Monday, July 7, 2014

Sebab-sebab Merosotnya Suara PKS di HSS pada Pemilu 2009

MESKIPUN perhitungan suara hasil Pemilu 2009 masih berjalan dan belum ada data resmi dari KPU Kabupaten HSS, setidaknya sampai tulisan ini saya buat, tapi jumlah kursi dari setiap partai sudah bisa diperkirakan. PKS yang pada Pemilu 2004 lalu memiliki suara terbanyak dengan jumlah kursi tujuh, pada Pemilu tahun ini hampir bisa dipastikan hanya akan memperoleh lima kursi. Itu artinya PKS kehilangan dua kursi, dan target yang ingin dicapai PKS sebanyak 16 kursi menjadi jauh panggang dari api alias gatot atau gagal total. Ada beberapa sebab yang membuat suara PKS merosot pada Pemilu 2009 ini di HSS, saya mengambil beberapa sebab. Satu, tidak ada prestasi, baik spiritual (sebagai partai Islam) maupun sosial ekonomi dan politik – keculi beberapa. Katakanlah misalnya di bidang kehutanan. Bukankah Ardiansyah (Ketua DPRD – sekarang Wakil Bubati) adalah “Trade Merk” PKS di HSS selama ini, khususnya pada periode sebelumnya, dan Ja’far (Ketua DPRD sekarang), keduanya adalah sarjana kehutanan? Apakah ilmu-ilmu kesarjanaan mereka tersebut memang tidak pernah diaplikasikan atau memang kada tapakai? AlLahu’alam! Dua, suka mengklaim bahwa sejumlah “keberhasilan” pembangunan dan “prestasi” politik di HSS selama ini adalah sebagai hasil kerja PKS seorang diri. Seperti kenaikan PAD; santunan kematian; sumbangan untuk kesejahteraan khatib dan masjid; perda khatam Qur’an; pemenang Pilkada Bupati 2008, dan lain-lain. Hal ini jadi bomerang bagi PKS karena semua masyarakat HSS tahu bahwa “keberhasilan” dan “prestasi” itu adalah hasil kerja dan karya dari semua anggota DPRD HSS yang ada. Boleh jadi memang beberapa dari “keberhasilan” dan “prestasi” itu ide awalnya dari PKS. Tiga, mulai ditinggalkan kader militan dan massa fanatik. Karena kurangnya pembinaan? Atau karena kader dan massa mulai melek politik bahwa orientasi semua partai politik – apa pun azasnya, Islam atau nasionalis – selamanya yang terjadi adalah untuk tujuan politik kekuasaan. Tidak pernah terjadi kekuasaan politik dengan tujuan religius(itas) dan spiritual(itas) semata. Empat, masih memasang kader-kader lama sebagai caleg, yang justru selama duduk pada periode sebelumnya tidak terlihat prestasinya (kecuali berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi pribadi dan menaikkan berat badan si anggota legislatif karena awak pina sasain balamak), juga banyak mencomot figur-figur yang lebih dikenal karena ketokohan oleh simbol-simbol spiritual-tradisionalnya doang, bukan karena kualitas politik dan intelektual individunya. Lima, latah menggunakan “jampi-jampi agama” (menjual habib, maarak pawang agama, memelintir “teks-teks suci”, mempolitisir maulid, tarbang, jilbab, jenggot, dan lain-lain) sebagai komoditas dan mobilitas politiknya. Barangkali hal ini untuk menegaskan bahwa PKS adalah partai Islam, yang sesungguhnya – sebagaimana semua partai Islam lainnya – boleh saja disebut “cuma” sebagai partai anonim berbaju Islam. Untuk urusan agama, trik-trik semacam itu bisa jadi dapat mewujudkan terciptanya solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan partai dan politik. Dengan perilaku politik PKS yang doyan “mengekploitasi” dan “mengkomodifikasi” agama (baca: Islam) dan segala perkakasnya sebagai “jampi-jampi agama” itu, dalam istilah religiusitas-tradisonal Banjar, jadilah PKS akhirnya katulahan! Hehehe… Saya masih memiliki daftar yang cukup panjang. Tetapi, itulah sebab-sebab utama yang saya rasa paling mempengaruhi merosotnya suara PKS pada Pemilu 2009 ini di HSS. Sebab-sebab itu bisa saja berlaku untuk darerah-daerah lain di luar HSS. Bisa pula berlaku pada pemilu-pemilu mendatang, tentu jika PKS tidak segera melakukan evaluasi dan introspeksi. Tabik! Aliman Syahrani Pemerhati Politik Rukun Tetangga (RT) di Kandangan

Kritik Historis

JIKA sebuah ibadah didefinisikan sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh AlLah SWT., yang praktik dan penjelasannya ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw., maka ada banyak sekali ritual dan amalan dalam agama ini, yang, kalau ditinjau dari segi historis, sebenarnya kontradiktif (kalau tidak dibilang keliru sama sekali). Ritual dan amalan-amalan tersebut, karena oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai ibadah – yang saya maksud di sini adalah ibadah murni atau ibadah mahdah, maka dalam bahasa agama sendiri sebenarnya termasuk dalam katagore bid'ah atau inovasi terlarang. Dengan berpegang kepada definisi umum ibadah seperti di atas, sebuah ibadah harus memenuhi dua ketentuan dasar berikut: Pertama, ada perintahnya dari AlLah. Kedua, ada contoh dan penjelesannya dari RasululLah saw. Contoh dan penjelasan tersebut menyangkut cara, bentuk, waktu dan tempat. Tanpa adanya kedua ketentuan dasar tersebut maka sesuatu akan tertolak dikatakan sebagai sebuah ibadah. Berikut saya berikan satu contoh: Pada setiap selesai empat raka’at dalam shalat tarawih (shalat malam di bulan Ramadhan), sebagian saudara kita mengumandangkan seruan dan doa-doa berikut: 1. “Al khaliifah al awwal amiir al mu’miniina syayyiduna abu bakrini ashshidiqi tardahu ‘anhu.” 2. “Al khaliifah ats tsani amiir al mu’miniina syayyiduna umarubnu al khattab tardahu ‘anhu.” 3. “Al khaliifah as salis amiir al mu’miniina syayyiduna utsmanu al affan tardahu ‘anhu.” 4. “Al khaliifah ar rabi amiir al mu’miniina syayyiduna ‘ali al abi thalib karamAlLahu wajhah.” Seruan dan doa tersebut diperuntukkan kepada empat sahabat RasululLah yang utama, yang kelak masing-masing menjadi khalifah. Seruan dan doa tersebut dikumandangkan oleh imam atau seorang petugas dalam shalat tarawih, dengan suara cukup keras – bahkan nyaris berteriak – melalui pengeras suara. Untuk tiap-tiap seruan dan doa tersebut, dengan suara keras pula – dan nyaris berteriak juga – para jamaah serentak menyahut: “radiAlLahu anhu” untuk tiga sahabat pertama dan “karamAlLahuwajhah” untuk sahabat terakhir. Seruan dan doa tersebut tak pernah terpisahkan dari pelaksanaan shalat tarawih, yang barangkali memang dijadikan dan diyakini sebagai rangkaian dari shalat tarawih layaknya syarat dan rukun sebagaimana ibadah murni pada umumnya. Persoalannya, seruan dan doa-doa tersebut adalah ahistoris, tidak pernah dicontohkan dan dijelaskan oleh RasululLah saw. Berikut argumen saya: Fakta sejarah sudah sangat jelas menunjukkan, bahwa diangkatnya keempat sahabat utama tersebut sebagai khalifah adalah sesudah wafatnya RasululLah saw. Tidak pula ditemukan adanya riwayat yang menunjukkan bahwa RasuluLah saw. pernah menentukan urutan-urutan kedudukan para sahabat tersebut menjadi khalifah. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin RasululLah saw. menyertakan atau menetapkan sesuatu dalam ibadah hal yang belum ada di masa hidupnya. Dengan menggunakan fakta historis pula, saya justru jadi curiga. Jangan-jangan mereka – terutama para pemuka agamanya – yang melaksanakan ritual dan amalan agama yang ahistoris selama ini, seperti seruan dan doa pada setiap empat rakaat shalat tarawih misalnya, tidak belajar sejarah Islam dengan baik. Bahkan mungkin tidak belajar Islam dengan benar! AlLahu ’alam bis shawab.

Wednesday, July 2, 2014

Negara Islam Tidak Ada dalam Konsep Kemerdekaan Indonesia

DARI pembacaan saya terhadap beberapa studi historis tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, kesimpulan sementara yang dapat saya berikan adalah, bahwa berbagai peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang dan pendiri negara Indonesia yang kita sebut sebagai perjuangan kemerdekaan, bermula dari perlawanan terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan para penguasa. Mereka melakukan pemberontakan karena tidak tahan dengan pajak yang terlalu mencekik, atau karena penggusuran tanah yang semena-mena, atau karena lahan-lahan pertanian dikorbankan untuk kepentingan para pemilik modal besar, atau karena kekejaman aparat pemerintah. Tak pernah mereka berontak karena ingin mendirikan Negara Republik Indonesia. Konsep “bangsa” dan “negara” masih asing buat mereka, apalagi nasionalisme. Begitu tidak jelasnya konsep ini bagi kebanyakan pejuang Indonesia dan pemimpinnya, hingga dalam pidato lahirnya Pancasila, Bung Karno harus memberikan kursus singkat tentang kebangsaan. Ia mengutip para pakar ilmu politik dari Eropa bak sebuah kuliah di depan para mahasiswa baru. Buat kebanyakan ulama, yang waktu itu berada di garda depan dalam perlawanan terhadap Belanda, nasionalisme dipahami sangat samar-samar. A. Hasan menuding nasionalisme sebagai ‘ashabiyyah. Bila orang berjuang untuk nasionalisme, ia mati jahiliah. Polemik pun bergulir antara tokoh nasionalisme dan para ulama Islam – dimulai dari debat ideologis antara A. Hasan dan Bung Karno. Kalau begitu, apakah para pemimpin Islam berjuang untuk mendirikan negara Islam? Tidak juga. Konsep “negara” saja sudah samar-samar, apalagi negara Islam. Konsep negara Islam baru hangat diperbincangkan, dianalisis, dijelaskan, setelah Konstituante terbentuk. Dalam hal ini pun, tak ada kesepakatan di antara para ulama Islam. Jadi, sudah dapat dipastikan, ketika Pangeran Diponegoro menaiki kuda dalam jubah putihnya, atau ketika Imam Bonjol bersama para ulama meledakkan perang bertahun-tahun, atau ketika para ulama Aceh memimpin Perang Sabil, atau ketika Ajengan Zaenal Mustafa dari Tasikmalaya melawan Jepang, atau ketika Pangeran Samudera yang diislamkan oleh Chatib Dayyan dari Demak,*) dengan semangat waja sampai ka puting memerangi Belanda di tanah Banjar, ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan gerakam Muhamamdiyah pada tanggal 8 Nopember 1912, ketika KH hasyim Asary memebentuk Nahdlatul Ulama pada tahun 1923, tidak terpikir pada benak mereka upaya untuk mendirikan negara Islam. Mereka juga belum merumuskan bagaimana sistem pemerintahan yang mereka jalankan: presidentil, kerajaan, parlementer, teokrasi, aristokrasi, monokrasi, atau demokrasi. Mereka juga berjuang bukan untuk mengusir orang asing semata. Mereka melawan orang asing itu karena mereka melakukan penindasan, kezaliman, dan kekejaman. Siapa saja yang berbuat zalim, tak peduli warna kulitnya, mereka lawan. Dalam banyak hal, mereka menentang bahkan sesama bangsa, seperti ketika Amangkurat I membunuhi para ulama di alun-alun. Alih-alih konsep-konsep yang abstrak, yang mengilhami para pejuang kita adalah peribahasa sederhana: Raja adil, raja disembah; raja lalim, raja disanggah. Dalam sejarah Islam sendiri dapat kita jumpai, bahwa ketika Nabi Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian. Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa risalah agama, tidak lebih dari itu. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Muhammad terpilih berdasarkan wahyu, Abu Bakar diangkat dengan sistem perwakilan kabilah (semacam DPR sebelum reformasi), Umar mendapat kekuasaan karena diwariskan Abu Bakar, Ustman diangkat dengan mekanisme formatur (tiap suku dan kabilah mengirimkan utusan untuk dipilih), Ali ditetapkan berdasarkan hasil pemungutan suara rakyat (seperti sistem pemilu langsung di masa reformasi sekarang). Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis keturunan, sistem dinasti. Yang terakhir ini tidak jarang dijalankan dengan cara pembunuhan dan pertumpahan darah. Sebelumnya, tiga dari empat khalifah pertama (Umar, Ustman dan Ali) tewas terbunuh oleh rival politik masing-masing karena urusan politik. Praktek negara khilafah sendiri sebenarnya tidak “secemerlang” seperti yang dikira oleh para penyokong ide itu. Banyak “khalifah” dalam dinasti-dinasti Islam masa lampau yang bertindak otoriter, despotik, dan kejam. Sebagaimana dalam sejarah negara-negara kuno, pertumpahan darah selalu menandai peralihan kekuasaan dari satu dinasti Islam ke dinasti yang lain. Secara historis bentuk kekuasaan politik dalam masyarakat Muslim memang terus berubah. Kita tidak memungkiri fakta mengenai pernah terbentuknya komunitas politik dalam Islam, namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh syariah. Kekhalifahan yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah semata. Untuk urusan agama sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik. Dalam menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan Rasul di Madinah adalah upaya menegoisasikan antara nila-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-of antara “yang universal” dengan “yang partikular”. Umat Islam mesti terus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Sebab, “Islam”-nya Rasul di Madinah hanyalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Konsep ijtihad pemikiran semacam inilah yang barangkali turut mewarnai lahirnya Surat Pernyaataan antara PB Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah saat menyambut Tahun Baru Islam 1427 H lalu. Pada point 4 disebutkan: “PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama menyerukan agar pelaksanaan syariat Islam di bumi Indonesia dilakukan secara Indonesiawi, melalui sistem dan tata hukum yang berlaku di Indonesia. Keinginan untuk meletakkan agama secara berhadapan dengan negara serta meletakkan kekuasaan negara secara berhadapan dengan agama harus ditinggalkan jauh-jauh. Umat Islam Indonesia justru sangat berkepentingan terhadap lestarinya Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.” **) Jauh dalam kerak sejarah, kita menemukan konsep Ratu Adil. Konsep itu akrab bukan saja dengan para pemikir yang tercerahkan, tetapi juga dengan rakyat kecil yang mencabuti patok-patok kayu di halaman Pangeran Diponegoro. Entah bagaimana, dalam perjalanan sejarah, sesuai dengan kemajuan zaman, konsep Ratu Adil kini teronggok dalam museum antropologi untuk mengacu kepada pemikiran bangsa-bangsa “primitif.” Lalu, kita sibuk mendiskusikan konsep nasionalisme, negara Islam, khilafah, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lain. Pembicaraan kita makin jauh dari kamus rakyat kebanyakan. Wacana kita menjadi eksklusif dan eletis. Kita sendiri makin lama makin tidak mengerti apa yang kita bicarakan. Tetapi, dalam benak rakyat yang tertindas, ketidak-adilan tidak lagi menjadi konsep yang abstrak. Ketidak-adilan adalah kenyataan hidup yang mereka rasakan. Kita, umat Islam Indoesia, tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan. Ada di antara kita yang mati-matian ingin mendirikan negara Islam dan khilafah tanpa dengan jelas menegaskan makhluk yang bernama negara Islam dan khilafah itu. Mereka mau mengajukan syariat Islam sebagai alternatif bagi kehidupan hukum kita yang dianggap bobrok. Tapi dia ibarat menyodorkan kucing dalam karung. Kita tidak pernah tahu, kucingnya warna apa dan bulunya seperti apa. Ada juga yang mengatakan bahwa kita harus menempatkan umat Islam (baca: aktivis Islam dan partai Islam) pada posisi-posisi yang strategis. Ada juga yang berjuang sederhana saja: bagaimana caranya agar orang-orang Islam rajin salat, haji, umrah, dan ngaji. Karena tidak sepakat tentang apa yang kita perjuangkan, maka berbeda-bedalah pandangan kita tentang situasi Islam di Indonesia hari ini. Yang memperjuangkan negara Islam dan khilafah sebagiannya terus terbuai dalam mimpi-mimpi jelaga dan romantisme sejarah, sementara sebagian yang lain tampaknya sudah meninggalkan garis perjuangannya. Tidak realistis. Yang menginginkan posisi strategis kini tengah mensyukuri keberhasilan perjuangan mereka karena sudah menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Yang ingin memasyarakatkan ritus-ritus Islam jelas kini melihat kebangkitan Islam di Indonesia. Mengapa kita tidak berbicara dengan bahasa yang dipahami semua orang? Mengapa kita tidak berbicara tentang apa yang dirasakan banyak orang? Mengapa kita tidak merujuk pada yang dirujuk para pejuang pendahulu kita atau pada gagasan yang disimpan dalam hati rakyat kecil sepanjang sejarah? Siapa di antara kita yang tidak setuju dengan “Ratu Adil?” [] *) Peristiwa itu terjadi sekitar empat setengah abad lebih yang silam. Pengislaman itu sendiri tepatnya dilaksanakan pada 6 September 1526. Delapan belas hari sesudahnya, Sultan Suriansyah wafat dan dimakamkan di Kuin Cerucuk, Kecamatan Banjarmasin Utara. Hari itu dianggap sebagai hari jadi Kotamadya Banjarmasin, 24 September 1526. **) Berita Resmi Muhammadiyah No.02 Tahun 2006. Rabiul Akhir 1427 H / Mei 2006 M diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah hal.4

Palestina, Rumit di Sana, Rumit di Sini

Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.” TOLONG bacakan Laa ilaha ilalLah AlLahu Akbar + surah Al-Ikhlas 3x untuk keselamatan Masjid Al-Aqsa dan umat Islam yang ada di Palestina yang jam ini sedang dikepung dan diserang Israel dan sekutu Amerika, Zionis dan Kristen yang anti Islam (orang-orang kafir). Sms-kan kepada 10 orang sebagai partisipasi jihad Anda. “Allahu Akbar!”. Akhir-akhir ini saya banyak menerima layanan pesan pendek (short missage service) semacam itu. Entah dari mana sumbernya sms-sms itu, tapi barangkali erat kaitannya dengan persoalan konflik yang melanda Palestina saat ini. Padahal dari berita-berita media massa saya juga belum mendengar ada pemintaan resmi baik dari pemerintah Palestina maupun dari rakyat Palestina sendiri yang menyatakan bahwa mereka memerlukan ”paket” berupa tahlil, surah al-Qur’an atau pekik takbir dan jihad tersebut. Saya bahkan dengan sedikit nakal menduga, jangan-jangan sms tersebut justru berasal dari salah satu operator jaringan selular di Indonesia untuk tujuan keuntungan finansial. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah hubungan Palestina dengan umat Islam di Indonesia? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dari segi geografis, Indonesia dipisahkan oleh jarak ribuan mil dari tanah yang menjadi kelahiran para nabi itu. Tetapi, dari segi ”ikatan batin”, ada semacam hubungan psikologis yang begitu mendalam antara umat Islam di sini dan kejadian-kejadian yang berlangsung di sana. Setiap masalah Palestina muncul ke permukaan, resonasinya sudah barang pasti akan berimbas ke negeri kita, dalam satu dan lain bentuk. Menarik untuk dipersolakan: kenapa respon terhadap masalah Palestina hanya datang dari segelintir umat Islam di Indonesia. Jika soal Palestina dipersepsikan oleh umat Islam di sini sebagai masalah antara hak bangsa Palestina yang ”muslim” dan perampasan atas hak tersebut oleh orang Yahudi yang ”nonmuslim”, mengapa hanya satu lapis kecil saja dari umat Islam Indonesia yang bangkit melakukan protes? Jika soalnya adalah antara ”Islam” dan orang kafir (baca: Yahudi, yang disokong negara-negara Barat, yakni Amerika), kenapa tidak seluruh umat Islam ikut terlibat dalam aksi-aksi itu? Aksi-aksi solidaritas Palestina yang berlangsung akhir-akhir ini di berbagai pelosok Tanahair, khususnya di Jakarta sebenarnya hanya diikuti oleh sebagian kecil dari umat Islam di Indonesia. Bahkan, mereka yang ikut dalam aksi-aksi itu pun tidak bisa menggambarkan seluruh keragaman umat Islam yang ada di Indonesia. Walhasil, mereka ini hanyalah secuil dari seluruh umat Islam yang begitu beragam. Jumlah mereka pun tidak cukup signifikan. Ini menggambarkan bahwa soal Palestina sudah tentu dilihat secara berbeda-beda oleh umat Islam di sini. Soal Palestina, sudah pasti, tidak sekadar dilihat sebagai penghadapan antara ”Islam” dan ”nonIslam”. Jika itu soalnya, akan dengan mudah umat Islam ”dimobilisasi” untuk isu tersebut. Yang menarik adalah, mereka yang paling bersemangat mengangkat isu Palestina itu bukan dari kelompok Islam ”arus utama”. Terus terang, saya tidak punya data yang cukup untuk mendukung pernyataan ini. Tetapi, sekilas melihat tokoh-tokoh dan massa yang ikut dalam aksi-aksi solidaritas Palestina ini, tampak bahwa mereka bukan dari kelompok umat Islam utama, yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, dan lain-lain. Besar kemungkinan, ada perorangan dari ormas-ormas tersebut yang turut dalam aksi-aksi itu. Tetapi, secara kelembagaan, tidak terdapat suatu tanda bahwa masalah Palestina adalah agenda yang penting buat mereka. Ini bukan saja berlaku sekarang. Tetapi, jika kita menoleh ke periode-periode sebelumnya, soal Palestina bukanlah agenda yang cukup penting buat ormas-ormas besar Islam di Indonesia. Jika kita telisik lebih dalam, soal Palestina sebagaimana ”dipersepsikan” oleh sebagian umat Islam Indonesia ternyata lebih menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri ketimbang mencerminkan masalah Palestina yang sesungguhnya sebagaimana terjadi di Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem. Boleh jadi sangat sedikit dari para peserta aksi solidaritas itu yang tahu kompleksitas dan keruwetan, baik dalam tubuh bangsa Palestina maupun Israel, serta hubungan antara mereka. Lebih sedikit lagi yang memahami bagaimana proses perdamaian itu sendiri, ketika kepentingan-kepentingan politik para tokoh lebih menonjol ketimbang bangsa yang mereka wakili. Boleh jadi orang-orang Islam di sini memahami kunjungan Ariel Sharon ke Haram El Syarief (lebih tepatnya: El Haram El Syarief, sebagaimana orang Palestina sendiri menyebutnya) beberapa waktu lalu, yang menandai periode baru dalam konflik Arab-Israel, sebagai semata-mata cerminan sikap orang Yahudi konservatif, dan tidak membayangkan bahwa hal itu adalah bagian dari persaingan antara Ariel dan Ehud Barak, rival politiknya. Soal Palestina biasanya memang menjadi agenda kelompok-kelompok tertentu dalam umat Islam. Jelas sulit untuk menyebutkan kelompok mana, tetapi yang jelas bukan bagian dari ”arus utama” umat Islam. Sebagian ada yang menyebut mereka ini sebagai kelompok Islam ”garis keras” (sekeras apa, juga sulit dijelaskan). Mereka inilah yang biasanya menjadikan isu-isu dalam dunia Islam sebagai salah satu agenda penting. Isu-isu seperti Afghanistan, Bosnia, Chechnya, minoritas Moro, Irak, dan terakhir Palestina biasanya menjadi masalah yang penting buat mereka. Ada kecenderungan, bahkan, bahwa isu-isu itu menjadi semacam ”identitas” yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain dalam umat Islam. Bahkan boleh jadi pula ada dari kelompok aski solidaritas itu yang memanfaatkan momen-momen tersebut untuk kepentingan politis kelompok mereka sendiri. Taruhlah misalnya untuk menarik simpati massa guna mendulang suara pada tiap helatan Pemilu atau Pilpres 2014 nanti. Indikasi ini bisa kita kemukakan karena ada saja dari kelompok massa dalam aksi solidaritas itu yang sempat-sempatnya membawa atribut salah satu partai politik. Ibarat pribahasa, ”sambil menyelam minum dukungan”. Setiap kelompok umat Islam biasanya mempunyai ”wilayah keprihatinan” (are of concern) yang berbeda-beda. Isu mengenai ”pemberdayaan masyarakat sipil”, misalnya, mencirikan satu kelompok tertentu dalam umat, dan hampir mustahil isu ini akan disuarakan oleh kelompok lain. Kelompok-kelompok dalam umat Islam yang lebih tertarik pada isu-isu hak asasi dan pluralisme biasanya kurang suka dengan isu Palestina ini, atau sekurang-kurangnya kurang menganggapnya sebagai agenda yang penting. Yang juga patut dipersoalkan adalah cara sekelompok umat Islam di sini mempermasalahkan isu Palestina. Apakah masalah Palestina dianggap sebagai melulu soal ”Islam” dan ”Yahudi”/Barat, atau soal ketidakadilan yang bisa berlaku universal? Tampaknya, yang lebih menonjol di Indonesia, masalah Palestina lebih dipersepsikan sebagai masalah ”Islam” versus ”Barat”, yakni masalah ”identitas kultural dan politik”. Sedangkan masalah ketidakadilan kurang diproblematisasi di sana. Itulah sebabnya pertanyaan patut diajukan kepada kelompok-kelompok umat Islam yang lebih menyukai isu-isu ketidakadilan: kenapa mereka kurang tertarik pada isu Palestina; apakah bedanya ketidakadilan bagi masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, dengan di Palestina, toh ketidakadilan sebagai ”nilai” adalah tembus ruang dan waktu. Tetapi, pertanyaan serupa juga pantas diajukan kepada kelompok-kelompok yang ”asyik” dengan soal Palestina: kenapa mereka hanya membela bangsa Palestina yang diperlakukan tidak adil oleh Israel; kenapa mereka tidak mengajukan protes ketika orang-orang Papua juga diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh pemerintahan pusat. Bahkan, jika soal kesamaan agama menjadi penting di sini, kenapa soal Aceh kurang menempati agenda yang penting dalam ”wilayah keprihatinan” mereka? Agaknya, Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan. Sebagaimana Palestina ”rumit” di sana, ia juga ”rumit” di sini. ψ

Monday, June 30, 2014

Perbedaan Pendapat dan Kebebasan Berfikir

“SAYA dalam keadaan junub dan tidak ada air,” kata seorang laki-laki kepada Umar bin Khathab. Maksud kedatangan laki-laki itu adalah untuk menanyakan, dengan keadaanya itu, apakah ia harus salat atau tidak. “Jangan salat,” jawab Umar yakin. “Sampai engkau mendapatkan air.” Ammar bin Yasir yang menyaksikan pembicaraan itu berkata kepada Umar bin Khathab, “Tidakkah Anda ingat, Umar. Dulu, engkau dan aku pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah, kemudian salat. Aku sampaikan kejadian ini kepada RasuluLah saw, dan beliau berkata, ‘cukuplah bagi kamu berbuat demikian.’ ” Mendengar penuturan Ammar, dengan keras Umar menegur, “Ya Ammar, takutlah kepada AlLah!” “Ya Amir al-Mu’minin,” kata Ammar kemudian, “Jika engkau menghendaki, aku tidak akan menceritakan hadis ini selama engkau hidup.” Mengomentari hadis ini, Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Yang dimaksud Ammar, ‘aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini daripada meriwayatkannya. Aku setuju denganmu (Umar), dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak salah.’ ” Sejak itu, Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya – bahwa orang yang sedang junub, bila tidak ada air untuk mandi, tidak perlu salat, sampai mendapatkan air. “Wa hadza madzhab masyhur’ an ‘Umar,” kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali AbdulLah bin Mas’ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan AbdulLah bin Mas’ud dengan Abu Musa al-Asy’ari tentang kasus ini pada hadis No. 247. Abu Musa menentang pendapat AbdulLah – sekaligus mazhab Umar – dengan mengutif ayat “jika kalian tak mendapat air, hendaklah tayamun dengan tanah yang baik”. Menarik untuk dicatat bahwa kelak, dengan merujuk kepada ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar. Peristiwa yang baru saya kutif di atas menunjukkan, bahwa perbedaan pendapat (paham) dalam menyimpulkan ketentuan hukum (istinbath) sudah ada sejak para sahabat. Sahabat adalah orang yang sezaman dengan RasululLah saw. Mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung penjelasan Nabi saw. Toh, dalam situasi seperti itu pun mereka sudah bertikai pendapat. Dapat dibayangkan pada para ulama yang datang kemudian. Mereka bukan saja berbeda dalam memahami nash (al-Qur’an dan hadis), tetapi juga berbeda dalam memahami perilaku sahabat, di samping berbeda dalam memilih sahabat yang diikuti. Abu Hanifah, misalnya, memilih pendapat Umar. Para imam mazhab yang lain memilih sahabat yang lain lagi. Karena perbedaan pemahaman inilah, lahir ketentuan hukum yang berbeda. Terlalu banyak contoh dalam kasus ini untuk disebutkan, dari yang berifat ushul (pokok) sampai kepada yang furu’ (cabang) dalam Islam. Lebih-lebih lagi dalam lingkup fikih Islam. Sebagai rujukan, para peminat fikih Islam bisa mengkaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah yang ditulis oleh Muhammad Jawad Mughniyyah. Kitab ini menghimpun pemahaman atau pendapat para ulama dari lima mazhab: Imamiyyah, Hanafi, Maliki, Fyafi’i, dan Hanbali. Juga, silakan kaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ah karangan Al-Azairi. Meskipun kitab ini hanya menghimpun pendapat para ulama dari empat mazhab di kalangan Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Tentu masih ada kitab-kitab lainnya. Pengkajian terhadap kitab-kitab semacam itu sangat bermanfaat. Kita bisa membandingkan berbagai pendapat dan argumen tentang suatu masalah. Pendapat-pendapat itu juga bisa dijadikan rujukan ketika memecahkan masalah-masalah fikih kontemporer. Di samping itu, para peneliti hukum Islam dapat memberikan sumbangannya di atas kontribusi para ulama sebelumnya. Dengan demikian, tradisi para ulama fikih sebelumnya dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ilmu menjadi akumulatif, sehingga tidak jumud. Dasar-dasar hukum Islam boleh jadi sudah baku, tetapi tidak lantas jadi beku. Hukum Islam menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian, paling penting dari semuanya, fikih dengan pendekatan komparatif dapat menumbuhkembangkan saling pengertian di antara berbagai mazhab. Kebebasan Berpikir Di samping perbendaan pendapat, kebebasan berpikir – yang kemudian melahirkan kebebasan menafsir – juga sudah menjadi niscaya dan fakta tak terelakkan dalam sejarah pemikiran Islam. Itu terjadi pula dari sejak zaman sahabat dan makin berkembang pada generasi-generasi ulama yang datang belakangan. Ribuan tafsir dari pelbagai sudut pendekatan ditulis oleh ulama. Ada tafsir yang liberal ada yang literal. Ada tafsir yang tekstual ada yang kontekstual. Ada tafsir dengan pendekatan sufi yang sangat "bebas" dan ada tafsir "bil ma'tsur" a la "al-Durr al-Mantsur" yang sangat taat dengan pemahaman harfiah. Ribuan tafsir itu tak mungkin ditulis jika tidak ada kebebasan berpendapat dan berpikir dalam Islam. Yang sering membuat saya kaget, umat Islam sekarang, yang umumnya tak belajar tradisi pemikiran Islam yang kaya, tiba-tiba membenci kebebasan berpikir. Ada-ada saja alasannya. Salah satu alasannya: kebebasan berpikir itulah yang menyebabkan Iblis terjatuh dan sesat. Sebab Iblis memakai pikirannya sendiri dan menolak perintah Tuhan. Argumen ini sudah pernah dipakai oleh para ulama dahulu yang menentang penggunaan qiyas atau silogisme, tetapi toh ulama lain tak terpengaruh dengan pendapat ini, dan tetap menganggap qiyas sebagai salah satu asas penting dalam istinbath hukum. Alasan lain yang paling populer, dan tampaknya di sinilah umat Islam sering terjatuh, adalah bahwa jika kebebasan berpikir dibiarkan, maka orang akan cenderung kebablasan. Dalam banyak kesempatan dialog, saya kerap disuguhi pertanyaan berikut: Apakah demi kebebasan berpikir "seks bebas" dihalalkan? Apakah demi kebebasan, cara-cara ibadah dengan bunuh diri massal diperbolehkan? Kalau semua pendekatan kepada Tuhan adalah sah, apakah cara "gila" yang ditempuh oleh sekte seperti "Ranting Daud" itu absah? Dan seterusnya. Saya sungguh heran dengan tanggapan semacam ini. Sejauh pengetahuan saya, orang-orang yang berjuang untuk tegaknya kebebasan pikiran, baik di Barat atau di Timur, tidak pernah berpikir bahwa hal itu untuk menghalalkan "seks bebas". Yang patut dicurigai adalah, kenapa soal seks begitu mengganggu pikiran umat Islam, misalnya. Apakah mereka begitu "ngeres" pikirannya, sehingga dipenuhi dengan seks melulu? Kenapa hal yang pertama terlintas di pikiran rekan dialog saya begitu mendengar soal "kebebasan berpikir" adalah soal seks? Apakah mereka mempunyai masalah dalam hal ini (maaf)? Semua agama, bukan hanya Islam, mengharamkan zina. Semua agama mengharamkan pembunuhan, pencurian, berbohong, menipu, bersikap tak hormat pada orang tua, dan seterusnya. Apa yang dalam tradisi Yahudi disebut sebagai "Sepuluh Perjanjian" (Ten Commandement) adalah merupakan ajaran-ajaran yang universal, bukan saja dalam agama Yahudi tetapi juga Islam dan agama-agama lain. Praktek-praktek penyembahan agama yang melanggar prinsip itu, akan dengan sendirinya ditolak oleh agama-agama besar. Di negara-negara yang menjunjung tinggi pemikiran yang bebas, pencurian dan pembunuhan tidak dengan sendirinya halal demi kebebasan berpikir. Di sinilah saya percaya, bahwa akal manusia dan wahyu Tuhan sebetulnya bertemu dalam satu titik. Dalam istilah yang lain saya ingin menyebut, bahwa akal adalah fakultas wahyu. Dengan akallah kemudian wahyu “disaring”, dimaknai dan diberlakukan. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taymiyah sebagai "Muwafaqat Sharihil Ma'qul li Shahihil Manqul". Bagaimana jika wahyu dan akal bertentangan? Saya mengikuti pendapat Ibn Rushd, seorang filosof dan ahli fikih dari abad 13 M, dalam "Fashl al Maqal Fi Ma Baina al Hikmati was Syariati min al Ittishal". Menurut dia, jika ada pertentangan antara keduanya, maka wahyu harus ditakwil. Tetapi, hal ini harus dilihat dengan cermat. Tidak semua pendapat akal manusia dengan sendirinya sah. Hanya pendapat yang dalam istilah Ibn Taymiyah disebut "sharih", pendapat yang dilandasi dengan argumen yang kokoh, dan bukan sekadar memperturutkan hawa nafsu belaka, yang dapat dipertimbangkan. Apa pendapat yang "sharih" itu? Ibn Rushd sendiri tidak menetapkan suatu ancar-ancar. Bagi saya, ancar-ancar itu tidak ketat, kaku, sebab pada akhirnya yang menentukan sebuah pendapat masuk akal dan tidak adalah kalangan cerdik pandai sendiri. Ibn Rushd sendiri sudah mengatakan dalam "Bidayat al Mujtahid" bahwa "al nushush mutanahiyah wa al waqai' ghairu mutanahiyah", teks-teks agama dan wahyu terbatas jumlahnya, sementara situasi sosial terus berubah. Bagaimana mungkin, kata Ibn Rusdh, sesuatu yang terbatas akan mengatasi yang tak terbatas. Di situlah akal manusia dan kebebasan berpikir diperlukan. Lantas, dengan argumen kebebasan berpikir, apakah wahyu menjadi demikian relatif, subjektif, tidak ada batasan antara yang “haq” dan yang “bathil”? Jelas masalah itu ada. Yang menjadi soal adalah orang-orang, atau kelompok-kelompok, yang mudah "membathilkan" pandangan orang-orang yang berbeda pendapat. Mereka menyebut seseorang atau kelompok lain dengan bathil? Atas dasar apa? Atas dasar kutipan ayat dan hadis yang berhamburan dengan seenaknya? Apakah kalau sudah mengutip ayat lalu selesai? Bukankah ayat bisa ditafsirkan tidak hanya dengan satu makna dan cara? Ambil contoh ayat berikut ini. Ada ayat yang berbunyi, "La tudrikuhul abshar wa huwa yudrikul abshar wa huwal lathiful khabir". Ayat itu, kira-kira, isinya adalah bahwa Tuhan itu begitu lembut sehingga tak bisa dilihat oleh mata. Oleh karena itu, manusia tak akan bisa melihat Tuhan, meskipun di surga. Atas dasar ayat inilah kaum Mu'tazilah menolak kemungkinan manusia melihat Tuhan di surga. Tetapi ada ayat lain, "Wujuhun yauma-idzin nadhirah, ila rabbiha nadlirah". Ayat itu kira-kira isinya adalah bahwa orang-orang yang beriman, di surga nanti, akan melihat Tuhan. Atas dasar inilah kaum Asyariyyah berpendapat bahwa manusia mungkin melihat Tuhan di surga. Bagaimana mendamaikan antara kedua ayat itu? Kaum Mu'tazilah pakai ayat. Kaum Asyariyah pakai ayat. Mana yang benar? Intinya, belum tentu kalau kita memakai ayat dan hadis dengan sendirinya kita sudah bisa menyudahi diskusi dan menuduh yang lain salah, sesat, bathil, murtad, kafir, dan seterusnya. Saya mengakui adanya yang "haq" dan yang "bathil". Tetapi saya, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan saya tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat lain. Yang saya lakukan hanyalah mengkritik, tetapi saya tidak akan pernah sampai pada kesimpulan bahwa pendapat lawan saya bathil, kecuali jika pendapat itu jelas-jelas melawan akal sehat. Kalau ada orang berpendapat bahwa membunuh adalah halal, jelas itu batal, dari sudut pandang apa pun. Tetapi saya tidak akan mengatakan bahwa cara beribadah kaum “literal” dan “liberal” adalah batal. Dalam menghukumi sesuatu "bathal" atau "haq", saya harus memakai dua instrumen: wahyu dan akal. Tidak bisa hanya dengan wahyu. Oleh karena itu, saya keberatan sekali dengan tindakan ceroboh seseorang atau kelompok yang mengobral ayat dan hadis, tetapi mengabaikan penalaran akal sehat. Ala kulli hal, apa yang saya tulis ini pun belum tentu benar. Sebab hanya Yang Maha Benar lah yang tahu mana yang benar mana yang salah. Saya hanya berusaha untuk benar. []

Memoar Luka Anak Batu

“Sejarah adalah penyulingan bukti-bukti yang berhasil selamat dari masa lalu.” (Oscar Handlin, Truth in History, 1979). NAMAKU sewaktu kecil adalah Angli. Saat remaja aku berganti nama menjadi Haderi. Aku dilahirkan di desa Ambutun, sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tak ada yang mencatat kapan persisnya tanggal dan tahun lahirku, yang jelas aku lahir pada masa pejajahan Belanda. Nama ayahku Umar, asli orang Ambutun, sedang ibuku berasal dari suku Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya di Puruk Cahu. Saat beranjak dewasa dan sudah ikut dalam perjuangan melawan pejajajah Belanda aku menggunakan nama Ibnu Hadjar, nama yang kuambil dari nama seorang ulama besar Islam. Aku juga sering dipanggil dengan sebutan Abah Basar. Sejak kecil aku dikenal kawan-kawan sebayaku sebagai anak yang pemberani. Sehari-hari aku membantu orang tuaku bercocok tanam dan berburu ke hutan di kawasan Ambutun, Telaga Langsat, Padang Batung dan sekitarnya. Oleh orang tuaku, aku dididik dengan keras dan disiplin ketat, aku juga banyak diajari ilmu keagamaan, yaitu agama Islam. Oleh ibuku, aku bahkan diajarkan beberapa ilmu kanuragan yang berasal dari suku Dayak. Saat beranjak dewasa aku tumbuh menjadi anak yang alim dan pemberani. Saat mulai dewasa itulah jiwa nasionalismeku tumbuh. Aku turut ambil bagian dalam membela tanah airku dari kekuasaan penjajah Belanda. Untuk mewujudkan keinginanku itu, aku bergabung bersama pejuang kemerdekaan lainnya, di antaranya yang jadi partnerku adalah Hasan Basry. Aku dikenal sebagai prajurit yang pintar dan pemberani. Aku juga sangat menguasai taktik perang gerilya dan pengausaan medan. Karena keberanianku, dalam setiap peperangan, aku selalu berada di garis depan. Karena peranku itu, aku termasuk dari sekian pejuang yang sangat menyusahkan dan ditakuti Belanda. Maka oleh pemerintah Bepanda saat itu aku dianggap sebagai tokoh pejuang yang sangat berbahaya. Karena prestasiku itulah maka aku menjadi tokoh dan komandan pejuang bersama Hasan Basry sampai masa kemerdekaan. Jadi, aku adalah termasuk salah seorang pejuang yang turut mempertautkan kembali Kalimantan setelah “dibuang” oleh elit politik dari haribaan Bunda Pertiwi. Aku juga merupakan salah seorang yang paling banyak menjalankan operasi militer ALRI Divisi IV dan kontak senjata langsung dengan pasukan Belanda. Tak terhitung lagi aksi heroik dan baku-tungkih yang kami lakukan dalam merebut dan mempertahankan kedaulatan Republik ini. Tak terkira lagi upaya kami berjuang mempertahankan hidup dari pelor-pelor panas senjata Belanda saat beradu tembak dalam sekian peperangan. Sepanjang masa revolusi fisik itu, aku dan kawan-kawan seperjuangan tidak lepas untuk selalu memompa semangat juang yang kami miliki dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Tanah Air dari penjajah di negeri ini. Semangat kami untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan tersebut dilandasi oleh semangat jihad. Di dada kami, khususnya aku, telah terpatri amanah jihad yang dikumandangkan oleh para ulama dan tuan guru. Kami selalu dengan gagah berani turun ke medan laga dan angkat senjata dengan satu tekad: menang dalam bertempur dan hidup terhormat, atau gugur berburai darah dan mati sebagai syuhada. Perjuangan tanpa pamrih yang dilandasi oleh kewajiban jihad sebagai seorang muslim tersebut, memberikan motivasi yang demikian membaja dalam diri kami. Kami bergerilya melintasi hutan belantara Meratus yang rimba, merajang tentara penjajah, dan juga menghumbalangkan bangsa sendiri yang rela sebagai antek-antek koloni. Tahun 1949, era perjuangan fisik telah usai. Namun berakhirnya revolusi fisik Indonesia tidak serta merta menyelesaikan masalah. Di antaranya dipicu oleh banyaknya alumnus gerilyawan yang tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan TNI, kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memarginalkan mereka. Padahal, sebelumnya, mereka adalah bagian dari revolusi berdarah ketika mendirikan Republik ini. Mereka kemudian malah disebut sebagai “bandit-bandit revolusi.” Salah satu dari pejuang kemerdekaan yang memaklumatkan perlawanan dengan menyandang senjata adalah aku, Ibnu Hadjar alias Angli alias Haderi alias Abah Basar. Aku sangat kecewa dengan rasionalisasi tentara yang dicanangkan oleh Hatta dan didukung Nasution – mantan perwira KNIL (antek-antek Belanda di masa perjuangan) yang menginginkan sebuah keanggotaan tentara profesional. Saat itu pemerintah Indonesia mulai menyusun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka, dan saat itu pulalah mulai muncul berbagai gesekan dan persoalan. Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kandangan, dilaksanakan Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949. Reorganisasi militer dan penerapan kebijakan politik yang dilakukan para Pemimpin TNI kala itu nyaris tanpa dialog yang akhirnya memang banyak menelan korban dan mencuatkan perasaan ketidakadilan, baik dari pejuang di daerah ini maupun penjuang di beberapa daerah lain. Para pejuang kemerdekaan seperti kami yang telah mempertaruhkan nyawa melawan penjajah dihadapkan pada posisi dan pilihan yang sulit. Di satu pihak kami sudah terbiasa berinteraksi dalam suatu kelompok yang menerapkan aturan-aturan yang bersifat familiar. Pada pihak lain, reorganisasi militer menghendaki adanya penjenjangan dan aturan disiplin yang ketat. Aku tahu kebijakan untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi militer itu memang sangat mendesak mengingat banyaknya kelompok-kelompok bersenjata dari para pejuang. Mereka memang harus dilebur menjadi suatu organisasi militer yang baik dan modern. Program TNI untuk melebur kelompok-kelompok bersenjata seperti yang kami miliki ke dalam organisasi militer, mengharuskan adanya ukuran dan kriteria sebagai dasar penyusunan organisasi militer yang baru. Kriteria personal yang diterapkan saat itu antara lain adalah latar belakang pengalaman pelatihan kemiliteran dan jenjang pendidikan. Dua kriteria ini merupakan satu-satunya pilihan yang rasional dan proporsional. Namun kriteria tersebut ternyata membuat posisi TNI sendiri berada dalam situasi yang serba delematis. Adanya kriteria tersebut justru yang akhirnya banyak mencuatkan persoalan di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Selatan. Para pejuang seperti kami lebih banyak hanya bermodalkan semangat jihad, keberanian dan nawaitu keikhlasan dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Hampir semua dari kami tidak ada yang pernah mengenyam pendidikan formal dan layak. Bahkan, aku sendiri, tidak bisa baca tulis huruf latin, karena memang sejak kecil aku hanya diajarkan ilmu keagamaan dengan tulisan Arab/Arab Melayu. Sedang dalam hal perjuangan, selama ini aku dan kawan-kawan pejuang lain berperang dan melatih diri secara alami; masuk ke dalam belantara rimba yang lebat, naik turun gunung dan perbukitan hanya dengan berbekal keyakinan dan insting pengelana sejati. Ketika aku mengambil keputusan kembali ke pedalaman mengulang semangat gerilya karena merasa diperlakukan “tidak adil” dalam penyusunan organisasi militer yang baru, maka saat itulah dimulai sebuah “tragedi sejarah” dalam perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan. Sejumlah penduduk desa di berbagai daerah kami manfaatkan atau bergabung sendiri untuk mendukung setiap gerakan kami. Dan belantara pegunungan Meratus kami jadikan sebagai markas persembunyian yang strategis sambil menyusun kekuatan dan melancarkan aksi. Selang waktu ini tak lama setelah berakhirnya masa perjuangan pasukan gerilya Hassan Basry tahun 1949. Berbagai aksi perlawanan mulai kami lancarkan, di antaranya dengan membentuk satu kesatuan kelompok yang kami namakan garumbulan. Nama lain dari kelompok kami adalah Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) atau biasa juga disebut Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Nama tersebut adalah sebagai refleksi dari perasaanku dan kawan-kawan seperjuangan yang merasa terluka dan dikhianati. Dalam pandangan kami, Pemerintah RI telah melakukan pelacuran sejarah, penculasan dan penindasan. Kesimpulan tersebut muncul setelah aku dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan kenyataan yang berlangsung di sekitar kami serta kemalangan yang menimpa diriku sendiri akibat reasionalisasi dan demobilisasi tentara. Dengan gerakan dan aksi yang kulakukan sebenarnya aku ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa revolusi fisk Indonesia selama ini bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan elite politik dan militer saja, seperti dipahami selama ini. Revolusi fisik Indonesia, pada dasarnya, juga merupakan jerih payah dan perjuangan pada “bandit revolusi” seperti kami, atau pun para pelaku kriminal lainnya pada masanya dan orang-orang yang terpinggirkan lainnya yang kerap dipandang sebagai “sampah masyarakat”, yang seolah tidak mempunyai peran apa pun di dalamnya. Aku tahu dan sadar bahwa uang pemerintah tidak cukup untuk menghidupi seluruh orang bersenjata di masa perjuangan seperti kami. Aku juga cukup mengerti bahwa untuk masuk tentara tidak hanya butuh keberanian dan semangat saja, tetapi juga kecakapan dan pendidikan. Aku juga tahu bahwa dalam Perundingan Munggu Raya pada tanggal 2 September 1949 di Kandangan itu, bertujuan untuk merembukkan pemilihan dan pengangkatan figur-figur tokoh pejuang yang berhak memegang satu jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun dalam reorganisasi militer kala itu. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menghargai jasa-jasa mereka para pejuang kemerdekaan termasuk aku dan kawan-kawanku. Aku ingat betul, perhelatan bersejarah yang tidak tercatat secara baik dalam sejarah itu tidak sepenuhnya mencapai satu titik kesepahaman. Mayoritas yang hadir tidak satu pendapat dalam kenduri pembagian “kue kemerdekaan” itu, dikarenakan satu sebabnya ketika pemerintah memilih dan memutuskan untuk mengangkat Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala sebagai pemegang tampuk jabatan sebagai Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Keberatan tersebut dikarenakan Sukanda Bratamanggala adalah bekas KNIL atau antek-antek Belanda di masa perjajahan. Bayangkan, bekas anggota ALRI Divisi IV seperti aku dan Hasan Basry serta kawan-kawan yang beberapa bulan lalu saling ¬baku¬-tungkih, beradu tembak dan saling bunuh kini berada dalam satu tempat tinggal? Bahkan pada beberapa satuan terkecil justru sang mantan KNIL itulah yang jadi komandan kami. Lebih dari itu, pemerintah juga masih menyisipkan sejumlah orang yang pernah turut terlibat sebagai KNIL dan spion penjajah lainnya dalam reorganisasi militer tersebut. Bahkan dalam penyerahan jabatan tersebut aku melihat kentara sekali adanya tindakan sepihak yang begitu mencolok, di mana suara dan posisi para pejuang pedalaman seperti kami kurang diperhatikan dan dihargai secara patut dalam menentukan keputusan tersebut. Bekas KNIL-KNIL itu malah diberikan satu posisi jabatan yang lebih strategis dan terhormat dibanding kami para pejuang yang mati-matian mempertahankan jengkal demi jengkal bumi pertiwi dari tangan penjajah dengan berkuah darah dan taruhan nyawa di daerah pedalaman. Kami yang langsung angkat bedil dan meriwaskan mandau dan parang kepada penjajah malah seperti dianak tirikan; tidak dipandang meski sebelah mata. Alasannya memang sangat klasik namun rasional, kecakapan dan jenjang pedidikan, satu dari dua hal yang tidak kami miliki. Jabatan Pangdam yang mestinya jatuh kepada Hassan Basry, atau, mungkin saja kepadaku, sebagai dua partner dalam perjuangan ALRI Divisi IV – ini juga menurut penilaian mayoritas para pejuang yang hadir dalam pertemuan itu – malah “dirampas” oleh Sukanda Bratamanggala, seorang KNIL Belanda yang di masa perjuangan adalah sebagai rival menyabung nyawa dan musuh beradu tembak demi kemerdekaan Tanah Air tercinta. Bagaimanapun, tragedi ini tentu menimbulkan pertentangan hebat dari mayoritas pejuang pedalaman yang hadir dalam pertemuan tersebut. Maka, sejak tanggal 27 Oktober 1949, di bawah pengawasan dr. Suharsono, orang Jawa, dimulailah tes kesehatan dengan memberlakukan ujian-ujian militer yang ketat dan berat. Pada tahap ini saja sudah banyak anggota ALRI Divisi IV yang tidak lulus dan dikembalikan ke masyarakat. Mereka yang masih tetap jadi tentara tetapi kemudian juga kena demobilisasi mendapat perlakuan culas yang amat diskriminatif. Mereka cuma diberi “pesangon” sebesar Rp. 50, tidak diakui sebagai veteran, juga tak mendapatkan dana pensiun. Penculasan lainnya yang kami alami adalah, ketika sekitar 40-an perwira eks ALRI Divisi IV dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti kursus Akademi Militer Nasional, padahal akademi tersebut telah bubar hampir setahun sebelumnya. Alasan kenapa jabatan Pangdam tidak diberikan kepada Hassan Basry atau kepadaku sudah jelas, kami, khususnya aku, tidak mempunyai tingkat pendidikan yang memadai. Lebih-lebih aku, yang hanya bermodalkan semangat dan keberanian serta keikhlasan dalam berjuang mempertahankan Tanah Air dari tangan penjajah. Jabatan Pangdam akhirnya jatuh ke tangan Sukanda Bratamanggala, meskipun dia bekas seorang KNIL Belanda. Meski begitu, dia adalah seorang pribumi asli juga dan telah bertobat, demikian argumentasi pihak penguasa kala itu. Hal paling rasional lainnya, lagi-lagi, Sukanda adalah seorang yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Tapi tentu saja argumentasi semacam ini tidak membuat keputusan tersebut diterima oleh semua pihak, terkhusus dari kubu kami. Kami tetap merasa diremehkan, dihina dan dikhianati oleh orang-orang dari bangsa sendiri. Aku adalah salah seorang yang paling bersikeras menentang keputusan sepihak itu. Jiwa juangku yang keras dan tegas jadi tersulut, kehormatan diriku merasa ditantang. Dalam pertemuan tersebut aku bahkan sempat menempeleng Letkol Sukanda Bratamanggala, saat pertemuan masih berlangsung. Sebenarnya, sebagai salah seorang yang berada dalam posisi pemimpin, aku masih mungkin mendapatkan kedudukan tertentu dalam struktural jabatan baru tersebut. Terbukti, jabatan terakhirku sebelum keluar dari ketentaraan adalah Letnan Dua TNI. Akan tetapi, aku merasa hal itu tidak menjamin bagi rekan-rekanku yang lain untuk dapat meneruskan karir militer mereka. Keputusanku untuk kembali ke pedalaman sebenarnya bukan semata berupaya untuk kepastian masa depan diriku sendiri. Aku tidak mau jika kawan-kawanku masih terkantung-katung dalam ketidakpastian. Dalam batas-batas tertentu, aku bermaksud memberikan pelajaran berharga kepada siapa saja bagaimana mempertahankan harkat diri sendiri. Bahkan, secara sadar aku ingin menunjukkan kepada generasi selanjutnya bagaimana semestinya menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi kepada kawan seperjuangan. Bagiku, nilai kemanusiaan bukanlah ditentukan oleh kehancuran yang menimpa, tetapi pada perjuangan mempertahankan harkat dirinya. Tragis adalah sifat dari suatu peristiwa yang menyedihkan, tetapi tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan. Kalimat ini agaknya cukup tepat untuk mengungkapkan idealismeku saat itu. Sementara, dilihat dari ketentuan-ketentuan formal kenegaraan, aku memang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Keputusanku tersebut dianggap telah melawan arus dalam suatu konfigurasi negara. Akan tetapi dalam bingkai sejarah, aku ingin memberikan pengorbanan dan pengabdianku yang tidak bisa dianggap enteng. Keputusan sudah diambil. Resmilah Letkol Sukanda Bratamanggala menjadi Pangdam untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang berpusat di Kandangan kala itu. Lalu, bagaimana dengan Hassan Basry? Bukankah beliau juga menjadi korban kebijakan yang kuanggap salah kaprah tersebut? Untuk menutupi kepincangan itu, Hassan Basry yang saat itu belum berpangkat Brigjend “diasingkan” ke Mesir untuk mengikuti suatu pendidikan dengan biaya pemerintah. Sedang aku dan pasukanku tetap bersikukuh dengan pendirian kami; tidak menerima keputusan yang kami nilai nyata-nyata culas dan menguntungkan sepihak itu. Perkembangan selanjutnya, Panglima Tentara dan Teritorium VI Kalimantan juga dijabat oleh Sukanda Bratamanggala, orang Sunda. Sementara Hassan Basry “cuma” menjabat sebagai Panglima Subwilayah III yang meliputi Daerah Banjar. November 1951, Sukanda Bratamanggala digantikan oleh Kolonel Sadikin, yang juga berasal dari Jawa Barat. Setelah setahun sebelumnya, ketika Hassan Basry “diberi” beasiswa untuk belajar ke Mesir, maka kedudukannya digantikan oleh Mayor Sitompul, orang Batak. Mayor Sitompul digantikan lagi oleh Letnan Kolonel Suadi Suromiharjo, orang Jawa Tengah. Lihat saja, semua jabatan “basah” dan prestisius itu dilahap oleh orang “seberang”. Tak satupun pejuang dari orang banua mendapat posisi yang layak. Apalagi para pejuang di pedalaman, mereka hanya jadi tumbal revolusi yang seolah tak berhak menikmati walau secuil “kue kemerdekaan”. Bertolak dari rasa kecewa dan ketidakpuasan itulah, dengan pekik jihad dan semangat juang yang berkobar aku dan kawan-kawan kembali ke pedalaman, mulai menyusun kekuatan baru dan melancarkan gerakan-gerakan perlawanan. Acap kali sebenarnya pemerintah memberikan tawaran gencatan senjata dan jalan damai dengan menyampaikan panggilan kepadaku secara pribadi, agar segera menghentikan aksi dan perlawanan dengan janji pengampunan. Tapi, setiap kali itu pula aku menolak. Kami yang sudah bertahun-tahun balinjang di belantara Pegunungan Meratus sambil memaklumkan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia saat itu sudah kadung sakit hati; api juang dan gelora kesumat telah memanggang jiwa kami hingga terbakar. Meski jauh di relung hatiku juga menyadari bahwa tindakanku tersebut dapat menghancurkan segala apa yang telah kucita-citakan dalam perjuangan kami selama ini; hanya demi rasa kepuasan murah dari suatu pembalasan dendam tak berarti. Namun aku juga memaklumkan, hal ini dikarenakan tak ada lagi sebuah jalan pun yang dapat menahan gejolak hatiku yang sudah demikian berkobar. Dentum kemarahan dan gelegar dendam telah bertumpuk-tumpuk di dalam diri kami sejak beberapa waktu sudah. Belum lagi kami harus menahan kesakitan hati karena dilecehkan dan harus menerima penculasan serta perlakuan semena-mena; penghianatan tak semestinya, serta harga diri yang terkoyak-koyak. Semua itu bersatu, berpulas, mengamuk dan meledak-ledak dalam diriku. Yang keluar memenuhi panggilan itu adalah adikku Dardi berserta sebagian pengikutnya. Kedatangan mereka disambut bak seorang pejuang yang pulang dari medan perang. Merekapun diberikan “penghargaan” dan bermacam fasilitas serta kedudukan tertentu sebagai ucapan terima kasih untuk jaminan hidup. Ada yang diberikan modal usaha dan seperangkat alat keterampilan seperti mesin jahit dan lain-lain sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu, bahkan ada yang menjadi ABRI. Aku tahu, “muslihat” itu dilakukan pemerintah RI dengan maksud untuk menunjukkan kepadaku bahwa tujuan damai dan pengampunan yang dinjanjikan adalah benar; agar aku dan pasukanku menyerahkan diri dan segera mengakhiri perlawanan. Namun bukan perangaiku kalau tidak setia kepada keyakinan sendiri. Pantangan bagi seorang “God Father” sepertiku menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah. Lebik baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu sepanjang sejarah. Lebih baik mati berkuah darah daripada hidup menjadi penghianat. Prinsip inilah yang berusaha kupertahankan dan kuperjuangkan. Bagiku, pejuang dan pemberontak itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Perbedaan antara seorang patriot dan seorang pemberontak tergantung pada siapa yang berkuasa. Bukankah sejarah pun ditulis oleh siapa yang berkuasa. Pemerintah bisa saja menamakan kami sebagai teroris, pemberontak garumbulan atau apa saja. Tapi aku menyebut diri kami sebagai pejuang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kekuasaan untuk memilih ikatan kita sendiri. Aku dan akwan-kawan menginginkan kemerdekaan semacam itu. Dengan mengetahui faktor-faktor pemicu terjadinya pemberontakanku, aku berharap agar generasi mendatang tidak dengan begitu saja menyalahkan sikap yang kami ambil. Pada awal tindakanku, tidak cuma tercermin hakikat dari sebuah harga diri tetapi juga keberanian dan ketegasan dalam bersikap. Naasnya, dalam melakukan aksi, kami memang sering terjerumus ke jurang teror, perampokan dan pembantaian. Hal itu barangkali karena aku dan pengikutku adalah sekumpulan petarung, bukan politikus handal yang punya bargaining position dan bargaining power yang kuat. Barangkali juga karena aku tak bisa mengendalikan tindakan anak buahku – atau mereka yang mengaku anak buahku. Karena saat itu terdapat banyak gerombolan liar di luar KryT yang kumpimpin, bahkan di dalam tubuh KRyT sendiri terdapat fraksi-fraksi yang kadang saling berseberangan. Dengan berbagai muslihat, akhirnya aku berhasil diringkus di desa Batantangan (sekarang berganti nama menjadi desa Pariangan, wilayah kecamatan Padang Batung, kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan dibawa ke Jakarta. Pada bulan Maret 1965 aku dihadapkan dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa. Tanggal 22 Maret, aku dijatuhi hukuman mati. Sesaat sebelum dieksekusi, aku menangis. Bukan kematian yang kutangisi, tetapi karena aku merasa dilecehkan dan dikhianati. Ah, ada apa gerangan? Apakah gergaji politik menggerus lagi hingga rumpun luka berduri meruyak kembali? Akankah lagi kuah darah membuncah-ruah di wajah sejarah? [] Merdeka! Kandangan, malam-malam bergaram, 24 Mei 2014, 02:02 Wita.

Monday, June 23, 2014

Remah Surga

TETANGGA saya, sebut saja Umanya Hadran, dengan sangat bergairah menceritakan pengalamannya sepulang dari mengikuti acara haulan seorang pawang agama yang diyakini memiliki karamah dan berderajat sebagai waliyulLah. “Saya beruntung bisa mendapatkannya,” ujar Umanya Hadran berapi-api. “Meski tidak banyak tapi ini kan bisa dihemat.” Umanya Hardan berangkat ke acara haulaun sejak dua hari sebelum acara digelar, ia rela meninggalkan suami bersama anak-anaknya dan menginap di rumah seorang kenalan di kota tempat kegiatan haulan digelar. Tujuannya agar bisa mengikuti dan menyaksikan seluruh prosesi haulan dari dekat. Padahal, jika pun tidak bisa menyaksikan dari dekat, konon, setiap orang yang sudah punya niat mengikuti acara tersebut namun tidak bisa mengikuti dari dekat karena keterbatasan tempat, maka juga akan tetap memperoleh barakah dan pahala yang sama. “Saya bersama ratusan ribu jama’ah memperebutkan nasi bungkus yang disediakan pihak panitia pelaksana,” cerita Umanya Hadran lagi. Bahkan, menurut Umanya Hadran, mereka sampai rela mengais remah nasi bercampur tanah dan pasir yang tercecer di lantai dan halaman mushalla atau jalanan di area haulan. Remah nasi tersebut, seperti diceritakan Umanya Hardan lebih jauh, akan ia jemur sampai kering dan disimpan agar tidak cepat rusak. Saban kali memasak nasi, maka remah nasi yang sudah mengering itu ia masukkan beberapa biji ke dalam panci hingga tercampur dengan beras yang dimasak sampai menjadi nasi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sampai persediaan remah-nasi-kering habis. “Barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” demikian frasa para guru yang ditirukan Umanya Hardran ketika melanjutkan ceritanya. Seingat saya, perkataan itu berasal dari seorang lelaki sepuh bernama Saman dari Madinah, yang dalam sejarah lebih populer sebagai Syekh Saman al Madani, dan dikenal sebagai seorang waliyulLah. Perkataan itu masih ada poin lainnya, yaitu: “Siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai.” Lebih jauh, oleh para pawang agama semacam guru-guru Umanya Hadran, kedua pokok persoalan dari kata-kata tersebut dimaknai menjadi sangat luas dan dalam. Kata-kata pertama dimaknai bahwa siapa saja yang memakan makanan para wali (diperluas lagi menjadi makakan jamuan dalam acara haulan seorang wali), maka akan masuk surga. Kata-kata kedua diartikan bahwa siapa saja yang bermaksud ziarah atau “mendekatkan” diri secara spiritual kepada RsululLah dan ajarannya maka tidak akan sampai kecuali melalui perantaraan atau bertawassul terlebih dahulu kepada Syekh Saman. Keyakikan inilah yang mendorong Umanya Hadran dan ratusan ribu jamaah haulaun lainnya rela berjejal-jejal memperebutkan remah nasi dalam jamuan acara haulan tersebut. Untuk beberapa jenak saya tercenung. Apakah janji para guru itu benar atau tidak? Sebab kalau memakan makanan jamuan dalam acara haulan yang dianggap sebagai tiket gratis masuk surga itu tidak mempunyai sandaran dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukankah berarti hal itu adalah inovasi terlarang (bid’ah) sekaligus membohongi orang-orang awam, melegalkan pembodohan ummat semacam Umanya Hadran? Di sisi lain, makna simbolik dari ucapan “barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” adalah bahwa “makanan” seorang Saman yang dikenal sebagai seorang wara’ dan Muslim yang taat pada zamannya bukanlah dalam arti harfiah dari jenis makanan pada umumnya, melainkan amal ibadah semacam shalat, membaca al Qur’an, sedekah, zikir, menolong sesama, menjalani kehidupan sosial secara wajar dan amal shaleh lainnya, yang ia ibaratkan sudah menjadi “makanan” pokok baginya. Sedangkan secara historis, Syekh Saman al Madani semasa hidupnya adalah seorang petugas penjaga makam RasululLah di masjid Nabwai di Madinah. Segala prosedural dan administrasi perihal keperluan kaum muslimin yang hendak berziarah ke makam RasululLah berada dalam tanggung jawab beliau. Itu artinya, siapapun yang bermaksud ziarah ke makam RasululLah haruslah berurusan dengan beliau terlebih dahulu. Dalam konteks inilah makna ucapan “siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai” menjadi sangat jelas dan gamblang terpahami, tanpa ada makna simbolik. Saya tidak tahu persis apakah Umamnya Hadran cs mengetahui atau paling tidak pernah mendengar makna simbolik dari ucapan pertama dan fakta historis yang melatari perkataan kedua? Jikapun tahu atau pernah mendengar, saya kira tentu akan dikalahkan oleh pemaknaan yang dianut oleh pemahaman arus-utama yang begitu dahsyat. Satu hal yang saya ketahui dengan pasti, bahwa Umanya Hadran adalah seorang maulidlover. Saban tahun ia tidak pernah ketinggalan turut mengikuti bahkan melaksanakan upacara Maulid Nabi, meski ia pernah pula saya dengar (dari pengakuannya sendiri) pernah ngutang sana-sini untuk membiayai kegiatan tersebut. (Barangkali karena Umanya Hadran adalah seorang perempuan jadi suka buka-buka cerita di banyak tempat dan kesempatan). Satu hal lagi yang saya tahu persis, dalam setiap mengikuti atau menggelar upacara Maulid Nabi, Umanya Hardan dkk tak pernah sekalipun terlihat mengumpulkan apalagi sampai berebutan remah nasi saat jamuan Maulid Nabi berlangsung. Padahal, upacara Mualid Nabi tidak jauh beda dengan acara haulan. Dalam Maulid Nabi, hidangan makanan yang disajikan selalu mewah, lezat dan tentu saja mahal, tak jarang pula menyisakan bekas makanan cukup banyak di akhir kegiatan karena disedikan melimpah. Saya berharap Umanya Hadran cs suatu saat merenung, jika remah makanan dalam jamuan acara haulan seorang wali saja bisa menjadi tiket gratis masuk surga, bukankah makanan dalam acara Maulid Nabi semestinya lebih pantas sebagai “remah surga”. Karena siapakah lagi yang lebih wali dari RasululLah SAW? Siapakah lagi sosok yang lebih bakaramat selain pribadi RasululLah SAW? Siapakah lagi manusia paling suci dari figur RasululLah SAW? …hasbunalLahi wani’mal wakil… Kandangan, 7 Mei 2014. Senja, 17.52 Wit.

Klasifikasi Bid’ah

OLEH para pendukungnya, bid’ah (inovasi terlarang) diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Mereka memberi argumen dengan merujuk kepada pendapat sebagian ulama yang mengklasifikasikan bid’ah sebagaimana pembagian pada hukum-hukum syari’at yaitu menjadi lima bagian, sehingga bid’ah tidak dianggap sebagai sesuatu yang tercela secara multak. Hukum bid’ah pun menjadi ada yang wajib, mandub (dianjurkan bahkan terpuji), mubah (boleh), makruh, dan haram. Singkatnya, bid’ah mereka klasifikasikan menjadi dua: bid’ah dhlalah (inovasi terlarang) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan). Dalam kaidah hukum Islam yang saya pahami, pengklasifikasian bid’ah semacam itu merupakan suatu perkara yang justru diada-adakan, tidak mempunyai sandaran syar’i dan dengan sendirinya tertolak. Karena, hakekat bid’ah adalah perkara yang tidak didukung oleh dalil syar’i, baik dari nas maupun kaidah-kaidah syar’i lainnya. Sebab kalau ada dalil syar’i yang menunjukkan hukum bid’ah terbagi menjadi ada yang wajib, mandub, atau mubah niscaya tidak akan ada yang namanya bid’ah, dan niscaya amalan bid’ah akan masuk dalam perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan memilihnya. Jadi, menggabungkan anggapan adanya perkara-perkara bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang mengklasifikasikan hukum bid’ah menjadi wajib, mandub, atau mubah adalah menggabungkan dua hal yang sama sekali kontradiktif. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin perintah dan larangan hadir dalam satu kesempatan; mana mungkin halal dan haram dihukumkan kepada sesuatu dalam satu situasi dan kondisi? Lalau, bagaimana dengan argument yang diketengahkan oleh para pendukung bid’ah tersebut, yang merujuk pendapat sejumlah tokoh dan pakar yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi bid’ah dhlalah (inovasi terlarang/menjerumuskan) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan)? Secara singkat dan sederhana saya menjawab: AlhamdulilLah. Kenapa ‘alhamdulilLah? Karena pengklasifikasian bid’ah tersebut datang dari sejumlah tokoh dan pakar, bukan berasal AlLah dan Rasulullah saw. Artinya, di sinilah titik pangkal munculnya perselisihan yang terjadi selama ini dan tentunya dapat kita lacak bersama sumber muasalnya. Salah Pasang Dalil Riwayat Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam memang rancak banar dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian atau pengkategorian bid’ah oleh mereka. Namun sangat disayangkan, pengambilan riwayat tersebut sebagai dalil sering terkesan asal comot tanpa dilakukan pengkajian lebih (men)dalam. Padahal, aktivitas berjamaah dalam shalat qiyamul Ramadhan bukanlah bid’ah. Mengenai hal ini coba kita observasi hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, kemudian disahkan pula oleh At-Tirmidzi. Dalam hadits tersebut disebutkan: “faqaama binaa hattaa dzahaba tsulutsul-laili.” (maka RasululLah mengimami kami hingga sepertiga malam). Hadits tersebut menerangkan bahwa RasululLah shalat berjamaah dengan para sahabat, dan beliau bertindak sebagai imam. Shalat tersebut selesai pada sepertiga malam atau menurut perhitungan waktu sekarang kira-kira pukul sembilan malam. Shalat yang dilakukan beliau itu ialah yang dinamakan shalat qiyamul Ramadhan atau yang kita beri nama sekarang dengan shalat tarawih. Pada malam yang lain RasululLah shalat berjamaah lagi, shalat kali ini: “hatta dzahaba syatrul-laili.” (hingga tengah malam). Kemudian pada malam yang lainnya lagi Rasulullah mencontohkan hingga hampir waktu sahur. Hadits Abu Dzar tersebut menjelaskan bahwa RasululLah melakukan shalat tarawih dengan berjamaah. Perbuatan yang telah dilakukan oleh RasululLah tidak mungkin dan tidak bisa disebut bid’ah. Perihal perbuatan Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam, dia (Umar) memandang dan mengatakan hal tersebut sebagai “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama). Umar menyatakan demikian karena berjamaah dengan satu imam itu pernah berlaku pada zaman RasululLah. Jadi, yang dilakukan Umar ialah mengembalikan kepada contoh yang pernah dilakukan RasululLah, yang tentu saja sangat afdhal dan lebih utama. Coba kita cermati kembali apa maksud dari perkataan Umar tersebut. Umar mengatakan bahwa perbuatannya menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini), tentu bukan bid’ah dalam arti bid’ah dhalalah (inovasi terlarang). Karena “sebaik-baiknya” tidak mungkin disifatkan kepada sesuatu yang tidak baik. Para pendukung bid’ah boleh mengatakan: “yang terbaik di antara koruptor”, tetapi tidak mungkin mengatakan: “yang ter-sunnah di antara yang bid’ah” atau “yang terhalal di antara yang haram”. Oleh karena itu, terhadap ucapan Umar itu tentulah mesti digunakan arti yang lain, yang memang salah satu di antara makna ucapan itu ialah “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Hal itu sejalan dengan ucapan sebelumnya, yakni “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama), sebab dia telah mengembalikan suatu ibadah kepada contoh utama dari RasululLah. Salah satu “arti yang lain” dari ucapan Umar tersebut adalah, tentang banyaknya masyarakat yang turut serta dalam aktivitas shalat berjama’ah pada malam-malam tersebut, bukan pada bentuk dan cara berjamaahnya. Sebab, sebagaimana telah disebutkan dalam sejarah, bahwa masyarakat Islam pada masa RasululLah “hanya” terdiri dari beberapa puluh atau ratus orang. Dan pada masa kepemimpinan Umar, Islam telah berkembang sedemikian pesat dengan jumlah pengikut cukup spektakuler. Nah, banyaknya jumlah orang yang ikut shalat qiyamul Ramadhan itulah (jika dibandingkan dengan jumlah pada masa RasululLah) yang dimaksudkan Umar dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Sikap sangat disayangkan sering juga dilakukan oleh para pendukung bid’ah ketika mengambil dalil. Mereka juga sering mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut sebagai dasar pengaklasifikasian bid’ah. “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik (sunnatan hasanah) maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu amalan yang jelek (sunnatan sayyiatan) maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim). Dalam penilaian saya, pengambilan hadits tersebut sebagai dasar untuk membenarkan adanya pengklasifikasian bid’ah sungguh tidak tepat. Ibarat kata pepatah, lain gatal lain yang digaruk. Saya juga sering terkejut ketika para pecandu bid’ah menafsirkan kata “sunnatan hasanah” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits riwayat Muslim di atas dengan makna inovasi (bid’ah) yang baik dan inovasi (bid’ah) yang buruk dalam lingkup ibadah murni. Bagaimana mungkin kata-kata sunnah bisa ditafsirkan dengan bid’ah??? Padahal, dari sekian kitab tafsir dan terjemah yang saya temukan, arti kata “sunnatan hasanatan” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits tersebut adalah “amalan/kebiasaan yang baik” dan “amalan/kebiasan yang jelek”. Sumber-sumber kaidah hukum Islam yang saya temukan memberikan pemahaman atas sabda RasululLah “man sanna sunnatan hasanatan” dalam hadits tersebut bukanlah dengan makna “merintis amalan” secara mutlak, karena kalau tidak begitu akan menimbulkan pertentangan di antara dalil-dalil yang pasti penunjukan hukumnya. Maksud perkataan tersebut tidak lain adalah mengamalkan apa yang sudah ada dasarnya dari sunnah Nabi saw. Karena asbabul wurud (latar belakang) lahirnya hadits tersebut berkenaan dengan masalah shadaqah yang telah disyari’atkan, berdasarkan hadits shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: “Kami pernah bersama Nabi SAW di suatu siang. Tiba-tiba datanglah satu kaum dalam keadaan tidak mengenakan alas kaki dan pakaian sambil berselimut dan menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah Bani Mudhar; bahkan semuanya dari Bani Mudhar. Berubahlan raut muka Rasulullah manakala melihat kefakiran mereka. Lalu beliau masuk ke rumah, (tak berapa lama) kemudian keluar (lagi), lalu memerintahkan Bilal untuk berazan dan beriqamah, lalu shalat, kemudian berkhutbah. Dalam khutbahnya beliau berkata: “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa (QS. An-Nini-sa:1). Dan ayat dalam surat Al-Hasyr: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr:18)”. (Lalu Rasulullah berkata): “(Semoga ada) seorang yang mau bershadaqah dengan dinarnya, dirhamnya, bajunya, dengan setakar gandumnya, kurmanya,… - sampai mengatakan -: meski dengan separuh buah kurma.” Lalu ia (Jarir) berkata: Maka datang kepada beliau seorang dari kaum Anshar dengan membawa sebuah karung yang (padat berisi). Hampir-hampir tangannya tidak sanggup mengangkat karung tersebut; bahkan benar-benar tidak sanggup. Ia (Jarir) berkata: Kemudian orang-orang pun mengikuti tindakan orang tersebut sampai aku melihat ada dua tumpukan makanan dan pakaian. Aku melihat wajah Rasulullah bersinar keemasan. Lalu Rasulullah berkata: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu sunnah (amalan) yang jelek maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim, hadits No.1017). Perkataan RasululLah: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik” tersebut ditunjukkan kepada orang yang telah melakukan tindakan yang diminta oleh Rasulullah dengan sekuat kemampuannya hingga mau bersedekah sebanyak satu karung. Shadaqah orang tersebut menyebabkan terbukanya pintu shadaqah dari yang lain dengan jumlah yang begitu banyak. RasululLah merasa senang, lalu mengatakan: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik dalam Islam.” Jadi, kata ‘amalan’ yang ada dalam hadits di atas adalah amalan seperti apa yang dilakukan oleh salah seorang sahabat tersebut yaitu amalan yang memang sebelumnya telah ditetapkan hukumnya adalah sunnah, yaitu shadaqah. Kedua riwayat yang sering dicomot sebagai justifikasi pengkalisfikasin bid’ah oleh para bid’ahmania tersebut menjadi sangat berharga untuk dilakukan observasi ulang secara lebih akurat dan mendalam. Sebab, dalam observasi saya, adanya proporsi pengklasifikasian bid’ah semacam inilah yang menjadi salah satu biang kerok bertumbuh dan berkecambahnya aktivitas-aktivitas keagamaan tanpa dasar – khususnya dalam ibadah murni – yang pada konsekuensi logisnya justru menjelma menjadi sindrom bid’ah itu sendiri. Setiap orang akan dengan mudah mengatasnamakan “bid’ah hasanah” pada aktivitas-aktivitas keagamaannya ketika tidak bisa menghadirkan sumber-sumber syar’i yang mendasarinya. Karena itulah, para ulama pembela sunnah sudah jauh-jauh hari dengan tegas mengultimatum: “Bahwa pelaku bid’ah itu lebih berbahaya daripada pelaku maksiat.” Hal ini bisa dicerna, karena seorang pelaku bid’ah secara sadar atau tidak, disengaja atau tidak, akan selalu meyakini bahwa segala aktivitas keagamaannya sebagai ibadah, yang konsekuensi logisnya akan jauh dari ranah introspeksi. Berbeda dengan orang yang melakukan maksiat, dia sengaja dan sadar bahwa perbuatannya menyalahi hukum syari’at sehingga besar kemungkinannya untuk merengkuh pintu taubat. Ijtihad dalam Bid’ah Saya juga sering mendengar bahwa memberikan ruang argumen terhadap pengaklasifikasian bid’ah tersebut adalah sebagai upaya pendidedikasian terhadap ranah ijtihad. Saya sangat tidak sependapat dengan tawaran ini, karena dalam kaidah pemahaman dan sudut pandang yang saya miliki, syari’at hukum Islam tidak memungkinkan memberi tempat untuk lahirnya istihad dalam bid’ah, karena justru hanya akan menyuburkan wabah bid’ah itu sendiri. Saya mengamini AbdulLah bin Mas'ud berikut, seorang sahabat terkemuka Rasulullah dan imamnya para mufassir, beliau mengatakan: “Membatasi diri hanya pada sunnah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah.” (Diriwayatkan Ahmad dan Ath-Thabrani). Klasifikasi bid’ah yang bisa diterima secara syar’i hanyalah adanya bid'ah hakiki dan bid'ah ‘amali. Bid'ah hakiki yaitu suatu perkara dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali lalu diada-adakan dan dianggap sebagai ibadah berpahala yang bersumber dari Islam. Misalnya, perayaan Maulid Nabi; peringatan Isra Mi’raj; ritual Nisfu Sa’ban; bertawasul kepada orang yang telah mati; kenduri kematian, (maniga hari, mamitung hari, maampat puluh, mahaul); hilah (fidyah/pembayaran berupa uang, emas atau harta berharga lainnya sebagai tebusan untuk dosa-dosa si mayit);* membaca al-Qur’an di atas kubur yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit; mengumandangkan azan saat mayat dikuburkan, ketika seorang mau pergi haji dan ketika terjadi kebakaran, dan lain-lain, dan lain-lain. Sedangkan bid'ah ‘amali yaitu suatu perkara dalam agama yang pada awalnya memang disyari’atkan, namun dalam aktivitas pengamalannya dipraktikkan dengan cara-cara dan ketentutuan-ketentuan serta waktu-waktu tertentu, sedangkan syari’at tidak menetapkan cara-cara, ketentuan-ketentuan dan waktu-waktu tersebut. Misalnya, melafadzkan niat ketika hendak mengerjakan shalat (ushalli), dan lafaz-lafaz niat dalam ibadah lainnya; shalat hajat berjamaah (seperti saat mau berangkat haji atau mau menempati rumah yang baru dibangun); menetapkan do’a qunut hanya pada setiap shalat subuh; mengkhususkan bacaan salah surat al Qur’an hanya pada salah satu waktu shalat; do’a atau zikir bersama (dengan satu komando); mentalqinkan mayit, dan lain-lain, dan lain-lain. Formulasi hukum dari kedua aktivitas bid’ah tersebut sama yaitu inovasi terlarang (bid’ah). Dan tiap-tiap inovasi terlarang (bid’ah) adalah menjerumuskan (dhalalah). Sedangkan setiap yang menjerumuskan (tempatnya) adalah neraka. Kullu bid’atin dhalalah, kullu dhalalah fin naar.  *) Biasanya fidyah dilakukan sesaat sebelum jasad si mayit dikuburkan. ….

Adakah Dikhotomi Belajar Agama?

DALAM banyak kesempatan diskusi agama (Islam), saya sering disuguhi pertanyaan berikut: “Dari mana anda belajar agama?” Pertanyaan tersebut lahir dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ketika saya lebih banyak berbeda pendapat dengan teman diskusi atau berseberangan dengan pendapat umum. Kedua, karena performance saya yang lebih mewakili sosok urang jaba ketimbang potongan urang alim, meskipun nama saya Aliman. Jika saja pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui jalur akademis atau jenjang pendidikan formal yang pernah saya lalui, maka jujur saja saya akui bahwa saya termasuk orang yang kurang beruntung dalam hal ini. Saya tidak pernah mengecap “maqam” keilmuan semacam itu dikarenakan berbagai hal dan keterbatasan. Tapi saya tak harus berkecil hati, karena seorang ulama sekaliber DR. Yusuf Qardhawi saja juga sering disuguhi pertanyaan semacam itu. Dalam pengantar bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” beliau mengatakan bahwa dirinya sering ditanya seperti itu. Sayangnya, menurut Qardhawi, pertanyaan tersebut sudah mengarah kepada kritik bahkan gugatan yang tidak sehat hanya karena jalur pendidikan formal dan sumber keilmuan yang ia lalui tidak sepenuhnya sejalan dengan mainstream umum yang selama ini berlaku. Selanjutnya saya punya kesan, bahwa pertanyaan semacam itu diajukan bukan sekadar ingin menelisik latar belakang jalur akademis dan jenjang pendidikan formal yang dimiliki seseorang semata-mata. Tetapi sudah mengarah kepada apakah “sumber” itu bisa diakui atau sebaliknya, sah atau tidak, tentu dengan ukuran menurut standarisasi pribadi atau kelompok si penanya. Ada dua standar yang barangkali “wajib” mereka gunakan: Pertama, keilmuan seseorang mesti diukur dengan “baju” mereka. Kedua, orang belum benar-benar dapat dianggap alim kalau tidak belajar/berguru kepada kelompok mereka. Saya kira, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru kita boleh mendiskusikan – lebih-lebih mengamalkan – ajaran agama. Tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran keilmuan – lebih-lebih keshalihannya. Keilmuan seseorang tidak selalu dapat ditakar dari jalur akademis dan jenjang pendidikan formal serta “sumber” yang telah dilaluinya semata. Ke-Islam-an seseorang tidak diukur dari hitam-putih kopiah dan besar-kecilnya lilitan surban yang dikenakannya. Atau bahkan tidak ditimbang dari sikap lahir seseorang karena banyak sujud dan amaliah kepada Tuhan semata. Tetapi nilai keilmuan dan sikap ritual peribadatannya itu mesti diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Chauvanistic Doctrine Lebih jauh saya menengarai, lebih sering lagi mengalami, bahwa diskusi agama kita memang sering dihadapkan pada ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, pa-alimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya. Karena itulah saya tidak terlalu heran bila dalam banyak pengajian Islam atau majlis taklim, khususnya di daerah ini, di mana masih ada pemuka agamanya yang mewanti-wanti kepada para murid dan jamaah untuk tidak berguru kecuali kepada dirinya (atau paling tidak kepada orang-orang yang “sepaham” dengannya). Sejumlah lembaga pendidikan tradisional Islam semacam pesantren juga masih ada yang membatasi kitab-kitab yang mesti dipelajari santrinya, dus mengkhotomi umat untuk tidak berinteraksi dengan kelompok atau organisasi dan mazhab lain hanya karena memiliki penafsiran dan pemahaman keagamaan yang berbeda. Dalam bahasa yang lebih lugas saya ingin mengatakan, buah dari doktrin sempit semacam itu mengakibatkan mayoritas masyarakat Islam di daerah ini masih menstandarisasikan pemahaman dan pengamalan keagamaan mereka kepada bagaimana corak keagamaan yang dipraktikkan di suatu tempat atau oleh kelompok masyarakat tertentu. Seolah-seolah apa yang dipraktikkan oleh kelompok di tempat tertentu itu sudah menjadi model terbaik dan dijadikan bahan rujukan yang hakiki. Dalam konteks masyarakat Kalimantan Selatan, Martapura dan Sekumpul menjadi model tersebut. Otoritas pemuka agama dan praktik keagamaan ala “Martapuraisme” dan “Sekumpulisme” dalam dinamika keberagamaan mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh pemuka agama “Martapuraismse” dan “Sekumpulisme” telah menjadi “ujar guru” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Hal ini barangali tidak lepas dari faktor sejarah di mana di daerah tersebut telah melahirkan sejumlah ulama besar pada zamannya. Dan tentu saja realitas yang saya kemukakan ini bukan berarti melemahkan otoritas dan kredibelitas para pemuka agama dan pemahaman serta praktik keagamaan di daerah itu sendiri. Ironisnya, di kalangan sebagian besar aktivis muda Islam yang sejatinya lebih kritis dan realistis juga terjadi kebuntuan berpikir semacam itu. Bagi kalangan yang ingin saya sebut “mazhab-pembaca-Sabili” atau kaum “haraky”, pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, Sayid Hawwa, Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad al-Gazhali, Abul A’la al-Maududi, Ali Syariati dan yang lainnya dimistifikasi begitu rupa sehingga seolah-olah Islam hanya bisa dibaca dan dibenarkan melalui “lensa” pemikir-pemikir dan tokoh-tokoh itu. Corak-corak Islam yang lain dianggap sebagai “sesat”, distortif, atau melenceng dari “manhaj” atau jalan lempang yang direstui oleh AlLah. Di kalangan teman-teman muda pengikut Hizbut Tahrir, gagasan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dianggap seolah-olah satu-satunya “bleu-print” atau cetak biru kebangkitan Islam yang tidak mungkin salah. An-Nabhani, meminjam istilah kawan-kawan Syi’ah, menjadi semacam “marja’-e taqlid” yang merupakan ukuran utama untuk menilai apakah sebuah kelompok masih di “dalam” atau sudah melesat ke “luar” Islam. Saudara-saudara dari kalangan yang mendaku “pengikut generasi awal” atau salafy melihat kebajikan dan keluhuran sebuah gagasan yang bersumber di masa lampau, karenanya mereka sangat mengutamakan karya-karya klasik standar yang mencerminkan “ideologi” kaum Sunni yang mainstream, seperti karya-karya Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, serta karya-karya fikih klasik elementer seperti al-Taqrib, Fathul Mu’in, Kifayat al-Ahkyar dan sejenisnya. Akibatnya, mereka kurang menaruh perhatian terhadap konsensus-konsensus kontemporer terhadap kondisi aktual dan realitas sosial umat. Sebagian kawan-kawan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga banyak yang ikut-ikutan “latah”. Kaum Nahdiyin masih banyak yang “apriori” dengan gagasan-gagasan dan referensi keagamaan dari “pihak lain”, sehingga lebih membatasi kajian hanya dari Bahtsul Masa’il dan apa-apa yang sudah difatwakan para pemuka agama mereka sendiri. Warga Muhammadiyah juga masih ada yang terpaku dan mengungkung pembahasan keislaman “hanya” dalam cakupan Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Meskipun kenyataan ini bukan berarti mengenyampingkan kedua bentuk ijtihad dari dua organisasi Islam terbesar di Tanahair itu, dan kelompok-kelompok ke-Islam-an lainnya. Dogmatisme Musuh paling berbahaya dalam diskusi agama kita berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, doktrin demikian adalah penyakit spiritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu. Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan. “Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog/diskusi tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya. Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama dan hukum Tuhan menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos. Menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. []

Tanpa ‘Ala

BERDASARKAN hadis-hadis yang otoritaif, ada tiga jenis ucapan “salam” yang diajarkan dan dipraktikkan oleh RasuluLah saw. Pertama, “assalaamu ’alaikum.” Kedua, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaah.” Ketiga, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaahi wabarakaatuh.” Ketiga ucapan “salam” tersebut bisa digunakan baik di dalam maupun di luar shalat. Khusus untuk di luar shalat, bagi siapa yang mendapat salah satu dari ucapan “salam” tersebut maka diwajibkan untuk menjawabnya dengan ucapan “salam” serupa dengan lafas yang sama pula. Bisa juga mengucapkan lafas “salam” yang kedua untuk menjawab “salam yang pertama dan mengucapkan lafas “salam” yang ketiga untuk menjawab “salam” yang kedua. Di samping ketiga ucapan “salam” tersebut, belakangan saya mendengar ada lagi dua jenis ucapan “salam” baru yang dipraktikkan oleh sebagian masyakat Islam saat ini. Pertama, “assalaamu ‘alaikum warahmatulLaahi ta’ala wabarakaatuh.” Kedua, “assalaamu ‘alaikum wa‘alaikunna warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah berari kamu/kalian dari kaum perempuan). Tulisan yang saya cetak tebal adalah ucapan tambahan dari lafas salam yang sudah ada. Sehingga saat ini ucapan “salam” jadi berjumlah empat jenis. Untuk kedua jenis ucapan “salam” terakhir, baik secara keseluruhan atau bagian tambahannya, saya tidak menemukan sumber asalnya atau dasar hukumnya. Bahkan yang membuat saya bingung adalah karena saya juga tidak bisa menjawab kedua ucapan “salam” tambahan tersebut. Karena, sekali lagi, baik ucapan “salam” dan jawabannya tidak pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh RasululLah saw. Namun kebingungan saya tidak berlangsung lama. Baru-baru ini seorang teman memberikan “pencerahan” kepada saya. Ia dengan cukup bijak mengajarkan kepada saya bagaimana menjawab ucapan kedua “salam” tambahan tersebut, khususnya jawaban ucapan “salam” tambahan yang pertama. Inilah jawabannya: “wa’alaikum salaam warahmatulLaahi TANPA ’ala wabarakaatuh.” Saya tahu bahwa “pengajaran” yang diberikan oleh teman saya tersebut tidak serius. Itu adalah salah satu “candaan spiritual” yang sering saling kami lontarkan. Saya juga tahu kalau ia ingin menyindir secara ironi terhadap kebiasaan sebagian masyarakat Islam yang doyan membuat bid’ah (inovasi terlarang) dalam agama ini. Selanjutnya saya juga dengan sedikit lancang dan nakal membayangkan, barangkali saja akan ada lagi ucapan-ucapan “salam” baru yang diperuntukkan secara khusus pula kepada orang-orang tertentu. 1. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaishagirna warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada orang-orang lanjut usia) 2. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaitiflana warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada anak kecil) 3. “Assalaamu ‘alaikum wa’alaikhunsana warahmatulLahi ta’ala wabarakaatuh.” (Ucapan “salam” khusus kepada para bencong, bancir dan waria). Silakan kawan-kawan mencari atau membuat sendiri jawabannya. Salam.

Purifikasi vs Stagnasi Agama

ADALAH niscaya bahwa dalam dinamika keberagamaan masyarakat Islam selama ini – yang secara kultural memiliki banyak dimensi – terdapat ragam pemikiran, sekurang-kurangnya ada dua arus utama. Pertama, pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian (purifikasi) agama. Kedua, paham yang didasarkan atas agama dan kultur. Kedua pemikiran ini memiliki dasar dan metode sendiri-sendiri, serta “keterbatasan” yang terdapat pada paham masing-masing. Pemikiran pertama adalah kalangan yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Kalangan ini berupaya menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai hierarki utama dan pertama dalam menetapkan dan melaksanakan konsensus hukum dalam Islam. Sedangkan kaidah-kaidah lain seperti ijtihad dan fatwa dari para elit atau lembaga Islam, istinbat para imam mazhab dan yang lainnya hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap saja. Pada kalangan ini ditabukan sikap taklid, yaitu sikap ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar penetapan dan pengamalan sebuah hukum dalam Islam. Pada kalangan ini paling ringan seseorang dibolehkan sebagai mutabbi, yaitu mengikuti atau mengamalkan sebuah ketetapan hukum Islam dengan terlebih dahulu mengetahui dasarnya. Pemikiran kedua adalah komunitas yang memilih metode mengikuti fikih mazhab. Komunitas ini lebih menitik beratkan pengambilan dan pengamalan hukum Islam kepada hasil ijtihad atau fatwa dari para elit, imam, tokoh, guru dan para pemuka agama dalam suatu mazhab Islam, ketimbang kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah. Makanya tidak heran dalam komunitas ini tumbuh subur sikap taklid. Sehingga tidak asing pula pada komunitas ini sering kita dengar adanya istilah “ujar guru,” “ujar ulama si Pulan,” “ujar qaul anu,” “menurut kitab ini,” “menurut pendapat si itu,” dan “ujar-ujar” dan “menurut-menurut” lainnya, yang semuanya mengarah kepada sikap stagnasi dan taklidisme, bahkan ke arah stagnasi dan taklidisme yang paling ektrim dan kebablasan sekalipun. Sangat langka kita temui adanya argumen “menurut Qur’an,” atau “menurut Sunnah,” pada komunitas ini. Perbedaan lain yang cukup mendasar pada kedua arus pemikiran tersebut adalah, kalangan pertama sangat menjunjung tinggi semangat ijtihad dan sikap inklusif, namun juga bercorak realis-kritis-pluraristik, serta tidak terlahir kultus individual yang kebablasan terhadap satu tokoh atau figur seseorang. Pada komunitas kedua lebih bernuansa tradisional dan komunal, sangat dominan bersikap eksklusif dan nyaris anti perbedaan, sikap taklid dan fanatik tumbuh dan berkecambah hampir ke semua lapisan. Pada komunitas ini juga banyak ditemukan pribadi-pribadi sebagai tokoh spiritual yang dijadikan tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh para tokoh ini telah menjadi “blue print” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Pada kalangan pertama tidak ada istilah ketaatan spiritual dan kepatuhan sosial yang dominan terhadap elit tertentu. Pada komunitas kedua sangat preventif dan doktrinal terhadap wibawa spiritual para tokoh. Di komunitas ini juga dipelihara stabilitas status qou demi menjaga “kelembaman spiritual” yang dikhawatirkan akan mengeliminasi wibawa spiritual para elit dan golongan. Masih ada perbedaan lain dari keduanya. Dalam hampir semua hal yang berkaitan dengan kehidupan Islam, kalangan pertama lebih mengefektifkan relegiusitas wahyu agar umat benar-benar memahami kesadaran agama secara lebih mentauhid, tanpa mengeliminasi kemungkinan ijtihad. Sedang komunitas kedua lebih menekankan bahwa agama harus dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan ke-Arab-an, begitu sering diandaikan komunitas ini, mereka menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah. Komunitas ini juga kentara sekali menjadikan ortodoksi agama sebagai otoritas agama sembari menutup rapat-rapat kesempatan ijtihad. Bahkan tidak jarang mereka menjadikan ortodoksi agama sebagai bolduser atas perilaku budaya atau keyakinan dan pendapat lain yang tidak sepaham. Akibatnya, jurang stagnasi kian tergaruk dan menganga lebar, fatwa-fatwa penyesatan sering dengan perih menyuling di kalangan umat, pun praktik-praktik humanisme dan relegiusitas wahyu terabaikan, dan menjelma menjadi tirani atas realitas pluralistik. Perbedaan ke sekian menunjukkan, kalangan pertama tidak menolak metode yang mengikuti fikih mazhab, apalagi anti mazhab, tapi kalangan ini tidak terikat dengan satu atau beberapa mazhab. Perbedaan pendapat dan pluraritas sangat dihargai dalam kalangan ini. Komunitas kedua hampir bisa dikatakan menolak metode yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Bahkan tidak jarang justru menolak dan menyalahkan komunitas yang mengikuti fikih mazhab yang lain. Tidak jarang pula dalam komunitas ini diproklamirkan propaganda bahwa pengamalan hukum-hukum Islam haruslah mengacu kepada salah satu sekte atau mazhab. Bahwa bagi mereka yang tidak mengikuti jalan pemahaman dan pengamalan Islam melalui sekte tertentu adalah bathil, tidak sah bahkan “sesat” (dengan atau tanpa tanda kutif). Sangat kuat kesan kalau mereka dalam komunitas ini memandang dirinya sebagai satu-satunya kalangan dalam Islam yang benar, yang selamat, yang masuk surga, sementara yang lainnya sesat dan masuk neraka. Tidak jarang pula argumen semacam ini justru dideklamasikan oleh para elit mereka dalam banyak kesempatan, bahkan ada yang sampai menjadikannya sebagai “fatwa penyesatan” terhadap kalangan lain yang tidak sepaham. Pada konteks lokal, argumen-argumen semacam ini juga menjadi “trade mark” dan ukuran standar dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha” di daerah ini, yang notabene menjadikan Imam Syafi’i sebagai pilihan sekte mereka, bahkan pilihan mayoritas masyarakat Islam di negeri ini. Mereka ini kita kenal dengan istilah “Mazhab Safi’i” atau pengikut Imam Syafi’i. Anak Judul (Strategi Kebudayaan??? Dalam memahami dan menyikapi kedua arus pemikiran Islam tersebut, kita perlu mencermati strategi “kebudayaan” di tiap daerah. Strategi ini merupakan wujud nyata dari upaya mendekati Islam yang memang beranjak dari latar belakang budaya lokal. Dalam hal ini adalah pemikiran yang mengupayakan menyelaraskan unsur-unsur ajaran Islam dengan konsep keberagamaan. Karena itu, antara kedua arus pemikiran tersebut – pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian agama dan paham yang didasarkan atas agama dan kultur – masih banyak orang yang tidak berupaya memahami apa yang baik di antara keduanya, tetapi justru mencari “sebanyak-banyaknya” apa yang buruk di antara satu sama lainnya. Tradisi berpikir seperti ini akan selalu dihadapkan pada konflik internal keagamaan. Saya melihat, stagnasi pemahaman keagamaan semacam inilah yang masih dimiliki oleh mayoritas masyarakat Islam saat ini, tak terkecuali di kalangan elitnya sekalipun. Karenanya, sudah sejatinya kalau umat ini memiliki pandangan-pandangan yang tegas, lugas dan luas namun toleran terhadap “setting sosio-relegius” dalam praktik kebergamaan setiap orang. Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencerna dan mencermati kitab-kitab klasik karya ulama tempo dulu, yang oleh sebagian umat masih dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Karena kecintaan terhadap sebuah kitab atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan dan membuntukan akal sehat. Sementara, stagnasi, fanatisme dan taklidisme semakin akut dan mengudapaksa. 

Sakralisasi dan Ahistorisasi Habib

DALAM khasanah budaya keberagamaan masyarakat Islam tradisional dan komunal, habib dimistifikasi begitu rupa sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals) yang nyaris tanpa cela dan sepi dosa. Performance yang demikian tentu saja memposisikan seorang habib sebagai “man of the glory” yang sebegitu dihargai dan dihormati tanpa reserve, yang tidak jarang melampaui penghormatan terhadap orang tua, karib kerabat bahkan kepada diri sendiri. Fakta tentang adanya para habib yang tanpa tedeng aling-aling melakukan pelanggaran terhadap norma sosial dan pakem syariat, tak menggugurkan sakralisasi tersebut, karena di sisi lain setiap habib diyakini niscaya mendapatkan “happy ending” atau khusnul khatimah di akhir hayatnya. Habib, dalam mistifikasi yang demikian, adalah seorang yang secara genetik punya garis kelahiran tersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun jalur periwayatan yang menjadi dasar lebih layak diperdebatkan, namun figur seorang habib akan selalu secara de vacto diamini memeram berbagai kelebihan dan karamah yang khariqul adat. Sakralisasi terhadap mistifikasi habib semacam itu berujung pula kepada pencitraan pribadi seorang habib sebagai manusia sakti mandraguna. Menjelmalah seorang habib menjadi pribadi “super hero” yang tidak sekadar sakralistik-monolitik, tetapi punya peran multi-ganda sebagai “polisi moral” sekaligus “bodyguard” umat. Sakralisasi dan mistifikasi tersebut barangkali disebabkan setidaknya oleh dua faktor dominan. Pertama, karena sebagian besar masyarakat Islam masih terjebak pada sikap kultuistik dan fanitisme tanpa ampun. Kedua, karena budaya taklidisme yang over dosis masih menjadi virus yang melumpuhkan sistem berpikir dan bersikap kritis umat. Hebatnya, masih ada pihak-pihak tertentu yang secara tidak resmi “melembagakan” budaya-budaya tribal semacam itu. Ahistoris Mistifikasi lain tentang habib, dan ini sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis, bahwa seorang laki-laki non habib dilarang menikahi wanita habib (syarifah). Namun peraturan ini tidak berlaku sebaliknya, di mana seorang laki-laki habib (syarif) tetap diberi kebebasan untuk menikah dengan wanita non syarifah – meski lebih diutamakan menikah dengan sesama syarif-syarifah. Alasannya, jika seorang laki-laki non habib menikahi seorang wanita syarifah, maka juriat ke-habib-an akan terputus, karena garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki. Jika argumen ini yang menjadi pegangan, maka dengan perasaan geli sekaligus kasihan dapat saya katakan, bahwa argumen tersebut adalah ahistoris. Karena fakta sejarah menunjukkan, Nabi saw. tidak memiliki seorang anak laki-laki pun yang hidup hingga dewasa sampai berkeluarga dan menghasilkan keturunan. Anak Nabi saw. yang hidup hingga dewasa dan mempunyai keturunan hanyalah Fatimah, seorang perempuan (saya tekankan: seorang perempuan), bersuamikan Ali, anak dari Abu Thalib, saudara kandung ayah Nabi saw., Abdullah. Ali sendiri merupakan kemenakan Nabi saw., anak dari Abi Thalib, paman Nabi saw. Perkawinan antara Fatimah dan Ali menghasilkan lima orang anak, Hasan, Husien, Zainab, Umi Kalsum dan Ali Ausath (yang lebih dikenal dengan sebutan Zainal Abidin). Sejarah kemudian mencatat, dan ini menjadi lembaran hitam sejarah Islam, Hasan tewas beberapa hari setelah diracun oleh tentara Yazid, anaknya Muawiyah. Husien juga gugur di padang Karbala pada hari Arafah, juga tewas dibunuh oleh tentara Yazid. Hasan tercatat memiliki beberapa isteri. Dari isteri-isteri inilah lahir sejumlah anak yang di kemudian hari – dengan latar belakang sejarah yang panjang dan kompleks – oleh sebagian kalangan disebut sebagai habib; seseorang yang secara genetik memiliki garis kelahiran dan nasab yang terhubung sampai kepada RasululLah saw. Singkatnya, semua kerabat RasululLah s.a.w. yang ada sampai hari ini adalah dari keturunan Fatimah, seorang perempuan (sekali lagi: seorang perempuan). Jelasnya lagi, tidak ada keturunan RasululLah s.a.w. dari jalur laki-laki. Pertanyaannya sekarang adalah – jika menggunakan argumen bahwa garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki – dari garis genetik “laki-laki” manakah para habib yang berseleweran di muka bumi saat ini? Politis Dalam jingukan saya, sakralisasi ini setidaknya dilatari oleh dua motif utama. Pertama, ketaatan kepada habib dianggap sama nilainya dengan kepatuhan terhadap guru, kiai, ulama, bahkan Nabi saw. Dan sikap tunduk, patuh dan tawadhu kepada habib tadi diyakini punya pengaruh terhadap kehidupan pribadi bersangkutan. Kedua, seorang habib dipercaya bakal jadi manusia cerdik pandai. Ia kelak mewarisi kedudukan datuknya – Muhammad saw. – jadi kiai, tuan guru atau ulama bahkan (di)wali(kan). Umat takut katulahan (kualat) kalau tidak taat apalagi sampai berani menentang dan menantang habib. Maka, dalam romantika masyarakat Islam komunal, termasuk untung bila bisa bergaul sedekat dan seakrab mungkin dengan habib. Dan itu juga bisa menjadi sebuah kebanggaan bahkan prestasi sekaligus pristise. Inilah yang akhirnya sering menelan korban, orang lupa belajar dan ngaji, khususnya dari kalangan santri; mengabaikan waktu sehari-hari lantaran terbuai keyakinan bahwa bergaul dengan habib ilmu bakal datang sendiri seakan runtuh begitu saja dari langit. Mistifikasi ini tidak hanya mengakar di lingkungan keberagamaan masyarakat tradisional, tetapi juga menjangkiti ranah kehidupan sosial politik. Dalam politik misalnya, banyak politisi yang kentara sekali menampilkan elitisme politik bernuansa primordialistik-relegik dengan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dan figur pemuka agama yang berpredikat habib. Tidak sedikit pula tokoh politik berpredikat habib yang terjun langsung dalam kancah politik praktis. Para habib sendiri juga tidak sedikit (kalau tidak disebut banyak sekali) yang sengaja membiarkan elistisme “habib” itu sebagai penentu asimetri kedudukan antara mereka dan umat lainnya. Mereka melancarkan eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkulturnya ke tingkat kehidupan sosial. Gelar habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualidan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para habib, menegaskan argumen ini. Sebagian habib memang ada yang menolak dimuliakan dan diwalikan oleh para pemujanya, tapi penolakan tersebut terlampau ringan dan sambil lalu dibandingkan dengan betapa seriusnya retardasi atau keterbelakangan “politis” yang terkandung dalam pemujaan irasional demikian. Kontradiktif Mistifikasi terhadap sakralisasi sosok habib yang demikian eksploitatif dan ekspansif bahkan agresif tersebut ditularkan oleh sejumlah pemuka Islam dan berhasil menyentuh ranah capaian yang mereka harapkan. Namun saya melihat capaian tersebut justru tidak membawa maslahat yang cukup positif terhadap umat dan Islam sendiri, setidaknya jika dilihat dari sudut pandang berikut: Dalam hubungan pergaluan antarmanusia (hablum min an naas), Islam tidak membenarkan adanya panghambaan manusia terhadap manusia lainnya. Islam adalah pelopor demi tercuatnya nilai moral pemerdekaan manusia dari belenggu eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk dan cara. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesedarajatan antarmanusia dan mengajarkan sikap untuk saling menghargai dan menghormati dalam takaran yang proporsional dan profesional, terhadap siapa dan bagaimanapun status orangnya, bahkan kepada kalangan non Muslim sekalipun. Berkenaan dengan nasab kelahiran, apakah historis kelahiran seseorang bisa dijadikan dasar sebagai level kemuliaan dibanding yang lain? Sementara, jalur kelahiran tidak selalu dapat diupayakan karena termasuk hak prerogatif AlLah. “Ningrat” tidak ditentukan oleh keturunan, tetapi diperoleh dengan tindakan. Habib tidak lebih mulia hanya karena secara genelogis nasab kelahirannya tersambung sampai kepada Muhammad saw., jika tidak dibingkai dengan kadar keimanan dan ketakwaan yang mumpuni sekaligus membumi. Mistifiksi terhadap sakralisasi habib adalah ahistoris dan sungguh tidak diperlukan dalam Islam, karena itu sejatinya dihumbalangkan. [] Kandangan, 12 Maret 2012