Wednesday, April 1, 2009

Do'a, Jin dan Lampu Aladin (Renungan buat Para Caleg pada Pemilu 2009)



Oleh Aliman Syahrani


MENJELANG Pemilu, seorang politikus berniat akan turut bersaing sebagai calon legislatif (caleg). Ia mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya; dari “meminang” partai pengusung, waktu dan bentuk deklarasi, strategi kampanye dan sosialisasi, jurkam, slogan, jargon, penggalangan dan pengerahan massa, visi dan misi, tim sukses, dan tentu saja uang yang banyak. Sejumlah hobby pun terpaksa ditinggalkannya. Kini setiap ada kesempatan ia juga membaca buku-buku yang bermuatan politik, analisis-analisis para pakar dan pemerhati Pemilu, psikologi massa, dan sejenisnya. Tak lupa ia memperhitungkan dan mengkaji kekuatan dan kelemahan caleg dari partai-partai lain yang akan jadi saingannya kelak.

Pokoknya si caleg saban harinya selalu sibuk dengan aktivitas-aktivitas yang berbau politik. Semua daya dan upaya dicurahkan pada satu fokus: menang dalam Pemilu dan jadi anggota dewan! Dan untuk mencapai tujuan itu upaya batiniah pun dilakukan dengan intensitas tinggi. Si caleg senantiasa melaksanakan puasa-puasa sunnat, mengerjakan shalat malam, dan setiap saat berdo’a; memohon kekuatan dan petunjuk agar Pemilu yang akan dihadapinya bisa berjalan dengan baik dan memperoleh kemenangan. Tidak cukup hanya dengan upaya batiniah itu, si caleg juga melibatkan sejumlah pemuka agama, tuan guru, ustadz, ulama dan habib. Keterlibatan para “pawang agama” itu baik dalam pelaksanaan shalat hajat atau traidisi-tradisi keagamaan yang ia adakan secara berkala, maupun dalam kegiatan kampanye untuk menarik simpati massa agar mendukung dirinya.

“AlhamdulilLah, segala puji hanya milik AlLah yang telah berkenan mengabulkan do’aku,” demikian ungkapan rasa syukur si caleg setelah ia dengan tanpa kesulitan berarti mendapatkan partai pendukung dan nomor urut serta dapil yang diharapkan. Terasa olehnya betapa AlLah Mahaadil, Mahabijak dan Mahakasih. AlLah telah mendengarkan do’anya dan memberikan apa yang diinginkannya. Selangkah lagi, garis finis dari do’anya akan tergapai: menang Pemilu dan jadi anggota dewan.

Akhirnya hari “H” pelaksanaan Pemilu tiba. Si caleg dengan berdebar-debar menantikan hasil perhitungan suara. Di hatinya telah terbetik keyakinan bahwa ia akan memperoleh suara tertinggi dan memenangkan pesta demokrasi lima tahunan itu. Keyakinan si caleg tersebut bukan tanpa alasan. Karena sebelumnya, sejak dari waktu deklarasi hingga masa kampanye, jumlah masa pendukungnya yang hadir selalu membludak melebihi jumlah massa pendukung dari para caleg dari partai-partai lainnya. Keyakinan si caleg makin bertambah lagi dengan hasil poling sejumlah media massa lokal yang selalu menjagokan diri dan partainya. Apalagi hingga memasuki masa tenang, sejumlah ulama, tuan guru, dan habib beserta orang-orang yang mengikuti mereka, terang-terangan menyatakan dukungan.

Namun kenyataan berkata lain, jumlah suara si caleg kalah dari jumlah suara para caleg lawannya, meskipun kalah tipis. Semua sumber lembaga perhitungan suara baik dari KPU kabupaten, propinsi, pemantau indipenden dan sasksinya sendiri menyatakan bahwa dia memang kalah!

Si caleg terduduk lemas, tak percaya dengan hasil perolehan suara yang ia dapatkan. Karena selama ini ia telah melakukan segalanya dengan maksimal, baik dari segi tenaga, pikiran lebih-lebih dana. Namun ikhtiar yang dilakukannya tanpa kenal lelah dan diiringi dengan do’a itu belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Dia mulai lelah dan frustrasi. Bahkan dia mulai merasa do’anya tak berguna, nonsense. Lalu sampailah dia pada satu kesimpulan bahwa shalat hajat dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ia lakukan bersama para “pawang agama”, puasa sunat, duduk bertafakkur dan bangun di tengah malam yang sepi untuk shalat tahajud sambil mendaraskan untaian do’a, bantuan terhadap lembaga sosial dan organisasi keagamaan seperti masjid, langgar, majelis taklim dan pesantren: adalah sia-sia belaka. “Tuhan tidak mengabulkan do’aku mungkin karena dosaku sendiri. Tapi siapa di antara kita yang tidak berdosa? Kalau begitu, apa gunanya aku berdo’a? Toh, do’aku tidak akan didengar apalagi dikabulkan!” protes si caleg gagal.

Kini si caleg gagal lebih banyak tinggal di rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merenung. Dalam hatinya masih tersisa angan-angan muluk, angan-angan yang telah berubah menjadi azam, renjana, bahkan nafsu, untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan yang diinginkan sesuai dengan usaha dan do’a yang dipanjatkannya. Apabila hal itu terkabul maka sudah terbayang pula olehnya kehidupan yang serba “wah”, mewah dan “ah”, dan itulah sebenarnya keinginan yang sudah lama terperam di dasar hatinya.

Karena keinginan kuat yang sudah berubah menjadi nafsu itu tanpa sadar si caleg gagal telah mendiktekan kemauannya kepada AlLah. Seolah-olah dia menjadi boss yang merasa berhak dilayani oleh pembantunya. Padahal dalam kenyataannya dia hanyalah seorang hamba dan AlLah adalah “Boss” segala boss (Qs 20:144).

Tanpa disadarinya, si caleg gagal sebenarnya telah berbuat zalim kepada Zat yang siapa dan apa saja bergantung. Ia tak menyadari bahwa AlLah Mahatahu akan apa yang terbaik bagi hambaNya sehingga AlLah tak perlu didikte. AlLah tidak harus mengabulkan semua permintaan hambaNya karena Dia Mahakuasa. AlLah tidak punya kewajiban apa pun kepada hambaNya. Sebaliknya, manusialah yang mempunyai banyak kewajiban kepadaNya. Manusia wajib menjauhi cegahanNya dan wajib melaksanakan instruksiNya. Manusia harus berikhtiar untuk mencapai keinginannya namun kepastian tetap berada di tanganNya. Dan si caleg gagal tak menyadari bahwa yang termulia bagi manusia adalah berusaha menjadi manusia kesayangan AlLah. Manusia kesayangan AlLah akan memperoleh kebaikan-kebaikan, yang diminta maupun yang tidak diminta.

Banyak orang seperti si caleg. Dari kecewa kepada kehidupan, ia kecewa kepada Tuhan. Orang miskin yang selalu diperlakukan tidak adil oleh masyarakat di sekitarnya; mahasiswa cerdas yang dijatuhkan dosen yang iri akan kecerdasannya; perempuan berjilbab yang dikhianati suaminya, yang dahulu terkesan salih dan ‘alim; profesor yang memilih untuk “kafir” karena ia ditipu ratusan juta oleh seorang kiai; pemikir Islam yang kecewa dengan keadaan umat Islam yang miskin dan terbelakang; kader dakwah yang dijemuruskan oleh organisasi atau kelompok Islam; aktivis partai dan anggota legislatif yang dieksploitasi oleh partainya yang justru berasas Islam; politisi yang dikibuli oleh ulama dan habib yang mendukungnya. Semuanya sampai pada kesimpulan: berdo’a tidak perlu. Pertama, kesulitan hidupnya tak pernah selesai dengan do’a. Kedua, bila do’a kita tidak dikabulkan karena dosa, sedang semua berdosa, apa perlunya berdo’a.

Sayangnya, semua lupa untuk meninjau kembali konsep do’a. Anda memandang do’a sebagai mantera magis untuk mengendalikan alam semesta. Tuhan dilihat sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauan Anda. Do’a Anda, kata Jalaluddin Rahmat dalam Reformasi Sufistik, mirip lampu Aladin dan Tuhan menjadi jin. Ketika Anda berdo’a, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di depan Anda, “Tuan katakan kehendak Tuan.” Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendak Anda, Anda marah kepadaNya. Anda kecewa dan Anda segera membuang lampu Aladin itu.

“Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan,” kata Imam Ja’far ash-Shadiq, “lihatlah di mana posisi Tuhan di hati Anda.” Alangkah rendahnya Anda di mata Tuhan, bila Anda memperlakukan Dia hanya sebagai jin untuk lampu Aladin Anda. Anda berdalih, do’a adalah ungkapan cinta. Tetapi, Anda hanya berdo’a kepadaNya ketika Anda memerlukanNya. Jadi, Anda mencintaiNya karena Anda memerlukanNya. Erich Fromm menulis, “Immature love says, ‘I love you because I need you.’ Mature love says, ‘I need you because I love You.”

Zakariya a.s. adalah Nabi dan manusia sempurna yang terpelihara dari dosa. Puluhan tahun doanya tidak dipenuhi. Berhentikah ia berdo’a? Kecewakah ia kepada Tuhan? Tuhan memuji Zakariya, setelah Zakariya memuji Tuhan, Ingatlah rahmat Tuhanmu untuk hambaNya Zakariya. Ketika ia berdo’a kepada Tuhannya dengan suara lembut. Ia berkata, “Tuhanku, sungguh sudah rapuh tulangku, sudah berkilau kepalaku karena uban, tetapi aku belum pernah kecewa untuk berdo’a kepadaMu, ya Tuhanku.” (QS 19:2-4). Kekasih Tuhan yang lain, Musa a.s., berjuang dan berdo’a untuk kejatuhan Fir’aun. “Ada rentang waktu empat puluh tahun antara permulaan do’a Musa a.s. dengan tenggelamnya Fir’aun,” kata Imam Ja’far.

Lantas, apakah do’a para caleg lain yang telah memperoleh suara cukup banyak dan berhasil menjadi anggota dewan nanti mendapat ridha AlLah dan dia memang dicintaiNya?

Dalam kesempatan lain, Imam Ja’far, penghulu wali AlLah ini berkata, “Bila seorang kekasih AlLah berdo’a kepadaNya, Dia berkata kepada seorang malaikatNya, ‘Penuhi keperluan hambaKu, tetapi jangan segera, karena Aku senang mendengar rintihannya.’ Bila seorang musuh AlLah berdo’a kepadaNya, Dia berkata kepada salah seorang malaikatNya, ‘Penuhi keperluannya dengan segera, karena Aku benci mendengar rengekannya.”

Dengan begitu, apakah para caleg yang kalah adalah kekasih AlLah, dan para caleg yang menang adalah musuh AlLah? AlLahu’alam bis-shawab.