Sunday, March 1, 2009

Teater Kesalehan

Rata Penuh


Oleh Aliman Syahrani


Kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.


KAWAN saya, Yanson, berasal dari Loksado. Ia baru saja memeluk Islam dan berganti nama dengan Muhammad Yasin. Ia kemudian menetap di Kandangan di bagian kota paling elit untuk ukuran kota ini. Di kawasan itu para penghuninya adalah dari golongan kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; kepala dinas, anggota DPRD, kepala kepolisian, komandan tentara, Jaksa, Hakim, direktur, para eksekutif, dan beberapa pemuka agama. Semua penduduk kawasan itu beragama Islam, bahkan sudah haji dan umrah berulangkali.

Kawasan itu terpisah dari daerah perumahan atau bidak sewaan yang kumuh hanya oleh cara hidup dan cara makan. Tidak dengan tembok benteng yang tebal. Tepat di belakang perumahan elit itu, terdapat sebuah perkampungan kumuh. Di situ, ada seorang janda berusia akhir limapuluhan yang menyediakan gubuknya yang kecil dan reot untuk anak-anak belajar membaca al-Qur'an. Setiap selesai shalat Magrib, anak-anak tidak mampu di perkampungan kumuh itu mengaji dengan memperebutkan sebuah al-Qur'an tua dan lusuh yang jilidnya sudah lepas.

Yanson terharu menyaksikan mereka. Ia berusaha membantu mereka dengan menyediakan fasilitas belajar. Ia bertanya setengah memprotes kepada saya, “Mengapa ratusan orang Kandangan pergi melakukan ibadah haji dan ribuan orang menggelar prosesi tradisi maulid Nabi setiap tahun, menghabiskan uang miliaran rupiah, tetapi tidak memperhatikan pendidikan anak-anak yang tidak mampu? Mengapa pula kepala daerahnya dan wakil rakyatnya yang sebagian besar disokong oleh partai berasas Islam, tidak menerapkan satu sistem pemerintahan yang lebih memperhatikan nasib anak-anak kurang mampu di daerah ini, misalnya mengadakan program pendidikan dan kesehatan murah atau bahkan gratis? Apakah Perda Khatam Qur’an dipandang lebih islami daripada perda pendidikan dan kesehatan gratis? Saya menilai Perda Khatam Qur’an sebagai perda kampungan. Alasannya, tanpa diperdakan pun orang-orang juga selalu mengkhatamkan al-Qur'an, bahkan sejak di kampung-kampung. Berbeda dengan pendidikan dan kesehatan, tidak semua orang bisa menikmatinya, apalagi dengan cara murah dan gratis. Saya bertekad tidak akan naik haji dan melaksanakan maulid Nabi, sebelum anak-anak seperti di kampung itu mendapat pendidikan yang layak.”

Yanson belum lama masuk Islam. Ia bingung mengapa miliaran uang dibuang hanya untuk sebuah upacara ibadah. Saya bingung juga untuk menjelaskan bahwa haji adalah rukun Islam yang kelima. Bahwa maulid Nabi adalah sebagai manifestasi rasa cinta kepada RasululLah saw. Kewajiban haji jelas termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan kewajiban membantu pedidikan tidak disebutkan di dalam keduanya dengan tegas. Keutamaan dan perintah melaksanakan maulid Nabi, meskipun tidak didukung oleh dasar yang kuat, tetapi sangat didudukung dan dianjurkan oleh sebagian besar pemuka agama, sedangkan keutamaan dan perintah memfasilitasi pendidikan murah dan gratis tidak pernah digubris oleh para pemuka agama. Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga. Apa pahala yang kita peroleh untuk membiayai pendidikan? Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka Nabi saw. akan memberinya syafaat pada hari kiamat.* Apa syafaat yang akan diterima oleh mereka yang memperhatikan pendidikan? Bila orang yang mampu tidak mau naik haji, ia akan mati sebagai Nasrani atau Yahudi. Bila orang kaya mengabaikan pendidikan dan kesehatan orang miskin di sekitarnya, ia akan mati baisa saja. Siapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka ia akan tinggal bersama Nabi saw. di surga.* Apa ada jaminan bagi orang yang memfasilitasi pendidikan dan kesehatan akan tinggal bersama Nabi saw. di surga? Bila orang meneteskan air mata di ‘Arafah, Tuhan akan mengampuni seluruh dosanya. Bila Anda meneteskan air mata di gubuk orang miskin, Anda hanya dianggap sebagai orang yang cengeng saja. Siapa saja yang mendermakan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka seolah-olah ia mendermakan emas sebesar gunung Uhud.* Apa keuntungan bagi wakil rakyat yang memberi perhatian kepada otak-otak cerdas yang disia-siakan karena tidak sanggup membiayai pendidikan yang semakin melangit? Apa balasan bagi kepala daerah yang menjalankan program pendidikan dan kesehatan gratis?

Saya ingin menjelaskan semuanya kepada Yanson. Tetapi, saya segera sadar. Semua argumentasi itu lahir karena saya rasa ia menyerang cara beragama saya. Ia menggugat pemahaman dan pemaknaan saya terhadap syariat Islam. Ia bahkan memukul hati nurani saya. Jauh di dalam lubuk hati, saya mulai bertanya-tanya juga, layakkah kita menghabiskan dana begitu besar untuk kepuasan spiritual yang sifatnya individual bahkan seremonial? Tetapi, bila kita meninggalkan ibadah haji, tidakkah kita mengabaikan salah satu tonggak penting ajaran Islam? Bila kita tidak melaksanakan maulid Nabi, tidakkah kita akan dikucilkan di tengah masyarakat karena dianggap tidak mencintai dan menghidupkan sunnah Nabi saw.? Yang paling baik tentu saja haji dan menghidupkan sunnah Nabi saw. sekaligus juga menolong fakir-miskin. Yang begini ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Kenyatannya, karena dana terbatas, kita harus memilih salah satu. Yang kita pilih, tentu saja haji dan maulid Nabi.

Mengapa? Argumentasi yang sama berulang. Haji jelas termaktub dalam nash. Maulid sangat dianjurkan dan didukung oleh mayoritas pemuka agama, habib, bahkan pemerintah. Apakah membantu pendidikan tidak ada dalam nash? Mungkinkah Tuhan yang mengatur kaki mana yang pertama kali masuk ke toilet mengabaikan persoalan pendidikan masyarakat? Mungkinkah Nabi saw. yang mengatur batas celana agar jangan sampai menutup mata kaki (isbal) mengenyampingkan masalah pendidikan dan kesehatan umat? Soal “kaki mana yang dipilih” hampir tidak mempengaruhi kejayaan masa depan umat Islam. Kepedulian tentang pendidikan jelas menentukan masa depan umat. Masalah “batas kain celana” hampir tidak berimplikasi terhadap kemajuan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi masyarakat Islam. Keberpihakan pada pendidikan dan kesehatan jelas membawa dampak positif bagi kualitas dan sumberdaya umat Islam di kancah peradaban.

Saya tersemplak. Saya telah terjerembab pada ritualisme. Ada dua pokok ritualisme, kata Jalaluddin Rakhmat dalam Reformasi Sufistik. Pertama, keterikatan pada makna yang tersurat dari teks-teks keagamaan. Bila tidak tercantum tegas dalam nash, kita mengabaikannya. Kedua, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan dengan setia, tetapi lupa pada tujuan ritus-ritus itu. Kita sibuk memperhatikan letak tangan dalam berdiri shalat, namun lupa akan implikasi shalat kita dalam kehidupan sehari-sehari. Kita hapalkan betul ucapan takbir, tetapi mengabaikan esensi takbir: mengecilkan diri kita dan hanya membesarkan Tuhan semata. Kita sibuk mengatur jadwal dan bentuk dalam pelaksanaan maulid, namun lupa akan isensi maulid: demi terlahirnya suatu kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya meneladani kehidupan keseharian Rasulullah saw. Kita hapalkan betul shalawat, syair dan puji-pujian kepada Nabi saw. dalam semua kitab maulid, tetapi acuh dari makna dan subtansi shalawat dan pujian terhadap Nabi saw.: menemukan dan mengaktualisasikan fungsi primer maupun pragmatis dalam pengembangan dakwah Islam yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi dan masyarakat untuk senantiasa menghidupkan sunnah Nabi saw.

Keduanya bisa saling berkaitan. Karena kita memusatkan perhatian hanya pada bunyi teks, kita melupakan konteks. Karena kita tertarik hanya pada segi-segi ritual, kita mengabaikan teks yang merujuk kepada hal-hal yang esensial. Kita hapal betul ucapan RasululLah saw. bahwa haji mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga. Tetapi kita abaikan penjelasan Nabi saw. sesudah itu; bahwa di antara tanda-tanda haji mabrur adalah, “Berbicara yang bagus dan membagikan makanan.” Kita hapal betul hadits RasululLah saw. bahwa siapa yang mencintai Nabi saw. akan bersama beliau di dalam surga. Tetapi kita lupakan penjelesan beliau sebelum itu; bahwa salah satu indikasi cinta kepada Nabi saw. adalah, “menghidupkan sunnah-sunnah beliau.” Ketika berbagai cara haji disampaian kepadanya, Nabi saw. bersabda, “Boleh, tidak apa-apa.” Beliau tidak mempersoalkan ritus-ritus itu. Ketika para sahabat memperselisihkan prosedur haji, ayat al-Qur'an turun: “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS 2:197). Ketika sudah ada tuntunan yang jelas tentang bagaimana bentuk dan tata cara bershalawat yang benar menurut hadits Nabi saw., kita sibuk mencari, membuat, menggubah, memodifikasi dan merenovasi berbagai bentuk dan cara bershalawat. “Bila kalian kerjakan suatu amalan dalam agama yang datangnya bukan dari kami, maka amalan tesebut akan tertolak.” (HR. Muslim).

Jangan sekali-kali diartikan bahwa ritus-ritus itu tidak penting. Ia tetap harus dilakukan. Ritualisme keliru karena berhenti pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.

Orientasi ritualisme Islam tidak cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual, upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari Islam yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. Dengan kalimat-kalimat tersebut saya mau mengatakan bahwa dalam ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Orang harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman.

Jika dimaknai secara lebih radikal lagi, ritualisme juga berarti kemampuan untuk memahami esensi dan semangat Islam melampaui ketentuan-ketentuan yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci atau bahkan ucapan-ucapan Nabi sendiri. “Menjadi Islam” tidak cukup sekadar mengikuti secara benar dan literal semua yang tertulis dalam agama, tetapi juga menembus tulisan dan huruf-huruf dalam ajaran agama itu hingga ke inti. Menjadi Islam adalah seperti yang diformulasikan dalam ayat ketiga surah Al-Baqarah: “Alladzina yu’minuna bil ghaibi”, orang-orang beriman adalah mereka yang percaya pada esensi sesuatu yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Orang beriman tidaklah memadai imannya jika masih terkungkung oleh huruf-huruf ajaran, tetapi harus menembus ke inti ajaran agama itu sendiri.

Lebih jauh, saya mau dengan sedikit “nakal” mempersoalkan duduk perkara ibadah kita selama ini: bahwa sebenarnya, diam-daim, tanpa kita sadari, kita selama ini sudah terjebak ke dalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Kegiatan masyarakat Islam yang begitu tinggi dalam menjalankan ritual agama, membuat kita berkesimpulan bahwa umat Islam adalah umat yang taat dan saleh. Hal itu sudah tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi apa yang ada di balik teater itu? Apakah subtansi yang ada di baliknya? Apakah kesalehan teatrikal yang penuh dengan kegairahan dan kekhusukan ini menandakan akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial kita?

Saya ragu, bahwa di balik pertunjukkan ibadah yang kolosal ini, ada suatu “magma” sosial yang akan mengubah struktur masyarakat agar mendekati cita sosial yang dikehedaki oleh Islam. Kecenderungan yang makin kuat saat ini dipandang sebagai “inti” agama yang harus diperjuangkan habis-habisan. Kesan yang tampil ke permukaan: seolah-olah kalau umat Islam taat beribadah secara ritual, maka seluruh masalah yang menghimpit mereka dengan sendirinya, sekali lagi “dengan sendirinya”, hilang begitu saja. Wa law amana ahlul qura wattaqaw lafatahna ‘alaihim barakatin minas sama’i wal ardl, sekiaranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, maka Aku akan bukakan tingkap-tingkap dan hamparan bumi, sehingga berkahKu mengucur deras. “Iman” di sana kerap kali dimaknai sebagai pelaksanaan ritual dalam bentuk-bentuknya yang teatrikal: shalat, haji, puasa, zakat, gamis, jilbab, surban, jenggot, isbal, rukyah, maulid, haul, dan seterusnya.

Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.

Di manakah pangkal kekalutan yang memalukan ini?

Dalam konteks ini saya mengamini diagnosa Abdalla. Menurut Abdalla, ini bersumber dari cara pengajaran agama yang hanya menekankan sikap “taatilah dan jalankanlah aturan agama, jangan rewel, jangan tanya, nanti Tuhan marah.” Agama diajarkan sebagai komando dan khotbah moral yang berbusa-busa, kadang diselingi retorika kebencian yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan. Umat dipandang oleh para pemuka agama sebagai kerbau yang tercocok hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik, mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul kafirun, kata sebuah ayat yang suka disemburkan oleh para pemuka agama itu; barangsiapa yang tak mau berhukum kepada hukum AlLah, maka ia adalah kafir. Umat tidak layak untuk diajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis mengenai agama dianggap sebagai “cabaran” (penodaan) atas agama.

Diagnosa lain, masih menurut Abdalla, agama diajarkan semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering diabaikan, sehingga akhirnya agama kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang atau perda?

Ini semua berujung pada satu titik: agama berhenti sebagai teater yang tidak mempengaruhi kehidupan secara luas. Puasa, shalat, zakat, haji, maulid, dan ritualitas kita, rupanya, telah terjerambab ke dalam liang ini. Dari waktu ke waktu ibadah kita dipertunjukkan sebagai teater kolosal, tetapi setelah pertunjukkan itu “the and”, keadaan kembali kepada situasi semula: ketidak-adilan masih merajalela di mana-mana, penjajahan dan penindasan (baik secara moral, spiritual dan sosial) terus mengudapaksa, dan korupsi meruyak seperti virus ganas yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh masyarakat.

Masihkan kita ingin meneruskan karnaval dangkal ini?

Berkenaan dengan ritualisme inilah RasululLah saw. bersabda, “Akan datang kepada manusia, satu zaman, ketika tuhan-tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka seks, agama mereka uang, kemuliaan mereka pada kekayaan. Tidak tersisa dari iman, kecuali namanya; tidak tersisa dari Islam, kecuali upacaranya; tak tersisa dari al-Qur'an, kecuali pelajarannya. Masjid-masjid mereka ramai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Mereka tidak mengenal ulama, kecuali dari pakaian keulamaannya yang mewah. Mereka tidak mengenal al-Qur'an, kecuali dari suara bacaannya yang (di)bagus(-baguskan). Mereka duduk rapat di masjid, tetapi zikirnya dunia dan kecintaannya dunia.” (Jami’ al-Akhbar).

Yanson benar ketika ia mengkritik ritualisme. Tetapi ia keliru ketika bertekad untuk tidak naik haji karena melihat orang yang mengabaikan pendidikan. Ia bergabung dengan sebagian orang yang meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahir. Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini pulalah yang menyebabkan orang sampai batamat sambahiyang. Mereka mengatakan bahwa ritus-ritus itu hanya wahana saja untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Ketika mereka menyatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim itu, dalam tasawuf, disebut ‘ujb (merasa kagum dengan diri sendiri). Iblis jatuh karena itu.

Ritualisme sama ekstremnya dengan subtansialisme. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagaimana AlLah (Dialah Yang Lahir dan Yang Batin – QS 57:3), seorang Muslim menjalankan dimensi keberagamaan yang lahir dan yang batin sekaligus. 


*) teks-teks tersebut oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hadits dan digunakan dasar pelaksanaan maulid Nabi. Otentisitas teks-teks tersebut tidak memenuhi standar baku sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Dengan demikian, teks-teks tersebut termasuk dalam hadits maudhu atau palsu!

No comments:

Post a Comment