Wednesday, August 19, 2009

Ulama Martapura dan Ulama Hulu Sungai


OTORITAS
dan kualitas keulamaan dalam masyarakat Kalimantan Selatan sampai saat ini masih kuat beraroma Martapura-Kaum Tuha. Para tuan guru dari sana menjadi kiblat dan amalam-amalannya serta ujar-ujarnya menjadi rujukan masyarakat Islam yang tinggal di daerah Hulu Sungai dan kawasan lain di Kalimantan Selatan. Dahulu, KH. Abdul Aziz Syarbini, ulama sepuh dari Kandangan (AlLahummaghfirlahu wa ‘afihi wa fu’anhu) beserta mayoritas ulama dari Kandangan, Barabai dan sejumlah ulama dari Hulu Sungai lainnya, dalam sebuah mudzakarah yang dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 23 Oktober 1993 di langgar Darus Syukri Kandangan, pernah menfatwakan haram atas penggunaan alat tarbang dalam pelaksanaan Maulid Nabi.* Namun fatwa tersebut seperti tak memiliki “taring” lantaran ulama-ulama dari Martapura dan ulama-ulama daerah lain yang “berapiliasi” ke sana menghalalkannya, bahkan menyunahkannya, khususnya dari ulama yang memelopori dan mempopolerkan tarbang saat itu, KH. Zaini Abdul Ghani (AlLahummaghfirlahu wa ‘afihi wa fu’anhu) dari Sekumpul, Martapura.

Mayoritas masyarakat Islam Kalimantan Selatan tidak menggubris fatwa pengharaman tarbang oleh para ulama Hulu Sungai karena berdasar pada fatwa dan amalan ulama Martapura itu. Tidak hanya masalah tarbang, ketika terjadi satu soal atau kasus di suatu daerah di Kalimantan Selatan, masyarakat di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Martapura atau paling tidak pada ulama yang berkiblat ke sana. Masyarakat lebih sreg mentaklid pendapat-pendapat dan “ujar-ujar” ulama yang datang dari Martapura ketimbang yang lainnya. Walhasil, bagi masyarakat Islam Kalimantan Selatan, Martapura merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah fatwa, hukum dan amalan dalam Islam di daerah ini. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam di daerah ini pun bisa mereka anggap efektif dan afdhal kalau dilakukan oleh para ulama dari Martapura atau mereka yang bermazhab ke sana.

Sementara para ulama non-Martapura dianggap “pinggiran” dan fatwa-fatwanya dipandang sebelah mata. Apakah ini, salah satunya, karena ulama non-Martapura diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang secara simbol memang cukup marak hidup di Martapura. Jika orangnya dianggap `ajam, maka fatwa-fatwanya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam di daerah ini? Tak pelak lagi, fatwa-fatwa dan karya-karya yang dikreasikan para ulama Hulu Sungai atau non-Martapura kontemporer sekalipun agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Kalimantan Selatan. Otoritas dan kualitas ulama Hulu Sungai selamanya seperti tak memiliki wibawa, “kalah tadah” di hadapan ulama Martapura.

Padahal, begitu banyak kualitas ulama “`ajam” non-Martapura dan Hulu Sungai yang brilian dan otoritatif, lebih pokok lagi tidak secara over dosis terkooptasi dan terkontaminasi oleh “Sekte Martapuraisme”, dan bisa menjaga independensi terhadap nilai-nilai keilmuan semata. Misalnya, KH Anang Ramli (Tanah Laut), KH Fadhli Muis (Batu Licin), KH Abdul Khaliq (Tapin), KH Mochjar Dahri (Kandangan), KH Sofyan Maksum (Negara), KH Musa Yusuf, Gr. Ahmad Tabu Darat, (HST), KH Sulikan Sariyun, DR (Hadits) KH Saberan (Amuntai), Ust. Febriansyah (Batu Mandi/Balangan), dan sederet ulama Hulu Sungai berpengaruh lainnya. Belum lagi para ulama dari daerah di luar Hulu Sungai non-Martapura lainnya, akan menjadi daftar yang sangat panjang jika dimuat di sini.

Dengan fakta ini, dua hal bisa dikatakan. Pertama, otoritas dan kualitas ulama Hulu Sungai tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “tempat terasing”, para ulama Hulu Sungai telah memposisikan diri dan keilmuan mereka secara monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Martapura. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan untuk selalu bertanya soal-soal keagamaan di daerah sendiri ke ulama Martapura itu tak selalu perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan tersebut adalah ulama di daerah itu sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas keilmuan ulama Hulu Sungai ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Martapura. Saya kira, ulama Hulu Sungai yang namanya saya sebutkan di atas – sekadar menyebut sejumlah nama – tak kalah ‘alim dan cerdas dibanding ulama klasik hingga ulama kontemporer Martapura sekalipun.

Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Kalimantan Selatan, khususnya dari Hulu Sungai, untuk tak canggung membuat dan melahirkan karya-karya besar Islam di daerah ini. Bukankah, para ulama Hulu Sungai itu, meski dengan jumlah yang belum bisa disebut banyak, tetap cukup percaya diri dengan eksistensinya. Sebab, terus terang, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Martapura adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama Hulu Sungai selama ini. Para ulama “`ajam” Hulu Sungai harus terus membuktikan bahwa otoritas, kualitas, fatwa dan karya-karya kreatif mereka tidak “kalah tadah” dan bisa dikelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Martapura. []

__________________
*) Mudzakarah itu sendiri dilaksanakan sehubungan dengan maraknya pemakaian alat tarbang dalam kegiatan Maulid Nabi di Kalimantan Selatan. Pada perkembangan selanjutnya, pemakaian alat tarbang dalam majlis Maulid Nabi tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Kalimantan Selatan, ada pro dan kontra. Sejumlah ulama memperbolehkan dan sebagian lagi mengharamkan, dengan masing-masing argumentasi, dalil dan nash yang dimiliki. Dari situasi yang “panas” itu tak pelak lagi terjadilah dua “kubu” di kalangan ulama dan pengikutnya di Kalimantan Selatan saat itu (lihat: Aliman Syahrani, “Tarbang, dari Tradisi, Diskusi hingga Ambisi” dalam Menangkis Jampi-Jampi Agama, Tahura Media, April 2009 hal.107).

Wednesday, August 5, 2009

Adakah Dikhotomi Belajar Agama



DALAM banyak kesempatan diskusi agama (Islam), saya sering disuguhi pertanyaan berikut: “Dari mana anda belajar agama?” Pertanyaan tersebut lahir dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ketika saya lebih banyak berbeda pendapat dengan teman diskusi atau pendapat umum. Kedua, karena performance saya yang lebih mewakili sosok urang jaba ketimbang potongan urang alim, meskipun nama saya Aliman.

Jika saja pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui jalur akademis atau jenjang pendidikan formal yang pernah saya lalui, maka jujur saja saya akui bahwa saya termasuk orang yang kurang beruntung dalam hal ini. Saya tidak pernah mengecap “maqam” keilmuan semacam itu dikarenakan berbagai hal dan keterbatasan.

Tapi saya tak harus berkecil hati, karena seorang ulama sekaliber DR. Yusuf Qardhawi saja juga sering disuguhi pertanyaan itu. Dalam pengantar bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” beliau mengatakan bahwa dirinya sering ditanya seperti itu. Sayangnya, menurut Qardhawi, pertanyaan tersebut sudah mengarah kepada kritik bahkan gugatan yang tidak sehat hanya karena jalur pendidikan formal dan sumber keilmuan yang ia lalui tidak sepenuhnya sejalan dengan mainstream umum yang selama ini berlaku.

Selanjutnya saya punya kesan, bahwa pertanyaan semacam itu diajukan bukan sekadar ingin menelisik latar belakang jalur akademis dan jenjang pendidikan formal yang dimiliki seseorang semata-mata. Tetapi sudah mengarah kepada apakah “sumber” itu bisa diakui atau sebaliknya, sah atau tidak, tentu dengan ukuran menurut standarisasi pribadi atau kelompok si penanya. Ada dua standar yang barangkali “wajib” mereka gunakan: Pertama, keilmuan seseorang mesti diukur dengan “baju” mereka. Kedua, orang belum benar-benar dianggap alim kalau tidak belajar/berguru kepada kelompok mereka.

Saya kira, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru kita boleh mendiskusikan dan mengamalkan ajaran agama. Tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran keilmuan lebih-lebih keshalihannya. Keilmuan seseorang tidak selalu dapat ditakar dari jalur akademis dan jenjang pendidikan formal serta “sumber” yang telah dilaluinya semata. Ke-Islam-an seseorang tidak diukur dari hitam-putih kopiah dan besar-kecilnya lilitan surban yang dikenakannya. Atau bahkan tidak ditimbang dari sikap lahir seseorang karena banyak sujud dan amaliah kepada Allah semata. Tetapi nilai keilmuan dan sikap ritual peribadatannya itu mesti diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Chauvanistic Doctrine

Lebih jauh saya menengarai, lebih sering mengalami, bahwa diskusi agama kita memang sering dihadapkan pada ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, paalimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya.

Karena itulah saya tidak terlalu heran bila dalam banyak pengajian Islam atau majlis taklim, khususnya di daerah ini, di mana masih ada pemuka agamanya yang mewanti-wanti kepada para murid dan jamaah untuk tidak berguru kecuali kepada dirinya (atau paling tidak kepada orang-orang yang “sepaham” dengannya). Sejumlah lembaga pendidikan tradisional Islam semacam pesantren juga masih ada yang membatasi kitab-kitab yang mesti dipelajari santrinya, dus mengkhotomi umat untuk tidak berinteraksi dengan kelompok atau organisasi lain hanya karena memiliki penafsiran dan pemahaman keagamaan yang berbeda.

Dalam bahasa yang lebih lugas saya ingin mengatakan, buah dari doktrin sempit semacam itu mengakibatkan mayoritas masyarakat Islam di daerah ini masih menstandarisasikan pemahaman dan pengamalan keagamaan mereka kepada bagaimana corak keagamaan yang dipraktikkan di suatu tempat atau oleh kelompok masyarakat tertentu. Seolah-seolah apa yang dipraktikkan oleh kelompok di tempat tertentu itu sudah menjadi model terbaik dan dijadikan bahan rujukan yang hakiki.

Dalam konteks masyarakat Kalimantan Selatan, Martapura dan Sekumpul menjadi model tersebut. Otoritas pemuka agama dan praktik keagamaan ala “Martapuraisme” dan “Sekumpulisme” dalam dinamika keberagamaan mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh pemuka agama “Martapuraismse” dan “Sekumpulisme” telah menjadi “ujar guru” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Hal ini barangali tidak lepas dari faktor sejarah di mana di daerah tersebut telah melahirkan sejumlah ulama besar pada zamannya. Dan tentu saja realitas yang saya kemukakan ini bukan berarti melemahkan otoritas dan kredibelitas para pemuka agama di daerah itu sendiri.

Ironisnya, di kalangan sebagian besar aktivis muda Islam yang sejatinya lebih kritis dan realistis juga terjadi kebuntuan berpikir semacam itu. Bagi kalangan yang ingin saya sebut “mazhab-pembaca-Sabili” atau kaum “haraky”, pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, Sayid Hawwa, Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad al-Gazhali, Abul A’la al-Maududi, Ali Syariati dan yang lainnya dimistifikasi begitu rupa sehingga seolah-olah Islam hanya bisa dibaca dan dibenarkan melalui “lensa” pemikir-pemikir dan tokoh-tokoh itu. Corak-corak Islam yang lain dianggap sebagai “sesat”, distortif, atau melenceng dari “manhaj” atau jalan lempang yang direstui oleh AlLah.

Di kalangan teman-teman muda pengikut Hizbut Tahrir, gagasan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dianggap seolah-olah satu-satunya “bleu-print” atau cetak biru kebangkitan Islam yang tidak mungkin salah. An-Nabhani, meminjam istilah kawan-kawan Syi’ah, menjadi semacam “marja’-e taqlid” yang merupakan ukuran utama untuk menilai apakah sebuah kelompok masih di “dalam” atau sudah melesat ke “luar” Islam.

Saudara-saudara dari kalangan yang mendaku “pengikut generasi awal” atau salafy melihat kebajikan dan keluhuran sebuah gagasan yang bersumber di masa lampau, karenanya mereka sangat mengutamakan karya-karya klasik standar yang mencerminkan “ideologi” kaum Sunni yang mainstream, seperti karya-karya Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, serta karya-karya fikih klasik elementer seperti al-Taqrib, Fathul Mu’in, Kifayat al-Ahkyar dan sejenisnya. Akibatnya, mereka kurang menaruh perhatian terhadap konsensus-konsensus kontemporer terhadap kondisi aktual dan realitas sosial umat.

Sebagian kawan-kawan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga banyak yang ikut-ikutan “latah”. Kaum Nahdiyin masih banyak yang “apriori” dengan gagasan-gagasan dan referensi keagamaan dari “pihak lain”, sehingga lebih membatasi kajian hanya dari Bahtsul Masa’il dan apa-apa yang sudah difatwakan para pemuka agama mereka sendiri. Warga Muhammadiyah juga masih ada yang terpaku dan mengungkung pembahasan keislaman “hanya” dalam cakupan Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Meskipun kenyataan ini bukan berarti mengenyampingkan kedua bentuk ijtihad dari dua organisasi Islam terbesar di Tanahair itu.

Dogmatisme

Musuh paling berbahaya dalam diskusi agama kita berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, doktrin demikian adalah penyakit spiritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.

Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan.

“Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog/diskusi tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya.

Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos.

Menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. []