Monday, June 30, 2014

Perbedaan Pendapat dan Kebebasan Berfikir

“SAYA dalam keadaan junub dan tidak ada air,” kata seorang laki-laki kepada Umar bin Khathab. Maksud kedatangan laki-laki itu adalah untuk menanyakan, dengan keadaanya itu, apakah ia harus salat atau tidak. “Jangan salat,” jawab Umar yakin. “Sampai engkau mendapatkan air.” Ammar bin Yasir yang menyaksikan pembicaraan itu berkata kepada Umar bin Khathab, “Tidakkah Anda ingat, Umar. Dulu, engkau dan aku pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah, kemudian salat. Aku sampaikan kejadian ini kepada RasuluLah saw, dan beliau berkata, ‘cukuplah bagi kamu berbuat demikian.’ ” Mendengar penuturan Ammar, dengan keras Umar menegur, “Ya Ammar, takutlah kepada AlLah!” “Ya Amir al-Mu’minin,” kata Ammar kemudian, “Jika engkau menghendaki, aku tidak akan menceritakan hadis ini selama engkau hidup.” Mengomentari hadis ini, Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Yang dimaksud Ammar, ‘aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini daripada meriwayatkannya. Aku setuju denganmu (Umar), dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak salah.’ ” Sejak itu, Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya – bahwa orang yang sedang junub, bila tidak ada air untuk mandi, tidak perlu salat, sampai mendapatkan air. “Wa hadza madzhab masyhur’ an ‘Umar,” kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali AbdulLah bin Mas’ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan AbdulLah bin Mas’ud dengan Abu Musa al-Asy’ari tentang kasus ini pada hadis No. 247. Abu Musa menentang pendapat AbdulLah – sekaligus mazhab Umar – dengan mengutif ayat “jika kalian tak mendapat air, hendaklah tayamun dengan tanah yang baik”. Menarik untuk dicatat bahwa kelak, dengan merujuk kepada ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar. Peristiwa yang baru saya kutif di atas menunjukkan, bahwa perbedaan pendapat (paham) dalam menyimpulkan ketentuan hukum (istinbath) sudah ada sejak para sahabat. Sahabat adalah orang yang sezaman dengan RasululLah saw. Mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung penjelasan Nabi saw. Toh, dalam situasi seperti itu pun mereka sudah bertikai pendapat. Dapat dibayangkan pada para ulama yang datang kemudian. Mereka bukan saja berbeda dalam memahami nash (al-Qur’an dan hadis), tetapi juga berbeda dalam memahami perilaku sahabat, di samping berbeda dalam memilih sahabat yang diikuti. Abu Hanifah, misalnya, memilih pendapat Umar. Para imam mazhab yang lain memilih sahabat yang lain lagi. Karena perbedaan pemahaman inilah, lahir ketentuan hukum yang berbeda. Terlalu banyak contoh dalam kasus ini untuk disebutkan, dari yang berifat ushul (pokok) sampai kepada yang furu’ (cabang) dalam Islam. Lebih-lebih lagi dalam lingkup fikih Islam. Sebagai rujukan, para peminat fikih Islam bisa mengkaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah yang ditulis oleh Muhammad Jawad Mughniyyah. Kitab ini menghimpun pemahaman atau pendapat para ulama dari lima mazhab: Imamiyyah, Hanafi, Maliki, Fyafi’i, dan Hanbali. Juga, silakan kaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ah karangan Al-Azairi. Meskipun kitab ini hanya menghimpun pendapat para ulama dari empat mazhab di kalangan Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Tentu masih ada kitab-kitab lainnya. Pengkajian terhadap kitab-kitab semacam itu sangat bermanfaat. Kita bisa membandingkan berbagai pendapat dan argumen tentang suatu masalah. Pendapat-pendapat itu juga bisa dijadikan rujukan ketika memecahkan masalah-masalah fikih kontemporer. Di samping itu, para peneliti hukum Islam dapat memberikan sumbangannya di atas kontribusi para ulama sebelumnya. Dengan demikian, tradisi para ulama fikih sebelumnya dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ilmu menjadi akumulatif, sehingga tidak jumud. Dasar-dasar hukum Islam boleh jadi sudah baku, tetapi tidak lantas jadi beku. Hukum Islam menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian, paling penting dari semuanya, fikih dengan pendekatan komparatif dapat menumbuhkembangkan saling pengertian di antara berbagai mazhab. Kebebasan Berpikir Di samping perbendaan pendapat, kebebasan berpikir – yang kemudian melahirkan kebebasan menafsir – juga sudah menjadi niscaya dan fakta tak terelakkan dalam sejarah pemikiran Islam. Itu terjadi pula dari sejak zaman sahabat dan makin berkembang pada generasi-generasi ulama yang datang belakangan. Ribuan tafsir dari pelbagai sudut pendekatan ditulis oleh ulama. Ada tafsir yang liberal ada yang literal. Ada tafsir yang tekstual ada yang kontekstual. Ada tafsir dengan pendekatan sufi yang sangat "bebas" dan ada tafsir "bil ma'tsur" a la "al-Durr al-Mantsur" yang sangat taat dengan pemahaman harfiah. Ribuan tafsir itu tak mungkin ditulis jika tidak ada kebebasan berpendapat dan berpikir dalam Islam. Yang sering membuat saya kaget, umat Islam sekarang, yang umumnya tak belajar tradisi pemikiran Islam yang kaya, tiba-tiba membenci kebebasan berpikir. Ada-ada saja alasannya. Salah satu alasannya: kebebasan berpikir itulah yang menyebabkan Iblis terjatuh dan sesat. Sebab Iblis memakai pikirannya sendiri dan menolak perintah Tuhan. Argumen ini sudah pernah dipakai oleh para ulama dahulu yang menentang penggunaan qiyas atau silogisme, tetapi toh ulama lain tak terpengaruh dengan pendapat ini, dan tetap menganggap qiyas sebagai salah satu asas penting dalam istinbath hukum. Alasan lain yang paling populer, dan tampaknya di sinilah umat Islam sering terjatuh, adalah bahwa jika kebebasan berpikir dibiarkan, maka orang akan cenderung kebablasan. Dalam banyak kesempatan dialog, saya kerap disuguhi pertanyaan berikut: Apakah demi kebebasan berpikir "seks bebas" dihalalkan? Apakah demi kebebasan, cara-cara ibadah dengan bunuh diri massal diperbolehkan? Kalau semua pendekatan kepada Tuhan adalah sah, apakah cara "gila" yang ditempuh oleh sekte seperti "Ranting Daud" itu absah? Dan seterusnya. Saya sungguh heran dengan tanggapan semacam ini. Sejauh pengetahuan saya, orang-orang yang berjuang untuk tegaknya kebebasan pikiran, baik di Barat atau di Timur, tidak pernah berpikir bahwa hal itu untuk menghalalkan "seks bebas". Yang patut dicurigai adalah, kenapa soal seks begitu mengganggu pikiran umat Islam, misalnya. Apakah mereka begitu "ngeres" pikirannya, sehingga dipenuhi dengan seks melulu? Kenapa hal yang pertama terlintas di pikiran rekan dialog saya begitu mendengar soal "kebebasan berpikir" adalah soal seks? Apakah mereka mempunyai masalah dalam hal ini (maaf)? Semua agama, bukan hanya Islam, mengharamkan zina. Semua agama mengharamkan pembunuhan, pencurian, berbohong, menipu, bersikap tak hormat pada orang tua, dan seterusnya. Apa yang dalam tradisi Yahudi disebut sebagai "Sepuluh Perjanjian" (Ten Commandement) adalah merupakan ajaran-ajaran yang universal, bukan saja dalam agama Yahudi tetapi juga Islam dan agama-agama lain. Praktek-praktek penyembahan agama yang melanggar prinsip itu, akan dengan sendirinya ditolak oleh agama-agama besar. Di negara-negara yang menjunjung tinggi pemikiran yang bebas, pencurian dan pembunuhan tidak dengan sendirinya halal demi kebebasan berpikir. Di sinilah saya percaya, bahwa akal manusia dan wahyu Tuhan sebetulnya bertemu dalam satu titik. Dalam istilah yang lain saya ingin menyebut, bahwa akal adalah fakultas wahyu. Dengan akallah kemudian wahyu “disaring”, dimaknai dan diberlakukan. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taymiyah sebagai "Muwafaqat Sharihil Ma'qul li Shahihil Manqul". Bagaimana jika wahyu dan akal bertentangan? Saya mengikuti pendapat Ibn Rushd, seorang filosof dan ahli fikih dari abad 13 M, dalam "Fashl al Maqal Fi Ma Baina al Hikmati was Syariati min al Ittishal". Menurut dia, jika ada pertentangan antara keduanya, maka wahyu harus ditakwil. Tetapi, hal ini harus dilihat dengan cermat. Tidak semua pendapat akal manusia dengan sendirinya sah. Hanya pendapat yang dalam istilah Ibn Taymiyah disebut "sharih", pendapat yang dilandasi dengan argumen yang kokoh, dan bukan sekadar memperturutkan hawa nafsu belaka, yang dapat dipertimbangkan. Apa pendapat yang "sharih" itu? Ibn Rushd sendiri tidak menetapkan suatu ancar-ancar. Bagi saya, ancar-ancar itu tidak ketat, kaku, sebab pada akhirnya yang menentukan sebuah pendapat masuk akal dan tidak adalah kalangan cerdik pandai sendiri. Ibn Rushd sendiri sudah mengatakan dalam "Bidayat al Mujtahid" bahwa "al nushush mutanahiyah wa al waqai' ghairu mutanahiyah", teks-teks agama dan wahyu terbatas jumlahnya, sementara situasi sosial terus berubah. Bagaimana mungkin, kata Ibn Rusdh, sesuatu yang terbatas akan mengatasi yang tak terbatas. Di situlah akal manusia dan kebebasan berpikir diperlukan. Lantas, dengan argumen kebebasan berpikir, apakah wahyu menjadi demikian relatif, subjektif, tidak ada batasan antara yang “haq” dan yang “bathil”? Jelas masalah itu ada. Yang menjadi soal adalah orang-orang, atau kelompok-kelompok, yang mudah "membathilkan" pandangan orang-orang yang berbeda pendapat. Mereka menyebut seseorang atau kelompok lain dengan bathil? Atas dasar apa? Atas dasar kutipan ayat dan hadis yang berhamburan dengan seenaknya? Apakah kalau sudah mengutip ayat lalu selesai? Bukankah ayat bisa ditafsirkan tidak hanya dengan satu makna dan cara? Ambil contoh ayat berikut ini. Ada ayat yang berbunyi, "La tudrikuhul abshar wa huwa yudrikul abshar wa huwal lathiful khabir". Ayat itu, kira-kira, isinya adalah bahwa Tuhan itu begitu lembut sehingga tak bisa dilihat oleh mata. Oleh karena itu, manusia tak akan bisa melihat Tuhan, meskipun di surga. Atas dasar ayat inilah kaum Mu'tazilah menolak kemungkinan manusia melihat Tuhan di surga. Tetapi ada ayat lain, "Wujuhun yauma-idzin nadhirah, ila rabbiha nadlirah". Ayat itu kira-kira isinya adalah bahwa orang-orang yang beriman, di surga nanti, akan melihat Tuhan. Atas dasar inilah kaum Asyariyyah berpendapat bahwa manusia mungkin melihat Tuhan di surga. Bagaimana mendamaikan antara kedua ayat itu? Kaum Mu'tazilah pakai ayat. Kaum Asyariyah pakai ayat. Mana yang benar? Intinya, belum tentu kalau kita memakai ayat dan hadis dengan sendirinya kita sudah bisa menyudahi diskusi dan menuduh yang lain salah, sesat, bathil, murtad, kafir, dan seterusnya. Saya mengakui adanya yang "haq" dan yang "bathil". Tetapi saya, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan saya tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat lain. Yang saya lakukan hanyalah mengkritik, tetapi saya tidak akan pernah sampai pada kesimpulan bahwa pendapat lawan saya bathil, kecuali jika pendapat itu jelas-jelas melawan akal sehat. Kalau ada orang berpendapat bahwa membunuh adalah halal, jelas itu batal, dari sudut pandang apa pun. Tetapi saya tidak akan mengatakan bahwa cara beribadah kaum “literal” dan “liberal” adalah batal. Dalam menghukumi sesuatu "bathal" atau "haq", saya harus memakai dua instrumen: wahyu dan akal. Tidak bisa hanya dengan wahyu. Oleh karena itu, saya keberatan sekali dengan tindakan ceroboh seseorang atau kelompok yang mengobral ayat dan hadis, tetapi mengabaikan penalaran akal sehat. Ala kulli hal, apa yang saya tulis ini pun belum tentu benar. Sebab hanya Yang Maha Benar lah yang tahu mana yang benar mana yang salah. Saya hanya berusaha untuk benar. []

Memoar Luka Anak Batu

“Sejarah adalah penyulingan bukti-bukti yang berhasil selamat dari masa lalu.” (Oscar Handlin, Truth in History, 1979). NAMAKU sewaktu kecil adalah Angli. Saat remaja aku berganti nama menjadi Haderi. Aku dilahirkan di desa Ambutun, sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tak ada yang mencatat kapan persisnya tanggal dan tahun lahirku, yang jelas aku lahir pada masa pejajahan Belanda. Nama ayahku Umar, asli orang Ambutun, sedang ibuku berasal dari suku Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya di Puruk Cahu. Saat beranjak dewasa dan sudah ikut dalam perjuangan melawan pejajajah Belanda aku menggunakan nama Ibnu Hadjar, nama yang kuambil dari nama seorang ulama besar Islam. Aku juga sering dipanggil dengan sebutan Abah Basar. Sejak kecil aku dikenal kawan-kawan sebayaku sebagai anak yang pemberani. Sehari-hari aku membantu orang tuaku bercocok tanam dan berburu ke hutan di kawasan Ambutun, Telaga Langsat, Padang Batung dan sekitarnya. Oleh orang tuaku, aku dididik dengan keras dan disiplin ketat, aku juga banyak diajari ilmu keagamaan, yaitu agama Islam. Oleh ibuku, aku bahkan diajarkan beberapa ilmu kanuragan yang berasal dari suku Dayak. Saat beranjak dewasa aku tumbuh menjadi anak yang alim dan pemberani. Saat mulai dewasa itulah jiwa nasionalismeku tumbuh. Aku turut ambil bagian dalam membela tanah airku dari kekuasaan penjajah Belanda. Untuk mewujudkan keinginanku itu, aku bergabung bersama pejuang kemerdekaan lainnya, di antaranya yang jadi partnerku adalah Hasan Basry. Aku dikenal sebagai prajurit yang pintar dan pemberani. Aku juga sangat menguasai taktik perang gerilya dan pengausaan medan. Karena keberanianku, dalam setiap peperangan, aku selalu berada di garis depan. Karena peranku itu, aku termasuk dari sekian pejuang yang sangat menyusahkan dan ditakuti Belanda. Maka oleh pemerintah Bepanda saat itu aku dianggap sebagai tokoh pejuang yang sangat berbahaya. Karena prestasiku itulah maka aku menjadi tokoh dan komandan pejuang bersama Hasan Basry sampai masa kemerdekaan. Jadi, aku adalah termasuk salah seorang pejuang yang turut mempertautkan kembali Kalimantan setelah “dibuang” oleh elit politik dari haribaan Bunda Pertiwi. Aku juga merupakan salah seorang yang paling banyak menjalankan operasi militer ALRI Divisi IV dan kontak senjata langsung dengan pasukan Belanda. Tak terhitung lagi aksi heroik dan baku-tungkih yang kami lakukan dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan Republik ini. Tak terkira lagi upaya kami berjuang mempertahankan hidup dari pelor-pelor panas senjata Belanda saat beradu tembak dalam sekian peperangan. Sepanjang masa revolusi fisik itu, aku dan kawan-kawan seperjuangan tidak lepas untuk selalu memompa semangat juang yang kami miliki dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Tanah Air dari penjajah di negeri ini. Semangat kami untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan tersebut dilandasi oleh semangat jihad. Di dada kami, khususnya aku, telah terpatri amanah jihad yang dikumandangkan oleh para ulama dan tuan guru. Kami selalu dengan gagah berani turun ke medan laga dan angkat senjata dengan satu tekad: menang dalam bertempur dan hidup terhormat, atau gugur berburai darah dan mati sebagai syuhada. Perjuangan tanpa pamrih yang dilandasi oleh kewajiban jihad sebagai seorang muslim tersebut, memberikan motivasi yang demikian membaja dalam diri kami. Kami bergerilya melintasi hutan belantara Meratus yang rimba, merajang tentara penjajah, dan juga menghumbalangkan bangsa sendiri yang rela sebagai antek-antek koloni. Tahun 1949, era perjuangan fisik telah usai. Namun berakhirnya revolusi fisik Indonesia tidak serta merta menyelesaikan masalah. Di antaranya dipicu oleh banyaknya alumnus gerilyawan yang tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan TNI, kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memarginalkan mereka. Padahal, sebelumnya, mereka adalah bagian dari revolusi berdarah ketika mendirikan Republik ini. Mereka kemudian malah disebut sebagai “bandit-bandit revolusi.” Salah satu dari pejuang kemerdekaan yang memaklumatkan perlawanan dengan menyandang senjata adalah aku, Ibnu Hadjar alias Angli alias Haderi alias Abah Basar. Aku sangat kecewa dengan rasionalisasi tentara yang dicanangkan oleh Hatta dan didukung Nasution – mantan perwira KNIL (antek-antek Belanda di masa perjuangan) yang menginginkan sebuah keanggotaan tentara profesional. Saat itu pemerintah Indonesia mulai menyusun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka, dan saat itu pulalah mulai muncul berbagai gesekan dan persoalan. Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kandangan, dilaksanakan Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949. Reorganisasi militer dan penerapan kebijakan politik yang dilakukan para Pemimpin TNI kala itu nyaris tanpa dialog yang akhirnya memang banyak menelan korban dan mencuatkan perasaan ketidakadilan, baik dari pejuang di daerah ini maupun penjuang di beberapa daerah lain. Para pejuang kemerdekaan seperti kami yang telah mempertaruhkan nyawa melawan penjajah dihadapkan pada posisi dan pilihan yang sulit. Di satu pihak kami sudah terbiasa berinteraksi dalam suatu kelompok yang menerapkan aturan-aturan yang bersifat familiar. Pada pihak lain, reorganisasi militer menghendaki adanya penjenjangan dan aturan disiplin yang ketat. Aku tahu kebijakan untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi militer itu memang sangat mendesak mengingat banyaknya kelompok-kelompok bersenjata dari para pejuang. Mereka memang harus dilebur menjadi suatu organisasi militer yang baik dan modern. Program TNI untuk melebur kelompok-kelompok bersenjata seperti yang kami miliki ke dalam organisasi militer, mengharuskan adanya ukuran dan kriteria sebagai dasar penyusunan organisasi militer yang baru. Kriteria personal yang diterapkan saat itu antara lain adalah latar belakang pengalaman pelatihan kemiliteran dan jenjang pendidikan. Dua kriteria ini merupakan satu-satunya pilihan yang rasional dan proporsional. Namun kriteria tersebut ternyata membuat posisi TNI sendiri berada dalam situasi yang serba delematis. Adanya kriteria tersebut justru yang akhirnya banyak mencuatkan persoalan di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Selatan. Para pejuang seperti kami lebih banyak hanya bermodalkan semangat jihad, keberanian dan nawaitu keikhlasan dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Hampir semua dari kami tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan formal dan layak. Bahkan, aku sendiri, tidak bisa baca tulis huruf latin, karena memang sejak kecil aku hanya diajarkan ilmu keagamaan dengan tulisan Arab/Arab Melayu. Sedang dalam hal perjuangan, selama ini aku dan kawan-kawan pejuang lain berperang dan melatih diri secara alami; masuk ke dalam belantara rimba yang lebat, naik turun gunung dan perbukitan hanya dengan berbekal keyakinan dan insting pengelana sejati. Ketika aku mengambil keputusan kembali ke pedalaman mengulang semangat gerilya karena merasa diperlakukan “tidak adil” dalam penyusunan organisasi militer yang baru, maka saat itulah dimulai sebuah “tragedi sejarah” dalam perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan. Sejumlah penduduk desa di berbagai daerah kami manfaatkan atau bergabung sendiri untuk mendukung setiap gerakan kami. Dan belantara pegunungan Meratus kami jadikan sebagai markas persembunyian yang strategis sambil menyusun kekuatan dan melancarkan aksi. Selang waktu ini tak lama setelah berakhirnya masa perjuangan pasukan gerilya Hassan Basry tahun 1949. Berbagai aksi perlawanan mulai kami lancarkan, di antaranya dengan membentuk satu kesatuan kelompok yang kami namakan garumbulan. Nama lain dari kelompok kami adalah Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) atau biasa juga disebut Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Nama tersebut adalah sebagai refleksi dari perasaanku dan kawan-kawan seperjuangan yang merasa terluka dan dikhianati. Dalam pandangan kami, Pemerintah RI telah melakukan pelacuran sejarah, penculasan dan penindasan. Kesimpulan tersebut muncul setelah aku dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan kenyataan yang berlangsung di sekitar kami serta kemalangan yang menimpa diriku sendiri akibat reasionalisasi dan demobilisasi tentara. Dengan gerakan dan aksi yang kulakukan sebenarnya aku ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa revolusi fisk Indonesia selama ini bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan elite politik dan militer saja, seperti dipahami selama ini. Revolusi fisik Indonesia, pada dasarnya, juga merupakan jerih payah dan perjuangan pada “bandit revolusi” seperti kami, atau pun para pelaku kriminal lainnya pada masanya dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya yang kerap dipandang sebagai “sampah masyarakat”, yang seolah tidak mempunyai peran apa pun di dalamnya. Aku tahu dan sadar bahwa uang pemerintah tidak cukup untuk menghidupi seluruh orang bersenjata di masa perjuangan seperti kami. Aku juga cukup mengerti bahwa untuk masuk tentara tidak hanya butuh keberanian dan semangat saja, tetapi juga kecakapan dan pendidikan. Aku juga tahu bahwa dalam Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949 di Kandangan itu, bertujuan untuk merembukkan pemilihan dan pengangkatan figur-figur tokoh pejuang yang berhak memegang satu jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun dalam reorganisasi militer kala itu. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menghargai jasa-jasa mereka para pejuang kemerdekaan termasuk aku dan kawan-kawanku. Aku ingat betul, perhelatan bersejarah yang tidak tercatat secara baik dalam sejarah itu tidak sepenuhnya mencapai satu titik kesepahaman. Mayoritas yang hadir tidak satu pendapat dalam kenduri pembagian “kue kemerdekaan” itu, dikarenakan satu sebabnya ketika pemerintah memilih dan memutuskan untuk mengangkat Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala sebagai pemegang tampuk jabatan sebagai Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Keberatan tersebut dikarenakan Sukanda Bratamanggala adalah bekas KNIL atau antek-antek Belanda di masa perjajahan. Bayangkan, bekas anggota ALRI Divisi IV seperti aku dan Hasan Basry serta kawan-kawan yang beberapa bulan lalu saling ¬baku¬-tungkih, beradu tembak dan saling bunuh kini berada dalam satu tempat tinggal? Bahkan pada beberapa satuan terkecil justru sang mantan KNIL itulah yang jadi komandan kami. Lebih dari itu, pemerintah juga masih menyisipkan sejumlah orang yang pernah turut terlibat sebagai KNIL dan spion penjajah lainnya dalam reorganisasi militer tersebut. Bahkan dalam penyerahan jabatan tersebut aku melihat kentara sekali adanya tindakan sepihak yang begitu mencolok, di mana suara dan posisi para pejuang pedalaman seperti kami kurang diperhatikan dan dihargai secara patut dalam menentukan keputusan tersebut. Bekas KNIL-KNIL itu malah diberikan satu posisi jabatan yang lebih strategis dan terhormat dibanding kami para pejuang yang mati-matian mempertahankan jengkal demi jengkal bumi pertiwi dari tangan penjajah dengan berkuah darah dan taruhan nyawa di daerah pedalaman. Kami yang langsung angkat bedil dan meriwaskan mandau dan parang kepada penjajah malah seperti dianak tirikan; tidak dipandang meski sebelah mata. Alasannya memang sangat klasik namun rasional, kecakapan dan jenjang pedidikan, satu dari dua hal yang tidak kami miliki. Jabatan Pangdam yang mestinya jatuh kepada Hassan Basry, atau, mungkin saja kepadaku, sebagai dua partner dalam perjuangan ALRI Divisi IV – ini juga menurut penilaian mayoritas para pejuang yang hadir dalam pertemuan itu – malah “dirampas” oleh Sukanda Bratamanggala, seorang KNIL Belanda yang di masa perjuangan adalah sebagai rival menyabung nyawa dan musuh beradu tembak demi kemerdekaan Tanah Air tercinta. Bagaimanapun, tragedi ini tentu menimbulkan pertentangan hebat dari mayoritas pejuang pedalaman yang hadir dalam pertemuan tersebut. Maka, sejak tanggal 27 Oktober 1949, di bawah pengawasan dr. Suharsono, orang Jawa, dimulailah tes kesehatan dengan memberlakukan ujian-ujian militer yang ketat dan berat. Pada tahap ini saja sudah banyak anggota ALRI Divisi IV yang tidak lulus dan dikembalikan ke masyarakat. Mereka yang masih tetap jadi tentara tetapi kemudian juga kena demobilisasi mendapat perlakuan culas yang amat diskriminatif. Mereka cuma diberi “pesangon” sebesar Rp. 50, tidak diakui sebagai veteran, juga tak mendapatkan dana pensiun. Penculasan lainnya yang kami alami adalah, ketika sekitar 40-an perwira eks ALRI Divisi IV dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti kursus Akademi Militer Nasional, padahal akademi tersebut telah bubar hampir setahun sebelumnya. Alasan kenapa jabatan Pangdam tidak diberikan kepada Hassan Basry atau kepadaku sudah jelas, kami, khususnya aku, tidak mempunyai tingkat pendidikan yang memadai. Lebih-lebih aku, yang hanya bermodalkan semangat dan keberanian serta keikhlasan dalam berjuang mempertahankan Tanah Air dari tangan penjajah. Jabatan Pangdam akhirnya jatuh ke tangan Sukanda Bratamanggala, meskipun dia bekas seorang KNIL Belanda. Meski begitu, dia adalah seorang pribumi asli juga dan telah bertobat, demikian argumentasi pihak penguasa kala itu. Hal paling rasional lainnya, lagi-lagi, Sukanda adalah seorang yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Tapi tentu saja argumentasi semacam ini tidak membuat keputusan tersebut diterima oleh semua pihak, terkhusus dari kubu kami. Kami tetap merasa diremehkan, dihina dan dikhianati oleh orang-orang dari bangsa sendiri. Aku adalah salah seorang yang paling bersikeras menentang keputusan sepihak itu. Jiwa juangku yang keras dan tegas jadi tersulut, kehormatan diriku merasa ditantang. Dalam pertemuan tersebut aku bahkan sempat menempeleng Letkol Sukanda Bratamanggala, saat pertemuan masih berlangsung. Sebenarnya, sebagai salah seorang yang berada dalam posisi pemimpin, aku masih mungkin mendapatkan kedudukan tertentu dalam struktural jabatan baru tersebut. Terbukti, jabatan terakhirku sebelum keluar dari ketentaraan adalah Letnan Dua TNI. Akan tetapi, aku merasa hal itu tidak menjamin bagi rekan-rekanku yang lain untuk dapat meneruskan karir militer mereka. Keputusanku untuk kembali ke pedalaman sebenarnya bukan semata berupaya untuk kepastian masa depan diriku sendiri. Aku tidak mau jika kawan-kawanku masih terkantung-katung dalam ketidakpastian. Dalam batas-batas tertentu, aku bermaksud memberikan pelajaran berharga kepada siapa saja bagaimana mempertahankan harkat diri sendiri. Bahkan, secara sadar aku ingin menunjukkan kepada generasi selanjutnya bagaimana semestinya menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi kepada kawan seperjuangan. Bagiku, nilai kemanusiaan bukanlah ditentukan oleh kehancuran yang menimpa, tetapi pada perjuangan mempertahankan harkat dirinya. Tragis adalah sifat dari suatu peristiwa yang menyedihkan, tetapi tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan. Kalimat ini agaknya cukup tepat untuk mengungkapkan idealismeku saat itu. Sementara, dilihat dari ketentuan-ketentuan formal kenegaraan, aku memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Keputusanku tersebut dianggap telah melawan arus dalam suatu konfigurasi negara. Akan tetapi dalam bingkai sejarah, aku ingin memberikan pengorbanan dan pengabdianku yang tidak bisa dianggap enteng. Keputusan sudah diambil. Resmilah Letkol Sukanda Bratamanggala menjadi Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Lalu, bagaimana dengan Hassan Basry? Bukankah beliau juga menjadi korban kebijakan yang kuanggap salah kaprah tersebut? Untuk menutupi kepincangan itu, Hassan Basry yang saat itu belum berpangkat Brigjend “diasingkan” ke Mesir untuk mengikuti suatu pendidikan dengan biaya pemerintah. Sedang aku dan pasukanku tetap bersikukuh dengan pendirian kami; tidak menerima keputusan yang kami nilai nyata-nyata culas dan menguntungkan sepihak itu. Perkembangan selanjutnya, Panglima Tentara dan Teritorium VI Kalimantan juga dijabat oleh Sukanda Bratamanggala, orang Sunda. Sementara Hassan Basry “cuma” menjabat sebagai Panglima Subwilayah III yang meliputi Daerah Banjar. November 1951, Sukanda Bratamanggala digantikan oleh Kolonel Sadikin, yang juga berasal dari Jawa Barat. Setelah setahun sebelumnya, ketika Hassan Basry “diberi” beasiswa untuk belajar ke Mesir, maka kedudukannya digantikan oleh Mayor Sitompul, orang Batak. Mayor Sitompul digantikan lagi oleh Letnan Kolonel Suadi Suromiharjo, orang Jawa Tengah. Lihat saja, semua jabatan “basah” dan prestisius itu dilahap oleh orang “seberang”. Tak satupun pejuang dari orang banua mendapat posisi yang layak. Apalagi para pejuang di pedalaman, mereka hanya jadi tumbal revolusi yang seolah tak berhak menikmati walau secuil “kue kemerdekaan”. Bertolak dari rasa kecewa dan ketidakpuasan itulah, dengan pekik jihad dan semangat juang yang berkobar aku dan kawan-kawan kembali ke pedalaman, mulai menyusun kekuatan baru dan melancarkan gerakan-gerakan perlawanan. Acap kali sebenarnya pemerintah memberikan tawaran gencatan senjata dan jalan damai dengan menyampaikan panggilan kepadaku secara pribadi, agar segera menghentikan aksi dan perlawanan dengan janji pengampunan. Tapi, setiap kali itu pula aku menolak. Kami yang sudah bertahun-tahun balinjang di belantara Pegunungan Meratus sambil memaklumkan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia saat itu sudah kadung sakit hati; api juang dan gelora kesumat telah memanggang jiwa kami hingga terbakar. Meski jauh di relung hatiku juga menyadari bahwa tindakanku tersebut dapat menghancurkan segala apa yang telah kucita-citakan dalam perjuangan kami selama ini; hanya demi rasa kepuasan murah dari suatu pembalasan dendam tak berarti. Namun aku juga memaklumkan, hal ini dikarenakan tak ada lagi sebuah jalan pun yang dapat menahan gejolak hatiku yang sudah demikian berkobar. Dentum kemarahan dan gelegar dendam telah bertumpuk-tumpuk di dalam diri kami sejak beberapa waktu sudah. Belum lagi kami harus menahan kesakitan hati karena dilecehkan dan harus menerima penculasan serta perlakuan semena-mena; penghianatan tak semestinya, serta harga diri yang terkoyak-koyak. Semua itu bersatu, berpulas, mengamuk dan meledak-ledak dalam diriku. Yang keluar memenuhi panggilan itu adalah adikku Dardi berserta sebagian pengikutnya. Kedatangan mereka disambut bak seorang pejuang yang pulang dari medan perang. Merekapun diberikan “penghargaan” dan bermacam fasilitas serta kedudukan tertentu sebagai ucapan terima kasih untuk jaminan hidup. Ada yang diberikan modal usaha dan seperangkat alat keterampilan seperti mesin jahit dan lain-lain sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu, bahkan ada yang menjadi ABRI. Aku tahu, “muslihat” itu dilakukan pemerintah RI dengan maksud untuk menunjukkan kepadaku bahwa tujuan damai dan pengampunan yang dinjanjikan adalah benar; agar aku dan pasukanku menyerahkan diri dan segera mengakhiri perlawanan. Namun bukan perangaiku kalau tidak setia kepada keyakinan sendiri. Pantangan bagi seorang “God Father” sepertiku menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah. Lebik baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu sepanjang sejarah. Lebih baik mati berkuah darah daripada hidup menjadi penghianat. Prinsip inilah yang berusaha kupertahankan dan kuperjuangkan. Bagiku, pejuang dan pemberontak itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Perbedaan antara seorang patriot dan seorang pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa. Bukankah sejarah pun ditulis oleh siapa yang berkuasa. Pemerintah bisa saja menamakan kami sebagai teroris, pemberontak garumbulan atau apa saja. Tapi aku menyebut diri kami sebagai pejuang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kekuasaan untuk memilih ikatan kita sendiri. Aku dan akwan-kawan menginginkan kemerdekaan semacam itu. Dengan mengetahui faktor-faktor pemicu terjadinya pemberontakanku, aku berharap agar generasi mendatang tidak dengan begitu saja menyalahkan sikap yang kami ambil. Pada awal tindakanku, tidak cuma tercermin hakikat dari sebuah harga diri tetapi juga keberanian dan ketegasan dalam bersikap. Naasnya, dalam melakukan aksi, kami memang sering terjerumus ke jurang teror, perampokan dan pembantaian. Hal itu barangkali karena aku dan pengikutku adalah sekumpulan petarung, bukan politikus handal yang punya bargaining position dan bargaining power yang kuat. Barangkali juga karena aku tak bisa mengendalikan tindakan anak buahku – atau mereka yang mengaku anak buahku. Karena saat itu terdapat banyak gerombolan liar di luar KryT yang kumpimpin, bahkan di dalam tubuh KRyT sendiri terdapat fraksi-fraksi yang kadang saling berseberangan. Dengan berbagai muslihat, akhirnya aku berhasil diringkus di desa Batantangan (sekarang berganti nama menjadi desa Pariangan, wilayah kecamatan Padang Batung, kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan dibawa ke Jakarta. Pada bulan Maret 1965 aku dihadapkan dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa. Tanggal 22 Maret, aku dijatuhi hukuman mati. Sesaat sebelum dieksekusi, aku menangis. Bukan kematian yang kutangisi, tetapi karena aku merasa dilecehkan dan dikhianati. Ah, ada apa gerangan? Apakah gergaji politik menggerus lagi hingga rumpun luka berduri meruyak kembali? Akankah lagi kuah darah membuncah-ruah di wajah sejarah? [] Merdeka! Kandangan, malam-malam bergaram, 24 Mei 2014, 02:02 Wita.

Monday, June 23, 2014

Remah Surga

TETANGGA saya, sebut saja Umanya Hadran, dengan sangat bergairah menceritakan pengalamannya sepulang dari mengikuti acara haulan seorang pawang agama yang diyakini memiliki karamah dan berderajat sebagai waliyulLah. “Saya beruntung bisa mendapatkannya,” ujar Umanya Hadran berapi-api. “Meski tidak banyak tapi ini kan bisa dihemat.” Umanya Hardan berangkat ke acara haulaun sejak dua hari sebelum acara digelar, ia rela meninggalkan suami bersama anak-anaknya dan menginap di rumah seorang kenalan di kota tempat kegiatan haulan digelar. Tujuannya agar bisa mengikuti dan menyaksikan seluruh prosesi haulan dari dekat. Padahal, jika pun tidak bisa menyaksikan dari dekat, konon, setiap orang yang sudah punya niat mengikuti acara tersebut namun tidak bisa mengikuti dari dekat karena keterbatasan tempat, maka juga akan tetap memperoleh barakah dan pahala yang sama. “Saya bersama ratusan ribu jama’ah memperebutkan nasi bungkus yang disediakan pihak panitia pelaksana,” cerita Umanya Hadran lagi. Bahkan, menurut Umanya Hadran, mereka sampai rela mengais remah nasi bercampur tanah dan pasir yang tercecer di lantai dan halaman mushalla atau jalanan di area haulan. Remah nasi tersebut, seperti diceritakan Umanya Hardan lebih jauh, akan ia jemur sampai kering dan disimpan agar tidak cepat rusak. Saban kali memasak nasi, maka remah nasi yang sudah mengering itu ia masukkan beberapa biji ke dalam panci hingga tercampur dengan beras yang dimasak sampai menjadi nasi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sampai persediaan remah-nasi-kering habis. “Barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” demikian frasa para guru yang ditirukan Umanya Hardran ketika melanjutkan ceritanya. Seingat saya, perkataan itu berasal dari seorang lelaki sepuh bernama Saman dari Madinah, yang dalam sejarah lebih populer sebagai Syekh Saman al Madani, dan dikenal sebagai seorang waliyulLah. Perkataan itu masih ada poin lainnya, yaitu: “Siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai.” Lebih jauh, oleh para pawang agama semacam guru-guru Umanya Hadran, kedua pokok persoalan dari kata-kata tersebut dimaknai menjadi sangat luas dan dalam. Kata-kata pertama dimaknai bahwa siapa saja yang memakan makanan para wali (diperluas lagi menjadi makakan jamuan dalam acara haulan seorang wali), maka akan masuk surga. Kata-kata kedua diartikan bahwa siapa saja yang bermaksud ziarah atau “mendekatkan” diri secara spiritual kepada RsululLah dan ajarannya maka tidak akan sampai kecuali melalui perantaraan atau bertawassul terlebih dahulu kepada Syekh Saman. Keyakikan inilah yang mendorong Umanya Hadran dan ratusan ribu jamaah haulaun lainnya rela berjejal-jejal memperebutkan remah nasi dalam jamuan acara haulan tersebut. Untuk beberapa jenak saya tercenung. Apakah janji para guru itu benar atau tidak? Sebab kalau memakan makanan jamuan dalam acara haulan yang dianggap sebagai tiket gratis masuk surga itu tidak mempunyai sandaran dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukankah berarti hal itu adalah inovasi terlarang (bid’ah) sekaligus membohongi orang-orang awam, melegalkan pembodohan ummat semacam Umanya Hadran? Di sisi lain, makna simbolik dari ucapan “barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” adalah bahwa “makanan” seorang Saman yang dikenal sebagai seorang wara’ dan Muslim yang taat pada zamannya bukanlah dalam arti harfiah dari jenis makanan pada umumnya, melainkan amal ibadah semacam shalat, membaca al Qur’an, sedekah, zikir, menolong sesama, menjalani kehidupan sosial secara wajar dan amal shaleh lainnya, yang ia ibaratkan sudah menjadi “makanan” pokok baginya. Sedangkan secara historis, Syekh Saman al Madani semasa hidupnya adalah seorang petugas penjaga makam RasululLah di masjid Nabwai di Madinah. Segala prosedural dan administrasi perihal keperluan kaum muslimin yang hendak berziarah ke makam RasululLah berada dalam tanggung jawab beliau. Itu artinya, siapapun yang bermaksud ziarah ke makam RasululLah haruslah berurusan dengan beliau terlebih dahulu. Dalam konteks inilah makna ucapan “siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai” menjadi sangat jelas dan gamblang terpahami, tanpa ada makna simbolik. Saya tidak tahu persis apakah Umamnya Hadran cs mengetahui atau paling tidak pernah mendengar makna simbolik dari ucapan pertama dan fakta historis yang melatari perkataan kedua? Jikapun tahu atau pernah mendengar, saya kira tentu akan dikalahkan oleh pemaknaan yang dianut oleh pemahaman arus-utama yang begitu dahsyat. Satu hal yang saya ketahui dengan pasti, bahwa Umanya Hadran adalah seorang maulidlover. Saban tahun ia tidak pernah ketinggalan turut mengikuti bahkan melaksanakan upacara Maulid Nabi, meski ia pernah pula saya dengar (dari pengakuannya sendiri) pernah ngutang sana-sini untuk membiayai kegiatan tersebut. (Barangkali karena Umanya Hadran adalah seorang perempuan jadi suka buka-buka cerita di banyak tempat dan kesempatan). Satu hal lagi yang saya tahu persis, dalam setiap mengikuti atau menggelar upacara Maulid Nabi, Umanya Hardan dkk tak pernah sekalipun terlihat mengumpulkan apalagi sampai berebutan remah nasi saat jamuan Maulid Nabi berlangsung. Padahal, upacara Mualid Nabi tidak jauh beda dengan acara haulan. Dalam Maulid Nabi, hidangan makanan yang disajikan selalu mewah, lezat dan tentu saja mahal, tak jarang pula menyisakan bekas makanan cukup banyak di akhir kegiatan karena disedikan melimpah. Saya berharap Umanya Hadran cs suatu saat merenung, jika remah makanan dalam jamuan acara haulan seorang wali saja bisa menjadi tiket gratis masuk surga, bukankah makanan dalam acara Maulid Nabi semestinya lebih pantas sebagai “remah surga”. Karena siapakah lagi yang lebih wali dari RasululLah SAW? Siapakah lagi sosok yang lebih bakaramat selain pribadi RasululLah SAW? Siapakah lagi manusia paling suci dari figur RasululLah SAW? …hasbunalLahi wani’mal wakil… Kandangan, 7 Mei 2014. Senja, 17.52 Wit.

Klasifikasi Bid’ah

OLEH para pendukungnya, bid’ah (inovasi terlarang) diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Mereka memberi argumen dengan merujuk kepada pendapat sebagian ulama yang mengklasifikasikan bid’ah sebagaimana pembagian pada hukum-hukum syari’at yaitu menjadi lima bagian, sehingga bid’ah tidak dianggap sebagai sesuatu yang tercela secara multak. Hukum bid’ah pun menjadi ada yang wajib, mandub (dianjurkan bahkan terpuji), mubah (boleh), makruh, dan haram. Singkatnya, bid’ah mereka klasifikasikan menjadi dua: bid’ah dhlalah (inovasi terlarang) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan). Dalam kaidah hukum Islam yang saya pahami, pengklasifikasian bid’ah semacam itu merupakan suatu perkara yang justru diada-adakan, tidak mempunyai sandaran syar’i dan dengan sendirinya tertolak. Karena, hakekat bid’ah adalah perkara yang tidak didukung oleh dalil syar’i, baik dari nas maupun kaidah-kaidah syar’i lainnya. Sebab kalau ada dalil syar’i yang menunjukkan hukum bid’ah terbagi menjadi ada yang wajib, mandub, atau mubah niscaya tidak akan ada yang namanya bid’ah, dan niscaya amalan bid’ah akan masuk dalam perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan memilihnya. Jadi, menggabungkan anggapan adanya perkara-perkara bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang mengklasifikasikan hukum bid’ah menjadi wajib, mandub, atau mubah adalah menggabungkan dua hal yang sama sekali kontradiktif. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin perintah dan larangan hadir dalam satu kesempatan; mana mungkin halal dan haram dihukumkan kepada sesuatu dalam satu situasi dan kondisi? Lalau, bagaimana dengan argument yang diketengahkan oleh para pendukung bid’ah tersebut, yang merujuk pendapat sejumlah tokoh dan pakar yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi bid’ah dhlalah (inovasi terlarang/menjerumuskan) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan)? Secara singkat dan sederhana saya menjawab: AlhamdulilLah. Kenapa ‘alhamdulilLah? Karena pengklasifikasian bid’ah tersebut datang dari sejumlah tokoh dan pakar, bukan berasal AlLah dan Rasulullah saw. Artinya, di sinilah titik pangkal munculnya perselisihan yang terjadi selama ini dan tentunya dapat kita lacak bersama sumber muasalnya. Salah Pasang Dalil Riwayat Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam memang rancak banar dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian atau pengkategorian bid’ah oleh mereka. Namun sangat disayangkan, pengambilan riwayat tersebut sebagai dalil sering terkesan asal comot tanpa dilakukan pengkajian lebih (men)dalam. Padahal, aktivitas berjamaah dalam shalat qiyamul Ramadhan bukanlah bid’ah. Mengenai hal ini coba kita observasi hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, kemudian disahkan pula oleh At-Tirmidzi. Dalam hadits tersebut disebutkan: “faqaama binaa hattaa dzahaba tsulutsul-laili.” (maka RasululLah mengimami kami hingga sepertiga malam). Hadits tersebut menerangkan bahwa RasululLah shalat berjamaah dengan para sahabat, dan beliau bertindak sebagai imam. Shalat tersebut selesai pada sepertiga malam atau menurut perhitungan waktu sekarang kira-kira pukul sembilan malam. Shalat yang dilakukan beliau itu ialah yang dinamakan shalat qiyamul Ramadhan atau yang kita beri nama sekarang dengan shalat tarawih. Pada malam yang lain RasululLah shalat berjamaah lagi, shalat kali ini: “hatta dzahaba syatrul-laili.” (hingga tengah malam). Kemudian pada malam yang lainnya lagi Rasulullah mencontohkan hingga hampir waktu sahur. Hadits Abu Dzar tersebut menjelaskan bahwa RasululLah melakukan shalat tarawih dengan berjamaah. Perbuatan yang telah dilakukan oleh RasululLah tidak mungkin dan tidak bisa disebut bid’ah. Perihal perbuatan Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam, dia (Umar) memandang dan mengatakan hal tersebut sebagai “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama). Umar menyatakan demikian karena berjamaah dengan satu imam itu pernah berlaku pada zaman RasululLah. Jadi, yang dilakukan Umar ialah mengembalikan kepada contoh yang pernah dilakukan RasululLah, yang tentu saja sangat afdhal dan lebih utama. Coba kita cermati kembali apa maksud dari perkataan Umar tersebut. Umar mengatakan bahwa perbuatannya menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini), tentu bukan bid’ah dalam arti bid’ah dhalalah (inovasi terlarang). Karena “sebaik-baiknya” tidak mungkin disifatkan kepada sesuatu yang tidak baik. Para pendukung bid’ah boleh mengatakan: “yang terbaik di antara koruptor”, tetapi tidak mungkin mengatakan: “yang ter-sunnah di antara yang bid’ah” atau “yang terhalal di antara yang haram”. Oleh karena itu, terhadap ucapan Umar itu tentulah mesti digunakan arti yang lain, yang memang salah satu di antara makna ucapan itu ialah “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Hal itu sejalan dengan ucapan sebelumnya, yakni “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama), sebab dia telah mengembalikan suatu ibadah kepada contoh utama dari RasululLah. Salah satu “arti yang lain” dari ucapan Umar tersebut adalah, tentang banyaknya masyarakat yang turut serta dalam aktivitas shalat berjama’ah pada malam-malam tersebut, bukan pada bentuk dan cara berjamaahnya. Sebab, sebagaimana telah disebutkan dalam sejarah, bahwa masyarakat Islam pada masa RasululLah “hanya” terdiri dari beberapa puluh atau ratus orang. Dan pada masa kepemimpinan Umar, Islam telah berkembang sedemikian pesat dengan jumlah pengikut cukup spektakuler. Nah, banyaknya jumlah orang yang ikut shalat qiyamul Ramadhan itulah (jika dibandingkan dengan jumlah pada masa RasululLah) yang dimaksudkan Umar dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Sikap sangat disayangkan sering juga dilakukan oleh para pendukung bid’ah ketika mengambil dalil. Mereka juga sering mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut sebagai dasar pengaklasifikasian bid’ah. “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik (sunnatan hasanah) maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu amalan yang jelek (sunnatan sayyiatan) maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim). Dalam penilaian saya, pengambilan hadits tersebut sebagai dasar untuk membenarkan adanya pengklasifikasian bid’ah sungguh tidak tepat. Ibarat kata pepatah, lain gatal lain yang digaruk. Saya juga sering terkejut ketika para pecandu bid’ah menafsirkan kata “sunnatan hasanah” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits riwayat Muslim di atas dengan makna inovasi (bid’ah) yang baik dan inovasi (bid’ah) yang buruk dalam lingkup ibadah murni. Bagaimana mungkin kata-kata sunnah bisa ditafsirkan dengan bid’ah??? Padahal, dari sekian kitab tafsir dan terjemah yang saya temukan, arti kata “sunnatan hasanatan” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits tersebut adalah “amalan/kebiasaan yang baik” dan “amalan/kebiasan yang jelek”. Sumber-sumber kaidah hukum Islam yang saya temukan memberikan pemahaman atas sabda RasululLah “man sanna sunnatan hasanatan” dalam hadits tersebut bukanlah dengan makna “merintis amalan” secara mutlak, karena kalau tidak begitu akan menimbulkan pertentangan di antara dalil-dalil yang pasti penunjukan hukumnya. Maksud perkataan tersebut tidak lain adalah mengamalkan apa yang sudah ada dasarnya dari sunnah Nabi saw. Karena asbabul wurud (latar belakang) lahirnya hadits tersebut berkenaan dengan masalah shadaqah yang telah disyari’atkan, berdasarkan hadits shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: “Kami pernah bersama Nabi SAW di suatu siang. Tiba-tiba datanglah satu kaum dalam keadaan tidak mengenakan alas kaki dan pakaian sambil berselimut dan menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah Bani Mudhar; bahkan semuanya dari Bani Mudhar. Berubahlan raut muka Rasulullah manakala melihat kefakiran mereka. Lalu beliau masuk ke rumah, (tak berapa lama) kemudian keluar (lagi), lalu memerintahkan Bilal untuk berazan dan beriqamah, lalu shalat, kemudian berkhutbah. Dalam khutbahnya beliau berkata: “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa (QS. An-Nini-sa:1). Dan ayat dalam surat Al-Hasyr: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr:18)”. (Lalu Rasulullah berkata): “(Semoga ada) seorang yang mau bershadaqah dengan dinarnya, dirhamnya, bajunya, dengan setakar gandumnya, kurmanya,… - sampai mengatakan -: meski dengan separuh buah kurma.” Lalu ia (Jarir) berkata: Maka datang kepada beliau seorang dari kaum Anshar dengan membawa sebuah karung yang (padat berisi). Hampir-hampir tangannya tidak sanggup mengangkat karung tersebut; bahkan benar-benar tidak sanggup. Ia (Jarir) berkata: Kemudian orang-orang pun mengikuti tindakan orang tersebut sampai aku melihat ada dua tumpukan makanan dan pakaian. Aku melihat wajah Rasulullah bersinar keemasan. Lalu Rasulullah berkata: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu sunnah (amalan) yang jelek maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim, hadits No.1017). Perkataan RasululLah: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik” tersebut ditunjukkan kepada orang yang telah melakukan tindakan yang diminta oleh Rasulullah dengan sekuat kemampuannya hingga mau bersedekah sebanyak satu karung. Shadaqah orang tersebut menyebabkan terbukanya pintu shadaqah dari yang lain dengan jumlah yang begitu banyak. RasululLah merasa senang, lalu mengatakan: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik dalam Islam.” Jadi, kata ‘amalan’ yang ada dalam hadits di atas adalah amalan seperti apa yang dilakukan oleh salah seorang sahabat tersebut yaitu amalan yang memang sebelumnya telah ditetapkan hukumnya adalah sunnah, yaitu shadaqah. Kedua riwayat yang sering dicomot sebagai justifikasi pengkalisfikasin bid’ah oleh para bid’ahmania tersebut menjadi sangat berharga untuk dilakukan observasi ulang secara lebih akurat dan mendalam. Sebab, dalam observasi saya, adanya proporsi pengklasifikasian bid’ah semacam inilah yang menjadi salah satu biang kerok bertumbuh dan berkecambahnya aktivitas-aktivitas keagamaan tanpa dasar – khususnya dalam ibadah murni – yang pada konsekuensi logisnya justru menjelma menjadi sindrom bid’ah itu sendiri. Setiap orang akan dengan mudah mengatasnamakan “bid’ah hasanah” pada aktivitas-aktivitas keagamaannya ketika tidak bisa menghadirkan sumber-sumber syar’i yang mendasarinya. Karena itulah, para ulama pembela sunnah sudah jauh-jauh hari dengan tegas mengultimatum: “Bahwa pelaku bid’ah itu lebih berbahaya daripada pelaku maksiat.” Hal ini bisa dicerna, karena seorang pelaku bid’ah secara sadar atau tidak, disengaja atau tidak, akan selalu meyakini bahwa segala aktivitas keagamaannya sebagai ibadah, yang konsekuensi logisnya akan jauh dari ranah introspeksi. Berbeda dengan orang yang melakukan maksiat, dia sengaja dan sadar bahwa perbuatannya menyalahi hukum syari’at sehingga besar kemungkinannya untuk merengkuh pintu taubat. Ijtihad dalam Bid’ah Saya juga sering mendengar bahwa memberikan ruang argumen terhadap pengaklasifikasian bid’ah tersebut adalah sebagai upaya pendidedikasian terhadap ranah ijtihad. Saya sangat tidak sependapat dengan tawaran ini, karena dalam kaidah pemahaman dan sudut pandang yang saya miliki, syari’at hukum Islam tidak memungkinkan memberi tempat untuk lahirnya istihad dalam bid’ah, karena justru hanya akan menyuburkan wabah bid’ah itu sendiri. Saya mengamini AbdulLah bin Mas'ud berikut, seorang sahabat terkemuka Rasulullah dan imamnya para mufassir, beliau mengatakan: “Membatasi diri hanya pada sunnah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah.” (Diriwayatkan Ahmad dan Ath-Thabrani). Klasifikasi bid’ah yang bisa diterima secara syar’i hanyalah adanya bid'ah hakiki dan bid'ah ‘amali. Bid'ah hakiki yaitu suatu perkara dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali lalu diada-adakan dan dianggap sebagai ibadah berpahala yang bersumber dari Islam. Misalnya, perayaan Maulid Nabi; peringatan Isra Mi’raj; ritual Nisfu Sa’ban; bertawasul kepada orang yang telah mati; kenduri kematian, (maniga hari, mamitung hari, maampat puluh, mahaul); hilah (fidyah/pembayaran berupa uang, emas atau harta berharga lainnya sebagai tebusan untuk dosa-dosa si mayit);* membaca al-Qur’an di atas kubur yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit; mengumandangkan azan saat mayat dikuburkan, ketika seorang mau pergi haji dan ketika terjadi kebakaran, dan lain-lain, dan lain-lain. Sedangkan bid'ah ‘amali yaitu suatu perkara dalam agama yang pada awalnya memang disyari’atkan, namun dalam aktivitas pengamalannya dipraktikkan dengan cara-cara dan ketentutuan-ketentuan serta waktu-waktu tertentu, sedangkan syari’at tidak menetapkan cara-cara, ketentuan-ketentuan dan waktu-waktu tersebut. Misalnya, melafadzkan niat ketika hendak mengerjakan shalat (ushalli), dan lafaz-lafaz niat dalam ibadah lainnya; shalat hajat berjamaah (seperti saat mau berangkat haji atau mau menempati rumah yang baru dibangun); menetapkan do’a qunut hanya pada setiap shalat subuh; mengkhususkan bacaan salah surat al Qur’an hanya pada salah satu waktu shalat; do’a atau zikir bersama (dengan satu komando); mentalqinkan mayit, dan lain-lain, dan lain-lain. Formulasi hukum dari kedua aktivitas bid’ah tersebut sama yaitu inovasi terlarang (bid’ah). Dan tiap-tiap inovasi terlarang (bid’ah) adalah menjerumuskan (dhalalah). Sedangkan setiap yang menjerumuskan (tempatnya) adalah neraka. Kullu bid’atin dhalalah, kullu dhalalah fin naar.  *) Biasanya fidyah dilakukan sesaat sebelum jasad si mayit dikuburkan. ….

Adakah Dikhotomi Belajar Agama?

DALAM banyak kesempatan diskusi agama (Islam), saya sering disuguhi pertanyaan berikut: “Dari mana anda belajar agama?” Pertanyaan tersebut lahir dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ketika saya lebih banyak berbeda pendapat dengan teman diskusi atau berseberangan dengan pendapat umum. Kedua, karena performance saya yang lebih mewakili sosok urang jaba ketimbang potongan urang alim, meskipun nama saya Aliman. Jika saja pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui jalur akademis atau jenjang pendidikan formal yang pernah saya lalui, maka jujur saja saya akui bahwa saya termasuk orang yang kurang beruntung dalam hal ini. Saya tidak pernah mengecap “maqam” keilmuan semacam itu dikarenakan berbagai hal dan keterbatasan. Tapi saya tak harus berkecil hati, karena seorang ulama sekaliber DR. Yusuf Qardhawi saja juga sering disuguhi pertanyaan semacam itu. Dalam pengantar bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” beliau mengatakan bahwa dirinya sering ditanya seperti itu. Sayangnya, menurut Qardhawi, pertanyaan tersebut sudah mengarah kepada kritik bahkan gugatan yang tidak sehat hanya karena jalur pendidikan formal dan sumber keilmuan yang ia lalui tidak sepenuhnya sejalan dengan mainstream umum yang selama ini berlaku. Selanjutnya saya punya kesan, bahwa pertanyaan semacam itu diajukan bukan sekadar ingin menelisik latar belakang jalur akademis dan jenjang pendidikan formal yang dimiliki seseorang semata-mata. Tetapi sudah mengarah kepada apakah “sumber” itu bisa diakui atau sebaliknya, sah atau tidak, tentu dengan ukuran menurut standarisasi pribadi atau kelompok si penanya. Ada dua standar yang barangkali “wajib” mereka gunakan: Pertama, keilmuan seseorang mesti diukur dengan “baju” mereka. Kedua, orang belum benar-benar dapat dianggap alim kalau tidak belajar/berguru kepada kelompok mereka. Saya kira, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru kita boleh mendiskusikan – lebih-lebih mengamalkan – ajaran agama. Tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran keilmuan – lebih-lebih keshalihannya. Keilmuan seseorang tidak selalu dapat ditakar dari jalur akademis dan jenjang pendidikan formal serta “sumber” yang telah dilaluinya semata. Ke-Islam-an seseorang tidak diukur dari hitam-putih kopiah dan besar-kecilnya lilitan surban yang dikenakannya. Atau bahkan tidak ditimbang dari sikap lahir seseorang karena banyak sujud dan amaliah kepada Tuhan semata. Tetapi nilai keilmuan dan sikap ritual peribadatannya itu mesti diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Chauvanistic Doctrine Lebih jauh saya menengarai, lebih sering lagi mengalami, bahwa diskusi agama kita memang sering dihadapkan pada ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, pa-alimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya. Karena itulah saya tidak terlalu heran bila dalam banyak pengajian Islam atau majlis taklim, khususnya di daerah ini, di mana masih ada pemuka agamanya yang mewanti-wanti kepada para murid dan jamaah untuk tidak berguru kecuali kepada dirinya (atau paling tidak kepada orang-orang yang “sepaham” dengannya). Sejumlah lembaga pendidikan tradisional Islam semacam pesantren juga masih ada yang membatasi kitab-kitab yang mesti dipelajari santrinya, dus mengkhotomi umat untuk tidak berinteraksi dengan kelompok atau organisasi dan mazhab lain hanya karena memiliki penafsiran dan pemahaman keagamaan yang berbeda. Dalam bahasa yang lebih lugas saya ingin mengatakan, buah dari doktrin sempit semacam itu mengakibatkan mayoritas masyarakat Islam di daerah ini masih menstandarisasikan pemahaman dan pengamalan keagamaan mereka kepada bagaimana corak keagamaan yang dipraktikkan di suatu tempat atau oleh kelompok masyarakat tertentu. Seolah-seolah apa yang dipraktikkan oleh kelompok di tempat tertentu itu sudah menjadi model terbaik dan dijadikan bahan rujukan yang hakiki. Dalam konteks masyarakat Kalimantan Selatan, Martapura dan Sekumpul menjadi model tersebut. Otoritas pemuka agama dan praktik keagamaan ala “Martapuraisme” dan “Sekumpulisme” dalam dinamika keberagamaan mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh pemuka agama “Martapuraismse” dan “Sekumpulisme” telah menjadi “ujar guru” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Hal ini barangali tidak lepas dari faktor sejarah di mana di daerah tersebut telah melahirkan sejumlah ulama besar pada zamannya. Dan tentu saja realitas yang saya kemukakan ini bukan berarti melemahkan otoritas dan kredibelitas para pemuka agama dan pemahaman serta praktik keagamaan di daerah itu sendiri. Ironisnya, di kalangan sebagian besar aktivis muda Islam yang sejatinya lebih kritis dan realistis juga terjadi kebuntuan berpikir semacam itu. Bagi kalangan yang ingin saya sebut “mazhab-pembaca-Sabili” atau kaum “haraky”, pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, Sayid Hawwa, Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad al-Gazhali, Abul A’la al-Maududi, Ali Syariati dan yang lainnya dimistifikasi begitu rupa sehingga seolah-olah Islam hanya bisa dibaca dan dibenarkan melalui “lensa” pemikir-pemikir dan tokoh-tokoh itu. Corak-corak Islam yang lain dianggap sebagai “sesat”, distortif, atau melenceng dari “manhaj” atau jalan lempang yang direstui oleh AlLah. Di kalangan teman-teman muda pengikut Hizbut Tahrir, gagasan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dianggap seolah-olah satu-satunya “bleu-print” atau cetak biru kebangkitan Islam yang tidak mungkin salah. An-Nabhani, meminjam istilah kawan-kawan Syi’ah, menjadi semacam “marja’-e taqlid” yang merupakan ukuran utama untuk menilai apakah sebuah kelompok masih di “dalam” atau sudah melesat ke “luar” Islam. Saudara-saudara dari kalangan yang mendaku “pengikut generasi awal” atau salafy melihat kebajikan dan keluhuran sebuah gagasan yang bersumber di masa lampau, karenanya mereka sangat mengutamakan karya-karya klasik standar yang mencerminkan “ideologi” kaum Sunni yang mainstream, seperti karya-karya Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, serta karya-karya fikih klasik elementer seperti al-Taqrib, Fathul Mu’in, Kifayat al-Ahkyar dan sejenisnya. Akibatnya, mereka kurang menaruh perhatian terhadap konsensus-konsensus kontemporer terhadap kondisi aktual dan realitas sosial umat. Sebagian kawan-kawan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga banyak yang ikut-ikutan “latah”. Kaum Nahdiyin masih banyak yang “apriori” dengan gagasan-gagasan dan referensi keagamaan dari “pihak lain”, sehingga lebih membatasi kajian hanya dari Bahtsul Masa’il dan apa-apa yang sudah difatwakan para pemuka agama mereka sendiri. Warga Muhammadiyah juga masih ada yang terpaku dan mengungkung pembahasan keislaman “hanya” dalam cakupan Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Meskipun kenyataan ini bukan berarti mengenyampingkan kedua bentuk ijtihad dari dua organisasi Islam terbesar di Tanahair itu, dan kelompok-kelompok ke-Islam-an lainnya. Dogmatisme Musuh paling berbahaya dalam diskusi agama kita berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, doktrin demikian adalah penyakit spiritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu. Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan. “Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog/diskusi tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya. Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama dan hukum Tuhan menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos. Menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. []

Tanpa ‘Ala

BERDASARKAN hadis-hadis yang otoritaif, ada tiga jenis ucapan “salam” yang diajarkan dan dipraktikkan oleh RasuluLah saw. Pertama, “assalaamu ’alaikum.” Kedua, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaah.” Ketiga, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaahi wabarakaatuh.” Ketiga ucapan “salam” tersebut bisa digunakan baik di dalam maupun di luar shalat. Khusus untuk di luar shalat, bagi siapa yang mendapat salah satu dari ucapan “salam” tersebut maka diwajibkan untuk menjawabnya dengan ucapan “salam” serupa dengan lafas yang sama pula. Bisa juga mengucapkan lafas “salam” yang kedua untuk menjawab “salam yang pertama dan mengucapkan lafas “salam” yang ketiga untuk menjawab “salam” yang kedua. Di samping ketiga ucapan “salam” tersebut, belakangan saya mendengar ada lagi dua jenis ucapan “salam” baru yang dipraktikkan oleh sebagian masyakat Islam saat ini. Pertama, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaahi ta’ala wabarakaatuh.” Kedua, “assalaamu ‘alaikum wa‘alaikunna warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah berari kamu/kalian dari kaum perempuan). Tulisan yang saya cetak tebal adalah ucapan tambahan dari lafas salam yang sudah ada. Sehingga saat ini ucapan “salam” jadi berjumlah empat jenis. Untuk kedua jenis ucapan “salam” terakhir, baik secara keseluruhan atau bagian tambahannya, saya tidak menemukan sumber asalnya atau dasar hukumnya. Bahkan yang membuat saya bingung adalah karena saya juga tidak bisa menjawab kedua ucapan “salam” tambahan tersebut. Karena, sekali lagi, baik ucapan “salam” dan jawabannya tidak pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh RasululLah saw. Namun kebingungan saya tidak berlangsung lama. Baru-baru ini seorang teman memberikan “pencerahan” kepada saya. Ia dengan cukup bijak mengajarkan kepada saya bagaimana menjawab ucapan kedua “salam” tambahan tersebut, khususnya jawaban ucapan “salam” tambahan yang pertama. Inilah jawabannya: “wa’alaikum salaam warahmatulLaahi TANPA ’ala wabarakaatuh.” Saya tahu bahwa “pengajaran” yang diberikan oleh teman saya tersebut tidak serius. Itu adalah salah satu “candaan spiritual” yang sering saling kami lontarkan. Saya juga tahu kalau ia ingin menyindir secara ironi terhadap kebiasaan sebagian masyarakat Islam yang doyan membuat bid’ah (inovasi terlarang) dalam agama ini. Selanjutnya saya juga dengan sedikit lancang dan nakal membayangkan, barangkali saja akan ada lagi ucapan-ucapan “salam” baru yang diperuntukkan secara khusus pula kepada orang-orang tertentu. 1. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaishagirna warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada orang-orang lanjut usia) 2. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaitiflana warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada anak kecil) 3. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaikhunsana warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada para bencong, bancir dan waria). Silakan kawan-kawan mencari atau membuat sendiri jawabannya. Salam.

Purifikasi vs Stagnasi Agama

ADALAH niscaya bahwa dalam dinamika keberagamaan masyarakat Islam selama ini – yang secara kultural memiliki banyak dimensi – terdapat ragam pemikiran, sekurang-kurangnya ada dua arus utama. Pertama, pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian (purifikasi) agama. Kedua, paham yang didasarkan atas agama dan kultur. Kedua pemikiran ini memiliki dasar dan metode sendiri-sendiri, serta “keterbatasan” yang terdapat pada paham masing-masing. Pemikiran pertama adalah kalangan yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Kalangan ini berupaya menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai hierarki utama dan pertama dalam menetapkan dan melaksanakan konsensus hukum dalam Islam. Sedangkan kaidah-kaidah lain seperti ijtihad dan fatwa dari para elit atau lembaga Islam, istinbat para imam mazhab dan yang lainnya hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap saja. Pada kalangan ini ditabukan sikap taklid, yaitu sikap ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar penetapan dan pengamalan sebuah hukum dalam Islam. Pada kalangan ini paling ringan seseorang dibolehkan sebagai mutabbi, yaitu mengikuti atau mengamalkan sebuah ketetapan hukum Islam dengan terlebih dahulu mengetahui dasarnya. Pemikiran kedua adalah komunitas yang memilih metode mengikuti fikih mazhab. Komunitas ini lebih menitik beratkan pengambilan dan pengamalan hukum Islam kepada hasil ijtihad atau fatwa dari para elit, imam, tokoh, guru dan para pemuka agama dalam suatu mazhab Islam, ketimbang kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah. Makanya tidak heran dalam komunitas ini tumbuh subur sikap taklid. Sehingga tidak asing pula pada komunitas ini sering kita dengar adanya istilah “ujar guru,” “ujar ulama si Pulan,” “ujar qaul anu,” “menurut kitab ini,” “menurut pendapat si itu,” dan “ujar-ujar” dan “menurut-menurut” lainnya, yang semuanya mengarah kepada sikap stagnasi dan taklidisme, bahkan ke arah stagnasi dan taklidisme yang paling ektrim dan kebablasan sekalipun. Sangat langka kita temui adanya argumen “menurut Qur’an,” atau “menurut Sunnah,” pada komunitas ini. Perbedaan lain yang cukup mendasar pada kedua arus pemikiran tersebut adalah, kalangan pertama sangat menjunjung tinggi semangat ijtihad dan sikap inklusif, namun juga bercorak realis-kritis-pluraristik, serta tidak terlahir kultus individual yang kebablasan terhadap satu tokoh atau figur seseorang. Pada komunitas kedua lebih bernuansa tradisional dan komunal, sangat dominan bersikap eksklusif dan nyaris anti perbedaan, sikap taklid dan fanatik tumbuh dan berkecambah hampir ke semua lapisan. Pada komunitas ini juga banyak ditemukan pribadi-pribadi sebagai tokoh spiritual yang dijadikan tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh para tokoh ini telah menjadi “blue print” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Pada kalangan pertama tidak ada istilah ketaatan spiritual dan kepatuhan sosial yang dominan terhadap elit tertentu. Pada komunitas kedua sangat preventif dan doktrinal terhadap wibawa spiritual para tokoh. Di komunitas ini juga dipelihara stabilitas status qou demi menjaga “kelembaman spiritual” yang dikhawatirkan akan mengeliminasi wibawa spiritual para elit dan golongan. Masih ada perbedaan lain dari keduanya. Dalam hampir semua hal yang berkaitan dengan kehidupan Islam, kalangan pertama lebih mengefektifkan relegiusitas wahyu agar umat benar-benar memahami kesadaran agama secara lebih mentauhid, tanpa mengeliminasi kemungkinan ijtihad. Sedang komunitas kedua lebih menekankan bahwa agama harus dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan ke-Arab-an, begitu sering diandaikan komunitas ini, mereka menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah. Komunitas ini juga kentara sekali menjadikan ortodoksi agama sebagai otoritas agama sembari menutup rapat-rapat kesempatan ijtihad. Bahkan tidak jarang mereka menjadikan ortodoksi agama sebagai bolduser atas perilaku budaya atau keyakinan dan pendapat lain yang tidak sepaham. Akibatnya, jurang stagnasi kian tergaruk dan menganga lebar, fatwa-fatwa penyesatan sering dengan perih menyuling di kalangan umat, pun praktik-praktik humanisme dan relegiusitas wahyu terabaikan, dan menjelma menjadi tirani atas realitas pluralistik. Perbedaan ke sekian menunjukkan, kalangan pertama tidak menolak metode yang mengikuti fikih mazhab, apalagi anti mazhab, tapi kalangan ini tidak terikat dengan satu atau beberapa mazhab. Perbedaan pendapat dan pluraritas sangat dihargai dalam kalangan ini. Komunitas kedua hampir bisa dikatakan menolak metode yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Bahkan tidak jarang justru menolak dan menyalahkan komunitas yang mengikuti fikih mazhab yang lain. Tidak jarang pula dalam komunitas ini diproklamirkan propaganda bahwa pengamalan hukum-hukum Islam haruslah mengacu kepada salah satu sekte atau mazhab. Bahwa bagi mereka yang tidak mengikuti jalan pemahaman dan pengamalan Islam melalui sekte tertentu adalah bathil, tidak sah bahkan “sesat” (dengan atau tanpa tanda kutif). Sangat kuat kesan kalau mereka dalam komunitas ini memandang dirinya sebagai satu-satunya kalangan dalam Islam yang benar, yang selamat, yang masuk surga, sementara yang lainnya sesat dan masuk neraka. Tidak jarang pula argumen semacam ini justru dideklamasikan oleh para elit mereka dalam banyak kesempatan, bahkan ada yang sampai menjadikannya sebagai “fatwa penyesatan” terhadap kalangan lain yang tidak sepaham. Pada konteks lokal, argumen-argumen semacam ini juga menjadi “trade mark” dan ukuran standar dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha” di daerah ini, yang notabene menjadikan Imam Syafi’i sebagai pilihan sekte mereka, bahkan pilihan mayoritas masyarakat Islam di negeri ini. Mereka ini kita kenal dengan istilah “Mazhab Safi’i” atau pengikut Imam Syafi’i. Anak Judul (Strategi Kebudayaan??? Dalam memahami dan menyikapi kedua arus pemikiran Islam tersebut, kita perlu mencermati strategi “kebudayaan” di tiap daerah. Strategi ini merupakan wujud nyata dari upaya mendekati Islam yang memang beranjak dari latar belakang budaya lokal. Dalam hal ini adalah pemikiran yang mengupayakan menyelaraskan unsur-unsur ajaran Islam dengan konsep keberagamaan. Karena itu, antara kedua arus pemikiran tersebut – pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian agama dan paham yang didasarkan atas agama dan kultur – masih banyak orang yang tidak berupaya memahami apa yang baik di antara keduanya, tetapi justru mencari “sebanyak-banyaknya” apa yang buruk di antara satu sama lainnya. Tradisi berpikir seperti ini akan selalu dihadapkan pada konflik internal keagamaan. Saya melihat, stagnasi pemahaman keagamaan semacam inilah yang masih dimiliki oleh mayoritas masyarakat Islam saat ini, tak terkecuali di kalangan elitnya sekalipun. Karenanya, sudah sejatinya kalau umat ini memiliki pandangan-pandangan yang tegas, lugas dan luas namun toleran terhadap “setting sosio-relegius” dalam praktik kebergamaan setiap orang. Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencerna dan mencermati kitab-kitab klasik karya ulama tempo dulu, yang oleh sebagian umat masih dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Karena kecintaan terhadap sebuah kitab atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan dan membuntukan akal sehat. Sementara, stagnasi, fanatisme dan taklidisme semakin akut dan mengudapaksa. 

Sakralisasi dan Ahistorisasi Habib

DALAM khasanah budaya keberagamaan masyarakat Islam tradisional dan komunal, habib dimistifikasi begitu rupa sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals) yang nyaris tanpa cela dan sepi dosa. Performance yang demikian tentu saja memposisikan seorang habib sebagai “man of the glory” yang sebegitu dihargai dan dihormati tanpa reserve, yang tidak jarang melampaui penghormatan terhadap orang tua, karib kerabat bahkan kepada diri sendiri. Fakta tentang adanya para habib yang tanpa tedeng aling-aling melakukan pelanggaran terhadap norma sosial dan pakem syariat, tak menggugurkan sakralisasi tersebut, karena di sisi lain setiap habib diyakini niscaya mendapatkan “happy ending” atau khusnul khatimah di akhir hayatnya. Habib, dalam mistifikasi yang demikian, adalah seorang yang secara genetik punya garis kelahiran tersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun jalur periwayatan yang menjadi dasar lebih layak diperdebatkan, namun figur seorang habib akan selalu secara de vacto diamini memeram berbagai kelebihan dan karamah yang khariqul adat. Sakralisasi terhadap mistifikasi habib semacam itu berujung pula kepada pencitraan pribadi seorang habib sebagai manusia sakti mandraguna. Menjelmalah seorang habib menjadi pribadi “super hero” yang tidak sekadar sakralistik-monolitik, tetapi punya peran multi-ganda sebagai “polisi moral” sekaligus “bodyguard” umat. Sakralisasi dan mistifikasi tersebut barangkali disebabkan setidaknya oleh dua faktor dominan. Pertama, karena sebagian besar masyarakat Islam masih terjebak pada sikap kultuistik dan fanitisme tanpa ampun. Kedua, karena budaya taklidisme yang over dosis masih menjadi virus yang melumpuhkan sistem berpikir dan bersikap kritis umat. Hebatnya, masih ada pihak-pihak tertentu yang secara tidak resmi “melembagakan” budaya-budaya tribal semacam itu. Ahistoris Mistifikasi lain tentang habib, dan ini sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis, bahwa seorang laki-laki non habib dilarang menikahi wanita habib (syarifah). Namun peraturan ini tidak berlaku sebaliknya, di mana seorang laki-laki habib (syarif) tetap diberi kebebasan untuk menikah dengan wanita non syarifah – meski lebih diutamakan menikah dengan sesama syarif-syarifah. Alasannya, jika seorang laki-laki non habib menikahi seorang wanita syarifah, maka juriat ke-habib-an akan terputus, karena garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki. Jika argumen ini yang menjadi pegangan, maka dengan perasaan geli sekaligus kasihan dapat saya katakan, bahwa argumen tersebut adalah ahistoris. Karena fakta sejarah menunjukkan, Nabi saw. tidak memiliki seorang anak laki-laki pun yang hidup hingga dewasa sampai berkeluarga dan menghasilkan keturunan. Anak Nabi saw. yang hidup hingga dewasa dan mempunyai keturunan hanyalah Fatimah, seorang perempuan (saya tekankan: seorang perempuan), bersuamikan Ali, anak dari Abu Thalib, saudara kandung ayah Nabi saw., Abdullah. Ali sendiri merupakan kemenakan Nabi saw., anak dari Abi Thalib, paman Nabi saw. Perkawinan antara Fatimah dan Ali menghasilkan lima orang anak, Hasan, Husien, Zainab, Umi Kalsum dan Ali Ausath (yang lebih dikenal dengan sebutan Zainal Abidin). Sejarah kemudian mencatat, dan ini menjadi lembaran hitam sejarah Islam, Hasan tewas beberapa hari setelah diracun oleh tentara Yazid, anaknya Muawiyah. Husien juga gugur di padang Karbala pada hari Arafah, juga tewas dibunuh oleh tentara Yazid. Hasan tercatat memiliki beberapa isteri. Dari isteri-isteri inilah lahir sejumlah anak yang di kemudian hari – dengan latar belakang sejarah yang panjang dan kompleks – oleh sebagian kalangan disebut sebagai habib; seseorang yang secara genetik memiliki garis kelahiran dan nasab yang terhubung sampai kepada RasululLah saw. Singkatnya, semua kerabat RasululLah s.a.w. yang ada sampai hari ini adalah dari keturunan Fatimah, seorang perempuan (sekali lagi: seorang perempuan). Jelasnya lagi, tidak ada keturunan RasululLah s.a.w. dari jalur laki-laki. Pertanyaannya sekarang adalah – jika menggunakan argumen bahwa garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki – dari garis genetik “laki-laki” manakah para habib yang berseleweran di muka bumi saat ini? Politis Dalam jingukan saya, sakralisasi ini setidaknya dilatari oleh dua motif utama. Pertama, ketaatan kepada habib dianggap sama nilainya dengan kepatuhan terhadap guru, kiai, ulama, bahkan Nabi saw. Dan sikap tunduk, patuh dan tawadhu kepada habib tadi diyakini punya pengaruh terhadap kehidupan pribadi bersangkutan. Kedua, seorang habib dipercaya bakal jadi manusia cerdik pandai. Ia kelak mewarisi kedudukan datuknya – Muhammad saw. – jadi kiai, tuan guru atau ulama bahkan (di)wali(kan). Umat takut katulahan (kualat) kalau tidak taat apalagi sampai berani menentang dan menantang habib. Maka, dalam romantika masyarakat Islam komunal, termasuk untung bila bisa bergaul sedekat dan seakrab mungkin dengan habib. Dan itu juga bisa menjadi sebuah kebanggaan bahkan prestasi sekaligus pristise. Inilah yang akhirnya sering menelan korban, orang lupa belajar dan ngaji, khususnya dari kalangan santri; mengabaikan waktu sehari-hari lantaran terbuai keyakinan bahwa bergaul dengan habib ilmu bakal datang sendiri seakan runtuh begitu saja dari langit. Mistifikasi ini tidak hanya mengakar di lingkungan keberagamaan masyarakat tradisional, tetapi juga menjangkiti ranah kehidupan sosial politik. Dalam politik misalnya, banyak politisi yang kentara sekali menampilkan elitisme politik bernuansa primordialistik-relegik dengan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dan figur pemuka agama yang berpredikat habib. Tidak sedikit pula tokoh politik berpredikat habib yang terjun langsung dalam kancah politik praktis. Para habib sendiri juga tidak sedikit (kalau tidak disebut banyak sekali) yang sengaja membiarkan elistisme “habib” itu sebagai penentu asimetri kedudukan antara mereka dan umat lainnya. Mereka melancarkan eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkulturnya ke tingkat kehidupan sosial. Gelar habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualidan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para habib, menegaskan argumen ini. Sebagian habib memang ada yang menolak dimuliakan dan diwalikan oleh para pemujanya, tapi penolakan tersebut terlampau ringan dan sambil lalu dibandingkan dengan betapa seriusnya retardasi atau keterbelakangan “politis” yang terkandung dalam pemujaan irasional demikian. Kontradiktif Mistifikasi terhadap sakralisasi sosok habib yang demikian eksploitatif dan ekspansif bahkan agresif tersebut ditularkan oleh sejumlah pemuka Islam dan berhasil menyentuh ranah capaian yang mereka harapkan. Namun saya melihat capaian tersebut justru tidak membawa maslahat yang cukup positif terhadap umat dan Islam sendiri, setidaknya jika dilihat dari sudut pandang berikut: Dalam hubungan pergaluan antarmanusia (hablum min an naas), Islam tidak membenarkan adanya panghambaan manusia terhadap manusia lainnya. Islam adalah pelopor demi tercuatnya nilai moral pemerdekaan manusia dari belenggu eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk dan cara. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesedarajatan antarmanusia dan mengajarkan sikap untuk saling menghargai dan menghormati dalam takaran yang proporsional dan profesional, terhadap siapa dan bagaimanapun status orangnya, bahkan kepada kalangan non Muslim sekalipun. Berkenaan dengan nasab kelahiran, apakah historis kelahiran seseorang bisa dijadikan dasar sebagai level kemuliaan dibanding yang lain? Sementara, jalur kelahiran tidak selalu dapat diupayakan karena termasuk hak prerogatif AlLah. “Ningrat” tidak ditentukan oleh keturunan, tetapi diperoleh dengan tindakan. Habib tidak lebih mulia hanya karena secara genelogis nasab kelahirannya tersambung sampai kepada Muhammad saw., jika tidak dibingkai dengan kadar keimanan dan ketakwaan yang mumpuni sekaligus membumi. Mistifiksi terhadap sakralisasi habib adalah ahistoris dan sungguh tidak diperlukan dalam Islam, karena itu sejatinya dihumbalangkan. [] Kandangan, 12 Maret 2012

Karamat atau Karamput

SEWAKTU mengaji duduk membaca kitab kuning, saya hafal betul definisi karamat. Biasanya, karamat atau karamah diartikan sebagai ’amr khâriqun lil `âdah (Arab), atau perkara-perkara menakjubkan atau mencengangkan yang melampaui atau bersifat luar biasa (lita’âjubiyah). Agar definisinya jâmi` (meliputi apa-apa yang masuk katagori karamat) dan mâni` (mereduksi apa-apa yang bukan), definisi itu dikunci hanya pada ”perkara-perkara mencengangkan yang ditunjukkan oleh para tuan guru atau ulama saja, dengan campur-tangan dari Yang Mahakuasa”. Kunci ini pula yang diberlakukan untuk definisi mukjizat, yang berlaku hanya bagi para nabi atau rasul. Dengan begitu, keajaiban-keajaiban yang bukan hasil kreasi para tuan guru atau ulama, seperti yang diperagakan tukang sihir, dukun, pesulap, ataupun manusia-manusia jenius di bidangnya, dianggap bukan karamat tetapi istidrat. Atas dasar itulah, karamat dibedakan dengan sihir, sulap, tenung, atau keajaiban yang bukan bersumber dari para tuan guru dan ulama. Untuk tahu fungsi karamat, kita dengan gampang dapat menganalisis asal kata karamat itu sendiri, yaitu karim. Kata Arab karim yang merupakan kata dasar dari karamat itu berarti mulia atau kemuliaan. Kemuliaan di sini dimaksudkan memiliki kelebihan, sesuatu yang melemahkan atau membuat takjub dan takluk mereka yang menjadi objek pesan yang sedang disampaikan sang penyampai (tuan guru atau ulama). Fungsi dan definisi ini juga sama dengan arti mu’zi, yaitu asal kata mukjizat yang disematkan kepada para nabi atau rasul. Dalam kisah para nabi dan rasul, konon, dengan kemampuan menghadirkan naganya ular, Musa mampu membuat takjub dan takluk para penyihir Fir’aun di era yang masih magis itu. Konon, dengan keperkasaan dan kekuatan tenaganya menempa besi menjadi peralatan perang, Daud berhasil memesona umatnya, dan mengajak mereka menjalankan risalah Ilahi. Dengan pelbagai kemampuan di bidang terapi penyakit, Isa mampu memikat beberapa umatnya, dan menebarkan risalah kasih sayang kepada umat manusia. Konon, Al Qur’ân yang dianggap sebagai mukjizat terbesar Islam, hadir mencengangkan di masa-masa keemasan prestasi kepenyairan Arab di jarizah Arab, dan banyak menginspirasi jalan hidup umat Islam sampai kini. Dalam manakib para tuan guru, ulama dan wali – yang di dalamnya banyak saya temukan dongeng-dongeng –, konon, Syekh Abdul Qadir Jailani mampu menghidupkan kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang hingga kemudian mengucap syahadat. Konon, Datu Sanggul bisa shalat Jum’at setiap minggu ke Masjidil Haram di Mekkah dan pulangnya membawa nasi kabuli yang dibungkus daun pisang. Konon, Alimul ‘Alamah Al Arif Billah Asy Syekh HM Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) mampu menghadirkan buah rambutan di luar musimnya; dikjaya menghentikan arus banjir ketika hendak menghadiri haul datuknya sendiri, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari; mampu menangkapi bom yang dijatuhkan ke Irak oleh tentara AS dan sekutunya sewaktu sengketa Kuwait atau Pertak Teluk I dan membuangnya ke laut Merah. Dan seabrek bentuk karamat lainnya dari para tuan guru dan ulama. Namun, masihkah bentuk-bentuk mukjizat zaman arkaik dan karamat zaman datu tersebut betul-betul menakjubkan dan berfungsi bagi manusia zaman kini? Sebagian mungkin ya, sebagian lagi tidak. Apalah artinya ular memakan ular untuk zaman kita kini; dan pesona apakah yang bisa ditebar oleh bernyawanya kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang bila pertunjukan sulap pun sudah dapat memamerkannya? Ketakjuban apakah yang bisa ditawarkan dari menghadirkan buah rambutan di luar musimnya kalau di era lemari es dan makanan kaleng berpengawet ini sudah demikian mudah didapatkan? Apalah kelebihannya menghentikan arus banjir di zaman Manohara ini, ketika Dedy Corbozer dan Limbad pun dapat lebih dari itu melakukannya. Saya tertarik menyoroti contoh karamat yang terakhir. Benarkah kedikjayaan Guru Sekumpul menghentikan arus banjir ketika menghadiri haulan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru (secara ideologis) sekaligus datuknya (secara biologis) itu adalah sebuah karamat atau justru karamput? Ada dua argumen yang mendukung keraguan saya terhadap bentuk karamat tersebut – bahkan terhadap bentuk-bentuk karamat pada umumnya. Pertama, identifikasi sebuah ke-karamat-an yang disematkan terhadap seorang tuan guru atau ulama dilakukan tanpa melalui metode yang arjah (menguji dan membandingkan argumentasi dasar, sumber dan metode yang lebih kuat). Semua hanya bersumber dari ujar ke ujar tanpa penyeleksian secara saksama tentang keotoritatifan ujar-ujar tersebut sebagaimana lazimnya diberlakukan dalam penyeleksian dan pengklasifikasian shahih tidaknya sebuah hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan, karena secara ilmiah ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits. Metode ini rasanya tidak pernah diberlakukan untuk meneliti otentisitas sebuah ujar tentang karamat. Karena ke-karamat-an seorang tuan guru atau ulama sering dijadikan sebagai dasar keilmuan bahkan kesucian mereka sehingga semua amal(an) dan fatwanya bisa diikuiti tanpa reserfe. Dengan demikian, ujar-ujar berkenaan karamat tersebut tidak memenuhi standar baku sebagaimana metode untuk meneliti otentisitas sebuah hadits – tentu saja kedudukan karamat tidaklah sama dengan posisi sebuah hadits –, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Jadi dengan sendirinya ujar-ujar tersebut gugur, tidak dapat dipakai untuk mendukung dasar sebuah karamat. Atau – sebagaimana dalam kaidah penelitian hadits – ujar-ujar tersebut termasuk dalam ujar maudhu, palsu, atau karamput! Ala kulli hal, kalau sebuah hadits yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’ân saja sering dan bisa dipalsukan, apatah lagi hanya dengan sebuah karamat? Kedua, jika apa yang diujarkan tentang peristiwa Guru Sekumpul saat menghadiri pelaksanaan haul Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura itu adalah benar sebuah karamat, maka dengan sedikit lancang saya sebutkan kalau ke-karamat-an itu didasarkan atas “penghinaan” dan “pengkhianatan” (dengan atau tanpa tanda kutif) terhadap guru sekaligus datuk Guru Sekumpul itu sendiri. Berikut argumentasi saya: Dalam kitab Sabilal Muhtadin lit Tafaquhi fid Din (Jalan Orang yang Memperoleh Petunjuk dalam Memahami Ajaran Agama), tepatnya pada buku kedua bab Jenazah, halaman 741-742, terbitan PT Bina Ilmu Surabaya tahun 2005 cetakan keempat (disalin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Drs. H. Muhammad Aswadie Syukur, Lc) disebutkan: “Sunat bagi seisi kampung yang kematian dan seluruh keluarga sekalipun jauh membawa makanan untuk keluarga yang kematian untuk makanan mereka pada siang hari dan malamnya atau untuk selama mereka masih dalam keadaan bersedih hendaklah mereka selalu makan untuk menjaga kondisi kesehatannya.” “Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti yang kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat. Makruh lagi bid’ah menghadiri undangan itu dan haram menyediakan makanan untuk yang menangis dengan suara nyaring karena yang seperti itu dapat membawa kepada kemaksiatan. Makruh lagi bid’ah menyembelih binatang di atas kuburan dan tidak sah wasiat untuk memperbuat yang seperti itu dan menurut para ulama perbuatan yang seperti itu adalah perbuatan orang di masa Jahiliyah. Makruh lagi bid’ah mencium atau mengecup bagian dari kuburan atau tangga tempat ziarah kuburan para ulama dan aulia.” Pembaca pasti sudah hafal benar bahwa kitab tersebut dikarang oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru dan datuknya Guru Sekumpul. Saya pun merasa tak perlu lagi menjelaskan kandungan fatwa hukum dari kutipan kitab tersebut. Namun saya hanya ingin bertanya, tidakkah keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan haul itu kontradiktif dengan kandungan fatwa hukum dalam kitab karangan guru dan datuknya tersebut? Lalu, pantaskah seorang yang telah melakukan “penghinaan” dan “pengkhianatan” terhadap fatwa guru sekaligus datuknya sendiri disebut karamat? Layakkah seorang yang terang-terangan menyelesihi tuntunan syari’at diberi gelar karamat? Pembaca barangkali mempunyai jawaban beragam, di samping terkejut, tersinggung atau bahkan mungkin marah terhadap testimoni saya ini. Tapi saya masih punya argumen lain: Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa, dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan. Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Tetapi dalam hal ritual penyelenggaran jenazah, pada banyak sisi, tata-cara ritual tersebut sudah bersifat “fixed” alias harga mati dan boleh dikatakan baku sistem tuntunannya. Namun demikian, saya tentu tidak menjadikan kutipan dalam kitab Sabilal Muhtadin tersebut sebagai sumber satu-satunya yang menjadi standar hukum seputar ritual dan tata-cara penyelenggaraan jenazah. Karena sebagai salah satu kitab fikih, Sabilal Muhtadin, sebagaimana kitab-kitab fikih pada umumnya, kitab ini lahir sebagai “buah pemikiran” sang pengarang dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, kitab ini selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsirtan” umat Islam terhadap ajaran Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada ketika itu. Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik. Hal ini juga sebagai apresiasi terhadap pesan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sendiri dalam mukaddimah kitabnya tersebut: “…kuharapkan pula dari orang yang alim untuk memperbaiki isi kitab ini, dengan bahasa yang lebih baik dan dengan pendapat yang lebih benar.” Namun dalam konteks status hukum dan tuntunan tata-cara ritual penyelenggaran jenazah, sejumlah hadits dan atsar sudah sejak awal-awal memberikan pengajaran cukup jelas dan tegas (mudahan ini tidak dianggap menggurui): Diriwayatkan dari ‘AbdulLah ibn Ja’far ia berkata: “Ketika datang berita tentang Ja’far bahwa ia telah terbunuh, maka berkata Nabi Saw.: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang musibah yang membuat mereka berduka cita’.” (HR Thabrani, Baihaqi, Hakim, Syafi’i, Daruqutni dan lain-lain). “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan sesudah mayit ditanam (dikuburkan) adalah termasuk meratap.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). “Ketika Jabir datang kepada Umar ia ditanya: ‘Apakah mayit – kaummu – diratapi? Jabir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi, ‘Apakah mereka membuat makanan di keluarga mayit? Dijawab: ‘Benar.’ Umar berkata: ‘Itu ratapan.’” Saya tak perlu lagi menjelaskan karena saya yakin pembaca tentu sudah paham betul maksud riwayat di atas. Namun saya ingin memberi sedikit catatan. Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw. menganjurkan bagi para pelayat untuk membuat makanan bagi keluarga yang mengalami musibah kematian, bukan sebaliknya. Pada kedua atsar disebutkan pendapat para sahabat Nabi Saw. yang melarang meratapi mayat, berkumpul di rumah duka dan membuat makanan. Dengan dasar hadits dan atsar tersebut, berarti esensi dan subtansi dari fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan ketentuan hukum yang telah dituntunkan dalam sunnah Nabi Saw. dan atsar sahabat sebagai sumber dasar dalam yurispudensi hukum Islam setelah Al Qur’an. Ini berarti pula, bahwa praktik-praktik yang inkosisten dengan tuntunan riwayat tersebut merupakan “penghinaan” dan “pengkhianatan” tidak saja terhadap fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin itu saja, tetapi juga kepada sekte (mazhab) Imam Syafi’i, yang, seperti diakui oleh pengarang sendiri, bahwa kitab Sabilal Muhtadin tersebut ditulis sebagai kitab fikih menurut aliran sekte Imam Syafi’i yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah ini. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah kitab yang menjadi rujukan pengarang seperti Syarah Minhaj karangan Zakariya Anshari, Al Mugni karangan Syekh Khatib Syarbaini, At Tuhfah karangan Ibnu Hajar Al-Haitami, An Nihayah Syekh Jamal karangan Sykeh Ramli dan beberapa buah kitab sarah dan komentar lainnya. Oleh karena esensi fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan tuntunan RasululLah Saw. dalam haditsnya, maka dapat pula dikatakan bahwa perlakuan orang-orang yang menyelisihinya sama juga dengan “penghinaan” dan “pengkhianatan” (sekali lagi, dengan atau tanpa tanda petik) terhadap sunnah Nabi Saw.! Dengan argumen-argumen itu, apakah lantas saya menjadi orang yang tidak percaya atau menolak karamat? Saya tidak mau menjawab pertanyaan ini. Saya hanya akan mengajukan hipotesa berikut: Menolak, atau paling tidak mempersoalkan tentang karamat, tidak sama dengan tidak percaya. Dalam pandangan saya, menolak dan mempersoalkan ke-karamat-an seorang tuan guru atau ulama bukan berarti menyurutkan dan menyudutkan otoritas dan kualitas ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an pribadi bersangkutan. Bahkan lebih meneguhkan lagi ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an mereka dalam bentuk dan makna yang sangat manusiawi. Karena tunduknya umat terhadap tuan guru, ulama atau bahkan wali, tidaklah sampai ke tingkat melenyapkan kedudukan mereka sebagai manusia dan yang serupa dengan itu. Umat tidak harus memposisikan mereka sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals). Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat. Sudah saatnya, pencitraan sosok tuan guru dan ulama yang selama ini terlalu menonjolkan aspek-aspek heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna, mesti dieliminasi. Kita perlu mengapresisasi dan mengekpresi sosok tuan guru dan ulama kepada hakekatnya yang profesional dan proporsional sebagai warasatul anbiya; penerus dan pewaris para Nabi, pun sebagai seorang manusia biasa yang bisa “terpeleset” ke dalam lubang kesalahan, di samping kesalehan. Kita juga berharap kaum tuan guru dan ulama sendiri jangan pula memposisikan diri mereka yang dengan sadar dapat berakibat pada pengkultusan yang over dosis untuk kemudian dijelmakan sebagai sosok heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna. Dengan begitu, sosok tuan guru dan ulama akan menjadi khazanah teladan ideal dan figuratif otentik di tengah-tengah umat sebagai warasatul anbiya sebagaimana mestinya. Sekarang, buat apalah bacaan-bacaan dan amalan-amalan tuan guru dan ulama bila tidak menstimulasi umatnya untuk menghadirkan karamat-karamat baru yang lebih dahsyat di zaman modern ini? Kini, dunia semakin berkembang berkat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap hari, ada saja perkembangan terbaru di bidang sains dan teknologi. Di manakah letak dan kontribusi umat Islam? Tuan guru dan ulama memang ada yang sedikit-banyak berbicara perihal sains dan teknologi, soal alam raya, watak-watak dan gejala-gejala yang ditimbulkannya, seperti fenomena bintang-gemintang dan bahkan gunung-gunung dan gurun-gurun. Tapi sedikit sekali yang bisa menerjemahkan ”karamat saintifik” sunatulLah itu ke dalam penelitian yang mampu memahami dan menjinakkan watak bengis alam raya yang kadang-kadang muncul seketika. Ada juga tuan guru dan ulama yang secara normatif menganjurkan umat Islam untuk mencermati bagaimana si burung bisa melanglang-buana di angkasa raya, dan langit bisa terbentang tanpa tiang. Tapi hanya BJ Habibie yang mengerti bagaimana caranya burung besi mampu terbang ke hamparan angkasa. Kini terasa betul, kita membutuhkan karamat-karamat modern dari para jenius-jenius Islam yang lebih menakjubkan. Karamat-karamat tersebut dapat saja diabdikan untuk menekan angka kematian dan menaikkan tingkat harapan hidup; mempermudah sarana transportasi dan komunikasi, serta mengantisipasi kemalangan dan dampak buruk bencana alam. Tentu masih banyak lagi fungsinya yang diharapkan. Di sini, karamat dalam artian yang konvensional, seperti yang dimuat kitab kuning dan diajarkan di pesantren itu, sudah bergeser maknanya. Ia tidak hanya datang dari tuan guru dan ulama atau wali karena dengan begitu tidak akan ada lagi karamat. Sementara, dunia terus saja mengharap karamat. Karamat di masa kini dan di sini, kita maknai sebagai segala bentuk terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang oleh umat beragama dapat saja dijadikan sebagai bentuk keterpanggilannya oleh ayat-ayat kauniyyah Alqur’an, dan lebih penting lagi, diabdikan untuk sebanyak mungkin kemaslahatan manusia. Dengan kemampuan membuat lebih banyak karamat itulah umat Islam akan dihargai di tingkat dunia dan kebesaran Islam dan umat Islam dapat dicapai. Selagi kita tidak dapat membuat karamat-karamat baru, kita akan tetap menjadi tumbal dari karamat ”burung besi” yang dipaksa terbang meski sudah tua dan renta. Tanpa kemampuan mengkreasi karamat-karamat baru dalam pelbagai lapangan kehidupan, kita akan selalu menjadi pengumpat kemurkaan alam, walau dengan niat baik menyebutnya sebagai bala atau ujian Tuhan. Dengan kemampuan menghadirkan karamat dalam teknik penanggulangan gempa, misalnya, kita terbebas dari efek destruktif gempa sekaligus kecenderungan berburuk sangka kepada AlLah. Rasanya, kita memang membutuhkan lebih banyak karamat lagi, sekalipun tidak datang dari seorang tuan guru atau ulama bahkan wali. Sejatinya, seorang tuan guru dan ulama atau wali yang dikatakan punya karamat adalah mereka yang selalu meminta hidayah untuk semua umat. Sedang mereka yang selalu meminta hadiah kepada semua umat adalah seorang tuan guru dan ulama atau wali yang karamput! [] Kandangan, 26 September 2009 Komentar-komentar di Face Book: Ersis Warmansyah Abbas. Serius amat neh Pak Kiai ... ngeri juga ne membacanya ... Aliman Syahrani. tampulu asa langgai pahinakan jadi manulisai barajin... Sainul Hermawan. kayaknya tulisan ini semacam keramat yang fungsinya antara lain membuat mata saya tak berkedip saat membacanya lantas berdecak kagum setelahnya Ahmad Surkati AR. Berbagi pendapat dari banyak pandangan tentang dunia Wali. Semoga mereka yang dianggap wali memang menjadi kekasih Allah. Amin. H. Rudy Ariffin. Hampir sepuluh tahun saya dekat dengan Almarhum Abah Guru Sekumpul.. sampai mendampingi di akhir hayat beliau Agustus 2005 M .. tidak ada ceritera tentang beliau menyetop arus sungai ketika akan menghadiri acara haul Datu Kelampayan yang ke 189.. Tadi barusan peringatan Haul Datu Kelampayan yang ke 203.. Wallahualam bissawab... Harie Insani Putra. baca dulu akh...komen belakangan... Arsyad Indradi. Orang mengatakan bahwa: Guru Sekumpul dapat menghentikan arus banjir ketika menghadiri haulan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, kalau benar perkataan orang itu, maka itu dinamakan ”karamat”. Tetapi kalau hanya mengada-ada maka ini dikatakan ”karamput". Aku pernah mendengar dari orang (lupa namanya) bahwa Guru Sekumpul ada di Bagdad menyambuti bom lalu dibuang beliau ke laut Merah, yang dijatuhkan ke Irak oleh tentara AS dan sekutunya sewaktu sengketa Kuwait. Nah, apakah ini benar atau tidak, Wallahualambissawab. Ini mungkin ya karena kuatnya mengkultuskan beliau. Hemat saya ini tidaklah sejauh "penghinaan" terhadap beliau. Sebenarnya bukan hanya beliau, ada banyak peristiwa lainnya yang dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa yakni memberikan efek magis dan psikologis pada orang lain, seperti para Rasul, Nabi, Wali dan orang yang dikasihi Allah. Dulu aku pernah dengar bahwa ada orang Banjar naik haji bertemu dengan ‘Katum’ (pakai butah, orang Tabudarat) juga melaksanakan rukun haji di Makah. Setelah selesai haji orang Banjar itu bertamu ke tempat Katum, ternyata Katum sendiri bertapa di kamarnya. Lalu tersiar “Wali Katum”. Bagi orang lain yang tidak percaya karena hanya habar katiya habar, maka ini dinamakan “karamput”. H. Rudy Ariffin. Sepengetahuan saya, ketika Haul Datu Kelampayan ke 189 atau tahun 1995 M, sesudah lebaran air banjir sampai ke jalanan.. kemudian sehari sebelum acara haul .. air menyurut sehingga mobil2 bisa lewat jalanan.. dan sehari sesudah haul air banjir lagi... Tidak ada juga yang tahu kenapa itu bisa terjadi ( rahasia Allah SWT) .. Wallahualam Bissawab.. Ahmad Surkati AR. Do'a adalah cara untuk mencapai sesuatu, sementara pada Allah; tidak ada yang tidak mungkin. Doa dan Allah adalah satu jalur yang berakhir pada kenyataan. Kenyataan ini bisa masuk akal atau juga sebaliknya. Nah, sebaliknya inilah yang bernilai dan tanda orang itu dekat. Apa yang ceritakan Gubernur kita menurut beberapa tafsir sangat mungkin tanda bahwa Guru Sakumpul itu dekat dengan Allah, maka acara haulan akhirnya berjalan lancar. Meragukan kemuliaan seseorang itu arif jika bukan pada orangnya selama kemuliaan orang dimaksud tidak terbantahkan. Ini baik untuk membangun karakter diri yang dekat dengan Allah. Mahmud Jauhari Ali. Waduh segitunya si Abang nih dalam menulis. Wakakakakakakakak. Lucu dan juga menggelikan jiwa saya tatkala membaca tulisan ini. 'Kan sudah jelas tuh bahwa Allah lah yang hanya mengetahui siapa yang bertakwa dan siapa saja yang tidak. Eh ini malah mengkultuskan. Ingat noh "Inna aqromakun 'indallahi atqokum innallaha 'alimun khobir" Tak usahlah kita melihat kehebatan itu dari manusianya. Kita sendiri tak tahu ulama itu hanya alim atau memang sholeh. Orang yang rajin sholat pun kita tak tahu apa bersih atau ada riyanya. Hati-hati! Siapa sih manusia itu? Jawabannya tak perlu ada pembedaan atas diri kita dengan orang lain. Manusia tak berhak membedakan dia lebih tinggi atau lebih rendah daripada kita. Soal karamah, hemmmm… tak perlu diseberaluaskan. Seorang ulama (bukan tuan guru) karena tuan guru itu bukan ulama, seharusnya mencegah pengkultusan dengan fatwa-fatwa berdasarkan dalil yang kuat. Saya maklum dengan kondisi alam Kalsel yang senang manggut-manggut dengan kata-kata tuan guru. Sementara itu kata-kata Allah dan rasul diabaikan. Ini adalah hal yang harus segera diluruskan. Kembalilah kepada Alqur'an dan Assunah. Kita harus menerima Islam dengan sepenuh hati dengan tidak mencampur adat (kebiasaan) sebagai tambahan dari Islam. Islam itu sempurna dan tak perlu ditambah-tambah, apalagi diubah. Allah bukan pengarang amatiran dalam semua firman-Nya. Menambah hukum Allah itu sama artinya kita "menghina-Nya." Islam itu mudah, kita hanya diwajibkan beribadah kepada-Nya , "Wa ma kholaktul jinna wal insa illa liya'budun", dengan pedoman dari-Nya. Enak to enak to? Ibadah itu tentunya mencakup ibadah mahdah dan ibadah muamalah. Oke coy (cedikiawan oy)? Ingat lho orang biasa juga ada yang mendapatkan kelebihan luar biasa, namanya ma'unah. Intinya, jangan melebih-lebihkan sesuatu pun, seperti benda dan manusia. Tuan guru Sakumpul itu hanya manusia biasa seperti kita semua. Sudahlah, kita hormat-menghormati saja tanpa mengkultuskan siapa pun (tidak berlebihan dalam hal penghormatan). Ingat lho Allah tak suka dengan berlebih-lebihan! Oke Coy? Arsyad Indradi. Apa kata Mahmud aku sependapat terutama masyarakat Kalsel senang manggut-manggut. Ada tuan guru (tdk kusebutkan namanya) mengatakan bahwa menggitar haram, menyuling haram pokoknya musik haram. Dan masyarakat kita terutama di Martapura menjadi menurut (manggut-manggut). Mahmud Jauhari Ali. Nah ini baru sip. Menyatakan setuju, tetapi didasari dengan bukti yang nyata. Akur Bah ai. Akh Roza. Bandung Bondowoso kawa jua maulah 999 candi dalam 1 malam, itu karamat ataw karamput, sampai baulah piduduk bila bakawinan, kopi pahit + manis + banyu putih gasan orang “subalah", mungkin haja alam pikiran ajaran Hindu belum hilang sampai wahini, maaf bila kada nyambung... hehe.. Aliman Syahrani. Untuk abah Hubnur, ujar-ujar ttg karamat Guru Sekumpul sering dimuat di media massa Kalsel terutama di hari-hari setelah beliau meninggal (ulun punya klipingnya). Untuk Abah Arsyad, ada penjelasan cukup "rasional" tentang wali Katum: saat berhaji terdapat jutaan manusia di sana, jadi tidak mustahil ada yang "mirip" dengan wali Katum. Yang pasti lagi, riwayat-riwayat ini tidak dirajih (diseleksi) kebenarannya. Buat M Jauhari Ali, wacananya bagus gasan khutbah Idul Adha, Oke Coy? Buat Akh Roza, Nabi SAW saja bikin masjid Kuba dengan proses yg alamiah. Ttg knp ada kopi pahit dan kopi manis segala? Barangkali ada "urang subalah" yang diabetes, hehe.... Buat semua: kenapa tidak ada yang menyinggung masalah inkonsistensi ulama dan masyarakat Islam Kalsel dengan isi fatwa hukum Sabilal Muhtadin? Ditunggu.... Salam! Mahmud Jauhari Ali. Ow gitu ya Coy? (Cedekiawan oy maksud saya). Inkonsistensi? Waddeewww berat banget nih istilahnya, kikikikikik. Menarik sekali Coy. Oke oke, inkonsistensi atau ketidakserasian antara tuan guru dengan masyarakat "dan" isi kandungan hukum Sabilal Muhtadin berkenaan dengan penyelenggaraan jenazah/mayit itu lebih terfokus pada belum adanya penerimaan sepenuhnya Islam secara keseluruhan oleh mereka. Mereka lebih mengutamakan adat/kebiasaan dari ajaran non-Islam daripada Islam itu sendiri. Dalam Islam ada beberapa syarat agar amal itu diterima Allah swt. Di antaranya harus ada dasar hukum yang kuat, dilakukan dengan tata cara Islam, dan penuh keikhlasan. Dalam Islam tidak kita temukan hukum tahlilan dalam haulan seperti yang ada di beberapa kantong pada masyarakat kita. "Kalau ada hukumnya, tunjukkan dalil naqlinya kepada saya!" Masyarakat dan tuan guru tidak menerima sepenuhnya Islam Rasulullah. Mereka lebih suka menunaikan ajaran non-Islam dalam hal jenazah. Parahnya lagi, uang untuk penyelenggaraan tahlilan itu diambil dari uang warisan si mayit. Padahal uang peninggalan harus diselesaikan dulu, seperti dibayarkan untuk hutang jika si mayit berhutang, wasiat, dll. Nah walaupun sudah diselesaikan, bukan uang si mayit yang digunakan. Melainkan tetanggalah yang memberikan makanan untuk keluarga yang ditinggalkan. Itu pun bukan untuk acara tahlilan. BUKAN UNTUK ACARA TAHLILAN! Memang ada yang mengatakan itu 'kan untuk memberikan makan orang lain. Ingat Coy, berilah makanan untuk fakir miskin, anak yatim dll yang membutuhkan. BUKAN MEMBERIKAN MAKANAN UNTUK ORANG YANG MAMPU MAKAN SENDIRI! Oke? Nah jika hukumnya saja tidak ada, tentunya tidak ada juga tata cara tahlilan dalam Islam. Soal keihklasan, harus didasarkan pada keimanan! Keimanan salah satunya pada kitabullah. Dalam kitab Allah tidak kita temukan hukum tahlilan pada haulan. Jadi, tidak ada landasan sama sekali dalam Islam berkenaan dengan tahlilan tersebut. Khusus untuk orang yang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga. Apa itu? Amal jariyah, anak sholeh yang senantiasa mendoakan si mayit, dan ilmu yang bermanfaat. Ingat Coy hanya ada tiga! Amalan tahlilan tentu tidak akan diterima Allah karena tidak ada dalam Islam. Kalau membahas acara setelah orang meninggal ini, saya jadi ingat dengan perlakuan orang dayak yang telah berkristen. Aliman Syahrani. Mas Jauhari, rupanya tema diskusi kita yang terakhir ini kurang menarik ya? Knp ya? Apa mungkin karena banyak yang "tapantuk ka dahi saurang" atau "takaut isi padiringan"? Kata guru di kampung, masalah ini sulit dibicarakan, apalagi dibasmi, karena menyangkut ilmu PANCAR alias "pancarian!".