Monday, June 23, 2014

Remah Surga

TETANGGA saya, sebut saja Umanya Hadran, dengan sangat bergairah menceritakan pengalamannya sepulang dari mengikuti acara haulan seorang pawang agama yang diyakini memiliki karamah dan berderajat sebagai waliyulLah. “Saya beruntung bisa mendapatkannya,” ujar Umanya Hadran berapi-api. “Meski tidak banyak tapi ini kan bisa dihemat.” Umanya Hardan berangkat ke acara haulaun sejak dua hari sebelum acara digelar, ia rela meninggalkan suami bersama anak-anaknya dan menginap di rumah seorang kenalan di kota tempat kegiatan haulan digelar. Tujuannya agar bisa mengikuti dan menyaksikan seluruh prosesi haulan dari dekat. Padahal, jika pun tidak bisa menyaksikan dari dekat, konon, setiap orang yang sudah punya niat mengikuti acara tersebut namun tidak bisa mengikuti dari dekat karena keterbatasan tempat, maka juga akan tetap memperoleh barakah dan pahala yang sama. “Saya bersama ratusan ribu jama’ah memperebutkan nasi bungkus yang disediakan pihak panitia pelaksana,” cerita Umanya Hadran lagi. Bahkan, menurut Umanya Hadran, mereka sampai rela mengais remah nasi bercampur tanah dan pasir yang tercecer di lantai dan halaman mushalla atau jalanan di area haulan. Remah nasi tersebut, seperti diceritakan Umanya Hardan lebih jauh, akan ia jemur sampai kering dan disimpan agar tidak cepat rusak. Saban kali memasak nasi, maka remah nasi yang sudah mengering itu ia masukkan beberapa biji ke dalam panci hingga tercampur dengan beras yang dimasak sampai menjadi nasi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang sampai persediaan remah-nasi-kering habis. “Barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” demikian frasa para guru yang ditirukan Umanya Hardran ketika melanjutkan ceritanya. Seingat saya, perkataan itu berasal dari seorang lelaki sepuh bernama Saman dari Madinah, yang dalam sejarah lebih populer sebagai Syekh Saman al Madani, dan dikenal sebagai seorang waliyulLah. Perkataan itu masih ada poin lainnya, yaitu: “Siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai.” Lebih jauh, oleh para pawang agama semacam guru-guru Umanya Hadran, kedua pokok persoalan dari kata-kata tersebut dimaknai menjadi sangat luas dan dalam. Kata-kata pertama dimaknai bahwa siapa saja yang memakan makanan para wali (diperluas lagi menjadi makakan jamuan dalam acara haulan seorang wali), maka akan masuk surga. Kata-kata kedua diartikan bahwa siapa saja yang bermaksud ziarah atau “mendekatkan” diri secara spiritual kepada RsululLah dan ajarannya maka tidak akan sampai kecuali melalui perantaraan atau bertawassul terlebih dahulu kepada Syekh Saman. Keyakikan inilah yang mendorong Umanya Hadran dan ratusan ribu jamaah haulaun lainnya rela berjejal-jejal memperebutkan remah nasi dalam jamuan acara haulan tersebut. Untuk beberapa jenak saya tercenung. Apakah janji para guru itu benar atau tidak? Sebab kalau memakan makanan jamuan dalam acara haulan yang dianggap sebagai tiket gratis masuk surga itu tidak mempunyai sandaran dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukankah berarti hal itu adalah inovasi terlarang (bid’ah) sekaligus membohongi orang-orang awam, melegalkan pembodohan ummat semacam Umanya Hadran? Di sisi lain, makna simbolik dari ucapan “barang siapa memakan makananku, maka akan masuk surga,” adalah bahwa “makanan” seorang Saman yang dikenal sebagai seorang wara’ dan Muslim yang taat pada zamannya bukanlah dalam arti harfiah dari jenis makanan pada umumnya, melainkan amal ibadah semacam shalat, membaca al Qur’an, sedekah, zikir, menolong sesama, menjalani kehidupan sosial secara wajar dan amal shaleh lainnya, yang ia ibaratkan sudah menjadi “makanan” pokok baginya. Sedangkan secara historis, Syekh Saman al Madani semasa hidupnya adalah seorang petugas penjaga makam RasululLah di masjid Nabwai di Madinah. Segala prosedural dan administrasi perihal keperluan kaum muslimin yang hendak berziarah ke makam RasululLah berada dalam tanggung jawab beliau. Itu artinya, siapapun yang bermaksud ziarah ke makam RasululLah haruslah berurusan dengan beliau terlebih dahulu. Dalam konteks inilah makna ucapan “siapa yang hendak berziarah ke makam RasululLah tanpa melalui aku maka tidak akan sampai” menjadi sangat jelas dan gamblang terpahami, tanpa ada makna simbolik. Saya tidak tahu persis apakah Umamnya Hadran cs mengetahui atau paling tidak pernah mendengar makna simbolik dari ucapan pertama dan fakta historis yang melatari perkataan kedua? Jikapun tahu atau pernah mendengar, saya kira tentu akan dikalahkan oleh pemaknaan yang dianut oleh pemahaman arus-utama yang begitu dahsyat. Satu hal yang saya ketahui dengan pasti, bahwa Umanya Hadran adalah seorang maulidlover. Saban tahun ia tidak pernah ketinggalan turut mengikuti bahkan melaksanakan upacara Maulid Nabi, meski ia pernah pula saya dengar (dari pengakuannya sendiri) pernah ngutang sana-sini untuk membiayai kegiatan tersebut. (Barangkali karena Umanya Hadran adalah seorang perempuan jadi suka buka-buka cerita di banyak tempat dan kesempatan). Satu hal lagi yang saya tahu persis, dalam setiap mengikuti atau menggelar upacara Maulid Nabi, Umanya Hardan dkk tak pernah sekalipun terlihat mengumpulkan apalagi sampai berebutan remah nasi saat jamuan Maulid Nabi berlangsung. Padahal, upacara Mualid Nabi tidak jauh beda dengan acara haulan. Dalam Maulid Nabi, hidangan makanan yang disajikan selalu mewah, lezat dan tentu saja mahal, tak jarang pula menyisakan bekas makanan cukup banyak di akhir kegiatan karena disedikan melimpah. Saya berharap Umanya Hadran cs suatu saat merenung, jika remah makanan dalam jamuan acara haulan seorang wali saja bisa menjadi tiket gratis masuk surga, bukankah makanan dalam acara Maulid Nabi semestinya lebih pantas sebagai “remah surga”. Karena siapakah lagi yang lebih wali dari RasululLah SAW? Siapakah lagi sosok yang lebih bakaramat selain pribadi RasululLah SAW? Siapakah lagi manusia paling suci dari figur RasululLah SAW? …hasbunalLahi wani’mal wakil… Kandangan, 7 Mei 2014. Senja, 17.52 Wit.

No comments:

Post a Comment