Sunday, March 1, 2009

Maulid Nabi, Antara Inovasi Terlarang dan Kemubajiran Kultural



Oleh: Aliman Syahrani

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin). Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!


MENENGOK fakta aktual saban kali tibanya bulan Rabiul ‘Awal, khususnya berkenaan dengan tradisi Maulid Nabi, wajarlah kita merasa khawatir. Gegap gempitanya acara, variatifnya model prosesi, justru lebih sering membingungkan. Sebagai contoh, di beberapa tempat di negeri ini, khususnya di Kalimantan Selatan, kita melihat perayaannya banyak yang hanya sebatas “memperingati”, belum sampai pada livel meneladani.

Sering kita lihat pada acara Maulid Nabi yang berlangsung hanya seremoni tahunan, kenduri, tahlilan, pembacaan Sirah Nabi, atau ceramah agama yang cenderung besar-besaran yang tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Acaranya begitu spontan, seketika dan instan. Tapi, sesudah itu apa? Tanpa kesan dan pesan; tidak terlahir adanya kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian RasululLah SAW. Yang terlihat justru terjadinya kompetesi paduan suara di antara qori pelantun syair-syair Barzanji atau Habsyi dan sejenisnya atau bahkan adu gengsi dengan pamer kekayaan bagi si pelaksana kegiatan.

Sebagai contoh “kecil” dapat kita saksikan pada saat undangan menikmati hidangan yang disuguhkan di akhir acara. Banyak kita lihat dari para undangan tersebut yang memegang gelas dengan TANGAN KIRI ketika minum, dengan alasan karena tangan kanan belepotan dengan noda sisa makanan. Mereka lebih rela mengotori sunnah daripada menodai cangkir! Padahal katanya sedang melaksanakan acara yang berorientasi pada penghidupan dan pengamalan sunnah Nabi SAW.! Belum lagi dari waktu acara yang malah sering baru berakhir setelah melewati waktu shalat fardhu. Padahal, menurut Nabi, salah satu ibadah yang paling afdhal adalah shalat di awal waktu! Atau bahkan bagi para ibu-ibu yang biasanya karena kelewat sibuk mempersiapkan breakfast hingga lunch buat para deklamator Barzanzi, vokalis-vokalis Habsy – dan kru-kru terbanger serta fans berat pagelaran Maulidmania lainnya – hingga lalai melaksanakan kewajiban shalat. Lantas, di manakah titik temu “menghidupkan sunnah” yang dimaksud dalam kegiatan tersebut?

Di sisi lain, ada group-group para roker Barzanzi dan vokalis-vokalis Habsy tadi yang justru memasang “tiket” dengan tarif bersaing untuk order “show” mereka. Bahkan ketika bulan Maulid tiba, tidak sedikit group-group Habsy atau Barzanji dengan roker-roker dan vokalis-vokalis barunya bermunculan meramaikan belantika per-Maulid-an dengan profit bisnis! Momentum Maulid Nabi telah dijadikan ajang komersial demi kepentingan fulus! Terjadi pergeseran basis perekonomian umat ke abad multi livel marketing paling spektakuler. Umat telah terbuai dalam suatu gebyar kompetesi niaga, bahkan atas nama agama! Na’udzubillah!

Kalau tengarai ini benar, sulit bagi kita menemukan relevansi antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Maulid Nabi itu sendiri. Masih untung kalau peringatan Maulid Nabi itu tidak dicampur dengan kegiatan-kegiatan berbau bid’ah, khurafat dan syirik. Lebih sulit lagi, menemukan apa fungsi pragmatisnya dalam pengembangan dakwah yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi. Karena di beberapa tempat, sebut saja di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, peringatan Maulid Nabi sering “dibumbui” ketiga penyakit tauhid tadi. Kalau demikian, Maulid Nabi sebagai monomental terhadap keagungan ajaran RasululLah SAW. telah dikotori dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntunan dan ajarannya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Ironis!

Di sisi lain, ada pihak yang “menggugat” kontinyuitas tradisi Maulid Nabi tersebut dengan argumen tidak “nyunah”. Karena tidak “nyunah” berarti inovasi terlarang (bid’ah) dan untuk itu wajib dieliminasi. (Barangkali pengertian tidak “nyunah” di sini adalah tidak tercantum perintahnya dalam teks-teks hadits Nabi SAW.).

Akar Historis

Barangkali yang lebih tepat dan realistis, adalah dengan mengarahkan tradisi peringatan Maulid Nabi seperti sekarang ke arah yang lebih proporsional. Langkah pertama adalah dengan mengembalikan tradisi perayaan Maulid Nabi tersebut kepada akar historisnya. Tentu dengan begitu akan lebih jelas bagi kita mengapa dan bagaimananya, apa sebab dan esensinya.

Sebagaimana termaktub dalam I’anut Thalibin (Syarah Fathul Mu’in), perayaan Maulid Nabi mula- mula dilaksanakan oleh Mudzaffar bin Abu Said, Penguasa di negeri Irbil (daerah Irak sekarang) pada kurang lebih abad ke-IV Hijriyah. Khalifah Mudzaffar dengan dilandasi motivasi meningkatkan ketahanan umat atau rakyatnya guna menghadapi ekspansi Jenghis Khan, mencari langkah-langkah yang tepat. Hal itu ternyata terealisasi dengan mengadakan sayembara penulisan Sirah Nabi yang menghabiskan biaya lumayan besar. Upaya tersebut, ternyata sangat efektif. Semangat juang yang tinggi dari para prajurit dan rakyat yang dijiwai semangat jihad RasululLah SAW. sanggup mengeliminasi ekspansi Jenghis Khan.

Dikaitkan dengan kondisi kekinian, kiranya makna kontekstual langkah-langkah Khalifah Mudzaffar tersebut masih relevan. Kalau dulu Jenghis Khan dan pasukannya berhasil mengeliminasi warisan intelektual Muslim yang sangat berharga, saat ini eksponsor abad 21 berbuat lebih dari itu. Perkembangan Iptek dan derasnya arus modernisasi globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi di berbagai lapangan kehidupan, di samping banyak membawa hal positif, tidak sedikit pula menyisakan hal-hal negatif sebagai implikasinya. Kita melihat banyak manusia terlena ke arah pola hidup nikmat sesaat, materialisme, hedonisme, individualisme, tampulisme dan seabrek “isme-isme” lainnya yang semakin menjamur di tengah-tengah kita.

Penetrasi peradaban semacam ini, sedikit demi sedikit namun dahsyat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan yang mapan. Akibatnya, umat hanya sempat menapaki laku Islam dalam seremoni religi belaka, dalam kaitannya dengan upacara-upacara untuk Tuhan dalam rangka merebut kapling di sorga. Sedang dalam kaitannya dengan masyarakat dunia, ia menapaki laku sebaliknya. Ia menjadi seorang hipokrit dengan kepribadian pecah. Ia memproklamirkan diri sebagai pemeluk Islam namun tak mampu mengejawantahkan konsep Islam itu sendiri yang menjadi landasan hidupnya. Ia terperangkap di tengah kesenjangan antara nilai-nilai religi yang berkembang bagai siput dengan nilai-nilai profan yang bergerak cepat bagai kilat.

Belum lagi, bagaimana nasib saudara-saudara kita di belahan dunia lainnya yang hak-haknya diperkosa sedemikian rupa oleh agresor-agresor kafir Barat macam Bosnia, Checnya, Kosovo, Somalia, Palestina, Afghanisthan, Thaliban, Irak, atau warga Muslim minoritas di kepulauan Mindanau, Filipina dan di Tanah Air sendiri (baca: Ambon, Maluku, Aceh, Sambas dan lain-lain) maupun pelosok lainnya, terkoyak-koyak oleh kebiadaban yang berkepanjangan.

Inovasi Terlarang

Kurang bijaksana memang dengan mengklaim perayaan Maulid Nabi sebagai sesuatu yang mutlak “salah”. Tetapi sulit bagi kita mencari relevansinya jika model perayaan Maulid Nabi seperti yang diaktualisasikan sekarang harus dikaitkan dengan problematika umat dalam kondisi kekinian, apalagi kalau harus dikatakan sebagai suatu refleksi ibadah, jauh panggang dari api! Hal itu jelas merupakan suatu inovasi terlarang (bid’ah)! Karena berdasarkan fakta historis, Maulid Nabi baru dilaksanakan sekitar 400 tahun setelah wafatnya baginda Nabi SAW., yaitu pada sekitar abad ke-IV Hijriah seperti disinggung di awal tulisan ini.

Dengan argumentasi fakta historis semacam itu, maka tereliminisilah segala dalil, dasar, dan nash yang selama ini dijadikan justifikasi bahwa Maulid Nabi merupakan suatu refleksi ibadah yang datangnya dari Nabi SAW., baik itu yang dikalim sebagai hadits, atsar maupun fatwa ulama sebagai bagian landasan obyektif ibadah dalam Islam.

Sejatinya, Maulid Nabi perlu kita gaungkan sebagai genta yang menyadarkan dan membangunkan manusia agar kembali ke khittah penciptaannya – sebagai Khalifatullah fil Ardhi. Sebagai makhluk yang bertanggungjawab bagi estafetisasi tegaknya ajaran Rasululah SAW. di muka bumi.

Bagaimana caranya? Sederhana saja. Tidak perlu besar-besaran. Tidak perlu kendurenan akbar dengan biaya wah, mewah dan “ah”. Apalagi dengan cara-cara yang berbau maksiat, bid’ah, khurafat dan syirik. Cukup dengan kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya, menyumbang untuk pembangunan masjid, majlis ta’lim, balai pengobatan, panti, rumah sakit, madrasah dan fasilitas umat lainnya yang realitasnya masih banyak ditemui belum meratanya fasilitas atau sarana dan prasarana tersebut, terutama di daerah kawasan Timur dari negeri ini.

Kemubajiran Kultural

Kalau mau mengkalkulasi, dana yang dihabiskan dalam setiap pelaksanaan acara Mualid Nabi oleh masyarakat kita, di tempat tinggal penulis di Hulu Sungai Selatan (HSS) saja misalnya, jumlahnya sungguh spektakuler; mencapai dibet milyaran rupiah lebih setiap tahunnya!

Data tersebut sangat rasional sekali bila kita mengobservasi realitas yang terjadi di lapangan. Dalam sebuah kampung di kabupaten HSS yang melaksanakan acara Maulid Nabi setiap tahunnya biasanya tidak kurang dari 10 buah rumah (Kepala Keluarga) sebagai penyelenggara kegiatan, baik dengan dana yang dikeluarkan secara pribadi, patungan atau yang dikelola dengan sistem arisan keluarga, atau dengan pengelolaan-pengelolaan lainnya. Setiap satu orang penyelenggara dapat menggelontorkan dana sebanyak 2 juta rupiah lebih yang bila dikalikan dengan jumlah seluruh penyelenggara dalam satu kampung yaitu 10 orang, maka akan menghabiskan dana yang cukup besar yaitu 20 juta rupiah! Padahal, hampir seluruh kampung dan desa di pelosok kabupaten HSS tidak mau ketinggalan dalam perhelatan akbar Maulid Nabi. Bahkan acaranya kadang dilaksanakan tidak hanya pada setiap siang hari di bulan Rabi’ul Awal saja, tapi juga dilaksanakan pada malam harinya karena kada mayu ari. Prosentasi masyarakat yang melaksanakan perayaan tradisi Maulid Nabi ini pun terus membengkak dalam setiap tahunnya. Hal ini belum lagi kalau dihitung secara regional Kalimantan Selatan atau bahkan nasional. Bukankah hal ini merupakan sebuah “kemubaziran kultural” yang perlu dieliminasi (untuk tidak menyebut “diharamkan!”).

Dana yang dihabiskan secara spektakuler itu jika dikelola secara lebih arif dan dipergunakan secara proporsional dan bijaksana maka mungkin tidak akan kita temukan lagi bangunan masjid dan langgar yang terbengkalai, pendirian madrasah yang tidak juga selesai-selesai, gedung panti yang merana karena terus kekurangan dana, dan berbagai fasilitas umat lainnya.

Secara lebih konkrit, jika saja misalnya masyarakat di HSS tidak melaksanakan model prosesi Maulid Nabi seperti yang dilakukan selama ini dalam satu tahun saja, sekali lagi, satu tahun saja, kemudian dananya dialokasikan untuk pembangunan masjid Taqwa Kandangan atau pesantren Baladul Amin yang saat ini tengah dilangsungkan, maka dana tersebut akan lebih dari cukup. Dengan arti lain, pembangunan masjid Taqwa Kandangan dan pesantren Baladul Amin tersebut tidak memerlukan injeksi dari dana APBD seperti yang dilakukan oleh Pemkab HSS saat ini. Bukankah dana APBD tersebut hak rakyat HSS yang tidak semuanya muslim? Yang sejatinya dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan satu golongan atau kelompok apalagi ambisi individu tententu?

Dengan kearifan semacam itu, kita tidak lagi harus menadahkan “kotak amal” dan bapintaan di jalan-jalan, menjajakan amplop-amplop sumbangan, “memasang” celengan di warung-warung, toko, perkantoran dan lain-lian tempat untuk menggalang dana guna pengadaan fasilitas umat tersebut, yang sesungguhnya cara-cara itu membuat nurani kita tersayat karena merendahkan muru’ah (citra) keislaman kita sendiri, karena memang Islam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi pengemis. Bukankah RasululLah SAW. dengan tegas mewantikan, bahwa “bagi orang-orang yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Modifikasi Efektif

Dengan momentum Maulid Nabi kita juga bisa menggalakkan kegiatan sosial lainnya seperti penggalangan dana untuk menyantuni dan memfasilitasi panti-panti anak yatim, orang-orang terlantar dan tak berpunya, serta membantu mereka yang ditimpa musibah. Menunjukkan rasa solidaritas yang riil bagi orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau yang sengaja dilemahkan (mustadh’afin) macam para pengungsi di berbagai daerah di Tanah Air yang sekarang tak punya tempat lagi buat melabuh selapik harapan atau sekadar menambatkan serumpun cita-cita dan sejumput masa depan, yang bersembunyi di balik kepahitan derita dan linangan air mata berkarat. Pun bagi para korban berbagai bencana alam, serta beragam tragedi yang menimpa saudara seiman yang akhir-akhir ini tengah mengalami berbagai penderitaan akibat kerusuhan, konflik, teror, perang dan intimidasi.

Banyak lagi cara-cara yang lebih sederhana dan efektif yang orientasinya untuk menghidupkan ajaran-ajaran RasululLah SAW. Semua itu lebih mendesak dan memerlukan uluran dan bantuan dari para dermawan, lebih efektif dan punya multifungsi yang urgen dibandingkan bakakancangan urat gulu mambaca Barzanzi atau bagagancangan mancatuk tarbang!

Secara lebih konkrit, alangkah baiknya lembaga-lembaga yang punya kewenangan, yang mampu menggalang dan mengendalikan massa, apakah itu NU, Muhammadiyah, MUI, DDII, ICMI, Depag atau yang semacamnya mulai menggalakkan tradisi-tradisi yang lebih berbobot dan punya arti pragmatis (karena selama ini lembaga-lembaga tersebut, kecuali Muhammadiyah, justru terlihat lebih menyemarakkan peringatan Maulid Nabi dengan berbagai macam bentuk dan pariasi yang kurang memiliki muatan nilai konstruktif). Kita bisa mengadopsi langkah-langkah Khalifah Mudzaffar atau memodifikasinya.

Kecuali kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas, kita bisa juga menyelenggarakan lomba penulisan epos, penerbitan buletin, naskah drama ataupun karya tulis ilmiah lainnya yang mengandung muatan teladan RasululLah SAW. Kita barangkali juga bisa mengeliminasi tradisi kompetesi pagelaran “show”-nya roker-roker Barzanji atau vokalis-vokalis Habsyi yang nampak sakral dan syahdu – juga tidak jarang “melengking” – namun tak dimengerti itu, dengan pementasan-pementasan teater misalnya, yang lebih mudah dicerna masyarakat awam.

Dengan begitu, kita telah menghidupkan dan mengagungkan sunnah Nabi SAW.

Insya-AlLah! 

No comments:

Post a Comment