Monday, June 23, 2014

Datutainment

ADA satu asimetri unik dalam tradisi masyarakat Islam Banjar, yaitu pengasimilasian sosok seorang Datu. Datu, dalam ranah kultural urang Banjar, adalah etalase “urang bahari” dengan perfomance yang memiliki keistemewaan-keistemewaan tertentu. Datu bisa saja berasal dari kalangan tokoh adat, pemuka agama, habib, dan “urang bahari” lainnya. Karena demikian kuatnya eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkultur yang disematkan kepada seorang Datu, maka oleh sebagian besar masyarakat Islam Banjar dianggap bakaramat bahkan sampai ada yang berderajat wali. Asimetri tersebut telah menjadi fakta historis yang melegenda di tanah Banjar sejak masa yang tidak bisa disebutkan. Fakta ini berbanding lurus dengan bukti nyata di mana di seluruh pelosok tanah Banjar, mulai dari Hulu Sungai sampai Hilir Barito, bertabur makam para Datu. Sekadar menyebut sejumlah tempat dan nama, di Tanjung ada makam Datu Harung (penulis kitab Dar an Nafs). Di Amuntai ada makam Wali Amut (Hambuku). Di Barabai ada makam Wali Katum (Tabu Darat). Di Kandangan ada makam Datu Taniran atau H. M. Thaib atau H. Sa’aduddin (Taniran), makam Datu Hamawang atau Sulaiman Kurdi atau Pangeran Sukarama atau Pangeran Kacil (Hamawang), makan Datu Singakarsa (Pandai), makam Datu Akhmad (Balimau), makam Datu Kubra (Sungai Paring), makam Datu Bagut (Batu Bini), makam Habib Abu Bakar, makam Habib Muhammad, makam Habib Ahmad, makam Habib Iberahim (Lumpangi). Di Nagara ada makam Habib Ibrahim (Sungai Mandala), makam Surgi Tuan (Teluk Haur), makam Kubah Dingin (Pasungkan). Di Tapin ada makam Datu Sanggul (Tatakan), makam Datu Nuraya (Lokpaikat), makam Datu Suban (Tatakan). Di Martapura, Kabupaten Banjar, ada makam Datu Pelampayan atau Syekh Muhammad Asyad Al Banjari – dalam dealek Hulu Sungai disebut Datu Kulampayan, makam Seman Jalil, makam Seman Mulia, makam Guru Sekumpul atau K.H. Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai (Sekumpul), makam Abah Anang atau K.H. Djazouly Seman, makam Datu Marlim (Mandi Angin). Di Pelaihari ada makam H. Iberahim (Pulau Datu, Batakan). Di Banjarmasin ada makam Saberan Katjil (Taluk Dalam), makam Habib Basirih (Basirih). Di Marabahan ada makam Datu Qadi Abdush Shamad bin Mufti H. Jamaluddin bin H. M. Arsyad al Banjari. Dan sederet makam Datu-Datu lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Kuburan Datu yang terserak di seluruh penjuru Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) tersebut saat ini sebagian sudah dijadikan sebagai obyek wisata religius oleh pemerintah daerah setempat, atau juga secara “suka rela” oleh masyarakat sekitar; menjadi tempat ziarah bagi masyarakat Kalimantan Selatan bahkan luar Kalimantan. Meski saya tidak mendata secara pasti, namun dapat dikalkulasi bahwa grafik penziarah yang menggelontor ke kubur Datu-Datu tersebut selalu melonjak setiap waktunya, meski juga terkadang mengalami fluktuatif. Saya melihat, semangat ziarah masyarakat tersebut seolah menjadi semacam ecovery atas berbagai gerusan spiritual dan dekadensi moral yang selama ini mengudapaksa. Namun di balik gairah keberagamaan yang tersirat dalam semangat para penziarah tersebut, saya juga mengendus ada efek karambol yang kontra produktif dan sangat memprihatinkan, yaitu lunturnya integritas tauhid dan goyahnya bangunan akidah yang mulai menyuling secara kasat mata. Proses dan praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat tersebut ternyata tidak selalu identik dengan semangat spiritual dan penghayatan nilai-nilai agama. Bagi mereka yang melaksanakan langsung (pelaku ziarah ke kubur para Datu), ziarah bisa jadi dianggap sebagai penghayatan spiritual atau semangat agama. Tapi, bagi sekelompok orang ziarah ke kubur para Datu justru menjadi momentum yang menguntungkan. Kelompok itu adalah, pertama para penjual kuburan Datu sebagai tempat ziarah. Kelompok ini mampu menjual kuburan Datu sebagai komoditas. Sebagian menjadikan kuburan Datu sebagai komoditas ekonomi perseorangan atau kelompok. Atas nama menjaga tradisi, mengamalkan dan menghayati nilai-nilai agama, mereka menjajakan kuburan Datu kepada kalangan berduit, jamaah pengajian dan masyarakat luas. Sebagian biaya konon diserahkan kepada keluarga atau juriat yang melihara kuburan Datu. Sebagaian besar lagi – bahkan sangat besar – masuk ke pundi-pundi pribadi penjual ziarah. Kelompok yang saya maksud di sini adalah mereka yang mengelola “Wisata Datu” seperti layaknya pelaksanaan tour Wali Songo ke Pulau Jawa atau pengusaha travel perjalanan haji plus dan umrah. Bedanya, pelaksanaan haji dan umrah jelas ada tuntunan syari’atnya, sedang ziarah ke kubur para wali dan Datu tertentu tidak ada kaifiyatnya dalam agama. Pelaksana kegiatan ini biasanya adalah dari elit pemuka agama berpengaruh, atau kalangan berduit yang mengandalkan ketokohan seorang pemuka agama kharismatik sebagai subyek promosi. Kedua adalah kelompok yang menjadikan kuburan Datu sebagai komoditas politik. Kuburan Datu bisa dimanfaatkan sebagai ajang kampanye dan ladang jualan politik bagi para politisi dan partai politik. Pengurus atau anggota partai politik, caleg, dan (calon) kepala daerah biasa menyumbang berbagai barang dan uang untuk pemeliharaan dan pengelolaan kubur para Datu. Pelaksanaan penyerahan sumbangan biasanya disaksikan oleh khalayak ramai, tokoh adat dan pemuka agama – orang-orang yang punya basis massa signifikan. Seringkali sumbangan dan bantuan yang diberikan hanyalah bersifat simbolis, seremonial dan sporadis. Sumbangan sekadarnya tersebut diserahkan kepada “konstituen” dengan peliputan media massa yang mewah, wah dan “ah”. Ekspos media merupakan komoditas dan instrument kampanye yang ampuh untuk menarik simpati massa. Ketiga adalah kelompok penikmat ziarah ke kubur para Datu. Bagi kelompok ini, ziarah ke kuburan Datu merupakan “hiburan islami” dan “wisata spiritual” yang menarik dan mengasyikkan, bukan lagi semata sebagai semangat spiritual dan penghayatan nilai-nilai agama. Sebagian mereka merasa enjoy menikmati perjalanan ziarah ke kuburan Datu sebagaimana sebuah wisata atau liburan. Melaksanakan ziarah ke kuburan Datu sama menariknya seperti melakukan tamasya atau berlibur ke pantai atau wahana hiburan; sama gembiranya seperti menonton tayangan infotainment atau pagelaran musik dan olahraga dari siaran telivisi. Selama ziarah, kelompok penikmat “Wisata Datu” ini mengunjungi daerah-daeah di Kalimantan Selatan di mana terdapat kubur para Datu. Mereka mendatangi dan menyaksikan langsung kuburan dan tempat-tempat bersejarah para Datu untuk bahan cerita atau “gosip islami” sepulang ziarah. Keempat adalah kelompok yang memanfaatkan ketokohan para Datu di Tanah Banjar dengan cara menulis dan membukukan biografi atau manakib mereka. Kelompok ini memang tidak secara langsung mendapatkan keuntungan secara materi yang besar dari penulisan dan pembukuan biografi para Datu terserbut. Tetapi kehadiran buku-buku biografi para Datu tersebut juga secara tidak langsung akan memfasilitasi masyarakat pengagum Datu dan pelaku ziarah. Masyarakat pengelola dan pencinta ziarah ke kuburan Datu akan memburu buku-buku tersebut sebagai pelengkap ziarah. Masyarakat lainnya menggunakan buku-buku biografi tersebut sebagai sumber rujukan dan informasi dalam pelaksanaan ritual pembacaan manakib para Datu. Kelima adalah kelompok yang cuek dan sangat menjaga jarak – bahkan cenderung apriori – dengan keberadaan kubur para Datu. Berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok ini tidak mengambil keuntungan seperti yang lainnya dari kubur maupun ketokohan para Datu, baik keuntungan sosial atau material apalagi politis. “Keuntungan” yang barangkali diperoleh hanya dari sisi spiritual, disebabkan mereka mengambil langkah preventif karena khawatir kalau sampai terjerumus kepada keyakinan yang tidak benar atau penyakit TBC (tahayul, bid’ah dan churafat) jika harus memerlakukan kuburan Datu secara tidak proporsional. Tidak jarang kelompok ini juga melakukan tindakan konfrontatif terhadap kalangan pemuja Datu. Sikap berseberangan dengan tradisi dan pemikiran arus-utama dari kelompok ini bukan tanpa resiko dan konsekuensi. Kelompok ini senantiasa mendapat reaksi negatif dan perlakuan tidak simpatik dari kalangan lain; dianggap anti Datu, anti wali, anti tuan guru atau anti pemuka agama, bahkan sering dituduh anti orang-orang bakaramat dengan segala embel-embelnya. Resiko lainnya adalah mereka menjadi miskin dari referensi kehidupan tokoh-tokoh Banua seperti keberadaan para Datu sebagai khasanah budaya dan tradisi keberagamaan di Tanah Banjar – tentu tanpa dikaitkan secara langsung dengan konteks syari’at dan ranah ibadah dalam agama. Perjalanan terakhir dari “Wisata Datu”, sebagaimana sering saya dengar dari penuturan para pelaku ziarah sendiri, adalah mengunjungi satu Datu yang akhir-akhir ini paling terkenal dan paling menyedot pengunjung dari masyarakat Kalimantan Selatan, yaitu Datu Mall (plesetan dari Duta Mall), sebuah pusat perbelanjaan terbesar yang ada di Banjarmasin. Fenomena terakhir ini membuat saya memiliki sebuah adagium baru, bahwa ziarah ke kubur Datu sudah berubah dari tradisi lokal ke prosesi ritual. Dari seremoni kultural ke rekreasi spiritual. Dari rekreasi spiritual ke transaksi sosial. Dari transaksi sosial ke posisi kapital. Dari posisi kapital ke relaksasi komunal. Ziarah ke kubur Datu telah menjadi sikap simbolik keberagamaan dan ajang transaksi religiusitas serta monopoli eksistensi spiritualitas. Landasan Syar’i Saya ingin membicarakan lebih jauh sikap konfrontatif kelompok terakhir. Menurut kelompok ini, sikap yang mereka ambil tersebut bukan tanpa dasar, mereka beragumen dengan landasan syar’i. Bahwa tidak ada tuntunannya dalam agama (Islam) untuk melaksanakan ziarah ke kubur Datu atau orang tertentu kecuali ziarah ke makam RasululLah saw. di Madinah saat pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Ziarah ke kuburan Datu atau orang tertentu dengan tata cara tertentu pula, dalam terminologi fikih Islam bisa dikatagorekan sebagai inovasi terlarang atau lebih populer disebut dengan bid’ah, khususnya dengan menimbang pada bentuk ziarah dan ritual tertentu seperti yang dipraktikkan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan saat melakukan ziarah ke kuburan Datu selama ini. Argumen lain kelompok ini adalah adanya begitu banyak ketidakjelasan berkaitan dengan sumber-sumber yang memuat informasi seputar kehidupan dan ketokohan para Datu tersebut. Buku-buku biografi atau manakib para Datu sendiri, yang merupakan referensi tertulis yang selama ini menjadi sumber rujukan – di samping cerita lisan yang berseliweran di masyarakat –, sebagian besar dibuat hanyalah berdasar “ujar-ujar” dan cerita imajinatif para penulisnya semata, tanpa melalui selektifitas yang ketat dan standar baku penulisan biografi yang memadai. Hal ini terutama sekali menyangkut kehidupan dan keberadaan para Datu yang hidup di masa lampau sebelum adanya sumber informasi dan sarana teknologi komunikasi seperti saat ini. Biografi itu biasanya memuat peristiwa-peristiwa lita’azibiyah dan cerita-cerita khariqul adat dari kehidupan seorang Datu. Ceritanya disusun dengan kalimat dan bahasa yang begitu memikat, akan tetapi materinya tidak didukung oleh riwayat yang akurat. Sebagian informasinya mungkin benar sesuai riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sebagian besar lainnya hanyalah merupakan dongeng isapan jempol dan khayalan kosong dari sang penulis, yang dirangkum dari “ujar-ujar” yang berseleweran di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit dari riwayat-riwayat tersebut yang sangat bertentantang dengan akal sehat dan hukum syari’at. Tegasnya, cerita-cerita tersebut lebih berdasarkan pada sumber-sumber yang tidak jelas dan banyak bertentangan dengan sumber dasar hukum Islam. Pun, di samping faktanya tidak ada, juga sering menimbulkan kultus yang over dosis. Cerita-cerita imajinatif dalam manakib para Datu tersebut, karena dipercaya sepenuhnya, dilahap dan ditaguk bulat oleh sebagian masyarakat Islam di Kalimantan Selatan, sehingga berbahaya dalam akidah. Hikayat-hikayat berikut menjadi fakta obyektif tak terbantahkan. Dikisahkan bahwa Datu Sangggul, pengarang kitab Barincung, semasa hidupnya konon shalat Jum’at setiap minggu ke Masjidil Haram di Makkah, dan waktu pulangnya berbarengan dengan jama’ah shalat Juam’at di Banua sambil membawa nasi kabuli yang dibungkus dengan daun pisang. Diceritakan pula bahwa Datu Hamawang sampai kini belum mati tetapi “gaib”. Informasi tersebut konon diperoleh dari seorang kerabat Datu Hamawang yang masih hidup yang mendapat wasiat dari Datu Hamawang lewat mimpi. Dalam mimpi tersebut, diceritakan Datu Hamawang berpesan agar dirinya jangan dihauli karena dirinya belum mati. Cerita lain menyebutkan, ketika seorang warga Banua melaksanakan ibadah haji, dia bertemu dengan Katum, seorang warga dari kampung Tabudarat, Hulu Sungai Tengah. Di Mekkah Katum dijumpai sedang melaksanakan tawaf di Masjidil Haram sambil membawa butah (tas ransel dari anyaman bilah bambu yang disangkutkan di pundak). Setelah pulang dari berhaji, orang Banua tadi bertamu ke rumah Katum di kampung Tabudarat. Di kampung Tabudarat, didapati Katum ternyata hanya bertapa di kamar rumahnya. Maka tersiarlah kabar hahwa Katum bakaramat, karena mampu melaksanakan ibadah haji secara khariqul adat, menyalahi kebiasaan orang kebanyakan, dan setelah wafat tersematlah gelar wali kepadanya. Dikenallah sampai sekarang dengan sebutan Wali Katum. Konon lagi, diceritakan pula bahwa KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai atau Guru Sekumpul mampu menghadirkan buah rambutan di luar musimnya; dikjaya menghentikan arus banjir ketika hendak menghadiri haul Datuknya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ke 189 tahun 1995; mampu menangkapi bom yang dijatuhkan tentara Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak sewaktu sengketa Kuwait atau Pertak Teluk I, kemudian membuang bom-bom yang ditangkapnya tersebut ke laut Merah. Dan seabrek kisah-kisah lita’azibiyah lainnya seputar kehidupan para Datu, pemuka agama, tuan guru, habib dan tokoh masyarakat tertentu. Cerita-cerita imajinatif tersebut baik yang tercantum dalam buku-buku manakib atau yang terserak secara lisan di masyarakat Kalimantan Selatan. Selebihnya, berkembang pula riwayat-riwayat seputar penemuan kuburan Datu. Banyak kuburan Datu di Kalimantan Selatan yang diketahui atau ditemukan hanya berdasarkan mimpi atau wangsit – biasanya dari para juriat atau seorang pawang agama. Satu atau beberapa kubur Datu yang awalnya tidak dikenal, atau areal tanah tertentu yang pada mulanya bahkan tidak ada kuburannya sama sekali, tiba-tiba dijadikan – lebih tepatnya diyakini – sebagai tempat kuburan Datu. Yang lebih membuat nalar sehat jadi miris, adanya fakta lahir dari Datu-Datu tersebut yang semasa hidupnya malah melakukan pelanggaran syari’at, bahkan ada yang justru lebih mirip orang gila ketimbang orang saleh apalagi wali – kecuali wali “baris di atas” –; bertelanjang bulat ke mana-mana, pun di depan umum. Tetapi setelah meninggal dunia justru disebut dan diyakini sebagai wali AlLah. Seperti sudah menjadi kebenaran sebuah adagium, semakin gila sikap lahir seorang Datu, semakin tinggi derajat kewaliannya. Semakin brengsek parigal seorang Datu di mata syari’at, maka semakin mumpuni maqam kasyaf yang dititinya. Tuli dan Bisu Dalam konteks ini, peran akal sebagai fakultas wahyu sudah tidak lagi mendapat tempat. Nalar kritis sebagai nakhoda interpretasi dan perspektif dasar-dasar agama sudah tidak lagi punya harga. Sudah ditukar dengan kemegahan taklidisme dan kedigjayaan kultuistik tanpa ampun. Bagi kalangan ini, ini menurut penilaian saya, salah satu aspek beragama mereka berarti mencapai ketundukan dan kepatuhan kepada Datu. Dengan interpretasi tertentu, kalangan ini hendak mengatakan bahwa sebagai pemeluk agama yang taat, kita harus tunduk dan patuh pada segala interpretasi dan perspektif keagamaan a la Datu tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Datu memerintahkan hal ini, melarang itu, kenapa Datu melakukan ini, melanggar itu. Tugas mereka nyaris seperti “budak” yang wajib taat tanpa berpikir pada sebuah perintah atau larangan Datu. Pemahaman keagamaan seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama – apalagi sekadar dari Datu – harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar. Karena Quran sendiri berkali-kali dalam banyak ayatnya disudahi dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir. Sebuah ayat yang sangat menarik perhatian saya ketika menulis masalah ini adalah ayat berikut, “inna syarra al-dawabbi ‘inda al-Lahi al-shumm al-bukm al-lazina la ya’qilun.” (QS 8:22). Terjemahan bebasnya adalah: “seburuk-buruk binatang melata di muka bumi adalah orang-orang tuli dan bisu yang sama sekali tak memakai akal mereka.” Ayat di atas bukan semacam kutukan bagi mereka yang secara fisik menderita cacat tuli dan bisu. Dua kata itu dipakai dalam ayat di atas secara metaforis. Ayat itu sudah menjelaskan dirinya sendiri: tuli dan bisu di sana merujuk kepada orang-orang yang tak memakai akal. Yakni mereka yang hanya tunduk pada tradisi dan pemahaman yang sudah berlaku umum, tanpa memeriksa pemahaman itu secara kritis dengan akal sehat. Saya meyakini bahwa memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tidak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat AlLah mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: “qalu wajadna aba’ana kazalika yaf’alun”. (QS 26:74). Terjemahan bebasnya: “mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya.” Ayat itu adalah kritik terhadap masyarakat pada masa Nabi Ibrahim yang “ngotot” merawat tradisi keagamaan mereka tanpa berpikir kritis. Mereka menolak dakwah Ibrahim dengan alasan yang sangat “tipikal” pada semua masyarakat manapun: “kami hanya mengikuti tradisi yang sudah dijamin teruji”; “kami tak mau ambil resiko mengikuti anda yang belum jelas reputasinya.” Masyarakat manapun memang cenderung konservatif, alias menjaga tradisi dan merawatnya secara membabi-buta, walaupun bukti-bukti rasional menunjukkan bahwa praktek yang ada itu sudah tak tepat sama sekali dan berlawanan dengan semangat zaman. Ayat itu relevan sebagai kritik bukan saja untuk masyarakat pada masa Nabi Ibrahim, tetapi juga keadaan umat Islam sendiri saat ini, bil khusus masyarakat Islam pengkultus Datu di tanah Banjar. Semangat taklid buta tanpa berpikir kritis sangat dikecam dalam banyak ayat dalam al Quran. Itulah “tuli” dan “bisu” yang dikritik oleh Quran: sikap keras kepala, tak rasional, tak mau membuka diri pada perkembangan baru yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks lokal seperti pembahasan pada tulisan ini, orang-orang seperti itu mempunyai prinsip yang khas: pokoknya Datu mengatakan/melakukan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah agama, padahal mereka mengabaikan perintah agama yang lain untuk berpikir kritis. Oleh Quran, orang-orang semacam ini disebut sebagai “syarr al-dawabb”, binantang melata yang paling buruk. Kata “dabbah” (bentuk tunggal dari kata “dawabb”) secara harafiah berarti “kullu ma yadibbu ‘ala al-ard”, segala hewan yang merangkak atau melata di muka bumi. Meskipun kata “dabbah” biasa dipakai untuk menyebut hewan yang biasa dikendarai sebagai alat transportasi (seperti kuda, keledai, atau unta), yang dimaksud dengan kata itu dalam ayat di atas adalah manusia. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang tak memakai akal mereka. Dengan bersembunyi di balik alasan “tunduk pada perintah Datu”, sebagai pemuka agama bahkan sebagai wali AlLah, orang-orang yang disebut “syarr al-dawabb” itu menolak untuk memakai pendekatan yang kritis dalam memahami perintah-perintah agama. Pemahaman Islam yang saya tawarkan selama ini – lebih khusus lewat kritik dalam tulisan ini – adalah ingin mengajukan cara pandang yang lain. Yaitu mewaraskan nalar beragama dengan berpikir kritis. Berpikir kritis, termasuk dalam memahami perintah-perintah agama, lebih-lebih perintah dan perilaku para Datu, adalah bagian dari keislaman itu sendiri. Berpikir secara rasional dalam masalah agama adalah bagian dari perintah agama itu sendiri. Berpikir kritis dalam agama bukan berarti membangkang terhadap agama, apalagi menolak keberadaan para Datu. Instrospeksi Datu-Datu di Tanah Banjar sudah menjadi legenda. Ziarah ke kubur para Datu sudah menjadi budaya. Namun belakangan saya melihat ada pergeseran peran dan nilai yang menjadi pandemi. Oleh sebagian masyarakat Islam Kalimantan Selatan keberadaan para Datu dan sejumlah tokoh agama sudah dianggap sebagai “great person”, figur kharismatik yang secara personal dan kultural sangat dihormati tanpa reserve. Yang secara pragmatis demikian dipuja dan dikultus bahkan secara over dosis. Yang secara sosiologis ditempatkan pada maqam wali, dijadikan “man of the glory”, manusia bakaramat yang membuat katulahan bila dipermasalahkan apalagi dikritik. Karena posisi askriptif seorang Datu (sebagai juriat “darah biru”) dan jenjang religiositas (sebagai tokoh adat, kiai, tuan guru, habib dan barangkali “wali”) yang demikian menggurita di masyarakat, di tengah kehidupan yang serba pragmatis ini, keberadaan para Datu ini (lebih-lebih mereka yang masih hidup) sangat dihormati dan fatwa-fatwa serta gerak-laku mereka dijadikan pijakan kuat. Para tokoh dan pemuka agama kharismatik yang masih hidup itu akan dihormati dan dimistifikasi begitu rupa dalam masyarakat yang “steady”. Keberadaan para Datu dan tokoh masyarakat tersebut tak ubahnya layaknya seorang pemimpin umat, baik secara pribadi ataupun kelembagaan yang dimiliki/dipimpin oleh para Datu dan tokoh masyarakat tersebut. Dalam masyarakat seperti ini, nilai-nilai budaya tribal sekalipun akan ditaguk bulat dengan suka rela karena dianggap sangat sesuai dengan kebutuhan dan ampuh untuk menangkal degradasi moral dan kerancuan nilai kehidupan di tengah berbagai kesulitan, mereka akan tetap bertahan dan komit dengan nilai-nilai budaya tribal semacam ini. Masalahnya, masyarakat sekarang tidak lagi “steady”. Masyarakat sekarang berada pada tataran “distortion” di mana nilai-nilai budaya, tradisi dan agama senantiasa mengalami guncangan hebat (wobble). Dalam situasi demikian, malaise peran Datu secara pribadi maupun kelembagaan tidak bisa dihindari. Perihal malaise semacam ini, Nabi Muhammad mewantikan: “...akan datang suatu masa di mana orang bodoh dijadikan pemimpin. Mereka sendiri sesat dan menyesatkan orang lain.” Para tuan guru, pemuka agama, habib dan tokoh masyarakat – apalagi yang berpotensi menjadi seorang Datu – sekarang ada baiknya selalu berbenah dan instrospeksi diri. Jika tidak, saya khawatir wanti-wanti Nabi Muhammad tersebut akan benar-benar meluah-labuh dan mengudapaksa. [] Kandangan, 7 September 2012 22:48 Wita

No comments:

Post a Comment