Sunday, March 1, 2009

Teater Kesalehan

Rata Penuh


Oleh Aliman Syahrani


Kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.


KAWAN saya, Yanson, berasal dari Loksado. Ia baru saja memeluk Islam dan berganti nama dengan Muhammad Yasin. Ia kemudian menetap di Kandangan di bagian kota paling elit untuk ukuran kota ini. Di kawasan itu para penghuninya adalah dari golongan kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; kepala dinas, anggota DPRD, kepala kepolisian, komandan tentara, Jaksa, Hakim, direktur, para eksekutif, dan beberapa pemuka agama. Semua penduduk kawasan itu beragama Islam, bahkan sudah haji dan umrah berulangkali.

Kawasan itu terpisah dari daerah perumahan atau bidak sewaan yang kumuh hanya oleh cara hidup dan cara makan. Tidak dengan tembok benteng yang tebal. Tepat di belakang perumahan elit itu, terdapat sebuah perkampungan kumuh. Di situ, ada seorang janda berusia akhir limapuluhan yang menyediakan gubuknya yang kecil dan reot untuk anak-anak belajar membaca al-Qur'an. Setiap selesai shalat Magrib, anak-anak tidak mampu di perkampungan kumuh itu mengaji dengan memperebutkan sebuah al-Qur'an tua dan lusuh yang jilidnya sudah lepas.

Yanson terharu menyaksikan mereka. Ia berusaha membantu mereka dengan menyediakan fasilitas belajar. Ia bertanya setengah memprotes kepada saya, “Mengapa ratusan orang Kandangan pergi melakukan ibadah haji dan ribuan orang menggelar prosesi tradisi maulid Nabi setiap tahun, menghabiskan uang miliaran rupiah, tetapi tidak memperhatikan pendidikan anak-anak yang tidak mampu? Mengapa pula kepala daerahnya dan wakil rakyatnya yang sebagian besar disokong oleh partai berasas Islam, tidak menerapkan satu sistem pemerintahan yang lebih memperhatikan nasib anak-anak kurang mampu di daerah ini, misalnya mengadakan program pendidikan dan kesehatan murah atau bahkan gratis? Apakah Perda Khatam Qur’an dipandang lebih islami daripada perda pendidikan dan kesehatan gratis? Saya menilai Perda Khatam Qur’an sebagai perda kampungan. Alasannya, tanpa diperdakan pun orang-orang juga selalu mengkhatamkan al-Qur'an, bahkan sejak di kampung-kampung. Berbeda dengan pendidikan dan kesehatan, tidak semua orang bisa menikmatinya, apalagi dengan cara murah dan gratis. Saya bertekad tidak akan naik haji dan melaksanakan maulid Nabi, sebelum anak-anak seperti di kampung itu mendapat pendidikan yang layak.”

Yanson belum lama masuk Islam. Ia bingung mengapa miliaran uang dibuang hanya untuk sebuah upacara ibadah. Saya bingung juga untuk menjelaskan bahwa haji adalah rukun Islam yang kelima. Bahwa maulid Nabi adalah sebagai manifestasi rasa cinta kepada RasululLah saw. Kewajiban haji jelas termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan kewajiban membantu pedidikan tidak disebutkan di dalam keduanya dengan tegas. Keutamaan dan perintah melaksanakan maulid Nabi, meskipun tidak didukung oleh dasar yang kuat, tetapi sangat didudukung dan dianjurkan oleh sebagian besar pemuka agama, sedangkan keutamaan dan perintah memfasilitasi pendidikan murah dan gratis tidak pernah digubris oleh para pemuka agama. Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga. Apa pahala yang kita peroleh untuk membiayai pendidikan? Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka Nabi saw. akan memberinya syafaat pada hari kiamat.* Apa syafaat yang akan diterima oleh mereka yang memperhatikan pendidikan? Bila orang yang mampu tidak mau naik haji, ia akan mati sebagai Nasrani atau Yahudi. Bila orang kaya mengabaikan pendidikan dan kesehatan orang miskin di sekitarnya, ia akan mati baisa saja. Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka ia akan tinggal bersama Nabi saw. di surga.* Apa ada jaminan bagi orang yang memfasilitasi pendidikan dan kesehatan akan tinggal bersama Nabi saw. di surga? Bila orang meneteskan air mata di ‘Arafah, Tuhan akan mengampuni seluruh dosanya. Bila Anda meneteskan air mata di gubuk orang miskin, Anda hanya dianggap sebagai orang yang cengeng saja. Siapa saja yang mendermakan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka seolah-olah ia mendermakan emas sebesar gunung Uhud.* Apa keuntungan bagi wakil rakyat yang memberi perhatian kepada otak-otak cerdas yang disia-siakan karena tidak sanggup membiayai pendidikan yang semakin melangit? Apa balasan bagi kepala daerah yang menjalankan program pendidikan dan kesehatan gratis?

Saya ingin menjelaskan semuanya kepada Yanson. Tetapi, saya segera sadar. Semua argumentasi itu lahir karena saya rasa ia menyerang cara beragama saya. Ia menggugat pemahaman dan pemaknaan saya terhadap syariat Islam. Ia bahkan memukul hati nurani saya. Jauh di dalam lubuk hati, saya mulai bertanya-tanya juga, layakkah kita menghabiskan dana begitu besar untuk kepuasan spiritual yang sifatnya individual bahkan seremonial? Tetapi, bila kita meninggalkan ibadah haji, tidakkah kita mengabaikan salah satu tonggak penting ajaran Islam? Bila kita tidak melaksanakan maulid Nabi, tidakkah kita akan dikucilkan di tengah masyarakat karena dianggap tidak mencintai dan menghidupkan sunnah Nabi saw.? Yang paling baik tentu saja haji dan menghidupkan sunnah Nabi saw. sekaligus juga menolong fakir-miskin. Yang begini ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Kenyatannya, karena dana terbatas, kita harus memilih salah satu. Yang kita pilih, tentu saja haji dan maulid Nabi.

Mengapa? Argumentasi yang sama berulang. Haji jelas termaktub dalam nash. Maulid sangat dianjurkan dan didukung oleh mayoritas pemuka agama, habib, bahkan pemerintah. Apakah membantu pendidikan tidak ada dalam nash? Mungkinkah Tuhan yang mengatur kaki mana yang pertama kali masuk ke toilet mengabaikan persoalan pendidikan masyarakat? Mungkinkah Nabi saw. yang mengatur batas celana agar jangan sampai menutup mata kaki (isbal) mengenyampingkan masalah pendidikan dan kesehatan umat? Soal “kaki mana yang dipilih” hampir tidak mempengaruhi kejayaan masa depan umat Islam. Kepedulian tentang pendidikan jelas menentukan masa depan umat. Masalah “batas kain celana” hampir tidak berimplikasi terhadap kemajuan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi masyarakat Islam. Keberpihakan pada pendidikan dan kesehatan jelas membawa dampak positif bagi kualitas dan sumberdaya umat Islam di kancah peradaban.

Saya tersemplak. Saya telah terjerembab pada ritualisme. Ada dua pokok ritualisme, kata Jalaluddin Rakhmat dalam Reformasi Sufistik. Pertama, keterikatan pada makna yang tersurat dari teks-teks keagamaan. Bila tidak tercantum tegas dalam nash, kita mengabaikannya. Kedua, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan dengan setia, tetapi lupa pada tujuan ritus-ritus itu. Kita sibuk memperhatikan letak tangan dalam berdiri shalat, namun lupa akan implikasi shalat kita dalam kehidupan sehari-sehari. Kita hapalkan betul ucapan takbir, tetapi mengabaikan esensi takbir: mengecilkan diri kita dan hanya membesarkan Tuhan semata. Kita sibuk mengatur jadwal dan bentuk dalam pelaksanaan maulid, namun lupa akan isensi maulid: demi terlahirnya suatu kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian Rasulullah saw. Kita hapalkan betul shalawat, syair dan puji-pujian kepada Nabi saw. dalam semua kitab maulid, tetapi acuh dari makna dan subtansi shalawat dan pujian terhadap Nabi saw.: menemukan dan mengaktualisasikan fungsi primer maupun pragmatis dalam pengembangan dakwah Islam yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi dan masyarakat untuk senantiasa menghidupkan sunnah Nabi saw.

Keduanya bisa saling berkaitan. Karena kita memusatkan perhatian hanya pada bunyi teks, kita melupakan konteks. Karena kita tertarik hanya pada segi-segi ritual, kita mengabaikan teks yang merujuk kepada hal-hal yang esensial. Kita hapal betul ucapan RasululLah saw. bahwa haji mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga. Tetapi kita abaikan penjelasan Nabi saw. sesudah itu; bahwa di antara tanda-tanda haji mabrur adalah, “Berbicara yang bagus dan membagikan makanan.” Kita hapal betul hadits RasululLah saw. bahwa siapa yang mencintai Nabi saw. akan bersama beliau di dalam surga. Tetapi kita lupakan penjelesan beliau sebelum itu; bahwa salah satu indikasi cinta kepada Nabi saw. adalah, “menghidupkan sunnah-sunnah beliau.” Ketika berbagai cara haji disampaian kepadanya, Nabi saw. bersabda, “Boleh, tidak apa-apa.” Beliau tidak mempersoalkan ritus-ritus itu. Ketika para sahabat memperselisihkan prosedur haji, ayat al-Qur'an turun: “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS 2:197). Ketika sudah ada tuntunan yang jelas tentang bagaimana bentuk dan tata cara bershalawat yang benar menurut hadits Nabi saw., kita sibuk mencari, membuat, menggubah, memodifikasi dan merenovasi berbagai bentuk dan cara bershalawat. “Bila kalian kerjakan suatu amalan dalam agama yang datangnya bukan dari kami, maka amalan tesebut akan tertolak.” (HR. Muslim).

Jangan sekali-kali diartikan bahwa ritus-ritus itu tidak penting. Ia tetap harus dilakukan. Ritualisme keliru karena berhenti pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.

Orientasi ritualisme Islam tidak cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual, upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari Islam yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. Dengan kalimat-kalimat tersebut saya mau mengatakan bahwa dalam ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Orang harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman.

Jika dimaknai secara lebih radikal lagi, ritualisme juga berarti kemampuan untuk memahami esensi dan semangat Islam melampaui ketentuan-ketentuan yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci atau bahkan ucapan-ucapan Nabi sendiri. “Menjadi Islam” tidak cukup sekadar mengikuti secara benar dan literal semua yang tertulis dalam agama, tetapi juga menembus tulisan dan huruf-huruf dalam ajaran agama itu hingga ke inti. Menjadi Islam adalah seperti yang diformulasikan dalam ayat ketiga surah Al-Baqarah: “Alladzina yu’minuna bil ghaibi”, orang-orang beriman adalah mereka yang percaya pada esensi sesuatu yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Orang beriman tidaklah memadai imannya jika masih terkungkung oleh huruf-huruf ajaran, tetapi harus menembus ke inti ajaran agama itu sendiri.

Lebih jauh, saya mau dengan sedikit “nakal” mempersoalkan duduk perkara ibadah kita selama ini: bahwa sebenarnya, diam-daim, tanpa kita sadari, kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Kegiatan masyarakat Islam yang begitu tinggi dalam menjalankan ritual agama, membuat kita berkesimpulan bahwa umat Islam adalah umat yang taat dan saleh. Hal itu sudah tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi apa yang ada di balik teater itu? Apakah subtansi yang ada di baliknya? Apakah kesalehan teatrikal yang penuh dengan kegairahan dan kekhusukan ini menandakan akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial kita?

Saya ragu, bahwa di balik pertunjukkan ibadah yang kolosal ini, ada suatu “magma” sosial yang akan mengubah struktur masyarakat agar mendekati cita sosial yang dikehedaki oleh Islam. Kecenderungan yang makin kuat saat ini dipandang sebagai “inti” agama yang harus diperjuangkan habis-habisan. Kesan yang tampil ke permukaan: seolah-olah kalau umat Islam taat beribadah secara ritual, maka seluruh masalah yang menghimpit mereka dengan sendirinya, sekali lagi “dengan sendirinya”, hilang begitu saja. Wa law amana ahlul qura wattaqaw lafatahna ‘alaihim barakatin minas sama’i wal ardl, sekiaranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, maka Aku akan bukakan tingkap-tingkap dan hamparan bumi, sehingga berkahKu mengucur deras. “Iman” di sana kerap kali dimaknai sebagai pelaksanaan ritual dalam bentuk-bentuknya yang teatrikal: shalat, haji, puasa, zakat, gamis, jilbab, surban, jenggot, isbal, rukyah, maulid, haul, dan seterusnya.

Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.

Di manakah pangkal kekalutan yang memalukan ini?

Dalam konteks ini saya mengamini diagnosa Abdalla. Menurut Abdalla, ini bersumber dari cara pengajaran agama yang hanya menekankan sikap “taatilah dan jalankanlah aturan agama, jangan rewel, jangan tanya, nanti Tuhan marah.” Agama diajarkan sebagai komando dan khotbah moral yang berbusa-busa, kadang diselingi retorika kebencian yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan. Umat dipandang oleh para pemuka agama sebagai kerbau yang tercocok hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik, mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul kafirun, kata sebuah ayat yang suka disemburkan oleh para pemuka agama itu; barangsiapa yang tak mau berhukum kepada hukum AlLah, maka ia adalah kafir. Umat tidak layak untuk diajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis mengenai agama dianggap sebagai “cabaran” (penodaan) atas agama.

Diagnosa lain, masih menurut Abdalla, agama diajarkan semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering diabaikan, sehingga akhirnya agama kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang atau perda?

Ini semua berujung pada satu titik: agama berhenti sebagai teater yang tidak mempengaruhi kehidupan secara luas. Puasa, shalat, zakat, haji, maulid, dan ritualitas kita, rupanya, telah terjerambab ke dalam liang ini. Dari waktu ke waktu ibadah kita dipertunjukkan sebagai teater kolosal, tetapi setelah pertunjukkan itu “the and”, keadaan kembali kepada situasi semula: ketidak-adilan masih merajalela di mana-mana, penjajahan dan penindasan (baik secara moral, spiritual dan sosial) terus mengudapaksa, dan korupsi meruyak seperti virus ganas yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh masyarakat.

Masihkan kita ingin meneruskan karnaval dangkal ini?

Berkenaan dengan ritualisme inilah RasululLah saw. bersabda, “Akan datang kepada manusia, satu zaman, ketika tuhan-tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka seks, agama mereka uang, kemuliaan mereka pada kekayaan. Tidak tersisa dari iman, kecuali namanya; tidak tersisa dari Islam, kecuali upacaranya; tak tersisa dari al-Qur'an, kecuali pelajarannya. Masjid-masjid mereka ramai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Mereka tidak mengenal ulama, kecuali dari pakaian keulamaannya yang mewah. Mereka tidak mengenal al-Qur'an, kecuali dari suara bacaannya yang (di)bagus(-baguskan). Mereka duduk rapat di masjid, tetapi zikirnya dunia dan kecintaannya dunia.” (Jami’ al-Akhbar).

Yanson benar ketika ia mengkritik ritualisme. Tetapi ia keliru ketika bertekad untuk tidak naik haji karena melihat orang yang mengabaikan pendidikan. Ia bergabung dengan sebagian orang yang meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahir. Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini pulalah yang menyebabkan orang sampai batamat sambahiyang. Mereka mengatakan bahwa ritus-ritus itu hanya wahana saja untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Ketika mereka menyatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim itu, dalam tasawuf, disebut ‘ujb (merasa kagum dengan diri sendiri). Iblis jatuh karena itu.

Ritualisme sama ekstremnya dengan subtansialisme. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagaimana AlLah (Dialah Yang Lahir dan Yang Batin – QS 57:3), seorang Muslim menjalankan dimensi keberagamaan yang lahir dan yang batin sekaligus. 


*) teks-teks tersebut oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hadits dan digunakan dasar pelaksanaan maulid Nabi. Otentisitas teks-teks tersebut tidak memenuhi standar baku sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Dengan demikian, teks-teks tersebut termasuk dalam hadits maudhu atau palsu!

Maulid Nabi, Antara Inovasi Terlarang dan Kemubajiran Kultural



Oleh: Aliman Syahrani

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin). Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!


MENENGOK fakta aktual saban kali tibanya bulan Rabiul ‘Awal, khususnya berkenaan dengan tradisi Maulid Nabi, wajarlah kita merasa khawatir. Gegap gempitanya acara, variatifnya model prosesi, justru lebih sering membingungkan. Sebagai contoh, di beberapa tempat di negeri ini, khususnya di Kalimantan Selatan, kita melihat perayaannya banyak yang hanya sebatas “memperingati”, belum sampai pada livel meneladani.

Sering kita lihat pada acara Maulid Nabi yang berlangsung hanya seremoni tahunan, kenduri, tahlilan, pembacaan Sirah Nabi, atau ceramah agama yang cenderung besar-besaran yang tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Acaranya begitu spontan, seketika dan instan. Tapi, sesudah itu apa? Tanpa kesan dan pesan; tidak terlahir adanya kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian RasululLah SAW. Yang terlihat justru terjadinya kompetesi paduan suara di antara qori pelantun syair-syair Barzanji atau Habsyi dan sejenisnya atau bahkan adu gengsi dengan pamer kekayaan bagi si pelaksana kegiatan.

Sebagai contoh “kecil” dapat kita saksikan pada saat undangan menikmati hidangan yang disuguhkan di akhir acara. Banyak kita lihat dari para undangan tersebut yang memegang gelas dengan TANGAN KIRI ketika minum, dengan alasan karena tangan kanan belepotan dengan noda sisa makanan. Mereka lebih rela mengotori sunnah daripada menodai cangkir! Padahal katanya sedang melaksanakan acara yang berorientasi pada penghidupan dan pengamalan sunnah Nabi SAW.! Belum lagi dari waktu acara yang malah sering baru berakhir setelah melewati waktu shalat fardhu. Padahal, menurut Nabi, salah satu ibadah yang paling afdhal adalah shalat di awal waktu! Atau bahkan bagi para ibu-ibu yang biasanya karena kelewat sibuk mempersiapkan breakfast hingga lunch buat para deklamator Barzanzi, vokalis-vokalis Habsy – dan kru-kru terbanger serta fans berat pagelaran Maulidmania lainnya – hingga lalai melaksanakan kewajiban shalat. Lantas, di manakah titik temu “menghidupkan sunnah” yang dimaksud dalam kegiatan tersebut?

Di sisi lain, ada group-group para roker Barzanzi dan vokalis-vokalis Habsy tadi yang justru memasang “tiket” dengan tarif bersaing untuk order “show” mereka. Bahkan ketika bulan Maulid tiba, tidak sedikit group-group Habsy atau Barzanji dengan roker-roker dan vokalis-vokalis barunya bermunculan meramaikan belantika per-Maulid-an dengan profit bisnis! Momentum Maulid Nabi telah dijadikan ajang komersial demi kepentingan fulus! Terjadi pergeseran basis perekonomian umat ke abad multi livel marketing paling spektakuler. Umat telah terbuai dalam suatu gebyar kompetesi niaga, bahkan atas nama agama! Na’udzubillah!

Kalau tengarai ini benar, sulit bagi kita menemukan relevansi antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Maulid Nabi itu sendiri. Masih untung kalau peringatan Maulid Nabi itu tidak dicampur dengan kegiatan-kegiatan berbau bid’ah, khurafat dan syirik. Lebih sulit lagi, menemukan apa fungsi pragmatisnya dalam pengembangan dakwah yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi. Karena di beberapa tempat, sebut saja di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, peringatan Maulid Nabi sering “dibumbui” ketiga penyakit tauhid tadi. Kalau demikian, Maulid Nabi sebagai monomental terhadap keagungan ajaran RasululLah SAW. telah dikotori dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntunan dan ajarannya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Ironis!

Di sisi lain, ada pihak yang “menggugat” kontinyuitas tradisi Maulid Nabi tersebut dengan argumen tidak “nyunah”. Karena tidak “nyunah” berarti inovasi terlarang (bid’ah) dan untuk itu wajib dieliminasi. (Barangkali pengertian tidak “nyunah” di sini adalah tidak tercantum perintahnya dalam teks-teks hadits Nabi SAW.).

Akar Historis

Barangkali yang lebih tepat dan realistis, adalah dengan mengarahkan tradisi peringatan Maulid Nabi seperti sekarang ke arah yang lebih proporsional. Langkah pertama adalah dengan mengembalikan tradisi perayaan Maulid Nabi tersebut kepada akar historisnya. Tentu dengan begitu akan lebih jelas bagi kita mengapa dan bagaimananya, apa sebab dan esensinya.

Sebagaimana termaktub dalam I’anut Thalibin (Syarah Fathul Mu’in), perayaan Maulid Nabi mula- mula dilaksanakan oleh Mudzaffar bin Abu Said, Penguasa di negeri Irbil (daerah Irak sekarang) pada kurang lebih abad ke-IV Hijriyah. Khalifah Mudzaffar dengan dilandasi motivasi meningkatkan ketahanan umat atau rakyatnya guna menghadapi ekspansi Jenghis Khan, mencari langkah-langkah yang tepat. Hal itu ternyata terealisasi dengan mengadakan sayembara penulisan Sirah Nabi yang menghabiskan biaya lumayan besar. Upaya tersebut, ternyata sangat efektif. Semangat juang yang tinggi dari para prajurit dan rakyat yang dijiwai semangat jihad RasululLah SAW. sanggup mengeliminasi ekspansi Jenghis Khan.

Dikaitkan dengan kondisi kekinian, kiranya makna kontekstual langkah-langkah Khalifah Mudzaffar tersebut masih relevan. Kalau dulu Jenghis Khan dan pasukannya berhasil mengeliminasi warisan intelektual Muslim yang sangat berharga, saat ini eksponsor abad 21 berbuat lebih dari itu. Perkembangan Iptek dan derasnya arus modernisasi globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi di berbagai lapangan kehidupan, di samping banyak membawa hal positif, tidak sedikit pula menyisakan hal-hal negatif sebagai implikasinya. Kita melihat banyak manusia terlena ke arah pola hidup nikmat sesaat, materialisme, hedonisme, individualisme, tampulisme dan seabrek “isme-isme” lainnya yang semakin menjamur di tengah-tengah kita.

Penetrasi peradaban semacam ini, sedikit demi sedikit namun dahsyat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan yang mapan. Akibatnya, umat hanya sempat menapaki laku Islam dalam seremoni religi belaka, dalam kaitannya dengan upacara-upacara untuk Tuhan dalam rangka merebut kapling di sorga. Sedang dalam kaitannya dengan masyarakat dunia, ia menapaki laku sebaliknya. Ia menjadi seorang hipokrit dengan kepribadian pecah. Ia memproklamirkan diri sebagai pemeluk Islam namun tak mampu mengejawantahkan konsep Islam itu sendiri yang menjadi landasan hidupnya. Ia terperangkap di tengah kesenjangan antara nilai-nilai religi yang berkembang bagai siput dengan nilai-nilai profan yang bergerak cepat bagai kilat.

Belum lagi, bagaimana nasib saudara-saudara kita di belahan dunia lainnya yang hak-haknya diperkosa sedemikian rupa oleh agresor-agresor kafir Barat macam Bosnia, Checnya, Kosovo, Somalia, Palestina, Afghanisthan, Thaliban, Irak, atau warga Muslim minoritas di kepulauan Mindanau, Filipina dan di Tanah Air sendiri (baca: Ambon, Maluku, Aceh, Sambas dan lain-lain) maupun pelosok lainnya, terkoyak-koyak oleh kebiadaban yang berkepanjangan.

Inovasi Terlarang

Kurang bijaksana memang dengan mengklaim perayaan Maulid Nabi sebagai sesuatu yang mutlak “salah”. Tetapi sulit bagi kita mencari relevansinya jika model perayaan Maulid Nabi seperti yang diaktualisasikan sekarang harus dikaitkan dengan problematika umat dalam kondisi kekinian, apalagi kalau harus dikatakan sebagai suatu refleksi ibadah, jauh panggang dari api! Hal itu jelas merupakan suatu inovasi terlarang (bid’ah)! Karena berdasarkan fakta historis, Maulid Nabi baru dilaksanakan sekitar 400 tahun setelah wafatnya baginda Nabi SAW., yaitu pada sekitar abad ke-IV Hijriah seperti disinggung di awal tulisan ini.

Dengan argumentasi fakta historis semacam itu, maka tereliminisilah segala dalil, dasar, dan nash yang selama ini dijadikan justifikasi bahwa Maulid Nabi merupakan suatu refleksi ibadah yang datangnya dari Nabi SAW., baik itu yang dikalim sebagai hadits, atsar maupun fatwa ulama sebagai bagian landasan obyektif ibadah dalam Islam.

Sejatinya, Maulid Nabi perlu kita gaungkan sebagai genta yang menyadarkan dan membangunkan manusia agar kembali ke khittah penciptaannya – sebagai Khalifatullah fil Ardhi. Sebagai makhluk yang bertanggungjawab bagi estafetisasi tegaknya ajaran Rasululah SAW. di muka bumi.

Bagaimana caranya? Sederhana saja. Tidak perlu besar-besaran. Tidak perlu kendurenan akbar dengan biaya wah, mewah dan “ah”. Apalagi dengan cara-cara yang berbau maksiat, bid’ah, khurafat dan syirik. Cukup dengan kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya, menyumbang untuk pembangunan masjid, majlis ta’lim, balai pengobatan, panti, rumah sakit, madrasah dan fasilitas umat lainnya yang realitasnya masih banyak ditemui belum meratanya fasilitas atau sarana dan prasarana tersebut, terutama di daerah kawasan Timur dari negeri ini.

Kemubajiran Kultural

Kalau mau mengkalkulasi, dana yang dihabiskan dalam setiap pelaksanaan acara Mualid Nabi oleh masyarakat kita, di tempat tinggal penulis di Hulu Sungai Selatan (HSS) saja misalnya, jumlahnya sungguh spektakuler; mencapai dibet milyaran rupiah lebih setiap tahunnya!

Data tersebut sangat rasional sekali bila kita mengobservasi realitas yang terjadi di lapangan. Dalam sebuah kampung di kabupaten HSS yang melaksanakan acara Maulid Nabi setiap tahunnya biasanya tidak kurang dari 10 buah rumah (Kepala Keluarga) sebagai penyelenggara kegiatan, baik dengan dana yang dikeluarkan secara pribadi, patungan atau yang dikelola dengan sistem arisan keluarga, atau dengan pengelolaan-pengelolaan lainnya. Setiap satu orang penyelenggara dapat menggelontorkan dana sebanyak 2 juta rupiah lebih yang bila dikalikan dengan jumlah seluruh penyelenggara dalam satu kampung yaitu 10 orang, maka akan menghabiskan dana yang cukup besar yaitu 20 juta rupiah! Padahal, hampir seluruh kampung dan desa di pelosok kabupaten HSS tidak mau ketinggalan dalam perhelatan akbar Maulid Nabi. Bahkan acaranya kadang dilaksanakan tidak hanya pada setiap siang hari di bulan Rabi’ul Awal saja, tapi juga dilaksanakan pada malam harinya karena kada mayu ari. Prosentasi masyarakat yang melaksanakan perayaan tradisi Maulid Nabi ini pun terus membengkak dalam setiap tahunnya. Hal ini belum lagi kalau dihitung secara regional Kalimantan Selatan atau bahkan nasional. Bukankah hal ini merupakan sebuah “kemubaziran kultural” yang perlu dieliminasi (untuk tidak menyebut “diharamkan!”).

Dana yang dihabiskan secara spektakuler itu jika dikelola secara lebih arif dan dipergunakan secara proporsional dan bijaksana maka mungkin tidak akan kita temukan lagi bangunan masjid dan langgar yang terbengkalai, pendirian madrasah yang tidak juga selesai-selesai, gedung panti yang merana karena terus kekurangan dana, dan berbagai fasilitas umat lainnya.

Secara lebih konkrit, jika saja misalnya masyarakat di HSS tidak melaksanakan model prosesi Maulid Nabi seperti yang dilakukan selama ini dalam satu tahun saja, sekali lagi, satu tahun saja, kemudian dananya dialokasikan untuk pembangunan masjid Taqwa Kandangan atau pesantren Baladul Amin yang saat ini tengah dilangsungkan, maka dana tersebut akan lebih dari cukup. Dengan arti lain, pembangunan masjid Taqwa Kandangan dan pesantren Baladul Amin tersebut tidak memerlukan injeksi dari dana APBD seperti yang dilakukan oleh Pemkab HSS saat ini. Bukankah dana APBD tersebut hak rakyat HSS yang tidak semuanya muslim? Yang sejatinya dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan satu golongan atau kelompok apalagi ambisi individu tententu?

Dengan kearifan semacam itu, kita tidak lagi harus menadahkan “kotak amal” dan bapintaan di jalan-jalan, menjajakan amplop-amplop sumbangan, “memasang” celengan di warung-warung, toko, perkantoran dan lain-lian tempat untuk menggalang dana guna pengadaan fasilitas umat tersebut, yang sesungguhnya cara-cara itu membuat nurani kita tersayat karena merendahkan muru’ah (citra) keislaman kita sendiri, karena memang Islam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi pengemis. Bukankah RasululLah SAW. dengan tegas mewantikan, bahwa “bagi orang-orang yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Modifikasi Efektif

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin) macam para pengungsi di berbagai daerah di Tanah Air yang sekarang tak punya tempat lagi buat melabuh selapik harapan atau sekadar menambatkan serumpun cita-cita dan sejumput masa depan, yang bersembunyi di balik kepahitan derita dan linangan air mata berkarat. Pun bagi para korban berbagai bencana alam, serta beragam tragedi yang menimpa saudara seiman yang akhir-akhir ini tengah mengalami berbagai penderitaan akibat kerusuhan, konflik, teror, perang dan intimidasi.

Banyak lagi cara-cara yang lebih sederhana dan efektif yang orientasinya untuk menghidupkan ajaran-ajaran RasululLah SAW. Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!

Secara lebih konkrit, alangkah baiknya lembaga-lembaga yang punya kewenangan, yang mampu menggalang dan mengendalikan massa, apakah itu NU, Muhammadiyah, MUI, DDII, ICMI, Depag atau yang semacamnya mulai menggalakkan tradisi-tradisi yang lebih berbobot dan punya arti pragmatis (karena selama ini lembaga-lembaga tersebut, kecuali Muhammadiyah, justru terlihat lebih menyemarakkan peringatan Maulid Nabi dengan berbagai macam bentuk dan pariasi yang kurang memiliki muatan nilai konstruktif). Kita bisa mengadopsi langkah-langkah Khalifah Mudzaffar atau memodifikasinya.

Kecuali kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas, kita bisa juga menyelenggarakan lomba penulisan epos, penerbitan buletin, naskah drama ataupun karya tulis ilmiah lainnya yang mengandung muatan teladan RasululLah SAW. Kita barangkali juga bisa mengeliminasi tradisi kompetesi pagelaran “show”-nya roker-roker Barzanji atau vokalis-vokalis Habsyi yang nampak sakral dan syahdu – juga tidak jarang “melengking” – namun tak dimengerti itu, dengan pementasan-pementasan teater misalnya, yang lebih mudah dicerna masyarakat awam.

Dengan begitu, kita telah menghidupkan dan mengagungkan sunnah Nabi SAW.

Insya-AlLah! 