Monday, June 23, 2014

Klasifikasi Bid’ah

OLEH para pendukungnya, bid’ah (inovasi terlarang) diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Mereka memberi argumen dengan merujuk kepada pendapat sebagian ulama yang mengklasifikasikan bid’ah sebagaimana pembagian pada hukum-hukum syari’at yaitu menjadi lima bagian, sehingga bid’ah tidak dianggap sebagai sesuatu yang tercela secara multak. Hukum bid’ah pun menjadi ada yang wajib, mandub (dianjurkan bahkan terpuji), mubah (boleh), makruh, dan haram. Singkatnya, bid’ah mereka klasifikasikan menjadi dua: bid’ah dhlalah (inovasi terlarang) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan). Dalam kaidah hukum Islam yang saya pahami, pengklasifikasian bid’ah semacam itu merupakan suatu perkara yang justru diada-adakan, tidak mempunyai sandaran syar’i dan dengan sendirinya tertolak. Karena, hakekat bid’ah adalah perkara yang tidak didukung oleh dalil syar’i, baik dari nas maupun kaidah-kaidah syar’i lainnya. Sebab kalau ada dalil syar’i yang menunjukkan hukum bid’ah terbagi menjadi ada yang wajib, mandub, atau mubah niscaya tidak akan ada yang namanya bid’ah, dan niscaya amalan bid’ah akan masuk dalam perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan memilihnya. Jadi, menggabungkan anggapan adanya perkara-perkara bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang mengklasifikasikan hukum bid’ah menjadi wajib, mandub, atau mubah adalah menggabungkan dua hal yang sama sekali kontradiktif. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin perintah dan larangan hadir dalam satu kesempatan; mana mungkin halal dan haram dihukumkan kepada sesuatu dalam satu situasi dan kondisi? Lalau, bagaimana dengan argument yang diketengahkan oleh para pendukung bid’ah tersebut, yang merujuk pendapat sejumlah tokoh dan pakar yang mengklasifikasikan bid’ah menjadi bid’ah dhlalah (inovasi terlarang/menjerumuskan) dan bid’ah hasanah (inovasi kebaikan)? Secara singkat dan sederhana saya menjawab: AlhamdulilLah. Kenapa ‘alhamdulilLah? Karena pengklasifikasian bid’ah tersebut datang dari sejumlah tokoh dan pakar, bukan berasal AlLah dan Rasulullah saw. Artinya, di sinilah titik pangkal munculnya perselisihan yang terjadi selama ini dan tentunya dapat kita lacak bersama sumber muasalnya. Salah Pasang Dalil Riwayat Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam memang rancak banar dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian atau pengkategorian bid’ah oleh mereka. Namun sangat disayangkan, pengambilan riwayat tersebut sebagai dalil sering terkesan asal comot tanpa dilakukan pengkajian lebih (men)dalam. Padahal, aktivitas berjamaah dalam shalat qiyamul Ramadhan bukanlah bid’ah. Mengenai hal ini coba kita observasi hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, kemudian disahkan pula oleh At-Tirmidzi. Dalam hadits tersebut disebutkan: “faqaama binaa hattaa dzahaba tsulutsul-laili.” (maka RasululLah mengimami kami hingga sepertiga malam). Hadits tersebut menerangkan bahwa RasululLah shalat berjamaah dengan para sahabat, dan beliau bertindak sebagai imam. Shalat tersebut selesai pada sepertiga malam atau menurut perhitungan waktu sekarang kira-kira pukul sembilan malam. Shalat yang dilakukan beliau itu ialah yang dinamakan shalat qiyamul Ramadhan atau yang kita beri nama sekarang dengan shalat tarawih. Pada malam yang lain RasululLah shalat berjamaah lagi, shalat kali ini: “hatta dzahaba syatrul-laili.” (hingga tengah malam). Kemudian pada malam yang lainnya lagi Rasulullah mencontohkan hingga hampir waktu sahur. Hadits Abu Dzar tersebut menjelaskan bahwa RasululLah melakukan shalat tarawih dengan berjamaah. Perbuatan yang telah dilakukan oleh RasululLah tidak mungkin dan tidak bisa disebut bid’ah. Perihal perbuatan Khalifah Umar yang menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam, dia (Umar) memandang dan mengatakan hal tersebut sebagai “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama). Umar menyatakan demikian karena berjamaah dengan satu imam itu pernah berlaku pada zaman RasululLah. Jadi, yang dilakukan Umar ialah mengembalikan kepada contoh yang pernah dilakukan RasululLah, yang tentu saja sangat afdhal dan lebih utama. Coba kita cermati kembali apa maksud dari perkataan Umar tersebut. Umar mengatakan bahwa perbuatannya menyatukan kelompok-kelompok dalam shalat qiyamul Ramadhan menjadi satu jamaah dengan satu imam dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini), tentu bukan bid’ah dalam arti bid’ah dhalalah (inovasi terlarang). Karena “sebaik-baiknya” tidak mungkin disifatkan kepada sesuatu yang tidak baik. Para pendukung bid’ah boleh mengatakan: “yang terbaik di antara koruptor”, tetapi tidak mungkin mengatakan: “yang ter-sunnah di antara yang bid’ah” atau “yang terhalal di antara yang haram”. Oleh karena itu, terhadap ucapan Umar itu tentulah mesti digunakan arti yang lain, yang memang salah satu di antara makna ucapan itu ialah “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Hal itu sejalan dengan ucapan sebelumnya, yakni “lakaana amtsala” (keadaan yang lebih utama), sebab dia telah mengembalikan suatu ibadah kepada contoh utama dari RasululLah. Salah satu “arti yang lain” dari ucapan Umar tersebut adalah, tentang banyaknya masyarakat yang turut serta dalam aktivitas shalat berjama’ah pada malam-malam tersebut, bukan pada bentuk dan cara berjamaahnya. Sebab, sebagaimana telah disebutkan dalam sejarah, bahwa masyarakat Islam pada masa RasululLah “hanya” terdiri dari beberapa puluh atau ratus orang. Dan pada masa kepemimpinan Umar, Islam telah berkembang sedemikian pesat dengan jumlah pengikut cukup spektakuler. Nah, banyaknya jumlah orang yang ikut shalat qiyamul Ramadhan itulah (jika dibandingkan dengan jumlah pada masa RasululLah) yang dimaksudkan Umar dengan “ni’matil-bid-‘atu hadzihi” (sebaik-baiknya sesuatu yang baik adalah ini). Sikap sangat disayangkan sering juga dilakukan oleh para pendukung bid’ah ketika mengambil dalil. Mereka juga sering mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut sebagai dasar pengaklasifikasian bid’ah. “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik (sunnatan hasanah) maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu amalan yang jelek (sunnatan sayyiatan) maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim). Dalam penilaian saya, pengambilan hadits tersebut sebagai dasar untuk membenarkan adanya pengklasifikasian bid’ah sungguh tidak tepat. Ibarat kata pepatah, lain gatal lain yang digaruk. Saya juga sering terkejut ketika para pecandu bid’ah menafsirkan kata “sunnatan hasanah” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits riwayat Muslim di atas dengan makna inovasi (bid’ah) yang baik dan inovasi (bid’ah) yang buruk dalam lingkup ibadah murni. Bagaimana mungkin kata-kata sunnah bisa ditafsirkan dengan bid’ah??? Padahal, dari sekian kitab tafsir dan terjemah yang saya temukan, arti kata “sunnatan hasanatan” dan “sunnatan sayyiatan” dalam hadits tersebut adalah “amalan/kebiasaan yang baik” dan “amalan/kebiasan yang jelek”. Sumber-sumber kaidah hukum Islam yang saya temukan memberikan pemahaman atas sabda RasululLah “man sanna sunnatan hasanatan” dalam hadits tersebut bukanlah dengan makna “merintis amalan” secara mutlak, karena kalau tidak begitu akan menimbulkan pertentangan di antara dalil-dalil yang pasti penunjukan hukumnya. Maksud perkataan tersebut tidak lain adalah mengamalkan apa yang sudah ada dasarnya dari sunnah Nabi saw. Karena asbabul wurud (latar belakang) lahirnya hadits tersebut berkenaan dengan masalah shadaqah yang telah disyari’atkan, berdasarkan hadits shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: “Kami pernah bersama Nabi SAW di suatu siang. Tiba-tiba datanglah satu kaum dalam keadaan tidak mengenakan alas kaki dan pakaian sambil berselimut dan menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah Bani Mudhar; bahkan semuanya dari Bani Mudhar. Berubahlan raut muka Rasulullah manakala melihat kefakiran mereka. Lalu beliau masuk ke rumah, (tak berapa lama) kemudian keluar (lagi), lalu memerintahkan Bilal untuk berazan dan beriqamah, lalu shalat, kemudian berkhutbah. Dalam khutbahnya beliau berkata: “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa (QS. An-Nini-sa:1). Dan ayat dalam surat Al-Hasyr: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memeperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr:18)”. (Lalu Rasulullah berkata): “(Semoga ada) seorang yang mau bershadaqah dengan dinarnya, dirhamnya, bajunya, dengan setakar gandumnya, kurmanya,… - sampai mengatakan -: meski dengan separuh buah kurma.” Lalu ia (Jarir) berkata: Maka datang kepada beliau seorang dari kaum Anshar dengan membawa sebuah karung yang (padat berisi). Hampir-hampir tangannya tidak sanggup mengangkat karung tersebut; bahkan benar-benar tidak sanggup. Ia (Jarir) berkata: Kemudian orang-orang pun mengikuti tindakan orang tersebut sampai aku melihat ada dua tumpukan makanan dan pakaian. Aku melihat wajah Rasulullah bersinar keemasan. Lalu Rasulullah berkata: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik maka ia akan memperoleh pahala dari amalan dia sendiri dan dari orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka; dan barang siapa yang merintis suatu sunnah (amalan) yang jelek maka ia akan menanggung dosa dirinya sendiri dan dosa orang-orang yang (ikut) mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (HR Muslim, hadits No.1017). Perkataan RasululLah: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik” tersebut ditunjukkan kepada orang yang telah melakukan tindakan yang diminta oleh Rasulullah dengan sekuat kemampuannya hingga mau bersedekah sebanyak satu karung. Shadaqah orang tersebut menyebabkan terbukanya pintu shadaqah dari yang lain dengan jumlah yang begitu banyak. RasululLah merasa senang, lalu mengatakan: “Barangsiapa merintis suatu amalan yang baik dalam Islam.” Jadi, kata ‘amalan’ yang ada dalam hadits di atas adalah amalan seperti apa yang dilakukan oleh salah seorang sahabat tersebut yaitu amalan yang memang sebelumnya telah ditetapkan hukumnya adalah sunnah, yaitu shadaqah. Kedua riwayat yang sering dicomot sebagai justifikasi pengkalisfikasin bid’ah oleh para bid’ahmania tersebut menjadi sangat berharga untuk dilakukan observasi ulang secara lebih akurat dan mendalam. Sebab, dalam observasi saya, adanya proporsi pengklasifikasian bid’ah semacam inilah yang menjadi salah satu biang kerok bertumbuh dan berkecambahnya aktivitas-aktivitas keagamaan tanpa dasar – khususnya dalam ibadah murni – yang pada konsekuensi logisnya justru menjelma menjadi sindrom bid’ah itu sendiri. Setiap orang akan dengan mudah mengatasnamakan “bid’ah hasanah” pada aktivitas-aktivitas keagamaannya ketika tidak bisa menghadirkan sumber-sumber syar’i yang mendasarinya. Karena itulah, para ulama pembela sunnah sudah jauh-jauh hari dengan tegas mengultimatum: “Bahwa pelaku bid’ah itu lebih berbahaya daripada pelaku maksiat.” Hal ini bisa dicerna, karena seorang pelaku bid’ah secara sadar atau tidak, disengaja atau tidak, akan selalu meyakini bahwa segala aktivitas keagamaannya sebagai ibadah, yang konsekuensi logisnya akan jauh dari ranah introspeksi. Berbeda dengan orang yang melakukan maksiat, dia sengaja dan sadar bahwa perbuatannya menyalahi hukum syari’at sehingga besar kemungkinannya untuk merengkuh pintu taubat. Ijtihad dalam Bid’ah Saya juga sering mendengar bahwa memberikan ruang argumen terhadap pengaklasifikasian bid’ah tersebut adalah sebagai upaya pendidedikasian terhadap ranah ijtihad. Saya sangat tidak sependapat dengan tawaran ini, karena dalam kaidah pemahaman dan sudut pandang yang saya miliki, syari’at hukum Islam tidak memungkinkan memberi tempat untuk lahirnya istihad dalam bid’ah, karena justru hanya akan menyuburkan wabah bid’ah itu sendiri. Saya mengamini AbdulLah bin Mas'ud berikut, seorang sahabat terkemuka Rasulullah dan imamnya para mufassir, beliau mengatakan: “Membatasi diri hanya pada sunnah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah.” (Diriwayatkan Ahmad dan Ath-Thabrani). Klasifikasi bid’ah yang bisa diterima secara syar’i hanyalah adanya bid'ah hakiki dan bid'ah ‘amali. Bid'ah hakiki yaitu suatu perkara dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali lalu diada-adakan dan dianggap sebagai ibadah berpahala yang bersumber dari Islam. Misalnya, perayaan Maulid Nabi; peringatan Isra Mi’raj; ritual Nisfu Sa’ban; bertawasul kepada orang yang telah mati; kenduri kematian, (maniga hari, mamitung hari, maampat puluh, mahaul); hilah (fidyah/pembayaran berupa uang, emas atau harta berharga lainnya sebagai tebusan untuk dosa-dosa si mayit);* membaca al-Qur’an di atas kubur yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit; mengumandangkan azan saat mayat dikuburkan, ketika seorang mau pergi haji dan ketika terjadi kebakaran, dan lain-lain, dan lain-lain. Sedangkan bid'ah ‘amali yaitu suatu perkara dalam agama yang pada awalnya memang disyari’atkan, namun dalam aktivitas pengamalannya dipraktikkan dengan cara-cara dan ketentutuan-ketentuan serta waktu-waktu tertentu, sedangkan syari’at tidak menetapkan cara-cara, ketentuan-ketentuan dan waktu-waktu tersebut. Misalnya, melafadzkan niat ketika hendak mengerjakan shalat (ushalli), dan lafaz-lafaz niat dalam ibadah lainnya; shalat hajat berjamaah (seperti saat mau berangkat haji atau mau menempati rumah yang baru dibangun); menetapkan do’a qunut hanya pada setiap shalat subuh; mengkhususkan bacaan salah surat al Qur’an hanya pada salah satu waktu shalat; do’a atau zikir bersama (dengan satu komando); mentalqinkan mayit, dan lain-lain, dan lain-lain. Formulasi hukum dari kedua aktivitas bid’ah tersebut sama yaitu inovasi terlarang (bid’ah). Dan tiap-tiap inovasi terlarang (bid’ah) adalah menjerumuskan (dhalalah). Sedangkan setiap yang menjerumuskan (tempatnya) adalah neraka. Kullu bid’atin dhalalah, kullu dhalalah fin naar.  *) Biasanya fidyah dilakukan sesaat sebelum jasad si mayit dikuburkan. ….

No comments:

Post a Comment