Monday, July 7, 2014

Kritik Historis

JIKA sebuah ibadah didefinisikan sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh AlLah SWT., yang praktik dan penjelasannya ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw., maka ada banyak sekali ritual dan amalan dalam agama ini, yang, kalau ditinjau dari segi historis, sebenarnya kontradiktif (kalau tidak dibilang keliru sama sekali). Ritual dan amalan-amalan tersebut, karena oleh sebagian umat Islam dianggap sebagai ibadah – yang saya maksud di sini adalah ibadah murni atau ibadah mahdah, maka dalam bahasa agama sendiri sebenarnya termasuk dalam katagore bid'ah atau inovasi terlarang. Dengan berpegang kepada definisi umum ibadah seperti di atas, sebuah ibadah harus memenuhi dua ketentuan dasar berikut: Pertama, ada perintahnya dari AlLah. Kedua, ada contoh dan penjelesannya dari RasululLah saw. Contoh dan penjelasan tersebut menyangkut cara, bentuk, waktu dan tempat. Tanpa adanya kedua ketentuan dasar tersebut maka sesuatu akan tertolak dikatakan sebagai sebuah ibadah. Berikut saya berikan satu contoh: Pada setiap selesai empat raka’at dalam shalat tarawih (shalat malam di bulan Ramadhan), sebagian saudara kita mengumandangkan seruan dan doa-doa berikut: 1. “Al khaliifah al awwal amiir al mu’miniina syayyiduna abu bakrini ashshidiqi tardahu ‘anhu.” 2. “Al khaliifah ats tsani amiir al mu’miniina syayyiduna umarubnu al khattab tardahu ‘anhu.” 3. “Al khaliifah as salis amiir al mu’miniina syayyiduna utsmanu al affan tardahu ‘anhu.” 4. “Al khaliifah ar rabi amiir al mu’miniina syayyiduna ‘ali al abi thalib karamAlLahu wajhah.” Seruan dan doa tersebut diperuntukkan kepada empat sahabat RasululLah yang utama, yang kelak masing-masing menjadi khalifah. Seruan dan doa tersebut dikumandangkan oleh imam atau seorang petugas dalam shalat tarawih, dengan suara cukup keras – bahkan nyaris berteriak – melalui pengeras suara. Untuk tiap-tiap seruan dan doa tersebut, dengan suara keras pula – dan nyaris berteriak juga – para jamaah serentak menyahut: “radiAlLahu anhu” untuk tiga sahabat pertama dan “karamAlLahuwajhah” untuk sahabat terakhir. Seruan dan doa tersebut tak pernah terpisahkan dari pelaksanaan shalat tarawih, yang barangkali memang dijadikan dan diyakini sebagai rangkaian dari shalat tarawih layaknya syarat dan rukun sebagaimana ibadah murni pada umumnya. Persoalannya, seruan dan doa-doa tersebut adalah ahistoris, tidak pernah dicontohkan dan dijelaskan oleh RasululLah saw. Berikut argumen saya: Fakta sejarah sudah sangat jelas menunjukkan, bahwa diangkatnya keempat sahabat utama tersebut sebagai khalifah adalah sesudah wafatnya RasululLah saw. Tidak pula ditemukan adanya riwayat yang menunjukkan bahwa RasuluLah saw. pernah menentukan urutan-urutan kedudukan para sahabat tersebut menjadi khalifah. Dengan bahasa yang lain, tidak mungkin RasululLah saw. menyertakan atau menetapkan sesuatu dalam ibadah hal yang belum ada di masa hidupnya. Dengan menggunakan fakta historis pula, saya justru jadi curiga. Jangan-jangan mereka – terutama para pemuka agamanya – yang melaksanakan ritual dan amalan agama yang ahistoris selama ini, seperti seruan dan doa pada setiap empat rakaat shalat tarawih misalnya, tidak belajar sejarah Islam dengan baik. Bahkan mungkin tidak belajar Islam dengan benar! AlLahu ’alam bis shawab.

No comments:

Post a Comment