Monday, June 30, 2014

Perbedaan Pendapat dan Kebebasan Berfikir

“SAYA dalam keadaan junub dan tidak ada air,” kata seorang laki-laki kepada Umar bin Khathab. Maksud kedatangan laki-laki itu adalah untuk menanyakan, dengan keadaanya itu, apakah ia harus salat atau tidak. “Jangan salat,” jawab Umar yakin. “Sampai engkau mendapatkan air.” Ammar bin Yasir yang menyaksikan pembicaraan itu berkata kepada Umar bin Khathab, “Tidakkah Anda ingat, Umar. Dulu, engkau dan aku pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah, kemudian salat. Aku sampaikan kejadian ini kepada RasuluLah saw, dan beliau berkata, ‘cukuplah bagi kamu berbuat demikian.’ ” Mendengar penuturan Ammar, dengan keras Umar menegur, “Ya Ammar, takutlah kepada AlLah!” “Ya Amir al-Mu’minin,” kata Ammar kemudian, “Jika engkau menghendaki, aku tidak akan menceritakan hadis ini selama engkau hidup.” Mengomentari hadis ini, Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Yang dimaksud Ammar, ‘aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini daripada meriwayatkannya. Aku setuju denganmu (Umar), dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak salah.’ ” Sejak itu, Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya – bahwa orang yang sedang junub, bila tidak ada air untuk mandi, tidak perlu salat, sampai mendapatkan air. “Wa hadza madzhab masyhur’ an ‘Umar,” kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali AbdulLah bin Mas’ud. Al-Bukhari mencatat perdebatan AbdulLah bin Mas’ud dengan Abu Musa al-Asy’ari tentang kasus ini pada hadis No. 247. Abu Musa menentang pendapat AbdulLah – sekaligus mazhab Umar – dengan mengutif ayat “jika kalian tak mendapat air, hendaklah tayamun dengan tanah yang baik”. Menarik untuk dicatat bahwa kelak, dengan merujuk kepada ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar. Peristiwa yang baru saya kutif di atas menunjukkan, bahwa perbedaan pendapat (paham) dalam menyimpulkan ketentuan hukum (istinbath) sudah ada sejak para sahabat. Sahabat adalah orang yang sezaman dengan RasululLah saw. Mereka menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung penjelasan Nabi saw. Toh, dalam situasi seperti itu pun mereka sudah bertikai pendapat. Dapat dibayangkan pada para ulama yang datang kemudian. Mereka bukan saja berbeda dalam memahami nash (al-Qur’an dan hadis), tetapi juga berbeda dalam memahami perilaku sahabat, di samping berbeda dalam memilih sahabat yang diikuti. Abu Hanifah, misalnya, memilih pendapat Umar. Para imam mazhab yang lain memilih sahabat yang lain lagi. Karena perbedaan pemahaman inilah, lahir ketentuan hukum yang berbeda. Terlalu banyak contoh dalam kasus ini untuk disebutkan, dari yang berifat ushul (pokok) sampai kepada yang furu’ (cabang) dalam Islam. Lebih-lebih lagi dalam lingkup fikih Islam. Sebagai rujukan, para peminat fikih Islam bisa mengkaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah yang ditulis oleh Muhammad Jawad Mughniyyah. Kitab ini menghimpun pemahaman atau pendapat para ulama dari lima mazhab: Imamiyyah, Hanafi, Maliki, Fyafi’i, dan Hanbali. Juga, silakan kaji kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ah karangan Al-Azairi. Meskipun kitab ini hanya menghimpun pendapat para ulama dari empat mazhab di kalangan Ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Tentu masih ada kitab-kitab lainnya. Pengkajian terhadap kitab-kitab semacam itu sangat bermanfaat. Kita bisa membandingkan berbagai pendapat dan argumen tentang suatu masalah. Pendapat-pendapat itu juga bisa dijadikan rujukan ketika memecahkan masalah-masalah fikih kontemporer. Di samping itu, para peneliti hukum Islam dapat memberikan sumbangannya di atas kontribusi para ulama sebelumnya. Dengan demikian, tradisi para ulama fikih sebelumnya dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ilmu menjadi akumulatif, sehingga tidak jumud. Dasar-dasar hukum Islam boleh jadi sudah baku, tetapi tidak lantas jadi beku. Hukum Islam menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian, paling penting dari semuanya, fikih dengan pendekatan komparatif dapat menumbuhkembangkan saling pengertian di antara berbagai mazhab. Kebebasan Berpikir Di samping perbendaan pendapat, kebebasan berpikir – yang kemudian melahirkan kebebasan menafsir – juga sudah menjadi niscaya dan fakta tak terelakkan dalam sejarah pemikiran Islam. Itu terjadi pula dari sejak zaman sahabat dan makin berkembang pada generasi-generasi ulama yang datang belakangan. Ribuan tafsir dari pelbagai sudut pendekatan ditulis oleh ulama. Ada tafsir yang liberal ada yang literal. Ada tafsir yang tekstual ada yang kontekstual. Ada tafsir dengan pendekatan sufi yang sangat "bebas" dan ada tafsir "bil ma'tsur" a la "al-Durr al-Mantsur" yang sangat taat dengan pemahaman harfiah. Ribuan tafsir itu tak mungkin ditulis jika tidak ada kebebasan berpendapat dan berpikir dalam Islam. Yang sering membuat saya kaget, umat Islam sekarang, yang umumnya tak belajar tradisi pemikiran Islam yang kaya, tiba-tiba membenci kebebasan berpikir. Ada-ada saja alasannya. Salah satu alasannya: kebebasan berpikir itulah yang menyebabkan Iblis terjatuh dan sesat. Sebab Iblis memakai pikirannya sendiri dan menolak perintah Tuhan. Argumen ini sudah pernah dipakai oleh para ulama dahulu yang menentang penggunaan qiyas atau silogisme, tetapi toh ulama lain tak terpengaruh dengan pendapat ini, dan tetap menganggap qiyas sebagai salah satu asas penting dalam istinbath hukum. Alasan lain yang paling populer, dan tampaknya di sinilah umat Islam sering terjatuh, adalah bahwa jika kebebasan berpikir dibiarkan, maka orang akan cenderung kebablasan. Dalam banyak kesempatan dialog, saya kerap disuguhi pertanyaan berikut: Apakah demi kebebasan berpikir "seks bebas" dihalalkan? Apakah demi kebebasan, cara-cara ibadah dengan bunuh diri massal diperbolehkan? Kalau semua pendekatan kepada Tuhan adalah sah, apakah cara "gila" yang ditempuh oleh sekte seperti "Ranting Daud" itu absah? Dan seterusnya. Saya sungguh heran dengan tanggapan semacam ini. Sejauh pengetahuan saya, orang-orang yang berjuang untuk tegaknya kebebasan pikiran, baik di Barat atau di Timur, tidak pernah berpikir bahwa hal itu untuk menghalalkan "seks bebas". Yang patut dicurigai adalah, kenapa soal seks begitu mengganggu pikiran umat Islam, misalnya. Apakah mereka begitu "ngeres" pikirannya, sehingga dipenuhi dengan seks melulu? Kenapa hal yang pertama terlintas di pikiran rekan dialog saya begitu mendengar soal "kebebasan berpikir" adalah soal seks? Apakah mereka mempunyai masalah dalam hal ini (maaf)? Semua agama, bukan hanya Islam, mengharamkan zina. Semua agama mengharamkan pembunuhan, pencurian, berbohong, menipu, bersikap tak hormat pada orang tua, dan seterusnya. Apa yang dalam tradisi Yahudi disebut sebagai "Sepuluh Perjanjian" (Ten Commandement) adalah merupakan ajaran-ajaran yang universal, bukan saja dalam agama Yahudi tetapi juga Islam dan agama-agama lain. Praktek-praktek penyembahan agama yang melanggar prinsip itu, akan dengan sendirinya ditolak oleh agama-agama besar. Di negara-negara yang menjunjung tinggi pemikiran yang bebas, pencurian dan pembunuhan tidak dengan sendirinya halal demi kebebasan berpikir. Di sinilah saya percaya, bahwa akal manusia dan wahyu Tuhan sebetulnya bertemu dalam satu titik. Dalam istilah yang lain saya ingin menyebut, bahwa akal adalah fakultas wahyu. Dengan akallah kemudian wahyu “disaring”, dimaknai dan diberlakukan. Inilah yang dikatakan oleh Ibn Taymiyah sebagai "Muwafaqat Sharihil Ma'qul li Shahihil Manqul". Bagaimana jika wahyu dan akal bertentangan? Saya mengikuti pendapat Ibn Rushd, seorang filosof dan ahli fikih dari abad 13 M, dalam "Fashl al Maqal Fi Ma Baina al Hikmati was Syariati min al Ittishal". Menurut dia, jika ada pertentangan antara keduanya, maka wahyu harus ditakwil. Tetapi, hal ini harus dilihat dengan cermat. Tidak semua pendapat akal manusia dengan sendirinya sah. Hanya pendapat yang dalam istilah Ibn Taymiyah disebut "sharih", pendapat yang dilandasi dengan argumen yang kokoh, dan bukan sekadar memperturutkan hawa nafsu belaka, yang dapat dipertimbangkan. Apa pendapat yang "sharih" itu? Ibn Rushd sendiri tidak menetapkan suatu ancar-ancar. Bagi saya, ancar-ancar itu tidak ketat, kaku, sebab pada akhirnya yang menentukan sebuah pendapat masuk akal dan tidak adalah kalangan cerdik pandai sendiri. Ibn Rushd sendiri sudah mengatakan dalam "Bidayat al Mujtahid" bahwa "al nushush mutanahiyah wa al waqai' ghairu mutanahiyah", teks-teks agama dan wahyu terbatas jumlahnya, sementara situasi sosial terus berubah. Bagaimana mungkin, kata Ibn Rusdh, sesuatu yang terbatas akan mengatasi yang tak terbatas. Di situlah akal manusia dan kebebasan berpikir diperlukan. Lantas, dengan argumen kebebasan berpikir, apakah wahyu menjadi demikian relatif, subjektif, tidak ada batasan antara yang “haq” dan yang “bathil”? Jelas masalah itu ada. Yang menjadi soal adalah orang-orang, atau kelompok-kelompok, yang mudah "membathilkan" pandangan orang-orang yang berbeda pendapat. Mereka menyebut seseorang atau kelompok lain dengan bathil? Atas dasar apa? Atas dasar kutipan ayat dan hadis yang berhamburan dengan seenaknya? Apakah kalau sudah mengutip ayat lalu selesai? Bukankah ayat bisa ditafsirkan tidak hanya dengan satu makna dan cara? Ambil contoh ayat berikut ini. Ada ayat yang berbunyi, "La tudrikuhul abshar wa huwa yudrikul abshar wa huwal lathiful khabir". Ayat itu, kira-kira, isinya adalah bahwa Tuhan itu begitu lembut sehingga tak bisa dilihat oleh mata. Oleh karena itu, manusia tak akan bisa melihat Tuhan, meskipun di surga. Atas dasar ayat inilah kaum Mu'tazilah menolak kemungkinan manusia melihat Tuhan di surga. Tetapi ada ayat lain, "Wujuhun yauma-idzin nadhirah, ila rabbiha nadlirah". Ayat itu kira-kira isinya adalah bahwa orang-orang yang beriman, di surga nanti, akan melihat Tuhan. Atas dasar inilah kaum Asyariyyah berpendapat bahwa manusia mungkin melihat Tuhan di surga. Bagaimana mendamaikan antara kedua ayat itu? Kaum Mu'tazilah pakai ayat. Kaum Asyariyah pakai ayat. Mana yang benar? Intinya, belum tentu kalau kita memakai ayat dan hadis dengan sendirinya kita sudah bisa menyudahi diskusi dan menuduh yang lain salah, sesat, bathil, murtad, kafir, dan seterusnya. Saya mengakui adanya yang "haq" dan yang "bathil". Tetapi saya, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan saya tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat lain. Yang saya lakukan hanyalah mengkritik, tetapi saya tidak akan pernah sampai pada kesimpulan bahwa pendapat lawan saya bathil, kecuali jika pendapat itu jelas-jelas melawan akal sehat. Kalau ada orang berpendapat bahwa membunuh adalah halal, jelas itu batal, dari sudut pandang apa pun. Tetapi saya tidak akan mengatakan bahwa cara beribadah kaum “literal” dan “liberal” adalah batal. Dalam menghukumi sesuatu "bathal" atau "haq", saya harus memakai dua instrumen: wahyu dan akal. Tidak bisa hanya dengan wahyu. Oleh karena itu, saya keberatan sekali dengan tindakan ceroboh seseorang atau kelompok yang mengobral ayat dan hadis, tetapi mengabaikan penalaran akal sehat. Ala kulli hal, apa yang saya tulis ini pun belum tentu benar. Sebab hanya Yang Maha Benar lah yang tahu mana yang benar mana yang salah. Saya hanya berusaha untuk benar. []

No comments:

Post a Comment