STRATEGI “kebudayaan” di Kalimantan Selatan secara kultural memiliki banyak dimensi. Setidaknya, yang paling tampak tercermin dalam masyarakat kita adalah agama dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka orang menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah, tetapi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bolduser atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat. Aliman Syahrani agaknya menyindir inguh pemikiran relegiusitas dan praktik-praktik keberagamaan yang sudah dikelumbuni oleh budaya-budaya lokal itu. Ia nampak lebih mengefektifkan relegiusitas wahyu agar orang benar-benar memahami kesadaran agama secara lebih mentauhid. (Jarkasi, Dosen FKIP Unlam, pengamat seni dan budaya di Banjarmasin).
SEBAGAIMANA Irshad Manji, Aliman lebih memilih menjadi orang yang terdidik daripada orang yang terindoktrinasi. (Drs. H. Bahdar Djoehan, politisi, pemerhati masalah sosial-keislaman di Kandangan).
DALAM peradaban, thus kebudayaan, nggak kenal istilah “jawara”. Maka manusia pun terus bergerak sepanjang sejarahnya mengelaborasi nilai-nilai. Dan begitulah, manusia mengerahkan kreativitasnya selaku makhluk beragama berhadapan dengan dunia “real”. Kemapanan bisa jadi “firaun-firaun” yang ndak sadar dijadikan sembahan. Maka mengapa manusia mesti enggan ‘tuk menggugat?! Ya, kurang lebih kegelisahan semacam itu yang banyak mewarnai buku ini. Kegelisahan seorang Aliman Syahrani berhadapan dengan tradisi masyarakat yang melingkunginya. (Muhammad Radi, pemerhati dunia sosial-keagamaan, penulis, peserta Pertukaran Pemuda dan Forum Science dan Kebudayaan ke Australia, Kanada, Jepang, Prancis dan Jerman).
MESKI proses islamisasi di Kalsel sudah berlangsung ratusan tahun, tapi sampai kini masih sering kita temui praktik-praktik keagamaan yang bercampur hal-hal tahayul, khurafat, adat-istiadat sisa peninggalan animisme, bid'ah, dan sejenisnya. Boleh jadi amaliah yang menyimpang dari tuntunan Alquran dan sunah itu akan terus berlangsung jika tidak ada orang yang mau dan berani tampil untuk mengkritisi dengan argumen (hujjah-hujjah) dan sumber-sumber rujukan yang meyakinkan. Apalagi di tengah masyarakat yang masih tebal diliputi paham taklid buta, menyuarakan kebenaran yang berseberangan dengan kebiasaan yang selama ini mereka lakoni turun-temurun, pastilah mengandung resiko yang tidak kecil. Namun, dengan keberanian dan kekritisannya, sebagaimana tercermin dari tulisan-tulisan di buku ini, Aliman Syahrani layak disebut 'mujahid' pemurnian aqidah. (Aliansyah Jumbawuya, wartawan Serambi Ummah).
APABILA kita menerima undangan buku ini, kita telah memasuki sebuah dunia yang terasa lain dan sepintas melawan “pemikiran keagamaan” yang setiap hari menjajah kita. Buku ini adalah refleksi. Seperti layaknya refleksi lain, buku ini tidak cantik dan kelihatan tidak pop serta memerlukan sedikit berpikir. Dia tidak pula bisa dibaca dalam mobil atau hiruk pikuk kantor karena memerlukan sedikit perenungan. Bukan karena itu congkak tetapi lebih karena ingin menawarkan sesuatu yang lain dan berbeda dengan apa yang sering didengar oleh masyarakat dari mimbar. Niscaya, buku ini mencerahkan! (Ahmad Juhaidi, mahasiswa S3 Program Doktor Manajemen Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung).
SALAH satu tulisan Aliman dalam buku ini yang menjadi perhatian khusus saya adalah ‘Doktrin Asabiyah dan Kemandegan Dialog Agama (Di balik Penyerangan Massa di Sirih)’. Tulisan ini mengingatkan saya pada kenangan pahit yang, secara pribadi dialami Kakak saya sendiri, oleh massa, yang ironisnya lagi, ummat, tapi terkurung pikiran picik, sempit, dangkal, tak lebih dari seukuran tempurung kelapa di depan rumah mereka…. Inti persoalan saat itu sebenarnya tak lebih dari soal pro-kontra penggunaan tarbang (kendang rebana) saat maulid (!)… Separah inikah dangkalnya wawasan kita? Ringan sekali tangan kita menyakiti sesama Muslim hanya untuk persoalan tarbang… Saya tidak tahu, apa tarbang menjadi ukuran ketaqwaan seseorang di hadapan Allah sehingga harus sedemikian dibelanya seperti membela al-Qur’an, misalnya. Seolah tarbang adalah benda suci selevel al-Qur’an. (Muhammad Rusmadi, jurnalis Rakyat Merdeka Jakarta).
TIDAK Banyak putra daerah yang berani melakukan terobosan seperti yang dilakukan Aliman Syahrani ini, apalagi di kota kecil dengan fasilitas yang serba terbatas. (Banjarmasin Post).
PARA ulama dahulu memasukkan dan memahamkan agama Islam kepada masyarakat dengan perlahan-lahan, tidak dengan cara drastis. Mungkin itulah menurut mereka jalan yang terbaik, sehingga kebiasaan-kebiasaan lama seperti acara mamitung hari, manyalawi, mamatang puluh dan yang sejenisnya tetap dilaksanakan, hanya cara dan isinya dirubah. Kewajiban kita sekarang ialah memahamkan hal itu sehingga masyarakat sadar bahwa semua itu bukan suatu kewajiban dari agama, bahkan bukan sunnah Rasul, sehingga bagi yang meninggalkannya tidak lagi mendapat celaaan dari masyarakat. Upaya-upaya seperti itulah yang agaknya disuarakan Aliman Syahrani dalam buku ini. Saya mengucapkan rasa hormat dan salut atas keberanian Aliman Syahrani dalam mengungkapkan gejala-gejala dan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat kita yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah itu, yang pada dasarnya terbagi dua: Pertama, yang masih dalam ranah perbedaan pendapat (majalil ikhtilafi) – yang tentu kita bertasammuh atas hal itu. Kedua, yang termasuk penyimpangan, yaitu peyimpangan dalam aqidah yang kita tidak bisa bertoleransi padanya. (KH. Mochjar Dahri, BA, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Hulu Sungai Selatan).
MEMBACA buku ini, terasa seorang pemuda yang biasa minum air Loksado yang bersih dan jernih. Saat dia minum di hilir, terasa airnya sudah berubah. Dia berteriak memberitahu masyarakat. Rupanya mereka sudah terbiasa meminumnya. Lebih ironisnya, orang yang tahu malah memelopori untuk mengkonsumsinya! (Drs. H. Sayuti. HD, Kepala Kantor Departemen Agama Kab. HSS).
TULISAN-tulisan dalam buku ini pernah terbit di sejumlah media massa Kalimantan Selatan – juga dalam blog milik Aliman: www.kucapa.blogspot.com. Itu menjadi salah satu bukti bahwa buku ini – dan Aliman Syahrani sebagai penulisnya – sudah terseleksi dan teruji oleh kualitas intelektual publik. (Dra. Hj. Siti Saniah, MAP, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan).
BAHASA yang segar sedikit “vulgar” membuat dada berdebar saat membaca lembar demi lembar tulisan saudara Aliman yang patut dijadikan i’tibar bagi yang sadar. (Drs. Tamim Udari, MH, Ketua Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia Kabupaten HSS).
ALIMAN mampu menangkap fenomena-sosial-kultural-keagamaan di sekitarnya, lalu menulisnya dari sudut pandang berbeda dan kadang mengejutkan. (Sandi Firly, redaktur sastra dan budaya Radar Banjarmasin).
BUKU yang membor kemapanan (kejumudan) pemikiran keislaman… (Y.S. Agus Suseno, pekerja seni, tinggal di Banjarmasin).
MELALUI sudut pandang khas orang muda, Aliman mencoba menimbang kembali beragam tradisi keberagamaan masyarakat tanah Banjar. (Burhanuddin Soebely, seniman dan budayawan Kalimantan Selatan).
SAYA turut mengamini sorotan yang banyak dikemukakan Aliman Syahrani dalam buku ini, yaitu tentang keterlibatan para tuan guru – khususnya di Banua ini – dalam kancah politik raktis. Sejatinya, seorang tuan guru jangan ikut-ikutan politik praktis. Sebaiknya para tuan guru fokus melaksanakan tugasnya selaku juru dakwah, jangan ada embel-embel ‘pilihlah si fulan’. Dikhawatirkan ulama parpol akan memihak pada satu kaum tertentu saja, tidak milik semua umat Islam. Padahal umat Islam itu tidak terkotak-kotak karena perbedaan pandangan politik. (Aan Maulana, koresponden SKH Barito Post).
TULISAN yang saudaraku buat dalam buku ini sangat banyak memberikan pencerahan dan inspirasi bagi orang lain. Dengan membaca buku ini, kepedulian semua orang juga bisa menjadi makin terbuka terhadap kamashalatan ummat. (Abdul Rasyid Nasar, redaktur SKH Sinar Kalimantan).
ISLAM bukanlah hanya permasalahan ibadah mahdhah (ibadah ritual) yang bersifat vertikal dan personal semata, tetapi juga sangat berkaitan dengan hubungan kultural-horizontal yang lebih bernuansakan sosial, bukan hanya kepada sesama manusia tapi juga terhadap lingkungan sekitarnya. Aliman menuangkan pemikirannya tentang hal itu dalam buku ini. Aliman, dengan semangat belajar otodidak dan kegemaran membacanya yang tinggi membuat pemikirannya mengglobal. Dan dalam buku ini pun banyak wacana-wacana segar yang dia lontarkan. Sebagai seniman muda dia mampu memoles bahasa-bahasa rumit menjadi bahasa yang lebih ringan dan tidak njlimet. Sehingga tulisannya dalam buku ini tidak sekadar menjadi suatu bentuk onani intelektual. (Irfan Anshari, Koordinator Forum Komunikasi Mahasiswa Banjarbaru).