Tuesday, December 23, 2008

Menyelesaikan Misi Dakwah Sunan Kalijaga

Menjelang penerbitan buku ini, Aliman memberikan beberapa naskahnya untuk turut saya baca. Saat itu awal Oktober 2008. Tentu, dengan senang hati “oleh-oleh” itu saya terima. Oleh-oleh, karena naskah-naskah yang masih berbentuk mirip makalah –koleksi printed out naskah-naskahnya yang sebagian juga sudah pernah dipublikasikan— saat diberikan kepada saya itu, saya terima saat pulang kampung Lebaran Idul Fitri lalu. Oleh-oleh ini sebenarnya juga cukup spesial buat saya karena dengan membaca naskahnaskah tersebut, rasanya seolah menapak-tilasi jejak proses pemahaman keberagamaan saya saat masih tinggal di Kandangan dulu –setidaknya hingga 1993.
Dari tradisi keluarga yang kental dengan penerapan Islam ala Nahdliyyin (NU) atau yang juga disebut dengan istilah ‘Kaum Tuha’, lalu oleh Kakak saya, Muhammad Radi, saya juga diperkenalkan pada forum diskusi di masjid tetangga di Kandangan, di Masjid Istiqamah, yang merupakan masjid Muhammadiyah itu. Maksud Kakak saya ini, agar tempurung wawasan saya terbuka, gaul dalam tradisi keagamaan, mencoba terus belajar membanding-bandingkan argumentasi agama yang lebih kuat (arjah), dalil-dalil dari setiap praktek keagamaan kita saban hari. Apalagi, antara NU-Muhammadiyah sesungguhnya masih dalam satu rumpun Islam Sunni, yang tidak punya perbedaan yang berarti kecuali dalam praktek syariat (fiqh)-nya saja. Itu pun hanya yang bersifat furu’, cabang.
Saat itu –jangan-jangan juga hingga kini, yang namanya talfiq, mencampuradukkan madzhab dan mengambil yang paling kuat dan paling mashlahat masih dianggap barang tabu. Artinya, bila mengikuti madzhab Syafii, ya madzhab itulah yang harus dipegangi seterusnya, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang dianggap darurat. Tapi Kak Radi –demikian biasa saya memanggilnya-- sudah mulai membuka wawasan saya dengan ide talfiq ini. Prinsipnya, agama itu mudah (yusr), jangan dipersulit. Lagian juga tak ada perintah Rasulullah untuk mengikuti madzhab Syafii atau Maliki saja, misalnya.
Karena membawa rekaman memori khusus buat saya, naskah ini berusaha saya baca utuh, tidak sekadarnya. Karena saat itu saya juga tengah sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Amerika Serikat untuk ‘liputan khusus 19 hari’ pemilihan presiden (pilpres) Negeri Abang Sam itu –yang akhirnya dimenangi Barack Hussein Obama, liburan pulang kampung saya yang rencananya dua minggu akhirnya “didiskon” menjadi satu minggu. Itu pun saya bagi antara Kandangan --kampung kelahiran yang buat saya punya magnet khusus meski sudah ditinggalkan 12 tahun!-- dan Banjarbaru serta Martapura (kampung kedua istri saya, Marhamah Ghazali).
Meski kondisi yang demikian, saya terus berusaha menyempatkan menikmati tulisan-tulisan Aliman ini tadi, dimanapun, dalam setiap kesempatan. Mulai saat di pesawat Banjarmasin-Jakarta, bahkan, hingga akhirnya dalam penerbangan panjang Jakarta-Boston pada 21 Oktober lalu. Setibanya di Boston, saya hanya bisa sebentar-sebentar membolak-balik naskah Aliman, karena kewalahaan dengan padatnya jadwal liputan selama di ibukota negara bagian Massachusetts ini. Juga saat di Athens (negara bagian Ohio). Barulah dalam penerbangan saya dari Chicago menuju San Fransisco, saya akhirnya leluasa menikmati suguhan “asli Kandangan” ini. Bahkan, di San Fransisco, saya lebih punya banyak waktu. Unik rasanya, membaca karya anak muda Kandangan yang kritis dan punya kepekaan sosial khusus di kota terbesar keempat dari negara bagian California ini. Saat itu, pikiran saya melayang jauh ribuan kilometer ke banua.
Lepas dari itu, saya berkesimpulan rasanya masalahnya masih berkutat pada ‘yang itu-itu juga’. Setelah 12 tahun berlalu, mulai urusan qunut, ushalli apa harus di-lafadzkan atau tidak, soal tarbang, basmalah yang harus di-jahar-kan atau tidak oleh imam pada Shubuh, Maghrib atau Isya, dan sejenisnya. Sayang sekali rasanya, energi kita habis hanya berkutat pada masalah-masalah seperti ini.
Yang jelas, satu hal yang ingin saya sampaikan adalah, soal kritisisme Aliman. Ini adalah powerful skill yang harus terus diasah sensitifitasnya terhadap berbagai fenomena sosio-relijus yang ada di masyarakat. Bahwa setiap orang punya potensi ini, mungkin ya. Tapi tak semua orang kadang mau “capek” alias uyuh mengungkapkannya, menggunakan dan mengekspresikannya pada publik. Termasuk dalam bentuk tulisan seperti ini. Padahal, al-Qur’an jelas-jelas menantang kita terus menggunakan otak ini, berpikir. Karena kemampuan berpikir adalah salah satu anugerah dahsyat dari Allah.
Salah satu tulisan yang menjadi perhatian khusus saya adalah ‘Doktrin Asabiyah dan Kemandegan Dialog Agama (Di balik Penyerangan Massa di Sirih)’. Tulisan ini mengingatkan saya pada kenangan pahit yang, secara pribadi dialami Kakak saya sendiri, oleh massa, yang ironisnya lagi, ummat, tapi terkurung pikiran picik, sempit, dangkal, tak lebih dari seukuran tempurung kelapa di depan rumah mereka.
Kejadian pada 8 Juni 2000 itu, meski saya tak ada di Kandangan –saat itu saya sudah tinggal di Jakarta—masih membekas di ingatan saya. Bahwa Kak Radi diserang, mobil yang mereka tumpangi –yang sudah butut itu—juga nyaris dibakar massa, dikejar-kejar, hingga harus lari ke luar daerah. Kesaksian sepupu saya di Banjarmasin, bersama dua anaknya yang saat itu masih kecil-kecil, Kak Radi sekeluarga hanya naik motor dari Kandangan ke Banjarmasin. Di rumah sepupu kami di Banjarmasin, Kak Radi sekeluarga menginap beberapa malam, lalu meneruskan perjalanan ke Kalimantan Tengah, naik motor (!). Untuk kondisi jalan yang saat itu masih belum mulus, menggunakan satu motor dinaiki empat orang, bersama barang-barang mirip pengungsi –karena tak tahu kapan bisa balik ke Kandangan, dengan jantung yang mungkin deg-degan, sulit buat saya bisa membayangkan betapa sulitnya keadaan saat itu.
Pertanyaannya, kenapa ada saudara seiman, satu rumpun yang masih sama-sama Sunni pula, tega menyakiti dan mengusir saudaranya sendiri hanya gara-gara urusan yang belum jelas, tanpa ada klarifikasi (tabayyun), gampang menelan fitnah tanpa lebih dulu “dikunyah”? Inti persoalan saat itu sebenarnya tak lebih dari soal pro-kontra penggunaan tarbang (kendang rebana) saat maulid (!). Kak Radi dan sejumlah rekannya saat itu tak lebih hanya berupaya menengahi kedua pertentangan ini dan mendatangi pihak yang pro tarbang untuk berdialog. Celakanya, isu yang beredar, sang guru --yang ‘pro tarbang’ ini-- akan diserang. Sehingga rombongan Kak Radi dikeroyok massa. Separah inikah dangkalnya wawasan kita? Ringan sekali tangan kita menyakiti sesama Muslim hanya untuk persoalan tarbang. Yang lebih menyakitkan lagi, sang Tuan Guru yang bersangkutan saat itu malah tak terlihat sama sekali kearifannya, minimal misalnya berusaha menenangkan massa, tapi malah membiarkan pengeroyokan. Saya tidak tahu, apa tarbang menjadi ukuran ketaqwaan seseorang di hadapan Allah sehingga harus sedemikian dibelanya seperti membela al-Qur’an, misalnya. Seolah tarbang adalah benda suci selevel al-Qur’an.
Tulisan di atas, hanya satu contoh yang membuat saya punya kesan khusus pada koleksi tulisan Aliman ini. Dan ketika menemukan sejumlah refleksi lainnya terhadap kasus yang berulang-ulang dari yang dikemukan Aliman, yang dulu sebenarnya sudah pernah saya alami, agaknya cukup menjelaskan, memang ada persoalan disini.
Soal ramainya masyarakat menggelar ‘aksi turun ke jalan’ demi membuka saluran sumbangan pembangunan atau renovasi masjid, adalah contoh lainnya. Saya tak mempermasalahkan kalau itu untuk membangun masjid. Tapi kalau untuk urusan merenovasi, terlebih dari masjid yang sesungguhnya masih layak digunakan, namun dirombak untuk dipermegah hingga menelan dana miliaran? Kok membangun rumah Allah sering kita banding-bandingkan dengan ukuran kelayakan saat kita membangun rumah kita sendiri, yang seringkali untuk urusan yang kedua ini didasari nafsu keserakahan. Maaf. Manusia cenderung tak pernah puas dengan rumah yang dimilikinya. Setelah renovasi, poles disana, tambah disini, ganti cat, dan seterusnya. Apa seperti itu kita juga kemudian memperlakukan rumah Allah?
Di beberapa tempat tertentu, kadang saya juga merasa heran, kenapa selalu saja ada keinginan di masyarakat kita untuk terus dan terus mempermegah masjid. Betul memang, masjid tak boleh kumuh. Meski di sisi lain, juga tak ada perintah dalam Islam, masjid haruslah megah dan mewah, sehingga kemudian dianggap sebegai sebuah sesuatu yang bajik di sisi Allah dengan mempermegah masjid. Ketika masjid itu memaksa jamaahnya tertengadah mengagumi kemegahan bangunannya. Tak ada dalil agama, bahwa nilai amal seseorang dinilai dari megahnya masjid yang dia kunjungi. Menyalurkan harta untuk ‘mempermegah’ (!) masjid, saya tidak yakin termasuk menyalurkan harta di jalan Allah. Terlebih bila kita belum yakin, masih banyak anak-anak yang tak mampu melanjutkan sekolahnya karena keterbatasan biaya. Atau di saat ada kaum Mulimin di belahan dunia yang lain yang terlunta-lunta dalam konflik dan perlu biaya untuk obat-obatan mereka. Mungkin di Kashmir sana, Filipina Selatan atau Thailand Selatan, dan seterusnya
Apa kita terobsesi pada megahnya sejumlah masjid di berbagai belahan dunia lainnya semisal di Timur Tengah itu? Di Irak, Iran, atau, hingga yang berdiri di Turki atau Spanyol yang terkenal dengan kemegahannya hingga membuat siapapun yang melihatnya kagum berdecak?
Saya teringat pada sebuah drama di satu jaringan televisi –judulnya lupa. Di salah satu adegan, seorang kyai masih bertahan di dalamnya, duduk berdzikir menghadap Kiblat, tak mau keluar masjid. Padahal saat itu ummat di kampung tempat dia tinggal memaksanya keluar sudha berteriak-teriak memaksanya keluar, karena masjid itu akan segera direnovasi. “Sejahterakan dahulu ummat disini, baru masjid ini.” Demikian kira-kira jawaban sang kyai saat itu.
Seorang rekan Jamaah Tabligh di Tangerang, alumni sebuah kampus di Jepang, juga menggambarkan sederhananya masjid yang pernah dia singgahi –kalau tidak salah di Bangladesh-- yang hanya berdindingkan seng, namun ramai (ta’mir)-nya luar biasa. “Jamaahnya membludak, siang dan malam,” tuturnya, saat ngobrol di sela-sela i’tikaf.
Sudah sejahterakah masyarakat kita? Katakan ‘ya’ di kecamatan sekitar masjid itu, tapi bagaimana dengan masyarakat di kecamatan tetangga kita? Apa ummat Muslim di kecamatan tetangga kita lalu bukan tanggungjawab kita? Bukankah ‘antara Muslim harus saling mendukung?’ Ka al-bunyaani yasyuddu ba’dluhuu ba’dlaa. Seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan, kata Rasulullah. Entah di kampung sebelah, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara tetangga sana, apa bukan tanggung jawab kita, Muslim di Indonesia sini? Apa karena di luar negeri, meski di abad yang dengan mudahnya mentransfer uang seperti sekarang, tapi kita lalu bisa cuek? Siapa yang menentukan batas-batas negara ini? Penguasa? Apakah penguasa itu penguasa-penguasa Muslim, yang berhak menentukan, Muslim ini yang boleh dibantu, tapi Muslim yang itu tidak perlu? Bukankah Islam tak mengenal batas-batas negara? Karena bukankah Islam untuk seluruh alam, bahkan jin pun turut pula merasakan dampak positif ajaran Islam ini, tak hanya manusia?
Alangkah latahnya kita, gigiran, ketika melihat masjid di Kabupaten A dibangun dengan kubah megah ala Timur Tengah, lalu masjid kita yang masih berkubahkan ‘sirap’ lalu diruntuh meski misalnya masih layak pakai. Saya tidak tahu, andai Rasulullah hidup saat ini dan menyaksikan kita sibuk merombak, merenovasi demi mempermegah masjid, sementara masih tak sedikit ummat yang bisa makan dengan standar ‘empat sehat lima sempurna’ –maksud saya, minum susu yang di Barat sana sudah seperti minum air putih setiap hari, tapi di kita masih sulit karena memang tak murah. Padahal susu adalah unsur penting yang wajib dikonsumsi— akan bagaimana reaksi beliau? Di saat masih tak sedikit anak-anak kita yang sulit melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang paling maksimal –minimal S1, tapi kalau bisa dibantu dengan dana ummat hingga S-3, kenapa tidak?-- kita seringkali malah sibuk menghimpun dana demi mempermegah masjid ini tadi. Atau kadang juga terus menambah jumlah, tanpa merasa terlalu perlu metakmirkannya setelah berdiri.
Persoalan lain yang juga disorot Aliman yang juga menarik buat saya adalah soal konflik di masyarakat, yang sayangnya, sesungguhnya tak lebih dari hal-hal yang furu’iyyah (cabang) itu tadi, tapi malah seakan dianggap menjadi sesuatu yang fundamen, akidah, ushuliyyah. Mengapa konflik internal yang tidak terlalu penting ini terus saja terjadi?
Mengapa, ketika ada masyarakat kita yang mengadopsi ajaran-ajaran Wahabi misalnya, lalu seakan dianggap sesat? Shalat mereka seakan dianggap tidak sah atau minimal dianggap tidak afdhal hanya karena mereka tidak pakai qunut, tanpa melafazkan ushalli, tanpa menyaringkan (men-jahar-kan) ucapan basmalah sebelum membaca al-Fatihah? Aneh sekali rasanya, ketika ada ummat Muslim yang berusaha berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits –yang tidak dhaif— tapi tak jarang malah dipandang ’sesat’. Ketika rujukan kitab-kitab kuning dipandang jauh lebih tinggi dari hadits-hadits Rasulullah yang derajatnya kuat, kok bisa begitu? Ketika selemah apapun koleksi Hadits, namun karena dimuat dalam sebuah kitab berbahasa Arab –karena dianggap kitab kuning, seolah derajatnya menjadi lebih tinggi dari kumpulan hadits shahih, namun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Disinilah kita harus sama-sama mengoreksi diri kita sendiri, masing-masing, siapapun kita. Apa koleksi hadits shahih yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu, lalu disebut ‘kitab putih’, kemudian derajatnya jatuh dibanding --tanpa mengurangi rasa hormat-- kitab-kitab semisal al-Baajuuri ibn al-Qaasim, I’aanah al-Thaalibiin?
Ekspresi keagamaan yang juga ingin saya soroti adalah soal pakaian yang seolah menjadi simbol keshalehan, misalnya dengan mengenakan ‘baju koko’ (baju Muslim) atau yang –di pulau Jawa-- disebut ‘baju takwa’ itu? Lalu harus pakai sarung dan peci? Hingga mereka yang tanpa peci dan tanpa sarung, tapi pakai celana panjang, apalagi blue jeans dan kaos oblong, seakan dianggap kurang afdhal shalatnya? Saya belum menemukan rujukan, dalil, argumentasi, bahwa Rasulullah dulu berpakain demikian; baju koko, sarung dan peci. Setahu saya, prinsip pakaian dalam shalat adalah menutup aurat. Soal model, tak ada acuan memang. Antum a’lamu bi umuuri dunyaa kum. Kalian lebih tahun tentang urusan dunia kalian, kata Rasulullah. Menutup aurat, urusan ritual, akhirat. Tapi model, urusan dunia.
Bahwa kita ingin mendekatkan sedekat-dekatnya dengan model pakaian Rasulullah yang mengacu pada tradisi zaman dahulu yang mengenakan gamis dan surban namun dengan ‘tanpa mewajibkannya’, ini tentu lain soal. Dan itu sah-sah saja. Tapi kenapa lalu di antara kita ada yang “memaksakannya” dan memandang kostum shalat demikian adalah lebih afdhal ketimbang hanya berbaju kaos, celana panjang dan tanpa peci? Sehingga yang kemudian dipersilakan menjadi imam, misalnya, adalah yang bersarung dulu, bukan yang pakai celana panjang, meski bacaan tajwid ayat yang berpeci, sarung dan baju koko ini tadi berantakan?
Alangkah kasihannya para pejuang intifadah (perlawanan bersenjatakan batu dan ketapel melawan tank-tank Israel dan banyak dibela kaum Muslimin sedunia) di Palestina itu, karena mereka tidak bersarung, baju koko dan peci. Karena mereka justru bertopi, celana panjang dan kaos oblong. Siapa yang menentukan, inilah seolah yang menjadi ukuran taqwa seseorang? Memang ada hadits-hadits yang menyatakan kelebihan mengenakan sorban misalnya. Tapi sejauh yang bisa ditelusuri, umumnya hadits-hadits itu ‘lemah’ (dhaif) –mohon dikoreksi bila ini keliru. Misalnya ini bisa dilihat dalam kitab --kuning!-- koleksi hadits Tanqiih al-Qaul. Meski memang sah-sah saja kita beramal dengan hadits-hadits dhaif (fadhail a’maal)), namun bukan berarti kemudian yang tidak mengamalkannya dicap rendah kualitas ketaqwaan atau kesalehannya. Bukankah demikian? Boleh jadi seseorang meninggalkan hadits-hadits dhaif itu justru untuk kehati-hatian (li al-ihthiyaath) dalam beribadah, sebagaimana alasan yang sama yang juga digunakan oleh mereka yang mengamalkannya.
Yang saya juga masih tak kunjung mengerti hingga kini, mengapa masih tak sedikit masyarakat kita yang selalu saja menganggap selesai sesuatu yang sesungguhnya adalah sebuah proses, yang karenanya memang belum selesai? Di pulau Jawa, ada istilah, untuk menyebar ajaran-ajaran Islam haruslah secara kultural, merangkul, tidak frontal, seperti yang dulu dilakukan Sunan Kalijaga, sehingga ummat tidak lari menjauh. Artinya, terhadap nilai-nilai tertentu yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tidak harus serta merta dilarang. Saya sudah bosan dengan contoh-contoh klasik ini, tapi inilah contoh sebuah proses yang mestinya sudah harus selesai tadi, tapi sejak ratusan tahun silam di saat Islam memang merupakan “barang baru” di kawasan yang bernama Nusantara saat itu hingga hari ini proses tersebut ternyata masih juga tak kunjung selesai. Tahlilan di hari pertama peringatan seseorang yang baru meninggal dunia hingga hari ketiga, yang berlanjut hingga tujuh hari, 40 hari, peringatan 100 hari hingga peringatan tahunan (haul) hanyalah salah satu contohnya, bagaimana sebuah kultur lokal masyarakat Hindu sebelum datangnya Islam Nusantara yang kemudian “diislamkan”. Yakni dengan tetap melakukannya, namun mengganti doa-doanya dengan doa-doa Islam, meski pun tradisi itu terbalik 180 derajat dari ajaran Islam, dimana yang mestinya yang menjamu adalah para tetangga yang meninggal dunia dan yang dijamu adalah keluarga yang meninggal dunia dan tak ada hitungan hari-harinya seperti yang sekarang berlaku di masyarakat. Tapi tradisi ini kok tetap diteruskan, meski kita tahu ini bertentangan dengan ajaran Rasulullah? Lalu apa gunanya kita memuja-muji Rasulullah dengan shalawat, bahkan digelar melalui maulid-maulid --ini juga bukan ajaran beliau-- yang menelan biaya hingga jutaan rupiah, tapi ajaran beliau malah tak dilaksanakan?
Atau misal lain adalah, motivasi saat melakukan ziarah (mengunjungi) kubur. Setahu saya, seperti yang kita bisa baca pada hadits, Rasulullah mengajarkan berziarah itu untuk tujuan-tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan si mayit di kubur tersebut. Bukannya berdesak-desakan di kuburan Kyai A untuk ‘minta berkah’ atau dengan niat yang sejenisnya. Karena makam, kuburan, kubur siapapun aritnya bisa dikunjungi bila niatnya demikian. Tak mesti ke makam kyai tertentu. Karena bila setelah meninggal, siapapun orangnya –kecuali Rasulullah, semua amalnya akan terputus. Anehnya, isi hadist ini masih saja tak merata disampaikan oleh para Tuan Guru kita. Saya tidak tahu, ajaran apa lagi selain hadits –setelah al-Qur’an— yang dipegang sehingga seakan mengalahkan kedua sumber itu tadi.
Haruskah ada dialog antara Kaum Tuha dengan Kaum Muda? Perlu, tentu, untuk saling membuka wawasan masing-masing dan --yang terpenting-- penyadaran bahwa tak perlu ada konflik sama sekali dalam hal ini. Karena rasanya ini juga berlebihan, karena kedua kelompok ini sesungguhnya masih berada dalam rumpun yang sama. Katakanlah Nahdliyin (NU) dan Muhammadiyah selama ini, naif dan aneh sekali rasanya bila keduanya harus saling bermusuhan. Karena keduanya berbeda tak lebih dari hanya dalam persoalan-persoalan furu’iyah, cabang.
Keterlaluan sekali rasanya, gara-gara tidak pakai qunut, lalu orangnya dicap sesat atau shalatnya tidak sah. Padahal sesungguhnya orang yang mencap itulah yang sesungguhnya berpandangan sempit.
Terakhir, dari catatan saya ini, soal sikap para politisi kita yang sering “mengobral” ayat itu, terlebih pada musim-musim kampanye, saya sangat memahami kritikan tajam yang diungkap Aliman. Jurus demikian ini memang sudah jadi andalan partai politik (parpol) apapun. Sejauh konstituen yang mereka temui dianggap punya basis keislaman yang kuat, jurus-jurus ayat ini memang bakal jadi andalan.
Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus cerdas memilah. Karena dari sejumlah parpol, memang ada yang menjadikan Islam sebagai landasan partainya. Saya pikir ini sebuah konsekuensi logis pilihan politik di samping juga tentu pilihan ideologi setiap partai. Meski ada juga yang tanpa memiliki basis Islam, namun demi merangkul massa ummat Muslim, lalu kemudian latah mengobral ayat di depan ummat. Ini tentu masalah, karena jelas-jelas oportunis. Karena secara sederhana, kita tahu, setidaknya ada dua rel dalam ekspresi politik. Pertama, agamis, yakni kelompok parpol yang menjadikan agama sebagai landasan, ruh dan sistemnya. Berbagai argumentasi yang melandasi jalannya partai mengacu pada al-Qur’an dan Hadits, bagi parpol Islam maksud saya disini.
Kedua, sekuler, yang memisahkan jauh-jauh antara agama dan urusan dunia politik dan kehidupan bernegara. Ada yang menilai agama tidak penting, karena tidak bicara kehidupan bernegara. Ada juga yang beralasan karena agama urusan yang suci (sakral), sementara politik itu kotor (profan), sehingga tidak boleh dicampura-dukkan, minimal demi memelihara kesucian agama.
Dari kedua warna ini, kita sendiri akan bisa memilah, mana yang menjadikan Islam sebagai pilihan perjuangan, dan mana yang menjadikan Islam tak lebih dari sekadar tunggangan kepentingan demi mencapai tujuan sempit, kepentingan kelompok, golongan dan parpolnya, yang berujung pada perjuangan isi perut dan memperkaya diri sendiri. Wa Allaah A’lam bi al-Shawaab.


San Fransisco-Jakarta, 9 November-18 Desember 2008

Muhammad Rusmadi

No comments:

Post a Comment