Tuesday, December 23, 2008

Menakar Makna Religius dalam Visi dan Misi Kabupaten HSS

Pemaknaan yang dangkal terhadap religiusitas akan mewujudkan penghayatan keagamaan yang dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka orang menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah, tetapi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bolduser atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat.

SALAH satu visi dan misi bupati dan wakil bupati Hulu Sungai Selatan (HSS) saat ini, DR. H. M. Safi’i, M.Si dan H. Ardiansyah S.Hut adalah, mewujudkan HSS menjadi kabupaten yang religius. Dan untuk itu, menurut anggota DPRD Kab. HSS, dana anggaran sebesar dua belas (12) milyar sudah diketok dan siap digelontorkan untuk menyokong tujuan tersebut.
Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan dan dikaji ulang terkait dengan bentuk realisasi dan pemahaman atas makna religius itu. Mengapa demikian? Dalam konteks mewujudkan HSS yang religius itu, kedua orang pejabat itu (dan para pendukungnya) tampaknya masih terkungkung pada pandangan dasar umum yang menangkap makna religius sebatas suasana atau tingkah laku yang mengusung dogma, lambang-lambang dan teks-teks agama, khususnya Islam, namun dalam lingkup yang sangat terbatas bahkan sempit. Karenanya wajar bila banyak masyarakat HSS jadi tersenyum-senyum ketika sebuah dinas mengusung slogan “religius” dalam kalimat berikut: “Mewujudkan Kabupaten HSS sebagai Pusat Bibit Hewan Ternak yang Unggul dan Religius”. Religius di sini seolah mengesankan sebuah pemaknaan kalau binatang ternak dimaksud mengenakan kopiah haji atau jilbab dan bahkan gamis?
Pemaknaan seperti itu pulalah barangkali yang membuat lomba perahu naga berhias di Nagara tidak mendapat simpati; pagelaran tetaer tidak mendapat “aplaus” (meski mengusung tema religius), dan bahkan mampu mengeliminasi pagelaran wayang kulit yang merupakan hiburan “wajib” masyarakat Kandangan pada setiap malam hari jadi kabupaten HSS setiap tahunnya menjadi suguhan orkes gambus. Argumentasinya sama, perahu naga, aktor teater dan wayang kulit tidak pakai jilbab, kopiah haji dan gamis! Meski pun pada realitasnya orkes gambus yang ditanggap itu justru menyuguhkan tarian perut ala Timur Tengah yang cukup erotis.
Konsepsi dasar umum makna religius yang sempit itu jelas tidak sekadar mengundang senyum, tetapi juga mendapatkan penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks agama sendiri. Dalam konteks agama-agama formal berkaitan dengan religius, makna itu tidak lagi sekadar dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme-dogmatis atau idealis-dogmatis tidak lagi begitu mewarnai kontruksi dan penyebutan istilah religius itu.
Posisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas berbeda dengan sistem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanisfestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.
Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi, tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya hubungan dengan Tuhan (hablum minAlLah), tetapi juga fungsi sosial, hubungan dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, tujuan pembangunan HSS berbasis religius yang terkonstruksi dalam visi dan misi bupati dan wakilnya itu sejatinya tidak hanya mengacu pada dogma yang bermain dalam tataran hukum positivisme atau syariah saja. Di sini, posisi agama tidak lagi menjadi beban dalam upaya mengejawantahkan makna religius baik dalam wilayah hablum minAlLah maupun dalam posisi hablum minan nas.
Kondisi ini akan berlaku jika pemahaman keagamaan bupati dan wakil bupati HSS (dan para “pembisiknya”) tidak terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada makna religius harus segera ditafsir-ulangkan. Sejatinyalah pembacaan teks tentang religius dan realitas keagamaan tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari makna itu sendiri.
Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam asasi yang rahmanan lil ‘alamin, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistemewaan pada pihak-pihak tertentu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur dinding konsep status qou.
Mungkin yang perlu dikebangkan oleh bupati dan wakilnya (dan semua perangkatnya) dalam visi misi HSS itu, adalah bahwa proses dan realisasi pembangunan HSS yang religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia mesti berpihak untuk kepentingan bersama dan merupakan proses dari kepentingan bersama juga. Bisa saja menggunakan lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja tidak disekat-sekat dalam pemahaman keagamaan yang sempit, dalam arti mesti lebih berkutat dan berpihak pada sisi kemanuisaannya.
Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan, religiusitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubugan dengan Tuha atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada indiviudu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian. Hal ini mengacu pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas From dalam Relegion dan Psycoanalyisis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra.
Nashr Hamed Abu-Zied menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena pertimbangan teks yang beku tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda (Nashr Hamed Abu-Zied dalam bukunya Naqd Al-Khitab Al-Diniy).
Masih perlu kita lihat apakah di kesempatan-kesempatan selanjutnya visi dan misi bupati HSS dan waklilnya itu mampu bertahan dan bisa menyajikan, lebih-lebih mewujudkan, muatan tentang bentuk-bentuk atau aspek-aspek religius dari tradisi-tradisi lain di luar pemahaman teks, dogma dan lambang-lambang Islam dalam kaca mata literal. Bukan hanya dari lingkungan spiritulitas dan ritualitas Islam saja yang menjadi takaran religius. Membatasi religiusitas apalagi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan religiusitas dan spiritualitas itu sendiri.
Spiritualitas dan ritualisme keliru kalau berhenti hanya pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.
Orientasi religius yang diusung dalam visi dan misi bupati dan wakil Bupati HSS saat ini tidak mungkin cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual (shalat hajat berjamaah, tahajjud bersama), upacara (maulid, pengajian rutin, pembacaan manakib), peraturan (perda khatam Qur’an), ritus, hukum, lambang-lambang (pemasangan lampu hias bertuliskan asma’ul khusna, tarbang, gambus, jilbab, gamis, surban), segi-segi sosiologis maupun segi politis dari teks-teks Islam (saja) yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam.
Dengan kalimat-kalimat tersebut kita bisa mengatakan bahwa dalam religiusitas dan ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Kita harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman, antara ritus dan ritualisme, antara religi dan religius. Pemaknaan yang dangkal terhadap religiusitas, seperti kata dosen FKIP Unlam Jarkasi, akan mewujudkan penghayatan keagamaan yang dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka orang menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah, tetapi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bolduser atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat
Kita akan lihat, dan tentu saja berharap, di hari-hari mendatang apakah visi dan misi kedua pejabat yang (katanya) didukung para ulama dan habib untuk mewujudkan HSS menjadi sebuah kabupaten yang religius itu bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang lebih terkesan profan dan duniawi, tidak sekadar terkungkung dalam jebakan ritus dan ritualisme.
Dan merupakan sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan oleh kedua pejabat bersangkutan terkait dengan mutu atau kualitas dari realisasi religius itu. Sebab, bagaimanapun visi dan misi itu bermain dalam wilayah masyarakat luas. Dari sini, ada semacam azam agar aspek religiusitas yang merambah segala relung-relung terdalam dari masyarakat HSS dengan segala absurditasnya juga mendapat tempat yang seimbang dalam tujuan religius itu, tanpa ada pemaksaan pada aspek-aspek dogmatik dan terjebak pada khotbah yang berbusa-busa.
Sambil menantikan langkah-langkah kongkrit dan nyata dari bupati dan wakil bupati HSS untuk mewujudkan HSS menjadi kabupaten yang religius selanjutnya – yang mudah-mudahan tidak sekadar jargon dan eforia politik yang sarat dengan beribu janji, dengan tangan terkepal ke udara kita mengucapkan: Qou Vadis, HSS yang Religius! 

No comments:

Post a Comment