Monday, June 23, 2014

Purifikasi vs Stagnasi Agama

ADALAH niscaya bahwa dalam dinamika keberagamaan masyarakat Islam selama ini – yang secara kultural memiliki banyak dimensi – terdapat ragam pemikiran, sekurang-kurangnya ada dua arus utama. Pertama, pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian (purifikasi) agama. Kedua, paham yang didasarkan atas agama dan kultur. Kedua pemikiran ini memiliki dasar dan metode sendiri-sendiri, serta “keterbatasan” yang terdapat pada paham masing-masing. Pemikiran pertama adalah kalangan yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Kalangan ini berupaya menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai hierarki utama dan pertama dalam menetapkan dan melaksanakan konsensus hukum dalam Islam. Sedangkan kaidah-kaidah lain seperti ijtihad dan fatwa dari para elit atau lembaga Islam, istinbat para imam mazhab dan yang lainnya hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap saja. Pada kalangan ini ditabukan sikap taklid, yaitu sikap ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar penetapan dan pengamalan sebuah hukum dalam Islam. Pada kalangan ini paling ringan seseorang dibolehkan sebagai mutabbi, yaitu mengikuti atau mengamalkan sebuah ketetapan hukum Islam dengan terlebih dahulu mengetahui dasarnya. Pemikiran kedua adalah komunitas yang memilih metode mengikuti fikih mazhab. Komunitas ini lebih menitik beratkan pengambilan dan pengamalan hukum Islam kepada hasil ijtihad atau fatwa dari para elit, imam, tokoh, guru dan para pemuka agama dalam suatu mazhab Islam, ketimbang kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah. Makanya tidak heran dalam komunitas ini tumbuh subur sikap taklid. Sehingga tidak asing pula pada komunitas ini sering kita dengar adanya istilah “ujar guru,” “ujar ulama si Pulan,” “ujar qaul anu,” “menurut kitab ini,” “menurut pendapat si itu,” dan “ujar-ujar” dan “menurut-menurut” lainnya, yang semuanya mengarah kepada sikap stagnasi dan taklidisme, bahkan ke arah stagnasi dan taklidisme yang paling ektrim dan kebablasan sekalipun. Sangat langka kita temui adanya argumen “menurut Qur’an,” atau “menurut Sunnah,” pada komunitas ini. Perbedaan lain yang cukup mendasar pada kedua arus pemikiran tersebut adalah, kalangan pertama sangat menjunjung tinggi semangat ijtihad dan sikap inklusif, namun juga bercorak realis-kritis-pluraristik, serta tidak terlahir kultus individual yang kebablasan terhadap satu tokoh atau figur seseorang. Pada komunitas kedua lebih bernuansa tradisional dan komunal, sangat dominan bersikap eksklusif dan nyaris anti perbedaan, sikap taklid dan fanatik tumbuh dan berkecambah hampir ke semua lapisan. Pada komunitas ini juga banyak ditemukan pribadi-pribadi sebagai tokoh spiritual yang dijadikan tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan dan dipraktikkan oleh para tokoh ini telah menjadi “blue print” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Pada kalangan pertama tidak ada istilah ketaatan spiritual dan kepatuhan sosial yang dominan terhadap elit tertentu. Pada komunitas kedua sangat preventif dan doktrinal terhadap wibawa spiritual para tokoh. Di komunitas ini juga dipelihara stabilitas status qou demi menjaga “kelembaman spiritual” yang dikhawatirkan akan mengeliminasi wibawa spiritual para elit dan golongan. Masih ada perbedaan lain dari keduanya. Dalam hampir semua hal yang berkaitan dengan kehidupan Islam, kalangan pertama lebih mengefektifkan relegiusitas wahyu agar umat benar-benar memahami kesadaran agama secara lebih mentauhid, tanpa mengeliminasi kemungkinan ijtihad. Sedang komunitas kedua lebih menekankan bahwa agama harus dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan ke-Arab-an, begitu sering diandaikan komunitas ini, mereka menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah. Komunitas ini juga kentara sekali menjadikan ortodoksi agama sebagai otoritas agama sembari menutup rapat-rapat kesempatan ijtihad. Bahkan tidak jarang mereka menjadikan ortodoksi agama sebagai bolduser atas perilaku budaya atau keyakinan dan pendapat lain yang tidak sepaham. Akibatnya, jurang stagnasi kian tergaruk dan menganga lebar, fatwa-fatwa penyesatan sering dengan perih menyuling di kalangan umat, pun praktik-praktik humanisme dan relegiusitas wahyu terabaikan, dan menjelma menjadi tirani atas realitas pluralistik. Perbedaan ke sekian menunjukkan, kalangan pertama tidak menolak metode yang mengikuti fikih mazhab, apalagi anti mazhab, tapi kalangan ini tidak terikat dengan satu atau beberapa mazhab. Perbedaan pendapat dan pluraritas sangat dihargai dalam kalangan ini. Komunitas kedua hampir bisa dikatakan menolak metode yang mengambil jalan kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Bahkan tidak jarang justru menolak dan menyalahkan komunitas yang mengikuti fikih mazhab yang lain. Tidak jarang pula dalam komunitas ini diproklamirkan propaganda bahwa pengamalan hukum-hukum Islam haruslah mengacu kepada salah satu sekte atau mazhab. Bahwa bagi mereka yang tidak mengikuti jalan pemahaman dan pengamalan Islam melalui sekte tertentu adalah bathil, tidak sah bahkan “sesat” (dengan atau tanpa tanda kutif). Sangat kuat kesan kalau mereka dalam komunitas ini memandang dirinya sebagai satu-satunya kalangan dalam Islam yang benar, yang selamat, yang masuk surga, sementara yang lainnya sesat dan masuk neraka. Tidak jarang pula argumen semacam ini justru dideklamasikan oleh para elit mereka dalam banyak kesempatan, bahkan ada yang sampai menjadikannya sebagai “fatwa penyesatan” terhadap kalangan lain yang tidak sepaham. Pada konteks lokal, argumen-argumen semacam ini juga menjadi “trade mark” dan ukuran standar dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha” di daerah ini, yang notabene menjadikan Imam Syafi’i sebagai pilihan sekte mereka, bahkan pilihan mayoritas masyarakat Islam di negeri ini. Mereka ini kita kenal dengan istilah “Mazhab Safi’i” atau pengikut Imam Syafi’i. Anak Judul (Strategi Kebudayaan??? Dalam memahami dan menyikapi kedua arus pemikiran Islam tersebut, kita perlu mencermati strategi “kebudayaan” di tiap daerah. Strategi ini merupakan wujud nyata dari upaya mendekati Islam yang memang beranjak dari latar belakang budaya lokal. Dalam hal ini adalah pemikiran yang mengupayakan menyelaraskan unsur-unsur ajaran Islam dengan konsep keberagamaan. Karena itu, antara kedua arus pemikiran tersebut – pemikiran yang didasarkan atas paham pemurnian agama dan paham yang didasarkan atas agama dan kultur – masih banyak orang yang tidak berupaya memahami apa yang baik di antara keduanya, tetapi justru mencari “sebanyak-banyaknya” apa yang buruk di antara satu sama lainnya. Tradisi berpikir seperti ini akan selalu dihadapkan pada konflik internal keagamaan. Saya melihat, stagnasi pemahaman keagamaan semacam inilah yang masih dimiliki oleh mayoritas masyarakat Islam saat ini, tak terkecuali di kalangan elitnya sekalipun. Karenanya, sudah sejatinya kalau umat ini memiliki pandangan-pandangan yang tegas, lugas dan luas namun toleran terhadap “setting sosio-relegius” dalam praktik kebergamaan setiap orang. Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencerna dan mencermati kitab-kitab klasik karya ulama tempo dulu, yang oleh sebagian umat masih dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Karena kecintaan terhadap sebuah kitab atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan dan membuntukan akal sehat. Sementara, stagnasi, fanatisme dan taklidisme semakin akut dan mengudapaksa. 

No comments:

Post a Comment