Monday, July 7, 2014

Sebab-sebab Merosotnya Suara PKS di HSS pada Pemilu 2009

MESKIPUN perhitungan suara hasil Pemilu 2009 masih berjalan dan belum ada data resmi dari KPU Kabupaten HSS, setidaknya sampai tulisan ini saya buat, tapi jumlah kursi dari setiap partai sudah bisa diperkirakan. PKS yang pada Pemilu 2004 lalu memiliki suara terbanyak dengan jumlah kursi tujuh, pada Pemilu tahun ini hampir bisa dipastikan hanya akan memperoleh lima kursi. Itu artinya PKS kehilangan dua kursi, dan target yang ingin dicapai PKS sebanyak 16 kursi menjadi jauh panggang dari api alias gatot atau gagal total. Ada beberapa sebab yang membuat suara PKS merosot pada Pemilu 2009 ini di HSS, saya mengambil beberapa sebab. Satu, tidak ada prestasi, baik spiritual (sebagai partai Islam) maupun sosial ekonomi dan politik – keculi beberapa. Katakanlah misalnya di bidang kehutanan. Bukankah Ardiansyah (Ketua DPRD – sekarang Wakil Bubati) adalah “Trade Merk” PKS di HSS selama ini, khususnya pada periode sebelumnya, dan Ja’far (Ketua DPRD sekarang), keduanya adalah sarjana kehutanan? Apakah ilmu-ilmu kesarjanaan mereka tersebut memang tidak pernah diaplikasikan atau memang kada tapakai? AlLahu’alam! Dua, suka mengklaim bahwa sejumlah “keberhasilan” pembangunan dan “prestasi” politik di HSS selama ini adalah sebagai hasil kerja PKS seorang diri. Seperti kenaikan PAD; santunan kematian; sumbangan untuk kesejahteraan khatib dan masjid; perda khatam Qur’an; pemenang Pilkada Bupati 2008, dan lain-lain. Hal ini jadi bomerang bagi PKS karena semua masyarakat HSS tahu bahwa “keberhasilan” dan “prestasi” itu adalah hasil kerja dan karya dari semua anggota DPRD HSS yang ada. Boleh jadi memang beberapa dari “keberhasilan” dan “prestasi” itu ide awalnya dari PKS. Tiga, mulai ditinggalkan kader militan dan massa fanatik. Karena kurangnya pembinaan? Atau karena kader dan massa mulai melek politik bahwa orientasi semua partai politik – apa pun azasnya, Islam atau nasionalis – selamanya yang terjadi adalah untuk tujuan politik kekuasaan. Tidak pernah terjadi kekuasaan politik dengan tujuan religius(itas) dan spiritual(itas) semata. Empat, masih memasang kader-kader lama sebagai caleg, yang justru selama duduk pada periode sebelumnya tidak terlihat prestasinya (kecuali berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi pribadi dan menaikkan berat badan si anggota legislatif karena awak pina sasain balamak), juga banyak mencomot figur-figur yang lebih dikenal karena ketokohan oleh simbol-simbol spiritual-tradisionalnya doang, bukan karena kualitas politik dan intelektual individunya. Lima, latah menggunakan “jampi-jampi agama” (menjual habib, maarak pawang agama, memelintir “teks-teks suci”, mempolitisir maulid, tarbang, jilbab, jenggot, dan lain-lain) sebagai komoditas dan mobilitas politiknya. Barangkali hal ini untuk menegaskan bahwa PKS adalah partai Islam, yang sesungguhnya – sebagaimana semua partai Islam lainnya – boleh saja disebut “cuma” sebagai partai anonim berbaju Islam. Untuk urusan agama, trik-trik semacam itu bisa jadi dapat mewujudkan terciptanya solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan partai dan politik. Dengan perilaku politik PKS yang doyan “mengekploitasi” dan “mengkomodifikasi” agama (baca: Islam) dan segala perkakasnya sebagai “jampi-jampi agama” itu, dalam istilah religiusitas-tradisonal Banjar, jadilah PKS akhirnya katulahan! Hehehe… Saya masih memiliki daftar yang cukup panjang. Tetapi, itulah sebab-sebab utama yang saya rasa paling mempengaruhi merosotnya suara PKS pada Pemilu 2009 ini di HSS. Sebab-sebab itu bisa saja berlaku untuk darerah-daerah lain di luar HSS. Bisa pula berlaku pada pemilu-pemilu mendatang, tentu jika PKS tidak segera melakukan evaluasi dan introspeksi. Tabik! Aliman Syahrani Pemerhati Politik Rukun Tetangga (RT) di Kandangan

Kritik Historis

JIKA sebuah ibadah didefinisikan sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh AlLah SWT., yang praktik dan penjelasannya ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw., maka ada banyak sekali ritual dan amalan dalam agama ini, yang, kalau ditinjau dari segi historis, sebenarnya kontradiktif (kalau tidak dibilang keliru sama sekali). Ritual dan amalan-amalan tersebut, karena oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai ibadah – yang saya maksud di sini adalah ibadah murni atau ibadah mahdah, maka dalam bahasa agama sendiri sebenarnya termasuk dalam katagore bid'ah atau inovasi terlarang. Dengan berpegang kepada definisi umum ibadah seperti di atas, sebuah ibadah harus memenuhi dua ketentuan dasar berikut: Pertama, ada perintahnya dari AlLah. Kedua, ada contoh dan penjelesannya dari RasululLah saw. Contoh dan penjelasan tersebut menyangkut cara, bentuk, waktu dan tempat. Tanpa adanya kedua ketentuan dasar tersebut maka sesuatu akan tertolak dikatakan sebagai sebuah ibadah. Berikut saya berikan satu contoh: Pada setiap selesai empat raka’at dalam shalat tarawih (shalat malam di bulan Ramadhan), sebagian saudara kita mengumandangkan seruan dan doa-doa berikut: 1. “Al khaliifah al awwal amiir al mu’miniina syayyiduna abu bakrini ashshidiqi tardahu ‘anhu.” 2. “Al khaliifah ats tsani amiir al mu’miniina syayyiduna umarubnu al khattab tardahu ‘anhu.” 3. “Al khaliifah as salis amiir al mu’miniina syayyiduna utsmanu al affan tardahu ‘anhu.” 4. “Al khaliifah ar rabi amiir al mu’miniina syayyiduna ‘ali al abi thalib karamAlLahu wajhah.” Seruan dan doa tersebut diperuntukkan kepada empat sahabat RasululLah yang utama, yang kelak masing-masing menjadi khalifah. Seruan dan doa tersebut dikumandangkan oleh imam atau seorang petugas dalam shalat tarawih, dengan suara cukup keras – bahkan nyaris berteriak – melalui pengeras suara. Untuk tiap-tiap seruan dan doa tersebut, dengan suara keras pula – dan nyaris berteriak juga – para jamaah serentak menyahut: “radiAlLahu anhu” untuk tiga sahabat pertama dan “karamAlLahuwajhah” untuk sahabat terakhir. Seruan dan doa tersebut tak pernah terpisahkan dari pelaksanaan shalat tarawih, yang barangkali memang dijadikan dan diyakini sebagai rangkaian dari shalat tarawih layaknya syarat dan rukun sebagaimana ibadah murni pada umumnya. Persoalannya, seruan dan doa-doa tersebut adalah ahistoris, tidak pernah dicontohkan dan dijelaskan oleh RasululLah saw. Berikut argumen saya: Fakta sejarah sudah sangat jelas menunjukkan, bahwa diangkatnya keempat sahabat utama tersebut sebagai khalifah adalah sesudah wafatnya RasululLah saw. Tidak pula ditemukan adanya riwayat yang menunjukkan bahwa RasuluLah saw. pernah menentukan urutan-urutan kedudukan para sahabat tersebut menjadi khalifah. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin RasululLah saw. menyertakan atau menetapkan sesuatu dalam ibadah hal yang belum ada di masa hidupnya. Dengan menggunakan fakta historis pula, saya justru jadi curiga. Jangan-jangan mereka – terutama para pemuka agamanya – yang melaksanakan ritual dan amalan agama yang ahistoris selama ini, seperti seruan dan doa pada setiap empat rakaat shalat tarawih misalnya, tidak belajar sejarah Islam dengan baik. Bahkan mungkin tidak belajar Islam dengan benar! AlLahu ’alam bis shawab.

Wednesday, July 2, 2014

Negara Islam Tidak Ada dalam Konsep Kemerdekaan Indonesia

DARI pembacaan saya terhadap beberapa studi historis tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, kesimpulan sementara yang dapat saya berikan adalah, bahwa berbagai peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang dan pendiri negara Indonesia yang kita sebut sebagai perjuangan kemerdekaan, bermula dari perlawanan terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan para penguasa. Mereka melakukan pemberontakan karena tidak tahan dengan pajak yang terlalu mencekik, atau karena penggusuran tanah yang semena-mena, atau karena lahan-lahan pertanian dikorbankan untuk kepentingan para pemilik modal besar, atau karena kekejaman aparat pemerintah. Tak pernah mereka berontak karena ingin mendirikan Negara Republik Indonesia. Konsep “bangsa” dan “negara” masih asing buat mereka, apalagi nasionalisme. Begitu tidak jelasnya konsep ini bagi kebanyakan pejuang Indonesia dan pemimpinnya, hingga dalam pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno harus memberikan kursus singkat tentang kebangsaan. Ia mengutip para pakar ilmu politik dari Eropa bak sebuah kuliah di depan para mahasiswa baru. Buat kebanyakan ulama, yang waktu itu berada di garda depan dalam perlawanan terhadap Belanda, nasionalisme dipahami sangat samar-samar. A. Hasan menuding nasionalisme sebagai ‘ashabiyyah. Bila orang berjuang untuk nasionalisme, ia mati jahiliah. Polemik pun bergulir antara tokoh nasionalisme dan para ulama Islam – dimulai dari debat ideologis antara A. Hasan dan Bung Karno. Kalau begitu, apakah para pemimpin Islam berjuang untuk mendirikan negara Islam? Tidak juga. Konsep “negara” saja sudah samar-samar, apalagi negara Islam. Konsep negara Islam baru hangat diperbincangkan, dianalisis, dijelaskan, setelah Konstituante terbentuk. Dalam hal ini pun, tak ada kesepakatan di antara para ulama Islam. Jadi, sudah dapat dipastikan, ketika Pangeran Diponegoro menaiki kuda dalam jubah putihnya, atau ketika Imam Bonjol bersama para ulama meledakkan perang bertahun-tahun, atau ketika para ulama Aceh memimpin Perang Sabil, atau ketika Ajengan Zaenal Mustafa dari Tasikmalaya melawan Jepang, atau ketika Pangeran Samudera yang diislamkan oleh Chatib Dayyan dari Demak,*) dengan semangat waja sampai ka puting memerangi Belanda di tanah Banjar, ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan gerakam Muhamamdiyah pada tanggal 8 Nopember 1912, ketika KH hasyim Asary memebentuk Nahdlatul Ulama pada tahun 1923, tidak terpikir pada benak mereka upaya untuk mendirikan negara Islam. Mereka juga belum merumuskan bagaimana sistem pemerintahan yang mereka jalankan: presidentil, kerajaan, parlementer, teokrasi, aristokrasi, monokrasi, atau demokrasi. Mereka juga berjuang bukan untuk mengusir orang asing semata. Mereka melawan orang asing itu karena mereka melakukan penindasan, kezaliman, dan kekejaman. Siapa saja yang berbuat zalim, tak peduli warna kulitnya, mereka lawan. Dalam banyak hal, mereka menentang bahkan sesama bangsa, seperti ketika Amangkurat I membunuhi para ulama di alun-alun. Alih-alih konsep-konsep yang abstrak, yang mengilhami para pejuang kita adalah peribahasa sederhana: Raja adil, raja disembah; raja lalim, raja disanggah. Dalam sejarah Islam sendiri dapat kita jumpai, bahwa ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa risalah agama, tidak lebih dari itu. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Muhammad terpilih berdasarkan wahyu, Abu Bakar diangkat dengan sistem perwakilan kabilah (semacam DPR sebelum reformasi), Umar mendapat kekuasaan karena diwariskan Abu Bakar, Ustman diangkat dengan mekanisme formatur (tiap suku dan kabilah mengirimkan utusan untuk dipilih), Ali ditetapkan berdasarkan hasil pemungutan suara rakyat (seperti sistem pemilu langsung di masa reformasi sekarang). Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan, sistem dinasti. Yang terakhir ini tidak jarang dijalankan dengan cara pembunuhan dan pertumpahan darah. Sebelumnya, tiga dari empat khalifah pertama (Umar, Ustman dan Ali) tewas terbunuh oleh rival politik masing-masing karena urusan politik. Praktek negara khilafah sendiri sebenarnya tidak “secemerlang” seperti yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain. Secara historis bentuk kekuasaan politik dalam masyarakat Muslim memang terus berubah. Kita tidak memungkiri fakta mengenai pernah terbentuknya komunitas politik dalam Islam, namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh syariah. Kekhalifahan yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah semata. Untuk urusan agama sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik. Dalam menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan Rasul di Madinah adalah upaya menegoisasikan antara nila-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-of antara “yang universal” dengan “yang partikular”. Umat Islam mesti terus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Sebab, “Islam”-nya Rasul di Madinah hanyalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Konsep ijtihad pemikiran semacam inilah yang barangkali turut mewarnai lahirnya Surat Pernyaataan antara PB Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah saat menyambut Tahun Baru Islam 1427 H lalu. Pada point 4 disebutkan: “PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama menyerukan agar pelaksanaan syariat Islam di bumi Indonesia dilakukan secara Indonesiawi, melalui sistem dan tata hukum yang berlaku di Indonesia. Keinginan untuk meletakkan agama secara berhadapan dengan negara serta meletakkan kekuasaan negara secara berhadapan dengan agama harus ditinggalkan jauh-jauh. Umat Islam Indonesia justru sangat berkepentingan terhadap lestarinya Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.” **) Jauh dalam kerak sejarah, kita menemukan konsep Ratu Adil. Konsep itu akrab bukan saja dengan para pemikir yang tercerahkan, tetapi juga dengan rakyat kecil yang mencabuti patok-patok kayu di halaman Pangeran Diponegoro. Entah bagaimana, dalam perjalanan sejarah, sesuai dengan kemajuan zaman, konsep Ratu Adil kini teronggok dalam museum antropologi untuk mengacu kepada pemikiran bangsa-bangsa “primitif.” Lalu, kita sibuk mendiskusikan konsep nasionalisme, negara Islam, khilafah, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lain. Pembicaraan kita makin jauh dari kamus rakyat kebanyakan. Wacana kita menjadi eksklusif dan eletis. Kita sendiri makin lama makin tidak mengerti apa yang kita bicarakan. Tetapi, dalam benak rakyat yang tertindas, ketidak-adilan tidak lagi menjadi konsep yang abstrak. Ketidak-adilan adalah kenyataan hidup yang mereka rasakan. Kita, umat Islam Indoesia, tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan. Ada di antara kita yang mati-matian ingin mendirikan negara Islam dan khilafah tanpa dengan jelas menegaskan makhluk yang bernama negara Islam dan khilafah itu. Mereka mau mengajukan syariat Islam sebagai alternatif bagi kehidupan hukum kita yang dianggap bobrok. Tapi dia ibarat menyodorkan kucing dalam karung. Kita tidak pernah tahu, kucingnya warna apa dan bulunya seperti apa. Ada juga yang mengatakan bahwa kita harus menempatkan umat Islam (baca: aktivis Islam dan partai Islam) pada posisi-posisi yang strategis. Ada juga yang berjuang sederhana saja: bagaimana caranya agar orang-orang Islam rajin salat, haji, umrah, dan ngaji. Karena tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan, maka berbeda-bedalah pandangan kita tentang situasi Islam di Indonesia hari ini. Yang memperjuangkan negara Islam dan khilafah sebagiannya terus terbuai dalam mimpi-mimpi jelaga dan romantisme sejarah, sementara sebagian yang lain tampaknya sudah meninggalkan garis perjuangannya. Tidak realistis. Yang menginginkan posisi strategis kini tengah mensyukuri keberhasilan perjuangan mereka karena sudah menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Yang ingin memasyarakatkan ritus-ritus Islam jelas kini melihat kebangkitan Islam di Indonesia. Mengapa kita tidak berbicara dengan bahasa yang dipahami semua orang? Mengapa kita tidak berbicara tentang apa yang dirasakan banyak orang? Mengapa kita tidak merujuk pada yang dirujuk para pejuang pendahulu kita atau pada gagasan yang disimpan dalam hati rakyat kecil sepanjang sejarah? Siapa di antara kita yang tidak setuju dengan “Ratu Adil?” [] *) Peristiwa itu terjadi sekitar empat setengah abad lebih yang silam. Pengislaman itu sendiri tepatnya dilaksanakan pada 6 September 1526. Delapan belas hari sesudahnya, Sultan Suriansyah wafat dan dimakamkan di Kuin Cerucuk, Kecamatan Banjarmasin Utara. Hari itu dianggap sebagai hari jadi Kotamadya Banjarmasin, 24 September 1526. **) Berita Resmi Muhammadiyah No.02 Tahun 2006. Rabiul Akhir 1427 H / Mei 2006 M diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah hal.4

Palestina, Rumit di Sana, Rumit di Sini

Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.” TOLONG bacakan Laa ilaha ilalLah AlLahu Akbar + surah Al-Ikhlas 3x untuk keselamatan Masjid Al-Aqsa dan umat Islam yang ada di Palestina yang jam ini sedang dikepung dan diserang Israel dan sekutu Amerika, Zionis dan Kristen yang anti Islam (orang-orang kafir). Sms-kan kepada 10 orang sebagai partisipasi jihad Anda. “Allahu Akbar!”. Akhir-akhir ini saya banyak menerima layanan pesan pendek (short missage service) semacam itu. Entah dari mana sumbernya sms-sms itu, tapi barangkali erat kaitannya dengan persoalan konflik yang melanda Palestina saat ini. Padahal dari berita-berita media massa saya juga belum mendengar ada pemintaan resmi baik dari pemerintah Palestina maupun dari rakyat Palestina sendiri yang menyatakan bahwa mereka memerlukan ”paket” berupa tahlil, surah al-Qur’an atau pekik takbir dan jihad tersebut. Saya bahkan dengan sedikit nakal menduga, jangan-jangan sms tersebut justru berasal dari salah satu operator jaringan selular di Indonesia untuk tujuan keuntungan finansial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah hubungan Palestina dengan umat Islam di Indonesia? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dari segi geografis, Indonesia dipisahkan oleh jarak ribuan mil dari tanah yang menjadi kelahiran para nabi itu. Tetapi, dari segi ”ikatan batin”, ada semacam hubungan psikologis yang begitu mendalam antara umat Islam di sini dan kejadian-kejadian yang berlangsung di sana. Setiap masalah Palestina muncul ke permukaan, resonasinya sudah barang pasti akan berimbas ke negeri kita, dalam satu dan lain bentuk. Menarik untuk dipersolakan: kenapa respon terhadap masalah Palestina hanya datang dari segelintir umat Islam di Indonesia. Jika soal Palestina dipersepsikan oleh umat Islam di sini sebagai masalah antara hak bangsa Palestina yang ”muslim” dan perampasan atas hak tersebut oleh orang Yahudi yang ”nonmuslim”, mengapa hanya satu lapis kecil saja dari umat Islam Indonesia yang bangkit melakukan protes? Jika soalnya adalah antara ”Islam” dan orang kafir (baca: Yahudi, yang disokong negara-negara Barat, yakni Amerika), kenapa tidak seluruh umat Islam ikut terlibat dalam aksi-aksi itu? Aksi-aksi solidaritas Palestina yang berlangsung akhir-akhir ini di berbagai pelosok Tanahair, khususnya di Jakarta sebenarnya hanya diikuti oleh sebagian kecil dari umat Islam di Indonesia. Bahkan, mereka yang ikut dalam aksi-aksi itu pun tidak bisa menggambarkan seluruh keragaman umat Islam yang ada di Indonesia. Walhasil, mereka ini hanyalah secuil dari seluruh umat Islam yang begitu beragam. Jumlah mereka pun tidak cukup signifikan. Ini menggambarkan bahwa soal Palestina sudah tentu dilihat secara berbeda-beda oleh umat Islam di sini. Soal Palestina, sudah pasti, tidak sekadar dilihat sebagai penghadapan antara ”Islam” dan ”nonIslam”. Jika itu soalnya, akan dengan mudah umat Islam ”dimobilisasi” untuk isu tersebut. Yang menarik adalah, mereka yang paling bersemangat mengangkat isu Palestina itu bukan dari kelompok Islam ”arus utama”. Terus terang, saya tidak punya data yang cukup untuk mendukung pernyataan ini. Tetapi, sekilas melihat tokoh-tokoh dan massa yang ikut dalam aksi-aksi solidaritas Palestina ini, tampak bahwa mereka bukan dari kelompok umat Islam utama, yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, dan lain-lain. Besar kemungkinan, ada perorangan dari ormas-ormas tersebut yang turut dalam aksi-aksi itu. Tetapi, secara kelembagaan, tidak terdapat suatu tanda bahwa masalah Palestina adalah agenda yang penting buat mereka. Ini bukan saja berlaku sekarang. Tetapi, jika kita menoleh ke periode-periode sebelumnya, soal Palestina bukanlah agenda yang cukup penting buat ormas-ormas besar Islam di Indonesia. Jika kita telisik lebih dalam, soal Palestina sebagaimana ”dipersepsikan” oleh sebagian umat Islam Indonesia ternyata lebih menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri ketimbang mencerminkan masalah Palestina yang sesungguhnya sebagaimana terjadi di Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem. Boleh jadi sangat sedikit dari para peserta aksi solidaritas itu yang tahu kompleksitas dan keruwetan, baik dalam tubuh bangsa Palestina maupun Israel, serta hubungan antara mereka. Lebih sedikit lagi yang memahami bagaimana proses perdamaian itu sendiri, ketika kepentingan-kepentingan politik para tokoh lebih menonjol ketimbang bangsa yang mereka wakili. Boleh jadi orang-orang Islam di sini memahami kunjungan Ariel Sharon ke Haram El Syarief (lebih tepatnya: El Haram El Syarief, sebagaimana orang Palestina sendiri menyebutnya) beberapa waktu lalu, yang menandai periode baru dalam konflik Arab-Israel, sebagai semata-mata cerminan sikap orang Yahudi konservatif, dan tidak membayangkan bahwa hal itu adalah bagian dari persaingan antara Ariel dan Ehud Barak, rival politiknya. Soal Palestina biasanya memang menjadi agenda kelompok-kelompok tertentu dalam umat Islam. Jelas sulit untuk menyebutkan kelompok mana, tetapi yang jelas bukan bagian dari ”arus utama” umat Islam. Sebagian ada yang menyebut mereka ini sebagai kelompok Islam ”garis keras” (sekeras apa, juga sulit dijelaskan). Mereka inilah yang biasanya menjadikan isu-isu dalam dunia Islam sebagai salah satu agenda penting. Isu-isu seperti Afghanistan, Bosnia, Chechnya, minoritas Moro, Irak, dan terakhir Palestina biasanya menjadi masalah yang penting buat mereka. Ada kecenderungan, bahkan, bahwa isu-isu itu menjadi semacam ”identitas” yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain dalam umat Islam. Bahkan boleh jadi pula ada dari kelompok aski solidaritas itu yang memanfaatkan momen-momen tersebut untuk kepentingan politis kelompok mereka sendiri. Taruhlah misalnya untuk menarik simpati massa guna mendulang suara pada tiap helatan Pemilu atau Pilpres 2014 nanti. Indikasi ini bisa kita kemukakan karena ada saja dari kelompok massa dalam aksi solidaritas itu yang sempat-sempatnya membawa atribut salah satu partai politik. Ibarat pribahasa, ”sambil menyelam minum dukungan”. Setiap kelompok umat Islam biasanya mempunyai ”wilayah keprihatinan” (are of concern) yang berbeda-beda. Isu mengenai ”pemberdayaan masyarakat sipil”, misalnya, mencirikan satu kelompok tertentu dalam umat, dan hampir mustahil isu ini akan disuarakan oleh kelompok lain. Kelompok-kelompok dalam umat Islam yang lebih tertarik pada isu-isu hak asasi dan pluralisme biasanya kurang suka dengan isu Palestina ini, atau sekurang-kurangnya kurang menganggapnya sebagai agenda yang penting. Yang juga patut dipersoalkan adalah cara sekelompok umat Islam di sini mempermasalahkan isu Palestina. Apakah masalah Palestina dianggap sebagai melulu soal ”Islam” dan ”Yahudi”/Barat, atau soal ketidakadilan yang bisa berlaku universal? Tampaknya, yang lebih menonjol di Indonesia, masalah Palestina lebih dipersepsikan sebagai masalah ”Islam” versus ”Barat”, yakni masalah ”identitas kultural dan politik”. Sedangkan masalah ketidakadilan kurang diproblematisasi di sana. Itulah sebabnya pertanyaan patut diajukan kepada kelompok-kelompok umat Islam yang lebih menyukai isu-isu ketidakadilan: kenapa mereka kurang tertarik pada isu Palestina; apakah bedanya ketidakadilan bagi masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, dengan di Palestina, toh ketidakadilan sebagai ”nilai” adalah tembus ruang dan waktu. Tetapi, pertanyaan serupa juga pantas diajukan kepada kelompok-kelompok yang ”asyik” dengan soal Palestina: kenapa mereka hanya membela bangsa Palestina yang diperlakukan tidak adil oleh Israel; kenapa mereka tidak mengajukan protes ketika orang-orang Papua juga diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh pemerintahan pusat. Bahkan, jika soal kesamaan agama menjadi penting di sini, kenapa soal Aceh kurang menempati agenda yang penting dalam ”wilayah keprihatinan” mereka? Agaknya, Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan. Sebagaimana Palestina ”rumit” di sana, ia juga ”rumit” di sini. ψ