-doktrin “berbahaya” semacam itu, khususnya di kalangan ulama “Kaum Tuha” saat ini. Jika hal ini dapat dilakukan, saya yakin pengaruhnya tentu akan sangat positif bagi berkembangnya budaya dialog dan suasana keberagamaan kita, khususnya di daerah ini. Sebab, bagaimanapun, ulama “Kaum Tuha” tetap merupakan “kiblat keagamaan” bagi mayoritas masyakarat Islam di daerah ini.
Musuh paling berbahaya bagi dialog agama berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, seperti pada “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”; doktrin demikian adalah penyakit spritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme (chauvanistic doktrine), mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lungkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan.
Eskapisme inlah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana, seperti budaya dialog yang senantiasa mandeg dan tidak popoler sepanjang masa dalam dimanika keberagamaan “Kaum Tuha”. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacan ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan.
Syarat pertama bagi terciptanya dialog agama yang sehat adalah pengenalan mengenai pemahaman keagamaan yang dianut mitra dialog. Dengan pengenalan tersebut, kita bisa mengetahui bentuk pemahaman yang mereka yakini terhadap keberagamaannya. Dan ini mesti dihormati dan dihargai oleh semua pihak, kalau ingin pihak-pihak lain juga menghormati dan menghargai pemahaman mereka terhadap corak keberagamaan yang mereka yakini.
Soal mana yang paling benar atau salah, bukan tujuan utama dialog. Semuanya itu adalah urusan AlLah. Yang menjadi fokos utama dalam setiap dialog agama adalah mencari titik temu. “Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya.
Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos.
Semua pengikut tiap kelompok keagamaan punya keakuan sendiri untuk merasa “benar” dan “menyalahkan” yang lain. Tetapi kita, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan kita tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat dan keyakinan kelompok lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah “merasa benar”, paling jauh mengkritik, tetapi kita tidak diwenangkan untuk memberi kesimpulan bahwa pendapat dan keyakinan “lawan” kita bathil, kecuali jika pendapat dan keyakinan itu jelas-jelas melawan akal sehat dan dasar yang qat’i.
Dialog agama tidak membutuhkan orang-orang yang picik-pikiran dan suka menyesatkan sesama Muslim. Intinya, belum tentu kalau suatu kelompok “merasa paling benar” lantas dengan sendirinya bisa menyudahi dialog dan menuduh kelompok yang lain salah, sesat, bathil, menyelesihi syariat, murtad, kafir, kada sampai, dan seterusnya.
Bagaimana berbeda pendapat dalam dialog agama (bahkan dalam agama itu sendiri), dan tidak dituduh serta dicabar sebagai kafir dan murtad, itulah masalah utama yang menjadi keprihatinan saya – tentunya juga orang-orang lain yang masih meyakini akan manfaat sebuah dialog.

* * *

Baru-baru ini saya kembali diingatkan dengan peristiwa penyerangan massa di Sirih delapan tahun itu. Menurut penuturan seorang warga Tibung Raya, beberapa hari menjelang tragedi penyerangan itu sejumlah warga Sirih sampai basaruan (mengundang) warga desa lain sampai ke desa Tibung Raya yang berjarak hampir puluhan kilometer untuk melakukan pengadangan. Isu yang dibawa sama, bahwa ada orang yang akan mencelakai tuan guru “anu”. Dengan isu tersebut, berarti makin menegaskan kalau chauvanistic doctrine dalam golongan “Kaum Tuha” benar-benar sangat berbahaya – dan bahkan menjadi suatu ancaman – bukan saja bagi tumbuh-kembangnya budaya dialog agama tetapi juga bagi terciptanya suasana harmonisasi nilai-nilai agama (Islam) itu sendiri. 

Di Masjid Taqwa, Tuhan dan Setan pun Marah!


Oleh Aliman Syahrani

Sudah bukan waktunya lagi dakwah dilakukan “asal-cuap” oleh para penceramah dan da’i dadakan, karbitan, dan “hanyar pacah di karungkung”, tanpa ada sebuah perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksana ataupun metode operasional yang diterapkan.

DI kampung dulu, sewaktu kanak-kanak saya sering disuguhi sebuah cacapatian (tebak-tebakan) oleh orang-orang tua. Isi pertanyaan dari cacapatian itu sebagai berikut: “perbuatan apa yang bila dilakukan akan membuat Tuhan marah dan setan juga marah?” Pertanyaan ini – sebagai ciri khas sebuah cacapatian – memang “nyeleneh” karena menyimpang dari khariqul-adat atau kebiasaan umum, tetapi ia tetap memerlukan sebuah jawaban.
Sebelum saya memberitahukan jawaban dari cacapatian tersebut, perkenankan terlebih dahulu saya menceritakan sejarah singkat masjid Taqwa Kandangan dan berbagai aktivitas keagamaan yang dilaksanakan di masjid tersebut. “Sejarah” ini saya diskripsikan dengan sangat singkat melalui pengamatan dan pengalaman saya selama kurang lebih tujuh tahun beraktivitas sebagai pengurus perpustakaan di masjid Taqwa Kandangan.
Didirikan sejak tahun 1906, masjid Taqwa Kandangan hingga sekarang sudah memasuki usia lebih dari satu abad. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan. Meski sejak tahun 2005 lalu direnovasi total hingga ke pondasi paling dasar – dan di depan namanya dibubuhkan kata “Agung” – namun pada monumennya tetap dicantumkan tahun awal pendirian masjid tersebut yaitu tahun 1906.
Sejak awal berdirinya, sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini selalu marak – bahkan paling marak – dengan berbagai kegiatan peng(k)ajian dan syiar Islam dibanding semua masjid yang ada di Kandangan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi ceramah agama, pengajian ilmu-ilmu keislaman, MTQ, shalat ied, sampai kepada berbagai upacara, seremoni dan tradisi keagamaan. Sebut saja misalnya ritual nisfu sya’ban, peringatan isra’ mi’raj dan nuzulul qur’an, dan prosesi tradisi maulid nabi, di samping tentu saja untuk pelaksanaan shalat fardhu. Apalagi setelah direnovasi total sejak tahun 2005 lalu itu, frekuensi aktivitas pengajian dan syiar Islam di masjid Taqwa makin sesak, hampir setiap waktu usai shalat fardu diisi dengan pengajian dan ceramah agama. Bahkan sekarang sedang berlangsung sebuah pengajian yang berorientasi dalam pengamalan ajaran sebuah tarikat.
Khusus di bulan Ramadhan, digelar pengajian rutin selepas shalat Johor selama satu bulan penuh dengan tiga sub tema pilihan sebagai materi pengajian, yang diberikan oleh tiga orang pemuka agama pilihan pula: Fiqh, Tauhid dan Tasawuf. Sepanjang bulan diadakan juga acara buka puasa bersama, dan saban malam menjelang pelaksanaan shalat tarawih berjamaah digelar sesi kuliah tujuh menit (kultum) oleh imam atau seorang penceramah. Sedang pada sepuluh malam terakhir, ditanggap pula acara iktikaf dan sejumlah ritual dalam rangka mengisi malam-malam laitul qadar secara berjamaah.
Tampaknya, pengelola dan ta’mir masjid Taqwa ingin memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan masjid tersebut sebagaimana lazimnya fungsi sebuah masjid. Tampaknya pula, semua pihak begitu bersemangat menjadikan masjid Taqwa sebagai “lokomotif” dalam kegiatan keaagamaan bagi masjid-masjid lain di Hulu Sungai Selatan. Apalagi, semua kegiatan keagamaan tersebut tidak pernah mendapat sorotan apalagi kritik dari pihak manapun (kecuali barangkali sorotan dan kritik dari tulisan ini). Semua pihak, dari masyarakat umum sampai pemerintah daerah mendukung penuh – bahkan sampai kepada dukungan dana pendiriannya – semua kegiatan tersebut.
Dari semua pelaksanaan kegiatan keagamaan yang berlangsung di masjid Taqwa tersebut, ada satu kegiatan yang secara tidak resmi menjadi agenda tetapi secara “rutin” terus dilaksanakan, dan itu membuat saya jadi bertanya-tanya karena merasa “aneh”. Kegiatan dimaksud adalah mengumandangkan azan setiap terjadi peristiwa kebakaran, khususnya yang terjadi di wilayah kota Kandangan. Kegiatan itu kemudian dengan latah diikuiti oleh sejumlah masjid dan langgar lainnya. Selidik punya selidik, ternyata maksud dan tujuan dikumandangkannya azan tersebut adalah untuk menjinakkan api; supaya kebakaran tidak menjalar luas. Singkatnya, azan tersebut berkhasiat dapat memadamkan api kebakaran.
Biasanya, kebakaran memang reda dan api juga padam. Tetapi tentu saja bukan karena azan yang dikumandangkan secara bertubi-tubi lewat pengeras suara di masjid Taqwa dan langgar-langgar itu, melainkan oleh usaha keras tak kenal lelah para petugas BPK dari berbagai lapisan masyarakat – bahkan dari luar kota Kandangan – yang berjibaku memadamkan api.
Saya kembali bertanya-tanya, dari manakah informasi dan dasar kalau kumandang azan bisa mengatasi kebakaran? Dari sebagian masyarakat yang meyakini hal itu, meski tidak memberikan argumen yang kuat, saya memperoleh jawaban: informasi dan dasar itu mereka dapatkan dari sejumlah pemuka agama! Sementara dari sumber lain yang lebih bisa dipertanggungjawabkan (secara syar’i) saya memperoleh penjelasan, bahwa azan yang difungsikan selain sebagai seruan untuk mendirikan shalat – seperti pada waktu kebakaran, saat melepaskan calon jamaah haji atau ketika menurunkan mayit ke liang kubur – adalah inovasi terlarang atau bid’ah!
Lagi-lagi saya terus bertanya, apakah dengan durasi waktu ratusan tahun, dengan ribuan orang pemuka agama, dengan jutaan kali ceramah dan pengajian Islam di masjid Taqwa, tetapi belum juga disampaikan bahwa “azan yang dikumandangkan kecuali sebagai seruan untuk mendirikan shalat adalah inovasi terlarang (bid’ah)?” Dalam bahasa yang lebih lugas, sudahkan para pemuka agama yang jumlahnya ribuan dengan jutaan kali kesempatan memberikan ceramah di masjid Taqwa itu memberitahukan kepada jamaah bahwa azan yang dikumandangkan untuk mengatasi kebakaran adalah bid’ah dan hukumnya adalah haram???
Dari seorang pemuka agama (yang juga sering memberikan ceramah dan khotbah serta menjadi imam di masjid Taqwa) saya mendapat jawaban yang isinya kurang lebih sebagai berikut: “Dalam berdakwah kita harus melalui tahapan-tahapan. Karena berbagai persoalan yang dihadapi tidak sesederhana sebagaimana yang terlihat pada umumnya, tetapi banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Seperti misalnya tingkat dan corak pemahaman keberagamaan serta latar belakang tradisi masyarakat bersangkutan sebagai obyek dakwah itu sendiri.”
Saya turut mengamini jawaban tersebut, dakwah memang mesti dijalankan step by step. Hal ini agar aktivitas dakwah tidak terjebak kepada apa yang disebut isti’jal atau tergesa-gesa. Dalam kamus dakwah isti’jal berarti ingin merubah realitas kaum Muslimin dalam sekejab mata, tanpa banyak mempertimbangkan akibat-akibat yang terjadi, kurang memiliki persiapan yang memadai, baik menyangkut sarana, manhaj atau kelanjutan pembinaan. Ada beberapa bentuk isti’jal yang sering muncul dalam praktik dakwah: Pertama, ingin merenggut anggota jama’ah atau pengikut sebanyak-banyaknya secara kuantitas lahiriah dalam waktu dekat dan cepat, tanpa memperhitungkan kualitas tarqiyah (kesucian moral), moral intelektual dan operasional. Tindakan ini jika tidak segera diatasi akan mengakibatkan tasaqut (eliminasi/berguguran). Akibat lain yang muncul adalah terjadinya futur (kelesuan) di kalangan mereka (para aktivis dakwah), tidak bergairah untuk melaksanakan tugas dakwah. Bahkan nilai keislaman yang dimiliki pun akan mengalami degradasi (penurunan) sampai batas yang sangat menyedihkan, Kedua, ingin segera memetik dan melihat buah dakwah. Biasanya gejala ini muncul dalam bentuk gugatan-gugatan yang bernada frustrasi, umpamanya: “Kita sudah sekian waktu berdakwah, tetapi mengapa tidak pernah berhasil?” Tragisnya mereka mengukur keberhasilan dakwah hanya dengan bentuknya. Akibatnya timbul perpecahan di antara mereka sendiri. Sedangkan faktor-faktor yang membentuk sifat isti’jal antara lain: Pertama, faktor psikologis. Isti’jal sebagaimana dinyatakan AlLah memang merupakan salah satu tabiat yang melekat pada fitrah manusia (Qs 21:37). Kedua, karena semangat keimanan yang tidak dibarengi oleh penguasaan metodologi dakwah, suatu program pembinaan yang hanya mengandalkan pada pemompaan semangat keimanan, tanpa dibarengi dengan penguasaan konsepsional. Ketiga, ketidaktahuan tentang siasat dan cara kerja “musuh”, mereka mudah tertipu oleh lawan yang menyusup ke tubuh umat Islam dengan membawa racun-racun, virus-virus, yang dibungkus dengan label-label “bai’at”, “jihad”, barakah, fadilah, karamah, dan segala yang berbau “islami” lainnya.
Meski mengamini jawaban pemuka agama tadi, tetapi saya juga terus bertanya, sudah sampai di batas manakah tahapan-tahapan dakwah di masjid Taqwa seperti yang dimaksud oleh pemuka agama tadi? Sebab, dengan barometer durasi waktu, kwantitas pemuka agama, frekuensi jumlah ceramah dan pengajian yang ada di masjid Taqwa selama ini, bila belum juga disampaikan materi dakwah tentang bid’ah semacam mengumandangkan azan di saat kebakaran itu, barometer ini menstereotipkan bahwa tahapan dakwah yang berlangsung di masjid Taqwa selama ini (khususnya dalam konteks pelarangan bid’ah) masih jalan di tempat, bahkan tidak bergerak sama sekali, atau mungkin malah mundur ke belakang. Hal ini punya stereotip pula, kalau semangat pengelola dan ta’mir masjid bahkan pihak-pihak terkait yang bertujuan meningkatkan frekuensi kegiatan keagamaan dan pengajian Islam di masjid Taqwa selama ini tidak berbanding lurus dengan semangat “pelestarian” pengamalan bid’ah yang terus melesat jauh ke depan.
Tentu saja stereotip ini tidak secara mutlak memastikan bahwa para pemuka agama yang memberikan ceramah dan pengajian di masjid Taqwa dengan semua barometer kwantitas itu tidak pernah menyampaikan tema dakwah seputar masalah bid’ah seperti di singgung di atas. Sebab, seperti dijelaskan oleh pemuka agama tadi, bisa saja “pelanggaran azas” seperti ritual mengumandangkan azan pada setiap terjadi kebakaran itu hanya dilakukan oleh “oknum” jamaah atau “orang asing” di masjid Taqwa, bukan “ritual formal” yang diagendakan dan menjadi konsensus resmi dari semua unsur masjid tersebut, baik itu dari pengelola, ta’mir masjid dan unsur-unsur terkait lainnya.
Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan saya adalah, jika ritual azan di saat kebakaran itu memang dilakukan oleh “oknum” atau “orang asing”, kenapa tidak ada pihak-pihak dari semua unsur kepengelolaan masjid Taqwa yang melakukan pelarangan atau paling tidak merasa keberatan? Bukankah nyata-nyata “oknum” tersebut menggunakan fasilitas masjid Taqwa, dan melakukannya secara “rutin” pula pada setiap terjadi peristiwa yang sama? Hal ini cukup memberi kesan bahwa “ritual mengumankan azan di saat kebakaran” itu memang telah direstui oleh pihak-pihak terkait dalam unsur kepengelolaan masjid Taqwa meski tidak diagendakan secara “resmi”.
Perlu dicatat, persoalan yang saya kemukakan dalam tulisan ini bukan semata persoalan masjid Taqwa sebagai sebuah rumah ibadah umat Islam di Hulu Sungai Selatan dengan kepanitiaan dan kepengelolaan tersendiri, melainkan sebagai miniatur dari pesoalan-persoalan serupa yang terjadi pada masjid-masjid lain di daerah ini. Saya berharap pembaca juga dengan cerdas merespon bahwa persoalan ini bukan bertendensi menyudutkan masjid Taqwa baik sebagai sebuah rumah ibadah atau lembaga keagamaan, maupun pihak pengelolanya serta semua unsur yang terlibat di dalamnya, apakah itu organisasi Islam yang menaunginya (katakanlah kaum Nahdiyin?) bahkan pihak pemerintah daerah yang sangat “berperan” di masjid tersebut. Hal ini merupakan persolan bersama yang mesti dipikirkan dan ditangani secara bersama-sama pula. Sebab, jika ditangani secara serius dengan konsepsional kepengurusan yang profesional saya yakin pengamalan-pengamalan bid’ah di masjid Taqwa semacam mengumandangkan azan di saat kebakaran itu – dan bid’ah- bid’ah lainnya – bisa dieliminasi. Buktinya, dengan manajemen kepengurusan semacam itu banyak masjid yang bisa menyuarakan pelarangan bid’ah secara tegas tanpa sekat-sekat klasifikasi bid’ah itu sendiri.
Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh, saya kembali ingin bercerita, yang mudah-mudahan ada kaitannya dengan tema dalam tulisan ini. Cerita ini tentang seorang ustadz yang sering memberikan ceramah dan pengajian serta menjadi imam di banyak masjid di Kandangan, termasuk juga di masjid Taqwa. Suatu kali sang ustadz datang ke tempat kerja saya minta dibuatkan surat permohonan bantuan dana untuk kegiatan maulid nabi di lingkungannya. Dengan sedikit berat hati saya buatkan surat tersebut (karena saya bukan seorang maulid mania). Pada bagian akhir dari konsep surat itu dicantumkan kalimat berikut: “Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku maka ia akan tinggal bersamaku di dalam surga”. Barangkali kalimat tersebut bertujuan untuk merangsang kaum muslimin supaya menyumbang dalam kegiatan yang dimaksud pada surat tersebut.
Tidak ada yang salah dari kalimat tersebut, tetapi yang kemudian membuat saya keberatan adalah karena kalimat yang berbau propaganda itu diklaim sebagai sebuah hadits. Dengan memberanikan diri saya lantas menyampaikan keberatan untuk mencantumkan kalimat tersebut dalam surat itu, seraya dengan sedikit sok tahu memaparkan akar historis tradisi maulid nabi yang baru dilaksanakan pada sekitar 400 tahun setelah wafatnya baginda Nabi saw., yang berarti pula tidak akan ada hadits tentang maulid nabi! Saya menyandarkan penjelasan itu kepada kitab I’anut Thalibin (Syarah Fathul Mu’in).
Sang ustadz tampak gelagapan sesaat (barangkali kaget karena seorang jaba seperti saya berani mengguruinya) sebelum kemudian memberi bargaining agar kalimat itu disandarkan sebagai atsar saja, tidak sebagai hadits. Saya mengucap istighfar dalam hati seraya bergumam: “Berani benar ini ustadz merubah hadits menjadi atsar!” Saya juga tetap bersikeras menolak dengan argumen yang sama, bahwa tidak akan pernah ada hadits maupun atsar tentang tradisi maulid nabi mengingat akar historis tersebut.
Akhirnya melalui tawar-menawar yang cukup alot, kami bersepakat – khususnya saya – untuk tidak mencantumkan kalimat tersebut. Tetapi sepulang saya ke rumah, saya langsung mengirim short missage service (sms) kepada sang ustadz, yang isinya sangat menyayangkan sekaligus mempertanyakan kenapa seorang ustadz yang notabene seorang pemuka agama seperti dirinya sampai berani menyampaikan hadits palsu seperti dalam surat itu. Layanan pesan pendek saya tidak dijawab, tetapi beberapa puluh menit kemudian pintu rumah saya diketuk. Ternyata sang ustadz yang datang. Sekarang saya yang jadi gelagapan dibuatnya, barangkali saja dia ingin berdebat, paling tidak berdiskusi. Saya pun segera menyambar sejumlah referensi yang memuat tentang sejarah dan seluk-beluk tradisi maulid nabi dan meletakkannya di meja tamu.
Setelah sama-sama duduk di ruang tamu, ternyata sang ustadz bukannya mau berdebat, tetapi mengakui dengan jujur bahwa kalimat yang semula diklaimnya sebagai hadits itu bukanlah hadits. AlhamdulilLah! Tetapi saya buru-buru meralat ucapan ’alhamdulilLah’ saya karena sang ustadz kemudian mengemukakan bahwa kalimat yang sebenarnya sebuah hadits berkenaan dengan mualid nabi adalah kalimat berikut: ”Siapa saja yang mendermakan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka seolah-olah ia mendermakan emas sebesar gunung Uhud.” AstagfirulLah!
Saya jadi kehilangan semangat untuk melanjutkan pembicaraan apalagi berdiskusi. Setelah berbasa-basi sebentar sang ustadz mohon diri. Saya langsung saja mengambil kesimpulan, ”Ini ustadz pasti tidak belajar mustalah hadits dan sejarah Islam dengan baik. Bahkan mungkin belum belajar Islam dengan benar!” Bagaimana mungkin seorang ustadz yang dalam mengklasifikasikan hadits dan menguji keabsahan para perawi yang metransmisikan sebuah hadits saja tidak beres tapi bisa direkrut untuk memberikan ceramah dan pengajian serta menjadi khatib dan imam di masjid, apalagi di sebuah masjid agung kabupaten seperti di masjid Taqwa Kandangan?
Dari sinilah agaknya titik mula timbulnya persoalan, kenapa kwantitas kegiatan ceramah dan pengajian Islam seperti di masjid Taqwa belum mencapai kualitas yang diharapkan. Yang lebih menyedihkan, karena keinginan menyemarakan kegiatan keagamaan dan dakwah Islam – seperti di masjid Taqwa – begitu besar, akhirnya kebutuhan akan penceramah dan da’i menjadi begitu tinggi. Sementara itu, suplai penceramah atau da’i yang terdidik dan terlatih dengan baik sangatlah rendah. Maka, muncullah penceramah-penceramah dan da’i-da’i “dadakan”. Hanya bermodal bisa membaca kitab kuning dan beberapa jilid bacaan Arab-Melayu yang tidak jelas siapa pengarang dan penerbitnya, mereka direkrut menjadi penceramah dan da’i. Penceramah dan da’i “kagetan” yang “hanyar pacah di karungkung” semacam ini sering menyampaikan pemahaman yang salah mengenai Islam.
Bahkan saya curiga, perselisihan antarkelompok dan organisasi keagamaan dalam Islam kerap ditularkan melalui penceramah dan da’i kagetan semacam ini. Saya sering menjumpai penceramah atau da’i yang berceramah di masjid – tak hanya di masjid Taqwa – langgar, majlis taklim, dan pengajian-pengajian lainnya, yang isinya justru memperuncing perbedaan dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin sendiri, dengan muatan-muatan yang tidak syar’i dan tidak ilmiah. Sering dialog ilmiah dan aksi sosial yang dilakukan dengan penuh dedikasi antara organisasi atau tokoh Islam untuk membangun kesepahaman antara kelompok dan organisasi Islam dirusak oleh satu kali ceramah para penceramah dan da’i karbitan ini. Dan ini semua terjadi, salah satunya, karena tidak seimbangnya suplai penceramah dan da’i yang baik dengan kebutuhan yang tinggi akan penceramah dan da’i gara-gara ingin meningkatkan frekuensi dakwah Islam di masjid-masjid. Tidak usah menunggu pihak manapun – pemerintah, Dewan Masjid Indonesia (DMI), atau Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) misalnya – saya kira, para ulama dan pemuka agama, khususnya panitia dan pengelola ta’mir masjid (khususnya lagi di masjid Taqwa) harus memulai memikirkan masalah ini. Masihkah kita perlu menyemarakkan pengajian dan dakwah Islam (tidak saja di masjid) jika tidak berbobot, apalagi kalau hanya berdampak semakin melegalkan bid’ah; mengokohkan ta’assub; memupuk benih kejumudan dan kepicikan ritualitas; memercikkan perpecahan antara kelompok dan aliran Islam; menyuburkan doktrin asabiah dan taklid buta?
Secara integralistik dakwah merupakan proses berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah yang mengubah sasaran dakwah agar bersedia untuk menuju jalan lurus. Ini suatu proses yang bukan insidentil (kebetulan), melainkan benar-benar, direncanakan, dievaluasi secara terus-menerus oleh para pengemban dakwah sesuai yang dirumuskan. Sudah bukan waktunya lagi dakwah dilakukan “asal-cuap” oleh para penceramah dan da’i dadakan, karbitan, dan “hanyar pacah di karungkung”, tanpa ada sebuah perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksana ataupun metode operasional yang diterapkan. Memang benar sudah menjadi sunatulLah bahwa yang haq akan mengeliminasi yang bathil (Qs 17:81). Tetapi kita tidak bisa terlepas dari hukum causalita (sebab akibat) atau sunantulLah ini juga berkaitan dengan yang lain, bahwa AlLah sangat mencintai dan meridhai kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi dan teratur (Qs 61:4).

* * *

Sekarang saatnya saya memberitahukan jawaban atas pertanyaan cacapatian di awal tulisan. Jawaban tersebut sebenarnya bisa beragam versi, tetapi saya mengambil satu yang sesuai dengan pembahasan dalam tulisan ini. Perbuatan yang akan membuat Tuhan dan setan sekaligus marah adalah: “mengumandangkan azan di luar waktu shalat.”
Tentu saja benar-salahnya jawaban dari cacapatian itu tidak perlu kita cari dasar hukumnya dalam kaidah ilmu fiqh. Cacapatian itu sendiri hanya merupakan salah satu “anekdot” atau mahalabio khas orang-orang tua di kampung. Namun sekarang saya jadi berpikir sekaligus bertanya-tanya, apakah pelantun azan di masjid Taqwa pada waktu setiap ada kebakaran itu ingin mempraktikkan jawaban dari cacapatian tersebut, atau memang ingin memadamkan api? AlLahu’alam bis shawab! 