Monday, June 23, 2014

Sakralisasi dan Ahistorisasi Habib

DALAM khasanah budaya keberagamaan masyarakat Islam tradisional dan komunal, habib dimistifikasi begitu rupa sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals) yang nyaris tanpa cela dan sepi dosa. Performance yang demikian tentu saja memposisikan seorang habib sebagai “man of the glory” yang sebegitu dihargai dan dihormati tanpa reserve, yang tidak jarang melampaui penghormatan terhadap orang tua, karib kerabat bahkan kepada diri sendiri. Fakta tentang adanya para habib yang tanpa tedeng aling-aling melakukan pelanggaran terhadap norma sosial dan pakem syariat, tak menggugurkan sakralisasi tersebut, karena di sisi lain setiap habib diyakini niscaya mendapatkan “happy ending” atau khusnul khatimah di akhir hayatnya. Habib, dalam mistifikasi yang demikian, adalah seorang yang secara genetik punya garis kelahiran tersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun jalur periwayatan yang menjadi dasar lebih layak diperdebatkan, namun figur seorang habib akan selalu secara de vacto diamini memeram berbagai kelebihan dan karamah yang khariqul adat. Sakralisasi terhadap mistifikasi habib semacam itu berujung pula kepada pencitraan pribadi seorang habib sebagai manusia sakti mandraguna. Menjelmalah seorang habib menjadi pribadi “super hero” yang tidak sekadar sakralistik-monolitik, tetapi punya peran multi-ganda sebagai “polisi moral” sekaligus “bodyguard” umat. Sakralisasi dan mistifikasi tersebut barangkali disebabkan setidaknya oleh dua faktor dominan. Pertama, karena sebagian besar masyarakat Islam masih terjebak pada sikap kultuistik dan fanitisme tanpa ampun. Kedua, karena budaya taklidisme yang over dosis masih menjadi virus yang melumpuhkan sistem berpikir dan bersikap kritis umat. Hebatnya, masih ada pihak-pihak tertentu yang secara tidak resmi “melembagakan” budaya-budaya tribal semacam itu. Ahistoris Mistifikasi lain tentang habib, dan ini sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis, bahwa seorang laki-laki non habib dilarang menikahi wanita habib (syarifah). Namun peraturan ini tidak berlaku sebaliknya, di mana seorang laki-laki habib (syarif) tetap diberi kebebasan untuk menikah dengan wanita non syarifah – meski lebih diutamakan menikah dengan sesama syarif-syarifah. Alasannya, jika seorang laki-laki non habib menikahi seorang wanita syarifah, maka juriat ke-habib-an akan terputus, karena garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki. Jika argumen ini yang menjadi pegangan, maka dengan perasaan geli sekaligus kasihan dapat saya katakan, bahwa argumen tersebut adalah ahistoris. Karena fakta sejarah menunjukkan, Nabi saw. tidak memiliki seorang anak laki-laki pun yang hidup hingga dewasa sampai berkeluarga dan menghasilkan keturunan. Anak Nabi saw. yang hidup hingga dewasa dan mempunyai keturunan hanyalah Fatimah, seorang perempuan (saya tekankan: seorang perempuan), bersuamikan Ali, anak dari Abu Thalib, saudara kandung ayah Nabi saw., Abdullah. Ali sendiri merupakan kemenakan Nabi saw., anak dari Abi Thalib, paman Nabi saw. Perkawinan antara Fatimah dan Ali menghasilkan lima orang anak, Hasan, Husien, Zainab, Umi Kalsum dan Ali Ausath (yang lebih dikenal dengan sebutan Zainal Abidin). Sejarah kemudian mencatat, dan ini menjadi lembaran hitam sejarah Islam, Hasan tewas beberapa hari setelah diracun oleh tentara Yazid, anaknya Muawiyah. Husien juga gugur di padang Karbala pada hari Arafah, juga tewas dibunuh oleh tentara Yazid. Hasan tercatat memiliki beberapa isteri. Dari isteri-isteri inilah lahir sejumlah anak yang di kemudian hari – dengan latar belakang sejarah yang panjang dan kompleks – oleh sebagian kalangan disebut sebagai habib; seseorang yang secara genetik memiliki garis kelahiran dan nasab yang terhubung sampai kepada RasululLah saw. Singkatnya, semua kerabat RasululLah s.a.w. yang ada sampai hari ini adalah dari keturunan Fatimah, seorang perempuan (sekali lagi: seorang perempuan). Jelasnya lagi, tidak ada keturunan RasululLah s.a.w. dari jalur laki-laki. Pertanyaannya sekarang adalah – jika menggunakan argumen bahwa garis nasab kerutunan seorang habib adalah dari jalur laki-laki – dari garis genetik “laki-laki” manakah para habib yang berseleweran di muka bumi saat ini? Politis Dalam jingukan saya, sakralisasi ini setidaknya dilatari oleh dua motif utama. Pertama, ketaatan kepada habib dianggap sama nilainya dengan kepatuhan terhadap guru, kiai, ulama, bahkan Nabi saw. Dan sikap tunduk, patuh dan tawadhu kepada habib tadi diyakini punya pengaruh terhadap kehidupan pribadi bersangkutan. Kedua, seorang habib dipercaya bakal jadi manusia cerdik pandai. Ia kelak mewarisi kedudukan datuknya – Muhammad saw. – jadi kiai, tuan guru atau ulama bahkan (di)wali(kan). Umat takut katulahan (kualat) kalau tidak taat apalagi sampai berani menentang dan menantang habib. Maka, dalam romantika masyarakat Islam komunal, termasuk untung bila bisa bergaul sedekat dan seakrab mungkin dengan habib. Dan itu juga bisa menjadi sebuah kebanggaan bahkan prestasi sekaligus pristise. Inilah yang akhirnya sering menelan korban, orang lupa belajar dan ngaji, khususnya dari kalangan santri; mengabaikan waktu sehari-hari lantaran terbuai keyakinan bahwa bergaul dengan habib ilmu bakal datang sendiri seakan runtuh begitu saja dari langit. Mistifikasi ini tidak hanya mengakar di lingkungan keberagamaan masyarakat tradisional, tetapi juga menjangkiti ranah kehidupan sosial politik. Dalam politik misalnya, banyak politisi yang kentara sekali menampilkan elitisme politik bernuansa primordialistik-relegik dengan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dan figur pemuka agama yang berpredikat habib. Tidak sedikit pula tokoh politik berpredikat habib yang terjun langsung dalam kancah politik praktis. Para habib sendiri juga tidak sedikit (kalau tidak disebut banyak sekali) yang sengaja membiarkan elistisme “habib” itu sebagai penentu asimetri kedudukan antara mereka dan umat lainnya. Mereka melancarkan eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkulturnya ke tingkat kehidupan sosial. Gelar habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualidan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para habib, menegaskan argumen ini. Sebagian habib memang ada yang menolak dimuliakan dan diwalikan oleh para pemujanya, tapi penolakan tersebut terlampau ringan dan sambil lalu dibandingkan dengan betapa seriusnya retardasi atau keterbelakangan “politis” yang terkandung dalam pemujaan irasional demikian. Kontradiktif Mistifikasi terhadap sakralisasi sosok habib yang demikian eksploitatif dan ekspansif bahkan agresif tersebut ditularkan oleh sejumlah pemuka Islam dan berhasil menyentuh ranah capaian yang mereka harapkan. Namun saya melihat capaian tersebut justru tidak membawa maslahat yang cukup positif terhadap umat dan Islam sendiri, setidaknya jika dilihat dari sudut pandang berikut: Dalam hubungan pergaluan antarmanusia (hablum min an naas), Islam tidak membenarkan adanya panghambaan manusia terhadap manusia lainnya. Islam adalah pelopor demi tercuatnya nilai moral pemerdekaan manusia dari belenggu eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk dan cara. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesedarajatan antarmanusia dan mengajarkan sikap untuk saling menghargai dan menghormati dalam takaran yang proporsional dan profesional, terhadap siapa dan bagaimanapun status orangnya, bahkan kepada kalangan non Muslim sekalipun. Berkenaan dengan nasab kelahiran, apakah historis kelahiran seseorang bisa dijadikan dasar sebagai level kemuliaan dibanding yang lain? Sementara, jalur kelahiran tidak selalu dapat diupayakan karena termasuk hak prerogatif AlLah. “Ningrat” tidak ditentukan oleh keturunan, tetapi diperoleh dengan tindakan. Habib tidak lebih mulia hanya karena secara genelogis nasab kelahirannya tersambung sampai kepada Muhammad saw., jika tidak dibingkai dengan kadar keimanan dan ketakwaan yang mumpuni sekaligus membumi. Mistifiksi terhadap sakralisasi habib adalah ahistoris dan sungguh tidak diperlukan dalam Islam, karena itu sejatinya dihumbalangkan. [] Kandangan, 12 Maret 2012

No comments:

Post a Comment