Wednesday, March 17, 2010

Pengajaran-Pengajaran yang Tidak Perlu dalam Islam

oleh Aliman Syahrani


BARANGKALI, karena sekadar ingin menjaga aura agama agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya, sehingga oleh para pemeluknya banyak ditambahkan pengajaran-pengajaran baru terhadap esensi agama itu, yang jika dihilangkan sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Berikut saya kemukakan beberapa contoh, khususnya pada pengajaran Islam. Khususnya lagi pengajaran Islam di daerah ini.

Satu, bahwa bid’ah (inovasi terlarang) diklasifikasikan menjadi beberapa bagian sebagaimana pada hukum-hukum syari’at dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang tercela secara multak. Sehingga hukum bid’ah menjadi ada yang wajib, mandub (dianjurkan, terpuji), mubah (boleh), makruh, dan haram. Singkatnya, ada yang dikategorekan bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Pengklasifikasian bid’ah seperti ini merupakan perkara yang justru diada-adakan, tidak mempunyai sandaran syar’i, sehingga dengan sendirinya tertolak. Karena, hakekat bid’ah adalah perkara yang tidak didukung oleh dalil syar’i, baik dari nas maupun kaidah-kaidah syar’i lainnya. Karena kalau ada dalil syar’i yang menunjukkan hukum bid’ah terbagi menjadi wajib, mandub, atau mubah, niscaya tidak akan ada yang namanya bid’ah, dan niscaya amalan bid’ah akan masuk dalam perbuatan-perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan memilihnya.

Jadi, menggabungkan anggapan adanya perkara-perkara bid’ah dengan adanya dalil-dalil yang mengklasifikasikannya adalah menggabungkan dua hal yang sama sekali kontradiktif. Tidak mungkin perintah dan larangan hadir dalam satu kesempatan; mana mungkin halal dan haram dihukumkan kepada sesuatu dalam satu situasi dan kondisi? Pengajaran seperti ini bukan sekadar tidak perlu, melainkan layak dieliminasi. Karena menurut observasi saya, adanya proporsi pengklasifikasian bid’ah inilah yang menjadi salah satu biang kerok bertumbuh dan berkecambahnya aktivitas-aktivitas keagamaan – khususnya dalam ibadah murni – yang pada konsekuensi logisnya justru menjelma menjadi sindrom bid’ah itu sendiri. Setiap orang akan dengan mudah mengatasnamakan “bid’ah hasanah” pada aktivitas-aktivitas keagamaannya ketika tidak bisa menghadirkan sumber-sumber syar’i yang mendasarinya.

Dua, bahwa kitab kuning adalah sumber referensi hukum Islam paling objektif dan otoritatif. Apa yang telah terserap dalam kitab kuning cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Muatan-muatan hukum dalam kitab kuning dianggap seolah-olah sebagai satu-satunya “bleu-print” atau cetak biru hukum Islam yang tidak mungkin salah. Seolah apa yang dicantumkan dalam kitab kuning sudah menjadi model hukum terbaik dan dijadikan bahan rujukan paling hakiki. Kitab kuning, oleh sebagian besar masyarakat Islam, menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi sumber hukum yang wajib untuk dianut dan dipatuhi tanpa reserve. Kitab kuning dimistifikasi begitu rupa sehingga seolah-olah hukum Islam hanya bisa digali dan dibenarkan melalui “tambang” referensi kitab itu. Corak-corak hukum dan pemikiran Islam dari konsensus-konsensus kontemporer yang berpijak kepada kondisi aktual dan realitas sosial umat dan sumber-sumber ijtihad hukum Islam lainnya dianggap sebagai “gharib” (asing), distortif, atau melenceng dari “manhaj” atau jalan lempang yang direstui oleh AlLah.

Pengajaran ini dalam penilaian saya merupakan anak pinak atau perpanjangan tangan dari isu picisan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan oleh sebab itu sungguh tidak perlu. Bahan-bahan kajian yang dinukilkan dalam kitab kuning sebenarnya sudah banyak yang “basi” bila dihadapkan dengan tuntutan zaman seperti dewasa ini. Muatan-muatan hukum dalam kitab kuning sebagian besar hanya relevan dalam konteks masyarakat pra-modern yang tingkat kecepatan perubahannya masih lamban sekali seperti pada waktu dan konteks kehadiran kitab tersebut. Pada abad internet ini, sudah tentu siklus pembaharuan masyarakat tidak bisa mengikuti langgam yang lamban semacam itu. Umat Islam membutuhkan mujtahid, pembaharu dan kompilasi-kompilasi hukum dalam semua bidang setiap tahun, bahkan bulan dan minggu. Bukan terpaku pada langgam yang kaku semacam itu. Sumber hukum Islam barangkali sudah “baku”, tetapi tentu saja ia tidak beku. Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencermati kitab-kitab karya ulama tempo dulu. Kecintaan terhadap sebuah kitab (kuning) atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan, sementara, fanatisme semakin akut saja.

Tiga, bahwa ekspresi keagamaan haruslah dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented dan arab sentris. Semakin banyak “amalan” dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka hal itu dianggap sebagai bagian dari manifestasi ibadah yang paling sahih. Dalam hal berpakaian misalnya, seorang Muslim mestilah mengenakan sarung, baju koko, kopiah, gamis dan surban. Harus ber-“ikhwan-akhwat” dan ber-“ana-antum”, dan ini dijadikan sebagai simbol “utama” keislaman dan kesalehan. Sehingga mereka yang tidak mengenakan atribut tersebut dan hanya menggunakan celana panjang, apalagi blue jeans dan kaos oblong misalnya, hanya ber-“aku-kamu” atau ber-“lu-gue”, dianggap tidak saleh dan kurang “Islami”.

Pengajaran ini jelas tidak perlu karena hanya akan menyulut konflik, tidak saja menyangkut konflik relegius tetapi juga konflik sosial di mana mereka yang kurang atau tidak menampakkan simbol-simbol kearaban dalam refleksi keberagamaannya dianggap tidak memiliki sense of relegius dalam memahami dan menghormati ajaran agama. Konflik ini juga mengancam eksistensi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai “bolduser” atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat. Saya sangat tidak respek terhadap inguh pemikiran relegiusitas dan praktik-praktik keberagamaan yang sudah dikelumbuni oleh budaya-budaya lokal semacam itu.

Boleh jadi pengajaran ini sebagai upaya strategi untuk mendekati Islam yang memang beranjak dari latar belakang budaya lokal. Dalam hal ini memang ada upaya menyelaraskan unsur-unsur ajaran Islam dengan konsep keberagamaan. Karena itu, ada pemikiran yang memang didasarkan atas paham pemurnian agama atau purifikasi dan ada juga paham yang didasarkan atas agama dan kultur. Kedua pemikiran ini memiliki dasar masing-masing, serta “keterbatasan” yang terdapat pada paham masing-masing. Namun kadang orang sering tidak berupaya memahami apa yang baik di antara keduanya, tetapi justru mencari “sebanyak-banyaknya” apa yang jelek di antara satu sama lainnya. Sekali lagi, tradisi berpikir seperti ini akan selalu dihadapkan pada konflik internal keagamaan. Dalam pandangan saya, akan sangat proporsional ketika kita lebih menampakkan dan mengefektifkan relegiusitas wahyu agar orang benar-benar memahami kesadaran agama secara lebih mentauhid. Sebab saya yakin kedatangan Islam tidak untuk mempersulit umatnya, tetapi membangun ahlakul karimah. Ini berarti setiap umat Islam mestilah dapat membangun praktik-praktik kecerdasan spiritual, emosional, dan intelegensia.

Empat, bahwa fikih sama dengan syari’at Islam. Melaksanakan fiqih berarti menegakkan syari’at Islam. Seolah-olah "berislam" sama saja dengan "berfiqih". Apa yang sudah ditetapkan oleh fikih tidak boleh lagi diganggu gugat; sudah dianggap sebagai “terminal induk” syari’at Islam. Fikih telah menjadi panglima dan menjadi penentu seseorang masih berpihak atau menyeberang dari Islam. Fikih didudukkan layaknya sebuah akidah. Dalam kondisi tertentu, fikih bahkan menjelma jadi “agama baru”. Anggapan ini jelas tidak benar. Fikih, sebagai salah satu yurispudensi hukum Islam niscaya akan selalu mengalami perkembangan, bahkan perubahan. Sebab, fikih lahir sebagai “buah pemikiran” sang mujtahid/ulama Islam dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, fikih selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsiran” umat Islam terhadap syari’at Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya. Oleh karena itu fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik.

Demikian pula halnya dengan syariat Islam sebagaimana kita ketahui sekarang, adalah merupakan kumpulan-kumpulan dari pendapat, opini, interpretasi, bahkan inovasi-inovasi yang diwariskan para fuqaha terkemuka abad ke-5 setelah Rasulullah saw. wafat. Dengan kata lain, syariat Islam tidak dapat dianggap sepenuhnya merupakan ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi umat. Dengan demikian, adanya upaya-upaya institusionalisasi syariat Islam melalui negara, misalnya, harus dihentikan. Alih-alih sebuah tuntunan Islam, sebenarnya apa sih yang hendak diperjuangkan lewat formalisasi syariat? Melaksanakan hukum fiqih untuk menegakkan syari’at Islam? Atau menegakkan syariat Islam demi menyelamatkan agama? Tapi bukankah kedatangan agama justru untuk menyelamatkan umat manusia?

Lima, bahwa menuntut ilmu agama lebih afdhal dibanding mempelajari ilmu umum. Menurut keyakinan mereka ini, orang harus memberikan prioritas dalam mempelajari ilmu agama dengan alasan bahwa ilmu itu luas dan hidup itu singkat. Kemudian dengan membedakan tingkat faedahnya antara dua kelompok ilmu tersebut, maka dengan sendirinya prioritas utama kajian diberikan pada ilmu-ilmu agama yang dianggap lebih berkaitan erat dengan tujuan pokok keislaman yaitu memperoleh kejayaan hidup di akherat.

Pengajaran yang mendedah pembedaan semacam ini, walaupun tidak berarti secara keseluruhan memiliki dampak negatif, akan tetapi jelas sikap psikologis yang muncul, yaitu tidak menolak ilmu-ilmu rasional/kealaman tetapi cenderung meremehkannya karena dianggap kurang menunjang kesejahteraan spiritual manusia. Konsekuensi logisnya, berkaitan penting dengan munculnya berbagai kesulitan umat Islam dalam berpartisipasi mengkaji bidang-bidang keilmuan modern. Dengan kata lain, klasifikasi ilmu atas dasar tingkatan prioritas semacam itu selain menciptakan suasana kekakuan dalam usaha mengkaji bidang-bidang ilmu yang lebih luas, juga cenderung menciptakan pemusatan kajian di bidang-bidang tertentu saja, yaitu pada bidang yang dikategorikan sebagai “ilmu-ilmu agama”. Kemudian sebaliknya, kekosongan pun cenderung terjadi dalam kajian-kajian ilmu rasional/kealaman, atau kalau pun ada hanya hidup dalam keadaan semaput dan terjepit. Dalam pandangan saya, keadaan inilah yang menjadi salah satu penyebab kegagalan umat Islam dalam mempelopori Abad Modern. Umat Islam meluahkan konsentrasi yang kelewat besar terhadap penanaman modal harta dan manusia pada bidang-bidang tertentu, sehingga pengalihannya kepada bidang lain merupakan kesulitan luar biasa.

Menyadari kekerdilan cara berpikir dalam pengajaran Islam semacam itu, saya menganjurkan upaya-upaya baru guna mencari “jurus berkelit” dengan melihat konteks permasalahan kekinian yang ada. Salah satu upaya tersebut adalah menghilangkan katagorisasi bidang keilmuan yang terpilah-pilah semacam itu dengan melihat keseluruhan objek kajian keilmuan secara lebih utuh. Cara pandang yang lebih bulat dan tetap didasarkan pada pemikiran islami, melihat seluruh pengkajian ilmu sebagai upaya memahami ayat Tuhan yang digelarkan ke dalam alam semesta ini. Dalam pemahaman keislaman yang saya pelajari, ayat-ayat Tuhan itu digelarkan dalam dua bentuk: Pertama, ayat-ayat Kauniyah, yaitu ayat-ayat Tuhan berupa alam semesta, termasuk di dalamnya manusia dengan segala hukum-hukumnya yang berlaku (Qs 3:190,). Lihat juga Qs 51:20-21; 2:164; dan lain-lain. Kedua, ayat-ayat Qur’aniyyah, yaitu ayat-ayat AlLah yang terkandung dalam Al-Qur’an (Qs 3:7). Lihat juga Qs 2:2; 16:64 dan 22:16. Keduanya adalah sama-sama ayat Tuhan dan harus dibuktikan tidak saling bertentangan.

Jadi, dengan mengambil pengertian bahwa seluruh pengkajian ilmu sebenarnya memiliki obyek yang sama yaitu ayat-ayat Tuhan, baik yang digelarkan dalam bentuk ayat-ayat Kauniyah maupun Qur’aniyyah, maka karena itu semua aktivitas pengkajian keilmuan dalam bidang mana pun, asalkan dikaitkan dengan niat ibadah dan didasarkan kepada prinsip-prinsip pokok aqidah Islam, semuanya termasuk aktivitas keagamaan. Jelasnya, bentuk kajian ilmu pada “ilmu-ilmu rasional/kealaman”, harus dilihat dalam upaya takfakkur fi Khalqis Samawati wa’l-Adr (Qs 3:190-191). Sedangkan pengkajian pada apa yang sebelumnya disebut “ilmu-ilmu agama” dimaksudkan sebagai kajian ayat-ayat Qur’aniyyah, dipandang sebagai tafaqqur fi ‘d-Din (Qs 9:122).

Dengan didasarkan pada kerangka berpikir semacam ini, maka pembagian bidang keilmuan tidak lagi secara tegas dibedakan pada “ilmu agama” (yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai ilmu untuk akherat) dan “ilmu umum” (yang dikesankan sebagai ilmu untuk dunia). Bila mengikuti sudut pandang yang saya tawarkan ini, maka kedua kajian itu sebenarnya mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu mendapatkan keridhaan AlLah untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Enam, bahwa belajar ilmu agama tanpa melalui seorang guru, maka gurunya adalah syaitan. Pengajaran ini jelas hanya retorika belaka. Karena pada kenyataannya tidaklah demikian. Ilmu agama bisa diperoleh dari berbagai sumber dan dengan banyak cara. Pengajaran ini tidak memiliki dasar dan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, dan nyata-nyata tidak menguntungkan bagi Islam. Celakanya, kejumudan pengajaran seperti ini tidak saja berkutat di kalangan masyarakat Islam tradisonal, tapi kebuntuan berpikir semacam itu juga merambah ke wilayah sebagian besar aktivis muda Islam yang sejatinya lebih kritis dan realistis. Dalam banyak kesempatan diskusi agama (Islam), saya, dan barangkali juga Anda, sering disuguhi pertanyaan berikut: “Dari mana Anda belajar Islam?” Pertanyaan tersebut lahir dimungkinkan karena dua hal. Pertama, ketika kita lebih banyak berbeda pendapat dengan lawan diskusi atau berseberangan dengan pendapat umum. Kedua, karena performance kita yang lebih mewakili sosok urang jaba ketimbang potongan urang alim.

Pertanyaan semacam itu saya tengarai bukan sekadar untuk mengetahui silsilah keguruan dan jalur akademis atau jenjang pendidikan formal yang telah dilewati seseorang, tetapi dalam beberapa kesempatan sudah mengarah kepada kritik dan gugatan yang tidak sehat hanya karena silsilah keguruan dan jalur pendidikan formal serta sumber keilmuan yang dilalui seseorang tidak sepenuhnya sejalan dengan mainstream umum yang selama ini berlaku.

Kesan saya selanjutnya adalah, pertanyaan itu menggiring kepada apakah “sumber” keilmuan seseorang bisa diakui atau sebaliknya, sah atau tidak – tentu dengan standarisasi pribadi atau kelompok si penanya. Ada dua standar yang barangkali “wajib” mereka gunakan: Pertama, keilmuan seseorang mesti diukur dengan “baju” mereka. Kedua, orang belum benar-benar dapat dianggap alim kalau tidak belajar/berguru kepada kelompok mereka.

Peran formal seorang guru tentu tidak serta-merta terabaikan. Namun yang harus disadari pula bahwa secara verbal semua orang bisa berguru kepada siapa dan apa pun, baik melalui sumber formal, non-formal dan informal. Dalam hemat saya, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru seseorang boleh mendiskusikan – lebih-lebih mengamalkan ajaran agama. Tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran keilmuan – lebih-lebih keshalihannya. Keilmuan seseorang tidak selalu dapat ditakar dari silsilah keguruan dan jalur akademis atau bahkan jenjang pendidikan formal serta “sumber” yang telah dilaluinya semata. Saya benar-benar yakin, akan begitu sangat banyak sekali manfaat jika pengajaran ini dieliminasi.

Tujuh, bahwa Barat, dan semua yang berkaitannya dengannya, diasumsikan sebagai dunia yang dipenuhi dengan berbagai bentuk keburukan dan kesesatan. Semua yang datang dari Barat dinilai sebagai sesuatu yang mutlak merusak, sesat dan kafir. Barat distempeli sebagai kapala ahui malapetaka dunia, gembong terorisme dan sarang para bajingan. Hingga timbul asumsi bahwa moral masyarakat Barat demikian bejat dan jorok: sesak dengan syahwat kebinatangan. Seni dan budaya Barat telah terhumbalang dalam pojok museum-museum kuno yang sunyi lagi sepi. Asumsi lain mengatakan, bahwa agama dan susila di sana praktis telah lumpuh. Tidak hanya sampai di situ, ketika Barat disebut, dalam benak umat Islam seolah terpahat nilai-nilai moral yang sangat rapuh. Lebih khusus, ketika Amerika dibicarakan, yang terbayang adalah generasinya yang dijuluki The Lost Generation atau The Lost Boys. Yang dalam tempo enam menit terjadi satu perkosaan! Begitulah karikaturis wajah bopeng Barat, khususnya Amerika, yang terlukis dalam benak sebagian besar umat Islam saat ini.

Dalam melihat dan menilai dunia yang tampaknya begitu “bobrok” ini, kita mesti menggunakan standar yang lebih obyektif. Kita mesti memadukan dua unsur antara idealita dan realita. Menilai Barat, khususnya Amerika, tentu kita harus mengenyampingkan kengerian bahwa di dunia temuan Crestoper Kolombus itu, dalam enam menit terjadi satu perkosaan. Barat mesti dilihat dengan kacamata yang arif, terutama Amerika. Science dan teknologi maju pesat di sana. Bulan, Mars, maupun planet lain, kini bisa diintip. Sesuatu yang sangat mustahil ketika Jules Verne membayangkan ruang angkasa dalam cerita science-fiction-nya. Namun, akhirnya, negara-negara liberal-kapitalis macam Amerika bisa membuktikan: Neil Amstrong dan Edwin Aldrin tampil sebagai manusia pertama yang bertandang ke bulan.

Sementara, di manakah sumbangan umat Islam dalam perkembangan teknologi yang kian melesat ini. Islam dikenal sebagai agama yang pro-pengetahuan. Tetapi, lihatlah betapa terlambatnya perkembangan dunia sains dan teknologi di dunia Islam saat ini. Siapakah ilmuwan Islam modern yang pernah menerima hadiah Nobel di bidang sains setelah Profesor Abdussalam dari Pakistan (kebetulan pengikut sekte Ahmadiyah. Bukan sekte besar Sunni atau Syiah). Dari mana kita mendapatkan pengetahuan tentang sistem komputerisasi, yang bisa membantu kita dalam melakukan perhitungan praktis dan word processing? Dari mana kita memperoleh kelilmuan mengenai industri pesawat, reaktor nuklir, kegiatan matahari yang bisa mempengaruhi medan magnet bumi yang akhirnya mempengaruhi kualitas penerimaan gelombang radio? Saya merasa tak harus menjawabnya karena saya yakin Anda semua sudah tahu. Karena memang teknologi canggih itu sangat membantu berbagai aktivitas kehidupan umat Islam saat ini dan tak mungkin terlepas dari keseharian hidup kita? Fenomena ini yang sungguh sangat ironis dan membuat saya merasa lucu sekaligus kasihan ketika ada kawan-kawan dari sebuah pergerakan Islam yang tak bosan-bosanya menjadikan Barat, khususnya Amerika, sebagai “sansak” bagi ideologi mereka.

Tantangan bagi dunia Islam adalah memajukan pendidikan seluas-luasnya dan setinggi-tingginya, sebab hanya dengan cara itulah dunia Islam bisa “melawan” Barat (jika benar “Barat” memang harus dilawan). Sejatinya, Barat – dalam banyak hal – lebih tepat dianggap sebagai “sparring fartner “ bahkan guru untuk belajar. Bukan senantiasa diposisikan sebagai “sansak” yang mesti terus “digebuki” oleh umat Islam.

Delapan, bahwa dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam tidak akan lengkap kalau belum belajar dan mengamalkan ajaran tasawuf. Tasawuf sering diproklamirkan dan diyakini sebagai wahana satu-satunya untuk bertakarrub kepada AlLah yang paling cespleng.

Tentu saya tidak memprovokasi untuk mengibarkan bendera peperangan secara gegabah dan serampangan terhadap tasawuf. Sambil tetap menjumputi nilai-nilai sufistik yang bisa diejawantahkan dalam berbagai lini kehidupan, dengan definisi singkat dapat saya deskripsikan, bahwa tasawuf sebagai aspek mistisisme dalam Islam pada intinya adalah untuk menanamkan kesadaran tentang adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman Spiritual Dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaanNya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi yang absolut. Namun ketika tasawuf didaulat dan dimakzulkan sebagai satu-satunya jalan untuk bertakarrub kepada AlLah yang paling valid, maka saya dengan berani mengatakan, berarti sia-sialah ibadah umat Islam yang tak menjalankan mistik Islam itu. Padahal, tanpa tasawuf pun, orang bisa dekat kepada AlLah. Shalat lima waktu, misalnya, adalah pranata soper power ibadah dalam kehidupan. Dengan shalat, umat Islam mampu berhubungan dengan Sang Khalik, atau, sebagai miniatur dan alat kontrol perbuatan dalam keseharian. Zakat dan sedekah juga memperlihatkan adanya timbangan rezeki AlLah dengan kekayaan pribadi, dan seterusnya.

Pengajaran tasawuf yang dimistifikasi sedemikian rupa seperti itu bukan saja tidak perlu, tetapi juga merugikan bahkan berbahaya bagi umat dan agama Islam. Tasawuf ibarat pedang bermata ganda. Selain mampu menimbulkan perubahan sosial, bisa juga mendatangkan petaka, yang dapat mengguncang kemapanan tatanan sosial dan bisa pula merupakan ancaman politik. Jadi, tasawuf erat kaitannya dengan kematangan jiwa. Ia bisa jinak, bisa pula liar. Umat Islam yang mempraktikkan tasawuf dalam kehidupannya juga harus menyadari bahwa tantangan masa depan umat sangat spektakuler dan sangat sulit diantisipasi hanya dengan tasawuf yang lebih mengandalkan rasa daripada rasio dan kecerdasan otak. Melihat umat Islam yang menekuni ajaran tasawuf sedemikian rupa perasaan saya sering tergelitik dan menimbulkan kasihan, apalagi dari kalangan muda. Masa muda yang merupakan usia spekulasi dan saat penimba pengetahuan untuk mengasah nalar, akhirnya, diobral dalam petualangan di alam mistik, yang seharusnya “belum boleh” dijelajahi. Lalu, untuk apa pemberian Sang Khalik – berupa psikologi otak yang terdiri dari 10 sampai 15 bilyun neutron – bila tak digunakan untuk mengelola bumi yang satu ini? Betapa tersiksa batin kalau masa depan yang tak mungkin dihindari harus disongsong dengan tangan kosong. Sebab, ilmu dan teknologi, yang mestinya digenggam, raib akibat mabuk dengan tasawuf.

Dalam pemahaman saya, tanpa mengabaikan nilai-nilai positif ajaran tasawuf, pada hakikatnya tasawuf cuma kreativitas spiritual individual semata dari orang-orang yang masih bimbang dengan keimanannya. Sebab, Islam sudah sangat utuh sebagai ajaran Ilahi. Namun tetap saja ada yang mencari hal-hal gaib dalam kehidupannya, yang justru bisa membutakan mata hati dan akal dalam memahami kebesaran AlLah. AlLah menjadikan siang agar manusia mampu merealisasikan wujudNya sebagai the leader. Bukan sekadar memuji kebesaran AlLah. Atau hanya menapaki laku Islam dalam seremoni religi belaka, dalam kaitannya dengan upacara-upacara untuk Tuhan dalam rangka merebut kapling di surga. Tetapi menjawab jati diri sebagai khalifatullah fil ardhi.

Sembilan, bahwa upacara dan seremoni keagamaan harus diapresiasi, diekspresi dan dilestarikan begitu rupa, solah sudah menjadi bagian dari ibadah murni. Bahkan pada momen-momen tertentu sudah mengalahkan ritual formal individual dalam ibadah mahdah. Yang saya maksudkan di sini adalah tradisi upacara dan seremonial keagamaan yang dihelat secara periodek-tahunan seperti peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an, ritual Nisfu Sya’ban, kenduri haulan dan sejenisnya, yang dirayakan dengan prosesi yang serba wah, mewah dan “ah”.

Saban kali menyaksikan pelaksanaan upacara dan seremonial keagaman tersebut, terus-terang saya merasa sangat khawatir. Gegap gempitanya acara, variatifnya model prosesi, justru lebih sering membingungkan. Perayaannya banyak yang hanya sebatas memperingati, belum sampai pada livel memaknai apalagi meneladani. Betapa sering saya lihat, upacara-upacara yang berlangsung hanya sekadar seremoni tahunan, kenduri, tahlilan, pembacaan sirah, atau ceramah agama yang disudahi dengan jamuan makan bersama yang cenderung besar-besaran dan tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Acaranya begitu spontan, seketika dan instan. Tapi, sesudah itu apa? Tanpa kesan dan pesan; tidak terlahir adanya kesadaran individu maupun kolektif untuk sepenuhnya mengaktualisasikan nilai-nilai yang terperam dalam upacara dan seremoni tersebut. Yang terlihat justru terjadinya kompetesi model prosesi atau bahkan adu gengsi dengan pamer kekayaan bagi si pelaksana kegiatan.

Lebih sulit lagi, menemukan apa fungsi pragmatisnya dalam pengembangan dakwah yang berorientasi pada peningkatan kualitas pribadi. Masih untung kalau upacara dan seremonial tersebut tidak dicampur dengan kegiatan-kegiatan berbau bid’ah, khurafat dan syirik. Karena di banyak tempat, saya menyaksikan upacara dan seremonial itu sering “dibumbui” ketiga penyakit tauhid tadi. Yang paling pokok, upacara dan seremonial ini tidak mempunyai landasan primer baik berupa teks-teks dalam epistimologis pranata hukum Islam maupun alasan-alasan pragmatis dan fakta historis, yang dalam ranah yurispudensi Islam sendiri – jika dianggap sebagai ibadah murni, dan inilah yang banyak berkembang – hal itu adalah inovasi terlarang (bid’ah), tentu tanpa klasifikasi-klasifikasi bid’ah itu sendiri. Kalau demikian, upacara dan seremonial keagamaan yang dikatakan sebagai monomental terhadap keagungan ajaran Islam atau sosok Muhammad saw. telah dikotori dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntunan dan ajarannya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Ironis!

Di sisi lain, dari segi materi dalam upacara dan seremonial tersebut juga banyak terdapat riwayat-riwayat yang dijadikan justifikasi bukan hanya sekadar berlebih-lebihan (ishraf) tetapi mengarah kepada kesesatan dan kesyirikan serta “pembohongan publik” jika diukur dengan standar obyektif Al-Qur’an dan Al-Hadits serta realitas sejarah. Kumpulan sajak dan syair-syair atau cerita-cerita dalam kitab-kitab yang mendukung upacara dan seremonial tersebut bukan hanya berisi puji-pujian dan kisah-kisah yang berlebihan kepada RasululLah misalnya, tetapi sampai hingga batas gholu (pengkultusan) dan mendewa-dewakan RasululLah pada posisi yang menyimpang dari status beliau sebagai hamba dan Rasul AlLah, bahkan ditemukan pula dongeng-dongeng seputar peristiwa kelahiran Nabi saw. seperti dalam kitab-kitab Maulid, yang tidak punya sumber yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara syar’i maupun historis apalagi ilmiah. Hal itu bisa dipahami karena para pengarang kitab-kitab Maulid itu sendiri adalah seorang penyair dan bukan seorang ahli sejarah apalagi ahli hadits.

Riwayat berupa syair dan cerita itu disusun dengan kalimat dan bahasa yang begitu indah. Akan tetapi materinya tidak didukung oleh riwayat yang akurat. Sebagian informasinya benar sesuai riwayat hadits yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sebagian lainnya hanya merupakan dongeng isapan jempol dan khayalan kosong. Ini semua cerita yang sumbernya tidak jelas. Tegasnya, ulama hadits kesohor sekaliber al-Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan tidak meriwayatkan khabar-khabar semacam ini. Cerita imajinatif ini, karena oleh masyarakat Muslim tertentu dipercaya sepenuhnya, sehingga berbahaya dalam akidah. Karena, di samping faktanya tidak ada, juga menimbulkan kultus yang over dosis.

Secara jujur saya menilai, sisi buruk pengajaran ini telah memposisikan ibadah kita, disadari atau tidak, terjebak ke dalam sikap memperlakukan upacara dan seremonial keagamaan sebagai ritualisme yang menyerupai teater, tontonan dan pertunjukan. Kegiatan masyarakat Islam yang begitu tinggi dalam menjalankan upacara dan seremonial agama, membuat kita berkesimpulan bahwa umat Islam adalah umat yang taat dan saleh. Hal itu sudah tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi apa yang ada di balik teater itu? Apakah subtansi yang ada di baliknya? Apakah kesalehan teatrikal yang penuh dengan kegairahan dan kekhusukan ini menandakan akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial kita?

Saya ragu, bahwa di balik pertunjukkan “ibadah” yang kolosal ini, ada suatu “magma” sosial yang akan mengubah struktur masyarakat agar mendekati cita sosial yang dikehedaki oleh Islam. Kecenderungan yang makin kuat saat ini dipandang sebagai “inti” agama yang harus diperjuangkan habis-habisan. Kesan yang tampil ke permukaan: seolah-olah kalau umat Islam bersemangat menggelar upacara dan seremonial agama, bahkan taat beribadah secara ritual, maka seluruh masalah yang menghimpit mereka dengan sendirinya, sekali lagi “dengan sendirinya”, musnah begitu saja. Wa law amana ahlul qura wattaqaw lafatahna ‘alaihim barakatin minas sama’i wal ardl, sekiaranya penduduk kota beriman dan bertaqwa, maka Aku akan bukakan tingkap-tingkap dan hamparan bumi, sehingga berkahKu mengucur deras. “Iman” di sana kerap kali dimaknai sebagai ritual dalam bentuk-bentuknya yang teatrikal: upacara Maulid, peringatan Isra Mi’raj, seremonial Nuzulul Qur’an, ritual Nisfu Sya’ban, kenduri haulan, dan seterusnya.

Dalam sikap yang demikian itu, ibadah seolah-olah planet yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat: ibadah di satu orbit, kehidupan ramai ada di orbit yang lain. Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk sekularisme dengan jertitan histeris.

Di manakah pangkal kekalutan yang memalukan ini? Ini semua berujung pada satu titik: agama berhenti sebagai teater yang tidak mempengaruhi kehidupan secara luas. Puasa, shalat, zakat, haji, upacara Maulid, peringatan Isra Mi’raj, seremonial Nuzulul Qur’an, ritual Nisfu Sya’ban, kenduri haulan dan ritualitas kita, rupanya, telah terjerambab ke dalam liang ini. Dari waktu ke waktu ibadah kita dipertunjukkan sebagai teater kolosal, tetapi setelah pertunjukkan itu “the and”, keadaan kembali kepada situasi semula: ketidak-adilan masih merajalela di mana-mana, penjajahan dan penindasan (baik secara moral, spiritual dan sosial) terus mengudapaksa, dan korupsi meruyak seperti virus ganas yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh masyarakat. Masihkan kita ingin meneruskan karnaval dangkal ini?

Umat, sekali-sekali dalam hidupnya, perlu upacara, dan agama menyediakan ”perkakas keagamaan” untuk penyelenggaraan upacara itu. Tetapi, jelas upacara dan ritual dalam Islam hanyalah ornamen atau hiasan luar. Ibadah dan hukum-hukum dalam Islam adalah semacam eksterior atau ruang bagian luar dari Islam. Interior atau ruang dalam Islam adalah cita-cita, esensi, makna dan hakekat yang menjadi alasan kenapa agama ini lahir ke muka bumi. Salah satu cita-cita mendasar Islam adalah simpati dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tersingkirkan (dha’if wa mustadh’afin).

Manakala agama telah kehilangan kepekaan kepada semangat zaman, maka sudah selayaknya jika para pengikutnya mulai mempersoalkan agama itu sendiri, atau bahkan meninggalkannya. Orang tak tertarik kepada agama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat orang lain adalah dengan cara menyuguhkan ‘kegembiraan di kemudian hari’, tetapi tidak kegembiraan di dunai dan kehidupan sekarang ini. Agama yang “fresh” adalah agama yang membimbing orang-orang untuk menghadapi masalah di dunai saat ini, yang menyapa orang-orang yang mengalami penderitaan, yang menjanjikan keselamatan bukan saja di dunia nanti, tetapi juga di dalam kehidupan saat ini. Agama yang menjadikan ketaatan kepada ritus dan ibadah sebagai tujuan pokoknya, yang telah merosot hanya menjadi “ibadah” badaniah belaka atau serangkaian hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai second hand religion atau agama bekas yang sudah kehilangan semangat dasarnya.

Sambil tetap mendukung upaya revitalisasi, saya merokemondasikan untuk segera menyingkirkan pengajaran ini!

Sepuluh, bahwa tuan guru, ulama, kiai, dan habib, apalagi kalau sudah bergelar wali, tidak akan pernah berbuat salah, baik dalam perkataan atau perbuatan, lebih-lebih dalam hal menfatwakan dan mengamalkan syari’at Islam. Dalam pandangan saya, pengajaran ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi ajaran Islam, dan karena itu tidak perlu. Jika pengajaran ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah tuan guru, ulama, kiai, habib – meski bergelar wali, dan bahkan nabi sekalipun) sebagai “infallible”, tidak bisa berbuat salah, jelas tidak masuk akal.

Sebelas, masih berkaitan dengan pengajaran sebelumnya, bahwa seorang habib adalah manusia suci yang terluput dari segala dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Oleh sebagian besar masyarakat Islam, bil khusus di daerah ini, seorang habib disakralisasi dan dikultuskan sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals) dan dimuliakan secara over dosis, yang tidak jarang melampaui penghormatan kepada orangtua, karib kerabat bahkan diri sendiri. Adanya para habib yang tanpa tedeng aling-aling melakukan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan hukum syariat tak ketulungan, fakta ini tak menggugurkan sakralisasi tersebut karena di sisi lain setiap habib diyakini pasti mendapatkan khusnul khatimah.

Dalam khasanah budaya keberagamaan masyarakat tradisional dan komunal, habib diamini sebagai pribadi dengan performance yang demikian dihargai dan dihormati karena memiliki berbagai kelebihan dan karamah. Habib diakui sebagai seorang yang punya garis keturunan langsung sampai kepada Nabi Muhammad saw., meskipun jalur periwayatan yang dijadikan dasar lebih layak diperdebatkan. Dalam jingukan saya, setidaknya ada dua motif yang melatari sikap masyarakat tersebut. Pertama, ketaatan kepada habib dianggap sama nilainya dengan kepatuhan terhadap guru, kiai, ulama, bahkan Nabi saw. Dan sikap tunduk, patuh dan tawadhu kepada habib tadi diyakini punya pengaruh terhadap kehidupan pribadi masyarakat bersangkutan. Kedua, seorang habib dipercaya bakal jadi manusia cerdik pandai. Ia kelak mewarisi kedudukan datuknya – Muhammad saw. – jadi kiai, tuan guru atau ulama bahkan (di)wali(kan). Umat takut katulahan (kualat) kalau tidak taat apalagi sampai berani menentang dan menantang habib. Maka dalam romantika masyarakat komunal, termasuk untung bila bisa bergaul sedekat dan seakrab mungkin dengan habib. Dan itu juga bisa menjadi sebuah kebanggaan bahkan prestasi sekaligus pristise. Inilah yang akhirnya sering menelan korban, masyarakat lupa belajar dan ngaji, khususnya dari kalangan santri; mengabaikan waktu sehari-hari lantaran terbuai keyakinan bahwa bergaul dengan habib ilmu bakal datang sendiri seakan runtuh begitu saja dari langit.

Keyakinan di atas tidak hanya mengakar di lingkungan keberagamaan masyarakat tradisional, tetapi juga menjangkiti ranah kehidupan politik. Banyak politisi yang kentara sekali menampilkan elitisme politik bernuansa primordialistik-relegik dengan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dan figur pemuka agama yang berpredikat habib. Bahkan lagi, tidak sedikit pula tokoh politik berpredikat habib yang terjun langsung dalam kancah politik praktis. Para habib sendiri juga tidak sedikit (kalau tidak disebut banyak sekali) yang sengaja membiarkan elistisme “habib” itu sebagai penentu asimetri kedudukan antara mereka dan umat lainnya. Mereka melancarkan eksistensifikasi prinsip “darah biru” dan religiositas subkulturnya ke tingkat kehidupan sosial. Gelar habib bagi para penyandangnya memang menyangkut elitisme dalam kedua hal itu sekaligus: Posisi askriptif (sebagai juriat Muhammad saw.) dan jenjang religiositas (sebagai kiai, ulama dan barangkali “wali”). Kegemaran sejumlah Habib mengunjungi kuburan-kuburan tertentu; melaksanakan seremoni haulan atau mualudan; aktivitas pertemuan berkala mereka dalam perkumpulan para habib, menegaskan argumen ini. Sebagian habib memang ada yang menolak dimuliakan dan diwalikan oleh para pemujanya, tapi penolakan tersebut terlampau ringan dan sambil lalu dibandingkan dengan betapa seriusnya retardasi atau keterbelakangan “politis” yang terkandung dalam pemujaan irasional demikian.

Pengajaran sakralisasi dan kultuistik terhadap sosok habib ini begitu ekspansif bahkan agresif ditularkan oleh sejumlah pemuka Islam dan berhasil menyentuh ranah capaian yang mereka harapkan. Namun saya melihat capaian tersebut justru tidak membawa maslahat yang cukup positif terhadap umat dan Islam sendiri. Dalam hubungan pergaluan antarmanusia (hablum min an naas), Islam tidak membenarkan adanya panghambaan manusia terhadap manusia lainnya. Islam adalah pelopor demi tercuatnya nilai moral pemerdekaan manusia dari belenggu eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk dan cara. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesedarajatan antarmanusia dan mengajarkan sikap untuk saling menghargai dan menghormati dalam takaran yang proporsional dan profesional, terhadap siapa dan bagaimanapun status orangnya, bahkan kepada kalangan non Muslim sekalipun. Berkenaan dengan nasab kelahiran, apakah historis kelahiran seseorang bisa dijadikan dasar sebagai level kemuliaan dibanding yang lain? Sementara, jalur kelahiran tidak selalu dapat diupayakan karena termasuk hak prerogatif AlLah. “Ningrat” tidak ditentukan oleh keturunan, tetapi diperoleh dengan tindakan. Habib tidak lebih mulia hanya karena secara genelogis nasab kelahirannya tersambung sampai kepada Muhammad saw., jika tidak dibingkai dengan kadar keimanan dan ketakwaan yang mumpuni. Kini jadi jelas, pengajaran ini tampak tidak perlu dalam Islam, karena itu lebih elok dihumbalangkan.

Deubelas, bahwa semua pemuka agama (tuan guru, ulama, kiai, ustadz) sama haknya seperti seorang fisabililLah dalam hal pengelolaan ekonomi umat. Dengan anggapan ini tidak sedikit para pemuka agama mengumpulkan zakat, sedekah, infak, atau ”pemberian” umat lainnya untuk kepentingan pribadi. Sehingga “zakat” merupakan sumber kekuatan tokoh-tokoh agama serta perkumpulan atau lembaga yang mereka kelola. Hal ini menjadi kritik sebagai monopoli tokoh-tokoh agama atas sumber daya ekonomi yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan umat yang lebih banyak. Meskipun mereka tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah dan jarang disokong secara finansial, dan konon agar mereka tidak terkooptasi dan terkontaminasi oleh pemerintah serta bisa menjaga independensi terhadap kekuasaan. Namun menjadikan posisi pemuka agama sebagai pemilik hak penuh pengelola sumber ekonomi umat sungguh tidak perlu, bahkan sangat merugikan umat dan Islam itu sendiri.

Pengajaran ini jelas tidak perlu, seorang pemuka agama tetap akan bisa tidak terkooptasi dan terkontaminasi oleh pemerintah dan menjaga independensi terhadap kekuasaan, tanpa harus memanfaatkan zakat dan sedekah dari umat untuk menjadi sumber kehidupan sekaligus “kekuatan politik” para tokoh agama itu sendiri, yang sering tidak mempedulikan sudah seberapa pun tumpukan kekayaan pribadi yang sudah ditangguk oleh seorang pemuka agama.

Tigabelas, ini sangat khusus untuk daerah ini, bahwa ulama Martapura lebih otoritatif ketimbang ulama lainnya di Kalimantan Selatan. Otoritas dan kualitas keulamaan dalam masyarakat Kalimantan Selatan sampai saat ini masih kuat beraroma Martapura-Kaum Tuha. Para tuan guru dari sana menjadi kiblat dan amalam-amalannya serta ujar-ujarnya menjadi rujukan masyarakat Islam yang tinggal di daerah lain di Kalimantan Selatan, seperti di kawasan Hulu Sungai dan sekitarnya.

Mayoritas masyarakat Islam Kalimantan Selatan nyaris “tidak menggubris” setiap fatwa yang lahir dari ijtihad para ulama non-Martapura. Ketika terjadi satu soal atau kasus di suatu daerah di Kalimantan Selatan, masyarakat di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Martapura atau paling tidak pada ulama yang berkiblat ke sana. Masyarakat lebih sreg mentaklid pendapat-pendapat dan “ujar-ujar” ulama yang datang dari Martapura ketimbang yang lainnya. Walhasil, bagi masyarakat Islam Kalimantan Selatan, Martapura merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah fatwa, hukum dan amalan dalam Islam di daerah ini. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam di daerah ini pun bisa mereka anggap efektif dan afdhal kalau dilakukan oleh para ulama dari Martapura atau mereka yang bermazhab ke sana.

Pengajaran ini sungguh tidak perlu karena terkesan sangat primordial. Meski tidak selalu berdampak negatif, namun pengajaran ini cenderung menciptakan “jurang pemisah” bagi para ulama non-Martapura sehingga mereka dianggap “pinggiran” dan fatwa-fatwanya dipandang sebelah mata. Ulama non-Martapura diposisikan seolah sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam di daerah ini, agama yang secara simbol memang cukup marak hidup di Martapura. Berikutnya, karena orangnya sudah dianggap `ajam, maka fatwa-fatwanya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam di daerah ini? Selanjutnya saya melihat, fatwa-fatwa dan karya-karya yang dikreasikan para ulama non-Martapura kontemporer sekalipun agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Kalimantan Selatan. Otoritas dan kualitas ulama non-Martapura selamanya seperti tak memiliki wibawa, “kalah tadah” di hadapan ulama Martapura(isme).

Dengan mengeliminasi pengajaran ini, dua hal bisa saya katakan. Pertama, otoritas dan kualitas ulama non-Martapura(isme) tak perlu dipandang sebelah mata. Walau hidup di “tempat terasing”, bukankah sudah cukup banyak para ulama non-Martapura(isme) yang selama ini telah memposisikan diri dan keilmuan mereka secara monumental bahkan dengan kualitas ekspresi dan elokuensi yang tak kalah dengan ulama Martapura. Dengan kualitas yang mumpuni itu, kebiasaan umat untuk selalu bertanya soal-soal keagamaan di daerah sendiri ke ulama Martapura tak selalu perlu dilakukan. Bukan hanya karena yang tahu hakekat persoalan tersebut adalah ulama di daerah itu sendiri, melainkan juga karena mutu dan kualitas keilmuan ulama non-Martapura(isme) selama ini ternyata setara bahkan dalam beberapa hal melebihi ulama-ulama Martapura. Saya yakin, ulama non-Martapura(isme) yang ada di Kaliman Selatan saat ini tak kalah ‘alim dan cerdas dibanding ulama klasik hingga ulama kontemporer Martapura sekalipun. Kedua, ini menjadi pelajaran bagi intelektual muda Islam Kalimantan Selatan, khususnya dari kawasan di luar Martapura, untuk tak canggung membuat dan melahirkan karya-karya besar Islam di daerah ini. Sebab, dalam penilaian saya, inferioritas atau perasaan rendah diri di hadapan ulama Martapura adalah salah satu faktor yang menghambat produktifitas intelektual ulama non-Martapura(isme) selama ini. Para ulama “`ajam” non-Martapura(isme) di Kalimantan Selatan harus terus membuktikan bahwa otoritas dan kualitas fatwa dan karya-karya kreatif mereka tidak “kalah tadah” dan bisa dikelola dengan baik di luar tanah dan kawasan Martapura(isme).

Empatbelas, bahwa pengamalan hukum-hukum Islam haruslah mengacu kepada salah satu mazhab yang empat: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Pengajaran ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah wal-jama’ah di mana-mana sepanjang sejarah. Dalam konteks lokal, pengajaran ini juga menjadi ukuran standar dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha” di daerah ini. Pengajaran ini sebetulnya kurang atau bahkan tidak perlu karena selalu menjadi alat ortodoksi agama untuk mempertahankan status quo. Dasar hukum untuk melaksanakan ajaran Islam jelas tidak bisa dibatasi pada istimbad (konsensus) para fukaha yang empat itu. Pengamalan hukum-hukum Islam tidak berkurang nilainya sebagai syari’at agama jika pengajaran ini dihilangkan.

Limabelas, bahwa sekte Ahlussunnah wal-jama’ah adalah aliran keagamaan dalam Islam yang paling benar, bahkan satu-satunya yang benar. Pengajaran ini sangat digandrungi oleh hampir semua kelompok pengkajian Islam, khususnya di daerah ini. Hal ini menjadi semacam ukuran utama untuk menilai apakah sebuah kelompok masih di “dalam” atau sudah melesat ke “luar” Islam. Dengan keyakinan semacam itu seolah hendak dibangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu. Menurut hemat saya, pengajaran seperti ini adalah penyakit spiritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu. Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme (chauvanistic doctrine), mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan. Dengan tegas saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacan ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan.

Pengajaran ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap aliran dalam Islam, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “benar” atau bahkan “paling benar”, dan pemahaman atau pengamalan mereka sebagai benar atau paling benar pula. Pengajaran ini sama sekali tidak perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika di samping Ahlussunnah wal-jama’ah, misalnya, ada aliran pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang lain lagi?

Enambelas, bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan pemahaman dan pengamalan Islam melalui sekte tertentu adalah “sesat”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua sekte Islam. Semua sekte dalam Islam cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba tersesat. Pengajaran ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah pemahaman keagamaan tertentu dalam Islam. Sudah jelas bahwa jalan untuk mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam tidak hanya melalui satu sekte dan aliran.

Tujuhbelas, berkaitan dengan pengajaran sebelumya, ada pengajaran lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing sekte dalam Islam. Dalam Sunni, ada pengajaran tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya Ahlussunnah wal-jama’ah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk surga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah, ada yang memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Demikian pula dalam sekte Ahmadiah dan lain-lain. Pengajaran ini diteruskan oleh elit-elit Islam bahkan lembaga agama pada sekte-sekte tersebut dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Dalam konteks lokal – atau sekte yang lebih primordial dan eksklusif –, pengajaran ini juga dihunjamkan begitu dahsyat oleh kelompok-kelompok “kecil” keagamaan seperti pada kelompok “kaum tuha”, golongan “kaum muda”, pengikut “salafy”, kalangan “haraky”, dan yang lainnya. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu dalam sekte Islam adalah sebentuk arogansi.

Delapanbelas, bahwa bentuk kehidupan, pemahaman, dan penerapan syari’at Islam di era shalafus shalih adalah satu-satunya model ideal ajaran Islam. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Pengajaran ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah pemahaman model ajaran Islam. Kehadiran model pemahaman dan pengamalan syari’at Islam tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas pemahaman dan pengamalan syari’at Islam dalam bentuk yang lain. Pemahaman dan pengamalan atas syari’at Islam yang “beraneka” akan saling melengkapi satu terhadap yang lain. Di masa kenabian pun, tidak ada kesucian yang mutlak. Yang ada hanyalah tiadanya penyimpangan yang mutlak. Kaum fundamentalis bisa belajar dari kalangan sekuler, golongan literal bisa belajar dari kelompok liberal, pengusung ide-ide “kebajikan masa lalu” bisa belajar dari kebijakan pengikut tradisi-tradisi lokal, “kaum tuha” bisa belajar dari “kaum muda”, aliran salafy bisa belajar dari massa reformis, demikian sebaliknya, dan begitulah seterusnya.

Sembilanbelas, bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah mahdah (ritual formal individual) dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk muamalah (hubungan antarmanusia dalam komponen tatanan sosial) dan kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah mahdah secara intensif dan rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan. Bukankah sebai-baik manusia adalah yanfa’uhum lin naas – yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Kita tidak harus memandang lilitan surban atau jenggot seseorang sebagai ukuran kesalehan – lebih-lebih keimanannya. Keislaman seseorang tidak diukur dari hitam-putih kopiah dan besar-kecil lilitan surban yang dikenakannya. Dalam persfektif keyakinan saya, ketaqwaan seseorang tidak diukur melalui sikap lahir karena banyaknya sujud dan amaliah mahdah kepada AlLah saja, tetapi sikap ritual peribadatannya itu mesti diaktualisasikan juga ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Duapuluh, bahwa jika elit Islam – baik perseorangan atau kelompok, apalagi dalam bentuk lembaga agama – mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Elit Islam (pemuka agama, tuan guru, ulama, kiai, habib) secara “de vacto” dinobatkan sebagai “juru bicara Tuhan” yang paling memahami tentang isi Kitab Suci, dan “juru bicara Tuhan” tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika “juru bicara Tuhan” sudah mengeluarkan sebuah “dekrit”, maka seluruh perbincangan harus berhenti, semua upaya ijtihad mesti dibuntukan, segala bentuk dialog segera dimuseumkan. Pengajaran ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci (Qur’an dan hadis) sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dipurbakan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteksnya berbeda. Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara tekstual dan literal. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik.

Dupuluh Satu, bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari’” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Secara khusus saya tidak mengamini katagoresasi terakhir ini, yaitu bahwa para ulama dan fukaha didaulat sebagai kalangan yang paling absah menafsir dan bahkan membuat produk hukum. Bukankah deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal”, bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhalifahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Saya kira, tidak harus menunggu menjadi alim dan mendapat gelar ulama atau tuan guru baru kita boleh menggali, mendiskusikan dan lebih-lebih mengamalkan hukum dan ajaran agama. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan secara ekslusif oleh ulama dan fukaha, tetapi juga oleh manusia secara umum.

Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha. Ini paralel dengan konsep “kewarganegaraan modern” di mana konsep “warga negara” mencakup secara intrinsik kemampuan untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai “training” untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada teks-teks Kitab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Duapuluh Dua, bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu, teks dan konteks. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini secara kontekstual bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah. Dalam pemahaman yang ingin saya kembangkan, ada banyak bagian dalam Kitab Suci yang mesti terus-menerus dikontekstualisasikan sesuai dengan konteks yang melingkupinya, karena justru kelahiran Kitab Suci sendiri dibentuk oleh konteks yang spesifik.

SAYA masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin mengkritik sembari menawarkan bentuk pengajaran Islam yang lebih efektif dan inklusif, lebih bermanfaat dan bermartabat. Sebab saya menyaksikan banyak cara pengajaran agama selama ini yang hanya menekankan sikap “taatilah dan jalankanlah aturan agama, jangan rewel, jangan tanya, nanti Tuhan marah.” Agama diajarkan sebagai komando dan khotbah moral yang berbusa-busa, kadang diselingi retorika kebencian yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan. Umat dipandang oleh para elit agama sebagai kerbau yang tercocok hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik, mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul kafirun, kata sebuah ayat yang suka disemburkan oleh para elit agama itu; barangsiapa yang tak mau berhukum kepada hukum AlLah, maka ia adalah kafir. Umat tidak layak untuk diajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis mengenai agama dianggap sebagai “cabaran” (penodaan) atas agama dan hukum Tuhan.

Saya juga ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang pengajaran, keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika eskalasi itu pertama-tama harus diterapkan pada pengajaran dan pengamalan Islam itu sendiri. Mendaku bahwa cara beragama yang paling benar adalah Islam versi sekte, mazhab atau kelompok jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa bila mengikuti jalan pemahaman dan pengamalan Islam tidak melalui sekte tertentu adalah “sesat” berlawanan dengan etika tawadlu’. Meyakini bahwa para elit agama tidak akan pernah berbuat salah dan menjadi kalangan satu-satunya yang punya hak mutlak sebagai “juru bicara Tuhan”, sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu’. Mensakralkan dan mengkultuskan habib sebagai “manusia setengah dewa” yang terluput dari kesalahan dan dosa sungguh menghumbalangkan nilai-nilai tawadlu’. Memposisikan ulama Martapura sebagai kalangan yang paling otoritatif dan kualitatif untuk “merumuskan” Islam di Tanah Banjar sungguh memperkosa kaidah-kaidah tawadlu’. []



Kandangan, 29 Rabiul ‘Awal 1431 H - 15 Maret 2010 M

No comments:

Post a Comment