Monday, June 30, 2014
Memoar Luka Anak Batu
“Sejarah adalah penyulingan bukti-bukti yang berhasil selamat dari masa lalu.”
(Oscar Handlin, Truth in History, 1979).
NAMAKU sewaktu kecil adalah Angli. Saat remaja aku berganti nama menjadi Haderi. Aku dilahirkan di desa Ambutun, sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tak ada yang mencatat kapan persisnya tanggal dan tahun lahirku, yang jelas aku lahir pada masa pejajahan Belanda. Nama ayahku Umar, asli orang Ambutun, sedang ibuku berasal dari suku Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya di Puruk Cahu. Saat beranjak dewasa dan sudah ikut dalam perjuangan melawan pejajajah Belanda aku menggunakan nama Ibnu Hadjar, nama yang kuambil dari nama seorang ulama besar Islam. Aku juga sering dipanggil dengan sebutan Abah Basar.
Sejak kecil aku dikenal kawan-kawan sebayaku sebagai anak yang pemberani. Sehari-hari aku membantu orang tuaku bercocok tanam dan berburu ke hutan di kawasan Ambutun, Telaga Langsat, Padang Batung dan sekitarnya. Oleh orang tuaku, aku dididik dengan keras dan disiplin ketat, aku juga banyak diajari ilmu keagamaan, yaitu agama Islam. Oleh ibuku, aku bahkan diajarkan beberapa ilmu kanuragan yang berasal dari suku Dayak. Saat beranjak dewasa aku tumbuh menjadi anak yang alim dan pemberani.
Saat mulai dewasa itulah jiwa nasionalismeku tumbuh. Aku turut ambil bagian dalam membela tanah airku dari kekuasaan penjajah Belanda. Untuk mewujudkan keinginanku itu, aku bergabung bersama pejuang kemerdekaan lainnya, di antaranya yang jadi partnerku adalah Hasan Basry. Aku dikenal sebagai prajurit yang pintar dan pemberani. Aku juga sangat menguasai taktik perang gerilya dan pengausaan medan. Karena keberanianku, dalam setiap peperangan, aku selalu berada di garis depan.
Karena peranku itu, aku termasuk dari sekian pejuang yang sangat menyusahkan dan ditakuti Belanda. Maka oleh pemerintah Bepanda saat itu aku dianggap sebagai tokoh pejuang yang sangat berbahaya. Karena prestasiku itulah maka aku menjadi tokoh dan komandan pejuang bersama Hasan Basry sampai masa kemerdekaan.
Jadi, aku adalah termasuk salah seorang pejuang yang turut mempertautkan kembali Kalimantan setelah “dibuang” oleh elit politik dari haribaan Bunda Pertiwi. Aku juga merupakan salah seorang yang paling banyak menjalankan operasi militer ALRI Divisi IV dan kontak senjata langsung dengan pasukan Belanda. Tak terhitung lagi aksi heroik dan baku-tungkih yang kami lakukan dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan Republik ini. Tak terkira lagi upaya kami berjuang mempertahankan hidup dari pelor-pelor panas senjata Belanda saat beradu tembak dalam sekian peperangan.
Sepanjang masa revolusi fisik itu, aku dan kawan-kawan seperjuangan tidak lepas untuk selalu memompa semangat juang yang kami miliki dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Tanah Air dari penjajah di negeri ini. Semangat kami untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan tersebut dilandasi oleh semangat jihad. Di dada kami, khususnya aku, telah terpatri amanah jihad yang dikumandangkan oleh para ulama dan tuan guru. Kami selalu dengan gagah berani turun ke medan laga dan angkat senjata dengan satu tekad: menang dalam bertempur dan hidup terhormat, atau gugur berburai darah dan mati sebagai syuhada.
Perjuangan tanpa pamrih yang dilandasi oleh kewajiban jihad sebagai seorang muslim tersebut, memberikan motivasi yang demikian membaja dalam diri kami. Kami bergerilya melintasi hutan belantara Meratus yang rimba, merajang tentara penjajah, dan juga menghumbalangkan bangsa sendiri yang rela sebagai antek-antek koloni.
Tahun 1949, era perjuangan fisik telah usai. Namun berakhirnya revolusi fisik Indonesia tidak serta merta menyelesaikan masalah. Di antaranya dipicu oleh banyaknya alumnus gerilyawan yang tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan TNI, kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memarginalkan mereka. Padahal, sebelumnya, mereka adalah bagian dari revolusi berdarah ketika mendirikan Republik ini. Mereka kemudian malah disebut sebagai “bandit-bandit revolusi.”
Salah satu dari pejuang kemerdekaan yang memaklumatkan perlawanan dengan menyandang senjata adalah aku, Ibnu Hadjar alias Angli alias Haderi alias Abah Basar. Aku sangat kecewa dengan rasionalisasi tentara yang dicanangkan oleh Hatta dan didukung Nasution – mantan perwira KNIL (antek-antek Belanda di masa perjuangan) yang menginginkan sebuah keanggotaan tentara profesional.
Saat itu pemerintah Indonesia mulai menyusun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka, dan saat itu pulalah mulai muncul berbagai gesekan dan persoalan. Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kandangan, dilaksanakan Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949. Reorganisasi militer dan penerapan kebijakan politik yang dilakukan para Pemimpin TNI kala itu nyaris tanpa dialog yang akhirnya memang banyak menelan korban dan mencuatkan perasaan ketidakadilan, baik dari pejuang di daerah ini maupun penjuang di beberapa daerah lain.
Para pejuang kemerdekaan seperti kami yang telah mempertaruhkan nyawa melawan penjajah dihadapkan pada posisi dan pilihan yang sulit. Di satu pihak kami sudah terbiasa berinteraksi dalam suatu kelompok yang menerapkan aturan-aturan yang bersifat familiar. Pada pihak lain, reorganisasi militer menghendaki adanya penjenjangan dan aturan disiplin yang ketat.
Aku tahu kebijakan untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi militer itu memang sangat mendesak mengingat banyaknya kelompok-kelompok bersenjata dari para pejuang. Mereka memang harus dilebur menjadi suatu organisasi militer yang baik dan modern. Program TNI untuk melebur kelompok-kelompok bersenjata seperti yang kami miliki ke dalam organisasi militer, mengharuskan adanya ukuran dan kriteria sebagai dasar penyusunan organisasi militer yang baru.
Kriteria personal yang diterapkan saat itu antara lain adalah latar belakang pengalaman pelatihan kemiliteran dan jenjang pendidikan. Dua kriteria ini merupakan satu-satunya pilihan yang rasional dan proporsional. Namun kriteria tersebut ternyata membuat posisi TNI sendiri berada dalam situasi yang serba delematis. Adanya kriteria tersebut justru yang akhirnya banyak mencuatkan persoalan di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Selatan.
Para pejuang seperti kami lebih banyak hanya bermodalkan semangat jihad, keberanian dan nawaitu keikhlasan dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Hampir semua dari kami tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan formal dan layak. Bahkan, aku sendiri, tidak bisa baca tulis huruf latin, karena memang sejak kecil aku hanya diajarkan ilmu keagamaan dengan tulisan Arab/Arab Melayu. Sedang dalam hal perjuangan, selama ini aku dan kawan-kawan pejuang lain berperang dan melatih diri secara alami; masuk ke dalam belantara rimba yang lebat, naik turun gunung dan perbukitan hanya dengan berbekal keyakinan dan insting pengelana sejati.
Ketika aku mengambil keputusan kembali ke pedalaman mengulang semangat gerilya karena merasa diperlakukan “tidak adil” dalam penyusunan organisasi militer yang baru, maka saat itulah dimulai sebuah “tragedi sejarah” dalam perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan. Sejumlah penduduk desa di berbagai daerah kami manfaatkan atau bergabung sendiri untuk mendukung setiap gerakan kami. Dan belantara pegunungan Meratus kami jadikan sebagai markas persembunyian yang strategis sambil menyusun kekuatan dan melancarkan aksi. Selang waktu ini tak lama setelah berakhirnya masa perjuangan pasukan gerilya Hassan Basry tahun 1949.
Berbagai aksi perlawanan mulai kami lancarkan, di antaranya dengan membentuk satu kesatuan kelompok yang kami namakan garumbulan. Nama lain dari kelompok kami adalah Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) atau biasa juga disebut Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Nama tersebut adalah sebagai refleksi dari perasaanku dan kawan-kawan seperjuangan yang merasa terluka dan dikhianati. Dalam pandangan kami, Pemerintah RI telah melakukan pelacuran sejarah, penculasan dan penindasan. Kesimpulan tersebut muncul setelah aku dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan kenyataan yang berlangsung di sekitar kami serta kemalangan yang menimpa diriku sendiri akibat reasionalisasi dan demobilisasi tentara.
Dengan gerakan dan aksi yang kulakukan sebenarnya aku ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa revolusi fisk Indonesia selama ini bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan elite politik dan militer saja, seperti dipahami selama ini. Revolusi fisik Indonesia, pada dasarnya, juga merupakan jerih payah dan perjuangan pada “bandit revolusi” seperti kami, atau pun para pelaku kriminal lainnya pada masanya dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya yang kerap dipandang sebagai “sampah masyarakat”, yang seolah tidak mempunyai peran apa pun di dalamnya.
Aku tahu dan sadar bahwa uang pemerintah tidak cukup untuk menghidupi seluruh orang bersenjata di masa perjuangan seperti kami. Aku juga cukup mengerti bahwa untuk masuk tentara tidak hanya butuh keberanian dan semangat saja, tetapi juga kecakapan dan pendidikan.
Aku juga tahu bahwa dalam Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949 di Kandangan itu, bertujuan untuk merembukkan pemilihan dan pengangkatan figur-figur tokoh pejuang yang berhak memegang satu jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun dalam reorganisasi militer kala itu. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menghargai jasa-jasa mereka para pejuang kemerdekaan termasuk aku dan kawan-kawanku.
Aku ingat betul, perhelatan bersejarah yang tidak tercatat secara baik dalam sejarah itu tidak sepenuhnya mencapai satu titik kesepahaman. Mayoritas yang hadir tidak satu pendapat dalam kenduri pembagian “kue kemerdekaan” itu, dikarenakan satu sebabnya ketika pemerintah memilih dan memutuskan untuk mengangkat Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala sebagai pemegang tampuk jabatan sebagai Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu.
Keberatan tersebut dikarenakan Sukanda Bratamanggala adalah bekas KNIL atau antek-antek Belanda di masa perjajahan. Bayangkan, bekas anggota ALRI Divisi IV seperti aku dan Hasan Basry serta kawan-kawan yang beberapa bulan lalu saling ¬baku¬-tungkih, beradu tembak dan saling bunuh kini berada dalam satu tempat tinggal? Bahkan pada beberapa satuan terkecil justru sang mantan KNIL itulah yang jadi komandan kami.
Lebih dari itu, pemerintah juga masih menyisipkan sejumlah orang yang pernah turut terlibat sebagai KNIL dan spion penjajah lainnya dalam reorganisasi militer tersebut. Bahkan dalam penyerahan jabatan tersebut aku melihat kentara sekali adanya tindakan sepihak yang begitu mencolok, di mana suara dan posisi para pejuang pedalaman seperti kami kurang diperhatikan dan dihargai secara patut dalam menentukan keputusan tersebut.
Bekas KNIL-KNIL itu malah diberikan satu posisi jabatan yang lebih strategis dan terhormat dibanding kami para pejuang yang mati-matian mempertahankan jengkal demi jengkal bumi pertiwi dari tangan penjajah dengan berkuah darah dan taruhan nyawa di daerah pedalaman. Kami yang langsung angkat bedil dan meriwaskan mandau dan parang kepada penjajah malah seperti dianak tirikan; tidak dipandang meski sebelah mata. Alasannya memang sangat klasik namun rasional, kecakapan dan jenjang pedidikan, satu dari dua hal yang tidak kami miliki.
Jabatan Pangdam yang mestinya jatuh kepada Hassan Basry, atau, mungkin saja kepadaku, sebagai dua partner dalam perjuangan ALRI Divisi IV – ini juga menurut penilaian mayoritas para pejuang yang hadir dalam pertemuan itu – malah “dirampas” oleh Sukanda Bratamanggala, seorang KNIL Belanda yang di masa perjuangan adalah sebagai rival menyabung nyawa dan musuh beradu tembak demi kemerdekaan Tanah Air tercinta. Bagaimanapun, tragedi ini tentu menimbulkan pertentangan hebat dari mayoritas pejuang pedalaman yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Maka, sejak tanggal 27 Oktober 1949, di bawah pengawasan dr. Suharsono, orang Jawa, dimulailah tes kesehatan dengan memberlakukan ujian-ujian militer yang ketat dan berat. Pada tahap ini saja sudah banyak anggota ALRI Divisi IV yang tidak lulus dan dikembalikan ke masyarakat. Mereka yang masih tetap jadi tentara tetapi kemudian juga kena demobilisasi mendapat perlakuan culas yang amat diskriminatif. Mereka cuma diberi “pesangon” sebesar Rp. 50, tidak diakui sebagai veteran, juga tak mendapatkan dana pensiun.
Penculasan lainnya yang kami alami adalah, ketika sekitar 40-an perwira eks ALRI Divisi IV dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti kursus Akademi Militer Nasional, padahal akademi tersebut telah bubar hampir setahun sebelumnya.
Alasan kenapa jabatan Pangdam tidak diberikan kepada Hassan Basry atau kepadaku sudah jelas, kami, khususnya aku, tidak mempunyai tingkat pendidikan yang memadai. Lebih-lebih aku, yang hanya bermodalkan semangat dan keberanian serta keikhlasan dalam berjuang mempertahankan Tanah Air dari tangan penjajah.
Jabatan Pangdam akhirnya jatuh ke tangan Sukanda Bratamanggala, meskipun dia bekas seorang KNIL Belanda. Meski begitu, dia adalah seorang pribumi asli juga dan telah bertobat, demikian argumentasi pihak penguasa kala itu. Hal paling rasional lainnya, lagi-lagi, Sukanda adalah seorang yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Tapi tentu saja argumentasi semacam ini tidak membuat keputusan tersebut diterima oleh semua pihak, terkhusus dari kubu kami. Kami tetap merasa diremehkan, dihina dan dikhianati oleh orang-orang dari bangsa sendiri.
Aku adalah salah seorang yang paling bersikeras menentang keputusan sepihak itu. Jiwa juangku yang keras dan tegas jadi tersulut, kehormatan diriku merasa ditantang. Dalam pertemuan tersebut aku bahkan sempat menempeleng Letkol Sukanda Bratamanggala, saat pertemuan masih berlangsung.
Sebenarnya, sebagai salah seorang yang berada dalam posisi pemimpin, aku masih mungkin mendapatkan kedudukan tertentu dalam struktural jabatan baru tersebut. Terbukti, jabatan terakhirku sebelum keluar dari ketentaraan adalah Letnan Dua TNI. Akan tetapi, aku merasa hal itu tidak menjamin bagi rekan-rekanku yang lain untuk dapat meneruskan karir militer mereka. Keputusanku untuk kembali ke pedalaman sebenarnya bukan semata berupaya untuk kepastian masa depan diriku sendiri. Aku tidak mau jika kawan-kawanku masih terkantung-katung dalam ketidakpastian. Dalam batas-batas tertentu, aku bermaksud memberikan pelajaran berharga kepada siapa saja bagaimana mempertahankan harkat diri sendiri. Bahkan, secara sadar aku ingin menunjukkan kepada generasi selanjutnya bagaimana semestinya menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi kepada kawan seperjuangan.
Bagiku, nilai kemanusiaan bukanlah ditentukan oleh kehancuran yang menimpa, tetapi pada perjuangan mempertahankan harkat dirinya. Tragis adalah sifat dari suatu peristiwa yang menyedihkan, tetapi tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan. Kalimat ini agaknya cukup tepat untuk mengungkapkan idealismeku saat itu.
Sementara, dilihat dari ketentuan-ketentuan formal kenegaraan, aku memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Keputusanku tersebut dianggap telah melawan arus dalam suatu konfigurasi negara. Akan tetapi dalam bingkai sejarah, aku ingin memberikan pengorbanan dan pengabdianku yang tidak bisa dianggap enteng.
Keputusan sudah diambil. Resmilah Letkol Sukanda Bratamanggala menjadi Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Lalu, bagaimana dengan Hassan Basry? Bukankah beliau juga menjadi korban kebijakan yang kuanggap salah kaprah tersebut? Untuk menutupi kepincangan itu, Hassan Basry yang saat itu belum berpangkat Brigjend “diasingkan” ke Mesir untuk mengikuti suatu pendidikan dengan biaya pemerintah. Sedang aku dan pasukanku tetap bersikukuh dengan pendirian kami; tidak menerima keputusan yang kami nilai nyata-nyata culas dan menguntungkan sepihak itu.
Perkembangan selanjutnya, Panglima Tentara dan Teritorium VI Kalimantan juga dijabat oleh Sukanda Bratamanggala, orang Sunda. Sementara Hassan Basry “cuma” menjabat sebagai Panglima Subwilayah III yang meliputi Daerah Banjar. November 1951, Sukanda Bratamanggala digantikan oleh Kolonel Sadikin, yang juga berasal dari Jawa Barat. Setelah setahun sebelumnya, ketika Hassan Basry “diberi” beasiswa untuk belajar ke Mesir, maka kedudukannya digantikan oleh Mayor Sitompul, orang Batak. Mayor Sitompul digantikan lagi oleh Letnan Kolonel Suadi Suromiharjo, orang Jawa Tengah.
Lihat saja, semua jabatan “basah” dan prestisius itu dilahap oleh orang “seberang”. Tak satupun pejuang dari orang banua mendapat posisi yang layak. Apalagi para pejuang di pedalaman, mereka hanya jadi tumbal revolusi yang seolah tak berhak menikmati walau secuil “kue kemerdekaan”.
Bertolak dari rasa kecewa dan ketidakpuasan itulah, dengan pekik jihad dan semangat juang yang berkobar aku dan kawan-kawan kembali ke pedalaman, mulai menyusun kekuatan baru dan melancarkan gerakan-gerakan perlawanan.
Acap kali sebenarnya pemerintah memberikan tawaran gencatan senjata dan jalan damai dengan menyampaikan panggilan kepadaku secara pribadi, agar segera menghentikan aksi dan perlawanan dengan janji pengampunan. Tapi, setiap kali itu pula aku menolak. Kami yang sudah bertahun-tahun balinjang di belantara Pegunungan Meratus sambil memaklumkan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia saat itu sudah kadung sakit hati; api juang dan gelora kesumat telah memanggang jiwa kami hingga terbakar. Meski jauh di relung hatiku juga menyadari bahwa tindakanku tersebut dapat menghancurkan segala apa yang telah kucita-citakan dalam perjuangan kami selama ini; hanya demi rasa kepuasan murah dari suatu pembalasan dendam tak berarti.
Namun aku juga memaklumkan, hal ini dikarenakan tak ada lagi sebuah jalan pun yang dapat menahan gejolak hatiku yang sudah demikian berkobar. Dentum kemarahan dan gelegar dendam telah bertumpuk-tumpuk di dalam diri kami sejak beberapa waktu sudah. Belum lagi kami harus menahan kesakitan hati karena dilecehkan dan harus menerima penculasan serta perlakuan semena-mena; penghianatan tak semestinya, serta harga diri yang terkoyak-koyak. Semua itu bersatu, berpulas, mengamuk dan meledak-ledak dalam diriku.
Yang keluar memenuhi panggilan itu adalah adikku Dardi berserta sebagian pengikutnya. Kedatangan mereka disambut bak seorang pejuang yang pulang dari medan perang. Merekapun diberikan “penghargaan” dan bermacam fasilitas serta kedudukan tertentu sebagai ucapan terima kasih untuk jaminan hidup. Ada yang diberikan modal usaha dan seperangkat alat keterampilan seperti mesin jahit dan lain-lain sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu, bahkan ada yang menjadi ABRI. Aku tahu, “muslihat” itu dilakukan pemerintah RI dengan maksud untuk menunjukkan kepadaku bahwa tujuan damai dan pengampunan yang dinjanjikan adalah benar; agar aku dan pasukanku menyerahkan diri dan segera mengakhiri perlawanan.
Namun bukan perangaiku kalau tidak setia kepada keyakinan sendiri. Pantangan bagi seorang “God Father” sepertiku menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah. Lebik baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu sepanjang sejarah. Lebih baik mati berkuah darah daripada hidup menjadi penghianat. Prinsip inilah yang berusaha kupertahankan dan kuperjuangkan.
Bagiku, pejuang dan pemberontak itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Perbedaan antara seorang patriot dan seorang pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa. Bukankah sejarah pun ditulis oleh siapa yang berkuasa. Pemerintah bisa saja menamakan kami sebagai teroris, pemberontak garumbulan atau apa saja. Tapi aku menyebut diri kami sebagai pejuang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kekuasaan untuk memilih ikatan kita sendiri. Aku dan akwan-kawan menginginkan kemerdekaan semacam itu.
Dengan mengetahui faktor-faktor pemicu terjadinya pemberontakanku, aku berharap agar generasi mendatang tidak dengan begitu saja menyalahkan sikap yang kami ambil. Pada awal tindakanku, tidak cuma tercermin hakikat dari sebuah harga diri tetapi juga keberanian dan ketegasan dalam bersikap. Naasnya, dalam melakukan aksi, kami memang sering terjerumus ke jurang teror, perampokan dan pembantaian.
Hal itu barangkali karena aku dan pengikutku adalah sekumpulan petarung, bukan politikus handal yang punya bargaining position dan bargaining power yang kuat. Barangkali juga karena aku tak bisa mengendalikan tindakan anak buahku – atau mereka yang mengaku anak buahku. Karena saat itu terdapat banyak gerombolan liar di luar KryT yang kumpimpin, bahkan di dalam tubuh KRyT sendiri terdapat fraksi-fraksi yang kadang saling berseberangan.
Dengan berbagai muslihat, akhirnya aku berhasil diringkus di desa Batantangan (sekarang berganti nama menjadi desa Pariangan, wilayah kecamatan Padang Batung, kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan dibawa ke Jakarta.
Pada bulan Maret 1965 aku dihadapkan dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa.
Tanggal 22 Maret, aku dijatuhi hukuman mati.
Sesaat sebelum dieksekusi, aku menangis. Bukan kematian yang kutangisi, tetapi karena aku merasa dilecehkan dan dikhianati.
Ah, ada apa gerangan? Apakah gergaji politik menggerus lagi hingga rumpun luka berduri meruyak kembali?
Akankah lagi kuah darah membuncah-ruah di wajah sejarah? []
Merdeka!
Kandangan, malam-malam bergaram,
24 Mei 2014, 02:02 Wita.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment