Saturday, September 26, 2009

Karamat atau Karamput



Oleh Aliman Syahrani

Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat.



SEWAKTU mengaji duduk membaca kitab kuning, saya hafal betul definisi karamat. Biasanya, karamat atau karamah diartikan sebagai ’amr khâriqun lil `âdah (Arab), atau perkara-perkara menakjubkan atau mencengangkan yang melampaui atau bersifat luar biasa (lita’âjubiyah). Agar definisinya jâmi` (meliputi apa-apa yang masuk katagori karamat) dan mâni` (mereduksi apa-apa yang bukan), definisi itu dikunci hanya pada ”perkara-perkara mencengangkan yang ditunjukkan oleh para tuan guru atau ulama saja, dengan campur-tangan dari Yang Mahakuasa”. Kunci ini pula yang diberlakukan untuk definisi mukjizat, yang berlaku hanya bagi para nabi atau rasul.

Dengan begitu, keajaiban-keajaiban yang bukan hasil kreasi para tuan guru atau ulama, seperti yang diperagakan tukang sihir, dukun, pesulap, ataupun manusia-manusia jenius di bidangnya, dianggap bukan karamat tetapi istidrat (lanjuran). Atas dasar itulah, karamat dibedakan dengan sihir, sulap, tenung, atau keajaiban yang bukan bersumber dari para tuan guru dan ulama.

Untuk tahu fungsi karamat, kita dengan gampang dapat menganalisis asal kata karamat itu sendiri, yaitu karim. Kata Arab karim yang merupakan kata dasar dari karamat itu berarti mulia atau kemuliaan. Kemuliaan di sini dimaksudkan memiliki kelebihan, sesuatu yang melemahkan atau membuat takjub dan takluk mereka yang menjadi objek pesan yang sedang disampaikan sang penyampai (tuan guru atau ulama). Fungsi dan definisi ini juga sama dengan arti mu’zi, yaitu asal kata mukjizat yang disematkan kepada para nabi atau rasul.

Dalam kisah para nabi dan rasul, konon, dengan kemampuan menghadirkan naganya ular, Musa mampu membuat takjub dan takluk para penyihir Fir’aun di era yang masih magis itu. Konon, dengan keperkasaan dan kekuatan tenaganya menempa besi menjadi peralatan perang, Daud berhasil memesona umatnya, dan mengajak mereka menjalankan risalah Ilahi. Dengan pelbagai kemampuan di bidang terapi penyakit, Isa mampu memikat beberapa umatnya, dan menebarkan risalah kasih sayang kepada umat manusia. Konon, Al Qur’ân yang dianggap sebagai mukjizat terbesar Islam, hadir mencengangkan di masa-masa keemasan prestasi kepenyairan Arab di jarizah Arab, dan banyak menginspirasi jalan hidup umat Islam sampai kini.

Dalam manakib para tuan guru, ulama dan wali – yang di dalamnya banyak saya temukan dongeng-dongeng –, konon, Syekh Abdul Qadir Jailani mampu menghidupkan kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang hingga kemudian mengucap syahadat. Konon, Datu Sanggul bisa shalat Jum’at setiap minggu ke Masjidil Haram di Mekkah dan pulangnya membawa nasi kabuli yang dibungkus daun pisang.* Konon, Alimul ‘Alamah Al Arif Billah Asy Syekh HM Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) mampu menghadirkan buah rambutan di luar musimnya; dikjaya menghentikan arus banjir ketika hendak menghadiri haul datuknya sendiri, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.** Dan seabrek bentuk karamat lainnya dari para tuan guru dan ulama.

Namun, masihkah bentuk-bentuk mukjizat zaman arkaik dan karamat zaman datu tersebut betul-betul menakjubkan dan berfungsi bagi manusia zaman kini? Sebagian mungkin ya, sebagian lagi tidak. Apalah artinya ular memakan ular untuk zaman kita kini; dan pesona apakah yang bisa ditebar oleh bernyawanya kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang bila pertunjukan sulap pun sudah dapat memamerkannya? Ketakjuban apakah yang bisa ditawarkan dari menghadirkan buah rambutan di luar musimnya kalau di era lemari es dan makanan kaleng berpengawet ini sudah demikian mudah didapatkan? Apalah kelebihannya menghentikan arus banjir di zaman Manohara ini, ketika Dedy Corbozer dan Limbad pun dapat lebih dari itu melakukannya.

Saya tertarik menyoroti contoh karamat yang terakhir. Benarkah kedikjayaan Guru Sekumpul menghentikan arus banjir ketika menghadiri haulan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru (secara ideologis) sekaligus datuknya (secara biologis) itu adalah sebuah karamat atau justru karamput? Ada dua argumen yang mendukung keraguan saya terhadap bentuk karamat tersebut – bahkan terhadap bentuk-bentuk karamat pada umumnya. Pertama, identifikasi sebuah ke-karamat-an yang disematkan terhadap seorang tuan guru atau ulama dilakukan tanpa melalui metode yang arjah (menguji dan membandingkan argumentasi dasar, sumber dan metode yang lebih kuat). Semua hanya bersumber dari ujar ke ujar tanpa penyeleksian secara saksama tentang keotoritatifan ujar-ujar tersebut sebagaimana lazimnya diberlakukan dalam penyeleksian dan pengklasifikasian shahih tidaknya sebuah hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan, karena secara ilmiah ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits. Metode ini rasanya tidak pernah diberlakukan untuk meneliti otentisitas sebuah ujar tentang karamat. Dengan demikian, ujar-ujar berkenaan karamat tersebut tidak memenuhi standar baku sebagaimana metode untuk meneliti otentisitas sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Jadi dengan sendirinya ujar-ujar tersebut gugur, tidak dapat dipakai untuk mendukung dasar sebuah karamat. Atau – sebagaimana dalam kaidah penelitian hadits – ujar-ujar tersebut termasuk dalam ujar maudhu, palsu, atau karamput! Ala kulli hal, kalau sebuah hadits yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’ân saja sering dan bisa dipalsukan, apatah lagi hanya dengan sebuah karamat.

Kedua, jika apa yang diujarkan tentang peristiwa Guru Sekumpul saat menghadiri pelaksanaan haul Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura itu adalah benar sebuah karamat, maka dengan sedikit lancang saya sebutkan kalau ke-karamat-an itu didasarkan atas “penghinaan” dan “pengkhianatan” (dengan atau tanpa tanda kutif) terhadap guru sekaligus datuk Guru Sekumpul itu sendiri. Berikut argumentasi saya:

Dalam kitab Sabilal Muhtadin lit Tafaquhi fid Din (Jalan Orang yang Memperoleh Petunjuk dalam Memahami Ajaran Agama), tepatnya pada buku kedua bab Jenazah, halaman 741-742, terbitan PT Bina Ilmu Surabaya tahun 2005 cetakan keempat (disalin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Drs. H. Muhammad Aswadie Syukur, Lc) disebutkan:

“Sunat bagi seisi kampung yang kematian dan seluruh keluarga sekalipun jauh membawa makanan untuk keluarga yang kematian untuk makanan mereka pada siang hari dan malamnya atau untuk selama mereka masih dalam keadaan bersedih hendaklah mereka selalu makan untuk menjaga kondisi kesehatannya.”

“Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti yang kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat. Makruh lagi bid’ah menghadiri undangan itu dan haram menyediakan makanan untuk yang menangis dengan suara nyaring karena yang seperti itu dapat membawa kepada kemaksiatan. Makruh lagi bid’ah menyembelih binatang di atas kuburan dan tidak sah wasiat untuk memperbuat yang seperti itu dan menurut para ulama perbuatan yang seperti itu adalah perbuatan orang di masa Jahiliyah. Makruh lagi bid’ah mencium atau mengecup bagian dari kuburan atau tangga tempat ziarah kuburan para ulama dan aulia.”

Pembaca pasti sudah hafal benar bahwa kitab tersebut dikarang oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru dan datuknya Guru Sekumpul.*** Saya pun merasa tak perlu lagi menjelaskan kandungan fatwa hukum dari kutipan kitab tersebut. Namun saya hanya ingin bertanya, tidakkah keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan haul itu kontradiktif dengan kandungan fatwa hukum dalam kitab karangan guru dan datuknya tersebut? Lalu, pantaskah seorang yang telah melakukan “penghinaan” dan “pengkhianatan” terhadap fatwa guru sekaligus datuknya sendiri disebut karamat? Layakkah seorang yang terang-terangan menyelesihi tuntunan syari’at diberi gelar karamat? Pembaca barangkali mempunyai jawaban beragam, di samping terkejut, tersinggung atau bahkan mungkin marah terhadap testimoni saya ini. Tapi saya masih punya argumen lain:

Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa, dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.

Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Tetapi dalam hal ritual penyelenggaran jenazah, pada banyak sisi, tata-cara ritual tersebut sudah bersifat “fixed” alias harga mati dan boleh dikatakan baku sistem tuntunannya.

Namun demikian, saya tentu tidak menjadikan kutipan dalam kitab Sabilal Muhtadin tersebut sebagai sumber satu-satunya yang menjadi standar hukum seputar ritual dan tata-cara penyelenggaraan jenazah. Karena sebagai salah satu kitab fikih, Sabilal Muhtadin, sebagaimana kitab-kitab fikih pada umumnya, kitab ini lahir sebagai “buah pemikiran” sang pengarang dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, kitab ini selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsirtan” umat Islam terhadap ajaran Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada ketika itu.

Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik. Hal ini juga sebagai apresiasi terhadap pesan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sendiri dalam mukaddimah kitabnya tersebut: “…kuharapkan pula dari orang yang alim untuk memperbaiki isi kitab ini, dengan bahasa yang lebih baik dan dengan pendapat yang lebih benar.”

Namun dalam konteks status hukum dan tuntunan tata-cara ritual penyelenggaran jenazah, sejumlah hadits dan atsar sudah sejak awal-awal memberikan pengajaran cukup jelas dan tegas (mudahan ini tidak dianggap menggurui): Diriwayatkan dari ‘AbdulLah ibn Ja’far ia berkata: “Ketika datang berita tentang Ja’far bahwa ia telah terbunuh, maka berkata Nabi Saw.: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang musibah yang membuat mereka berduka cita’.” (HR Thabrani, Baihaqi, Hakim, Syafi’i, Daruqutni dan lain-lain).

“Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan sesudah mayit ditanam (dikuburkan) adalah termasuk meratap.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

“Ketika Jabir datang kepada Umar ia ditanya: ‘Apakah mayit – kaummu – diratapi? Jabir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi, ‘Apakah mereka membuat makanan di keluarga mayit? Dijawab: ‘Benar.’ Umar berkata: ‘Itu ratapan.’”

Saya tak perlu lagi menjelaskan karena saya yakin pembaca tentu sudah paham betul maksud riwayat di atas. Namun saya ingin memberi sedikit catatan. Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw.. menganjurkan bagi para pelayat untuk membuat makanan bagi keluarga yang mengalami musibah kematian, bukan sebaliknya. Pada kedua atsar disebutkan pendapat para sahabat Nabi Saw.. yang melarang meratapi mayat, berkumpul di rumah duka dan membuat makanan.

Dengan dasar hadits dan atsar tersebut, berarti esensi dan subtansi dari fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan ketentuan hukum yang telah dituntunkan dalam sunnah Nabi Saw. dan atsar sahabat sebagai sumber dasar dalam yurispudensi hukum Islam setelah Al Qur’an. Ini berarti pula, bahwa praktik-praktik yang inkosisten dengan tuntunan riwayat tersebut merupakan “penghinaan” dan “pengkhianatan” tidak saja terhadap fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin itu saja, tetapi juga kepada sekte (mazhab) Imam Syafi’i, yang, seperti diakui oleh pengarang sendiri, bahwa kitab Sabilal Muhtadin tersebut ditulis sebagai kitab fikih menurut aliran sekte Imam Syafi’i yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah ini. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah kitab yang menjadi rujukan pengarang seperti Syarah Minhaj karangan Zakariya Anshari, Al Mugni karangan Syekh Khatib Syarbaini, At Tuhfah karangan Ibnu Hajar Al-Haitami, An Nihayah Syekh Jamal karangan Sykeh Ramli dan beberapa buah kitab sarah dan komentar lainnya.

Oleh karena esensi fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan tuntunan RasululLah Saw. dalam haditsnya, maka dapat pula dikatakan bahwa perlakuan orang-orang yang menyelisihinya sama juga dengan “penghinaan” dan “pengkhianatan” (sekali lagi, dengan atau tanpa tanda petik) terhadap sunnah Nabi Saw.!

Dengan argumen-argumen itu, apakah lantas saya menjadi orang yang tidak percaya atau menolak karamat? Saya tidak mau menjawab pertanyaan ini. Saya hanya akan mengajukan hipotesa berikut: Menolak, atau paling tidak mempersoalkan tentang karamat, tidak sama dengan tidak percaya. Dalam pandangan saya, menolak dan mempersoalkan ke-karamat-an seorang tuan guru atau ulama bukan berarti menyurutkan dan menyudutkan otoritas dan kualitas ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an pribadi bersangkutan. Bahkan lebih meneguhkan lagi ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an mereka dalam bentuk dan makna yang sangat manusiawi. Karena tunduknya umat terhadap tuan guru, ulama atau bahkan wali, tidaklah sampai ke tingkat melenyapkan kedudukan mereka sebagai manusia dan yang serupa dengan itu. Umat tidak harus memposisikan mereka sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals).

Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat.

Sudah saatnya, pencitraan sosok tuan guru dan ulama yang selama ini terlalu menonjolkan aspek-aspek heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna, mesti dieliminasi. Kita perlu mengapresisasi dan mengekpresi sosok tuan guru dan ulama kepada hakekatnya yang profesional dan proporsional sebagai warasatul anbiya; penerus dan pewaris para Nabi, pun sebagai seorang manusia biasa yang bisa “terpeleset” ke dalam lubang kesalahan, di samping kesalehan. Kita juga berharap kaum tuan guru dan ulama sendiri jangan pula memposisikan diri mereka yang dengan sadar dapat berakibat pada pengkultusan yang over dosis untuk kemudian dijelmakan sebagai sosok heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna. Dengan begitu, sosok tuan guru dan ulama akan menjadi khazanah teladan ideal dan figuratif otentik di tengah-tengah umat sebagai warasatul anbiya sebagaimana mestinya.

Sekarang, buat apalah bacaan-bacaan dan amalan-amalan tuan guru dan ulama bila tidak menstimulasi umatnya untuk menghadirkan karamat-karamat baru yang lebih dahsyat di zaman modern ini? Kini, dunia semakin berkembang berkat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap hari, ada saja perkembangan terbaru di bidang sains dan teknologi. Di manakah letak dan kontribusi umat Islam?

Tuan guru dan ulama memang ada yang sedikit-banyak berbicara perihal sains dan teknologi, soal alam raya, watak-watak dan gejala-gejala yang ditimbulkannya, seperti fenomena bintang-gemintang dan bahkan gunung-gunung dan gurun-gurun. Tapi sedikit sekali yang bisa menerjemahkan ”karamat saintifik” sunatulLah itu ke dalam penelitian yang mampu memahami dan menjinakkan watak bengis alam raya yang kadang-kadang muncul seketika.

Ada juga tuan guru dan ulama yang secara normatif menganjurkan umat Islam untuk mencermati bagaimana si burung bisa melanglang-buana di angkasa raya, dan langit bisa terbentang tanpa tiang. Tapi hanya BJ Habibie yang mengerti bagaimana caranya burung besi mampu terbang ke hamparan angkasa. Kini terasa betul, kita membutuhkan karamat-karamat modern dari para jenius-jenius Islam yang lebih menakjubkan.

Karamat-karamat tersebut dapat saja diabdikan untuk menekan angka kematian dan menaikkan tingkat harapan hidup; mempermudah sarana transportasi dan komunikasi, serta mengantisipasi kemalangan dan dampak buruk bencana alam. Tentu masih banyak lagi fungsinya yang diharapkan.

Di sini, karamat dalam artian yang konvensional, seperti yang dimuat kitab kuning dan diajarkan di pesantren itu, sudah bergeser maknanya. Ia tidak hanya datang dari tuan guru dan ulama atau wali karena dengan begitu tidak akan ada lagi karamat. Sementara, dunia terus saja mengharap karamat.

Karamat di masa kini dan di sini, kita maknai sebagai segala bentuk terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang oleh umat beragama dapat saja dijadikan sebagai bentuk keterpanggilannya oleh ayat-ayat kauniyyah Alqur’an, dan lebih penting lagi, diabdikan untuk sebanyak mungkin kemaslahatan manusia.

Dengan kemampuan membuat lebih banyak karamat itulah umat Islam akan dihargai di tingkat dunia dan kebesaran Islam dan umat Islam dapat dicapai. Selagi kita tidak dapat membuat karamat-karamat baru, kita akan tetap menjadi tumbal dari karamat ”burung besi” yang dipaksa terbang meski sudah tua dan renta. Tanpa kemampuan mengkreasi karamat-karamat baru dalam pelbagai lapangan kehidupan, kita akan selalu menjadi pengumpat kemurkaan alam, walau dengan niat baik menyebutnya sebagai bala atau ujian Tuhan.

Dengan kemampuan menghadirkan karamat dalam teknik penanggulangan gempa, misalnya, kita terbebas dari efek destruktif gempa sekaligus kecenderungan berburuk sangka kepada AlLah. Rasanya, kita memang membutuhkan lebih banyak karamat lagi, sekalipun tidak datang dari seorang tuan guru atau ulama bahkan wali.

Sejatinya, seorang tuan guru dan ulama atau wali yang dikatakan punya karamat adalah mereka yang selalu meminta hidayah untuk semua umat. Sedang mereka yang selalu meminta hadiah kepada semua umat adalah seorang tuan guru dan ulama atau wali yang karamput! []

*) Padahal, secara letak geografis terdapat selisih waktu hampir lima jam antara Indonesia dengan Arab Saudi. Artinya, ketika di Indonesia masuk waktu shalat Jum’at, di Arab Saudi baru selesai shalat Subuh. Dapat pula dibuktikan bahwa pisang bukanlah tumbuhan dari Arab Saudi. Jadi bukankah tidak masuk akal Datuk Sanggul pulang shalat Jum’at dari Masjidil Haram sambil membawa nasi kabuli berbungkus daun pisang.
**) Sebagaimana sering dikutif sejumlah media massa di Kalimantan Selatan dari buku “Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari” yang dutulis oleh Abu Daudi atau KH Irsyad Zien.
***) Guru Sekumpul adalah juriat dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dengan jenjang silsilah keturunan yang ke sembilan.



Kandangan, 26 September 2009
Rata Penuh

Thursday, September 3, 2009

Bakul Santri vs Mobil Kiai


Oleh Aliman Syahrani

Pertanyaannya sekarang bukan lagi masalah salah atau benar, wajar atau tidak. Tetapi mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa fenomena ulama amplop dan juru dakwah bayaran itu bisa berlangsung?


SUATU
pagi di hari Jum’at, tiga orang pemuda tanggung datang ke kompleks perumahan. Mereka semua berpakaian hampir seragam; mengenakan sarung, baju koko wara putih dan berkopiah haji warna putih pula. Ini entah sudah yang ke berapa kali mereka datang ke kompleks perumahan pada hari dan dengan tujuan yang sama.

Sebenarnya saya tidak perlu lagi bertanya, sebab, dari busana yang mereka kenakan, saya sudah bisa memastikan bahwa mereka, kalau tidak dari jamaah sebuah pengajian atau majlis taklim, pastilah dari panitia pembangunan langgar atau masjid, atau mungkin santri dari sebuah pondok pesantren. Paling jauh, mereka pasti dari group maulid atau kru tarbanger. Dan dari bakul purun bertuliskan “Mohon Sumbangan Sukarela” yang masing-masing mereka bawa, makin menegaskan maksud kedatangan mereka. Tapi saya tetap juga bertanya, dari mana dan apa maksud kedatangan mereka.

Benar saja. Para remaja tanggung itu memang santri dari sebuah pondok pesantren tradisional di wilayah Kandangan, bahkan kiai pimpinan pesantrennya cukup akrab dengan saya. Mereka saban pagi Jum’at setiap minggunya “bergerilya” menadahkan bakul purun guna mengumpulkan sumbangan dari kaum muslimin di daerah ini berupa uang, baik dari zakat, infak, sedekah, atau sumbangan tidak mengikat lainnya. Hasil sumbangan itu, menurut mereka, digunakan untuk menunjang kelangsungan aktivitas thalabul ilmi di pondok pesantren mereka. Memperhatikan para santri yang datang berkelompok sambil menadahkan bakul purun untuk mengumpulkan sumbangan itu, saya jadi teringat dengan film-film Thailand yang menampilkan kegiatan para biksu muda yang juga secara berkala mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengumpulkan derma untuk kegiatan agama Budha dan kebutuhan hidup mereka di kuil-kuil.

Saya tidak ingin menceritakan kepada Anda apakah saya memberikan sumbangan atau tidak terhadap para santri penadah “bakul amal” tersebut. Saya hanya ingin bercerita sedikit tentang interaksi yang pernah saya alami dengan pesantren. Meski secara fisik saya tidak pernah mondok dan nyantri di sebuah pesantren, namun sejak dulu saya sering bergaul dengan banyak santri, sering juga mengikuti pengajian ala pesantren (mangaji duduk mambaca kitab kuning) dan pernah pula bermalam di sejumlah pesantren. Di perpustakaan pribadi di rumah, terpampang koleksi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, meski kebanyakan dalam edisi terjemah. Bahkan, saya juga banyak kenal dan bergaul akrab dengan beberapa ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren.

Saya tertarik menyoroti yang terakhir. Dari sejumlah ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren di HSS (dan barangkali juga di daerah-daerah lain), sebagian besar dari mereka – kalau tidak dikatakan seluruhnya – sekarang sudah berada dalam strata kehidupan yang tidak bisa dibilang “rendah”; mayoritas para ustadz dan kiai pemilik pesantren di HSS – dan pemuka agama pada umumnya – sekarang sudah menjadi golongan masyarakat kelas kakap (height class) dengan kelompok sosial ekonomi tinggi. Sebagai barometer umum, rata-rata para ustadz dan kiai pemilik pesantren dan pemuka agama itu telah memiliki rumah cukup mewah, lengkap dengan fasilitas pendukungnya, dari motor yang selalu hampir baru hingga sebuah mobil. Barometer ini berlaku juga pada diri kiai pemilik pesantren yang santrinya saban Jum’at datang menadahkan bakul purun ke kompleks perumahan itu.

Salahkah bila seorang ustadz atau kiai pemilik pesantren memiliki fasilitas mewah semacam itu? Anehkah bila seorang pemuka agama seperti tuan guru, ustadz atau habib mempunyai dan menikmati kelebihan berupa harta atau benda? Jawabnya tentu saja tidak. Tetapi, kenapa saya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu? Tidakkah seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren bila memiliki fasilitas semacam itu akan semakin mendukung pelaksanaan segala aktivitasnya dalam pengelolaan pesantren? Bukankankah seorang pemuka agama seperti tuan guru atau habib yang mempunyai kelebihan harta akan lebih memudahkannya dalam melaksanakan kegiatan dakwah keagamaan yang ia jalankan? Tidakkah wajar bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren, pemuka agama, tuan guru atau habib yang bertugas sebagai penjaga moral dan spiritual umat, sebagai pengemban dakwah keagamaan yang tidak mendapat gaji dari pemerintah seperti pegawai pada umumnya, diberikan dan memperoleh imbalan berupa uang atau fasilitas lainnya dari umat atau jamaah yang dibimbingnya?

Kenyataan lain akan segera menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu retoris belaka. Karena betapa banyak pemuka agama seperti ustadz atau kiai yang justru hidup hanya semata-mata dari ”isi amplop” yang ia dapatkan sebagai pembayaran dari kegiatan dakwah yang ia jalankan, tanpa memiliki pekerjaan atau kegiatan usaha yang lain. Tak terhitung pemuka agama yang menggantungkan hidupnya semata-mata hanya dari penghasilannya sebagai juru dakwah bayaran. Tidak sedikit para pemuka agama dan juru dakwah yang menjadikan aktivitas keagamaannya dan profesi keulamaannya sebagai pekerjaan yang mesti mendapatkan upah, dan mengelola lembaga keagamaannya – baik itu pesantren, majlis taklim, group maulid, dan yang lainnya – layaknya sebuah badan usaha yang mesti menghasilkan fulus guna memenuhi segala keperluan hidupannya. Bukannya menjadikan profesi dan kegiatan dakwahnya serta lembaga keagamaan yang dikelolanya tersebut sebagai sebuah tugas apalagi kewajiban, baik secara individu maupun kolektif, sebagai pemuka agama atau penggiat dakwah. Jika hal ini benar terjadi, apa bedanya seorang pemuka agama yang berprofesi dan bergiat sebagai aktivis dakwah dengan pekerja komersil atau karyawan pabrik dan perusahaan yang mendapatkan upah dan gaji? Apa bedanya kegiatan para santri yang bergerilya menadahkan bakul purun itu dengan kegiatan para biksu yang mengumpulkan derma seperti dalam ajaran Budha?

Belum lagi, hati ini rasanya giris sekaligus marah ketika menemukan ratusan atau bahkan ribuan ”kotak amal” untuk pembangunan rumah Tuhan atau kegiatan pendidikan pesantren bertebaran hampir di setiap tempat umum di Kandangan seperti di emperan mini market, di pojok-pojok pertokoan, di ujung meja warung, di sudut perkantoran bahkan di pelataran instansi pemerintah. Beginikah wajah Islam kita, khususnya di Kandangan? Apakah sudah sedemikian lemahnya kehidupan warga sesama kita, sehingga mengesankan hal-hal yang bukan saja kurang pantas tetapi juga memalukan sekaligus menghinakan terjadi di muka umum? Bagaimana hati ini tidak giris dan marah melihat Islam yang ditampilkan di ruang publik dengan cara demikian murah seolah mengidentikkan umat Islam sebagai kaum pengemis atau kelas melarat, karena secara spektakuler kita telah mempertontonkan kepedulain sosial yang begitu kerdil di antara kita. “Bagi mereka yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Bukankah ironis sekali bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren atau pemuka agama dan juru dakwah yang sudah memiliki fasilitas rumah cukup mewah hingga mobil baru tapi masih ”mengeksploitasi” para santri atau jamaahnya untuk bergerilya menadahkan bakul purun demi penggalangan dana guna mendukung aktivitas belajar-mengajar – atau mungkin untuk kebutuhan makan dan hidupnya – di pesantren, majlis taklim atau lembaga keagamaan yang ia kelola. Tidakkah menggelikan, para pemuka agama yang sudah berada dalam strarata kehidupan golongan masyarakat kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; yang telah memiliki rumah cukup mewah dilengkapi fasilitas motor bahkan mobil, tapi terus menerima pemberian zakat yang dikeluarkan umat? Apakah fenomena ini disebabkan oleh sebuah hadits yang berlatar ”klenik” dan dicomot sebagiannya kemudian ditafsirkan seperti sistem ”waralaba”? Inna ahaqqa ma-akhajtum ’alaihi ajran katabulLah. ”Upah yang paling berhak kamu ambil adalah upah Kitab AlLah.” (HR. Bukhari).

Pertanyaannya sekarang bukan lagi masalah salah atau benar, wajar atau tidak. Tetapi mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa fenomena ulama amplop dan juru dakwah bayaran itu bisa berlangsung? Catatan sejarah yang cukup panjang telah menjelaskan: ustadz, kiai, pemuka agama dan juru dakwah di kampung-kampung (juga di kota-kota!), biasanya, mengumpulkan zakat, sedekah, infak, atau sumbangan masyarakat untuk membangun pesantren, masjid, madrasah, atau fasilitas keagamaan lainnya. Bahkan para kiai secara pribadi bisa (atau membiasakan?) menerima zakat dan semua “pemberian” dari para pengikutnya. Praktik di lapangan menunjukkan, “zakat” merupakan sumber kekuatan tokoh-tokoh agama serta perkumpulan yang mereka kelola. Dalih agamisnya, seorang ustadz atau kiai yang menjalankan aktivitas dakwah dimasukkan dalam delapan kelompok orang yang berhak menerima zakat, yaitu sebagai fisabililLah. Sebuah argumen yang sebenarnya masih melahirkan perdebatan dan kritik tajam. “Memang kata sabililLah itu artinya banyak sekali,” kata Imam Malik. “Tetapi saya belum menjumpai perselisihan pendapat bila kata itu diartikan dengan peperangan di jalan AlLah.”

Di sisi lain, realitas tersebut sungguh kontradiktif dengan fakta yang terjadi di lapangan. Dari pengalaman saya sebagai petugas amil zakat di sejumlah langgar dan masjid di Kandangan, ditambah lagi dengan sejumlah observasi lainnya, fakta menunjukkan bahwa hampir tidak pernah ada nama seorang pemuka agama di Kandangan yang terdaftar sebagai muzakki, (orang yang menunaikan kewajiban zakat). Yang ada ya itu tadi, justru nama sejumlah pemuka agama dan juru dakwah terpampang dan ”selalu terdepan” (meminjam slogan iklan Yamaha) dalam deretan sebagai mustahiqq al-zakat (kelompok orang yang ”berhak” menerima zakat).

Hal ini menjadi kritik sebagai monopoli tokoh-tokoh agama atas sumber daya ekonomi yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan umat yang lebih banyak. Meskipun mereka sering berargumentasi, karena kiai-kiai pengelola pesantren dan pemuka agama pelaku dakwah itu tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah dan jarang disokong secara finansial oleh pemerintah. Sehingga zakat dan sedekah dari masyarakat menjadi sumber kehidupan sekaligus “kekuatan politik” para tokoh agama itu. Dengan sokongan itu, konon, para pemuka agama tidak terkooptasi dan terkontaminasi oleh pemerintah, dan bisa menjaga independensi terhadap kekuasaan.

Namun, catatan sejarah kembali membuktikan, selama berabad-abad, tidak sedikit para pemuka agama, yang memimpin atau mengajar di pesantren atau tidak, berlindung di balik tameng sebagai “polisi moral” umat yang sesungguhnya telah dikebiri. Dengan uang, baik berupa zakat, sedekah, infak atau sumbangan umat lainnya, yang percaya kepada mereka, mereka membangun pondok-pondok pesantren, madrasah, universitas, panti, yayasan, rumah sakit, masjid, halaqah, organisasi, bahkan partai, dan di dalamnya mereka menimbun dan bergelimang serta berkubang harta kekayaan yang meruah sambil menebarkan dan melegalkan kebohongan dan kebodohan – baik sosial maupun kultural – kepada umat. Lebih parah lagi, dalam kubangan harta serta kemewahan itulah mereka berkoar sebagai tulang punggung agama dan penjaga moral umat di atas kenistaan dan kemelaratan umat itu sendiri.

Geliat lanjut dari kebobrokan kultural dan struktural semacam itu, tak pelak lagi, terhumbalanglah ulama dari percaturan dunia dan hanya terserak di pojok-pojok masjid, di emper-emper majlis taklim atau di keremangan pondok-pondok pesantren. Ulama yang seharusnya menjadi lokomotif “penyuplai” warasatul ‘anbiya telah tereliminasi dari sentral perannya yang sejatinya tidak sekadar tentatif.

Selanjutnya, fungsi ulama juga hanya sekadar sebagai “polisi moral” yang wewenangnya telah dikebiri. Maka mewabahlah kejumudan, taklid buta, khurafat, takhayul, ta’assyub dan kultuistik di kalangan umat.

Ulama sejatinya adalah anak kandung dari penderitaan dan rasa cinta kasih dalam nilai-nilai agama. Ulama sejatinya selalu datang dengan suatu simpati yang besar kepada setiap penderitaan umat, dan menawarkan cinta kasih sebagai landasan paling pokok untuk melawan penderitaan itu. Sebelum disibukkan oleh aturan hukum yang disokong oleh birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik, ulama adalah sumber cinta kasih dan simpati pada mereka yang menderita. Kesibukan ulama yang terlalu berlebihan dengan ritual, seremoni, hukum, dan aturan-aturan yang dijaga ketat oleh ortodoksi agama, bisa membuat ulama itu kehilangan sensitivitas dan sentuhan akan penderitaan mereka yang lapar, mereka yang hak-haknya dirampas, mereka yang ada di pinggiran kekuasaan. Ulama yang telah merosot hanya menjadi fasilitator “ibadah” badaniah belaka atau segerombolan petugas hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai expired canonist atau ulama kadaluarsa.

Ulama sebagai fasilitator upacara ritual memang diperlukan. Umat, sekali-sekali dalam hidupnya, perlu upacara, dan agama menyediakan ”perkakas keagamaan” untuk penyelenggaraan upacara itu, sedang ulama menjadi “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” dalam Islam. Tetapi, jelas upacara dan ritual dalam Islam hanyalah ornamen atau hiasan luar. Ibadah dan hukum-hukum dalam Islam adalah semacam eksterior atau ruang bagian luar dari Islam. Interior atau ruang dalam Islam adalah cita-cita, esensi, makna dan hakekat yang menjadi alasan kenapa agama ini lahir ke muka bumi. Salah satu cita-cita mendasar Islam adalah simpati dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tersingkirkan (dha’if wa mustadh’afin). Dalam konteks inilah ulama memegang kendali utama sebagai lokomotif terdepan dalam rangka merealisasikan cita-cita dasar Islam tersebut.

Manakala ulama telah kehilangan kepekaan kepada semangat zaman, maka sudah selayaknya jika umatnya mulai mempersoalkan ulama itu sendiri atau bahkan meninggalkannya. Islam tak menghendaki kepada ulama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat umat melaksanakan ajaran agama adalah dengan cara menyuguhkan ‘kegembiraan di kemudian hari’, tetapi tidak kegembiraan di dunia dan kehidupan sekarang ini.

Ulama yang “fresh” adalah ulama yang membimbing umat untuk melaksanakan ajaran agama guna menghadapi masalah di dunia saat ini, yang menyapa umat yang mengalami penderitaan, yang menjanjikan keselamatan bukan saja di dunia nanti, tetapi juga di dalam kehidupan saat ini. Ulama yang menjadikan ketaatan agama berorientasi kepada doktrin, ritus dan seremoni sebagai tujuan pokoknya; yang berperan hanya sebagai “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” belaka; yang menggunakan jampi-jampi agama untuk konsumsi ekonomis atau komoditi politis, bisa disebut sebagai ulama kadaluarsa yang sudah kehilangan identitas dasarnya sebagai warasatul anbiya.

Dalam perkembangan selanjutnya, saya khawatir ulama akan berfungsi multi-ganda sebagai fasilitator, operator, obligator atau bahkan predator agama! Na’uzubilLah summa na’uzubilLah! $¥

Bulan Penuh Pencuri


RAMADHAN sering dinisbatkan sebagai bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan. Ramadhan kadang juga disebut sebagai bulan perjuangan, karena di dalamnya umat Islam selama sebulan penuh berjuang melawan segala keinginan diri (hawa nafsu). Ramadhan dikatakan pula sebagai syayyid as syahru (penghulu bulan), karena di dalamnya terdapat satu malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu lailat al Qadr (“Malam Kekuasaan”). Di bulan Ramadhan pulalah pertama kali diturunkannya al Qur’än (nuzulul Qur’än).

Di bulan Ramadhan, segala keistemewaan dicurahkan, segala kasih sayang dan kebaikan disemaikan, segala ampunan ditautkan. Pendeknya, Ramadhan ibaratnya adalah muara tempat berkumpulnya segenap mata air kesucian dan sumber kebaikan yang mengalir dari hari-hari di segenap bulan dan tahun.

Di balik semua keistemewaan itu, Ramadhan sebenarnya juga berpotensi sebagai bulan penuh pencuri. Kenapa demikian?

Rasulullah saw. bersabda: "Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dari shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai RasululLah, bagaimana ia mencuri dari shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya." (HR. Ahmad)

Kisah ini terjadi ketika setelah selesai shalat berjamaah, RasululLah duduk bersama para sahabatnya di salah satu sudut masjid. Kemudian datang seorang laki-laki ke bagian sudut lain dan langsung mengerjakan shalat sendirian. Dalam shalatnya orang itu rukuk dan sujud dengan cara sebentar-sebentar karena terburu-buru.

Melihat hal itu, RasululLah kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Apakah kalian menyaksikan orang ini? Barang siapa meninggal dalam keadaan shalatnya seperti ini, maka ia meninggal di luar agama Muhammad.”

Jadi, apabila kita tidak menyempurnakan thuma'minah, shalat kita bukan sekadar tidak sah, tetapi shalat itu dianggap tidak ada. AlLah bahkan mencabar orang-orang yang shalatnya seperti itu dengan ancaman bahwa mereka akan celaka. Sebab, dengan meninggalkan thuma' ninah (tenang sejenak) berarti kita sudah lalai dalam shalat (an shalatihim sahũn) (QS al Ma'un: 4).

Kawan, sekarang kita tengah berada di bulan suci Ramadhan, yaitu bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan. Kalau di bulan-bulan dan di hari-hari lain kita sering shalat tidak thuma'ninah, maka di bulan Ramadhan ada sebuah tantangan besar bagi kita untuk shalat lebih tidak thuma'ninah lagi, yaitu ketika shalat qiyamu Ramadhan atau yang sering kita namakan shalat tarawih. Karena ingin mendapatkan jumlah raka’at yang banyak, kita justru melakukannya dengan cara serba extra; extra cepat, extra singkat dan extra kilat (gerakannya extra cepat, ayatnya extra singkat dan bacaannya extra kilat).

Kalau ini yang terjadi, maka Ramadhan bukan saja menjadi bulan penuh berkah, rahmah dan ampunan, tetapi juga sekaligus menjadi bulan penuh pencuri. Yaitu pencuri shalat. Berani hadapi tantangan untuk tidak jadi pencuri? []