Sunday, December 7, 2008

Sastra Religius, Ahlan wa Sahlan

Sastra religius boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis karya sastra yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam karya sastra yang ‘berkeyakinan lain’, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun genre sastra ini hidup dalam jiwa dan perilaku pengarang dan penikmatnya.”


KEHADIRAN sastra religius dalam perkembangan kesusastraan Indonesia sebenarnya bukan fenomena yang baru lagi. Sekian tahun sebelum negeri ini merdeka, gejala semacam itu sudah mencuat. Haji Abdul Malik Karim Amrullah boleh dibilang sebagai assabiqunal awwalun yang menjadi pelopor dalam penulisan sastra religius. Karya-karya sastra religiusnya yang kemudian terkenal antara lain: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Tidak semua sastrawan beragama mencerminkan jiwa keagamaan mereka dalam karyanya. Ada sementara sastrawan yang diketahui beragama (pasip), tulisan-tulisannya tidak memantulkan spirit keagamaan, malahan terkadang “mempermainkan” Tuhan dan agama dengan tak patut. Memang, suatu karya sastra yang berbicara tentang Tuhan dan agama bila tidak bertolak dari hati nurani dan imajinasi yang dipadukan dengan iman, dan sekadar perminan kata-kata, maka pada gilirannya akan melahirkan suatu karya sastra yang sinis bahkan apatis terhadap Tuhan dan agama. Jadi tidak dengan sendirinya sastrawan yang beragama membiaskan karangan dan tulisan yang religius, kecuali selain agama (dalam makna luas). Ia berusaha menanamkan nilai-nilai dan moral keagamaan di dalam setiap karyanya. Dengan demikian karya tersebut ada hubungannya dengan tanggung jawab hidupnya sebagai sastrawan dan hamba Tuhan.
Sebab, sebagaimana dikatakan pujangga Islam asal Pakistan Dr. Muhammad Iqbal, bahwa agama (baca: Islam) bukan soal sebagian-sebagian, melainkan justru menacakup seluruhs segi-segi kehidupan. Sebagai sastrawan muslim yang religius umpamanya, maka ia merasa bahwa tugas menulis/mengarang mesti dikaitkan dengan misi kehidupan insan beriman, yaitu ibadah. Hal ini dikarikaturiskan AlLah dalam A-Qur’an surah az-Zuriyat ayat 56: “Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun; dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (dengan penuh ketaataan) kepadaKu.”
Maka ketika kita membaca cerpen “Rubuhnya Surau Kami”-nya AA Navis, “Ketika Isteriku Mengaji”-nya Asrul Rumbaya, “Pengakuan”-nya Eka Budianta, “Makam”-nya Zainuddin Tamir Koto, “Perjalanan Zikir”-nya Benni Setia, “Ziarah”-nya Sandi Firly, “Auzan”-nya Muhammad Radi, “Nyanyi Langgar Sunyi”-nya Muhammad Fuad Rahman, “Hitam Putih Kotaku”-nya Rismiyana, (sekadar menyebut sejumlah nama), pun saat kita membaca puisi “Lautan Jilbab”-nya Emha Ainun Nadjib, “Doa dari Seseorang yang Sangat Sulit Sekali untuk Berdoa”-nya Ajamudin Tifani, “Perarakan Senja”-nya Bachtar Suryani, “Ritus Puisi”-nya Burhanuddin Soebeli, “Membayangkan Baitullah”-nya Eza Thabri Husano (kembali, sekadar menyebut sejumlah nama), kita akan dapat merasakan betapa sikap religiusitas para cerpenis dan penyair tersebut terhadap agama yang mereka anut.

Perlu Tafsir Ulang

Perkembangan sastra religius yang marak akhir-akhir ini memang menggembirakan. Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan pemahaman pada masalah religiusitasnya. Mengapa demikian? Dalam konteks sastra religius, pandangan umum menangkap bahwa yang dinamakan sastra religius adalah sastra atau karya sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen dan lainnya. Dengan begitu, penyebutan beberapa metafor dalam karya itu cukup mengacu pada agama formal. Hanya saja, konsepsi umum itu mendapatkan penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks sastra yang memiliki kandungan religiusitas tinggi.
Di sisi lain yang bermain dalam konteks agama-agama formal adalah yang terkait dengan dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme dogmatis atau idealis dogmatis begitu mewarnai kontruksi dan penyebutan sastra religius itu. Dalam satu sisi, hal ini hampir sama dengan konsep realisme sosial yang digagas dalam sastra-sastra marxis, terlebih komunis.
Posisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas berbeda dengan sistem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanisfestasikan dalam niali-nilai dan asas kemanusiaan.
Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi, tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya hubungan dengan Tuhan (hablum minAlLah), tetapi juga fungsi sosial, hubungan dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, bangunan estetis yang terkonstruksi dalam sastra religius tidak mengacu pada dogma yang bermain dalam tataran hukum positivisme atau syariah.
Dalam masalah keindahan, Sayyed Husien Nasr mengungkapkan bahwa dalam keindahan itu terdapat pengetahuan tertinggi dan kesucian, sehingga seni-seni tradisional yang meliputi jiwa murni seharusnya memang dikembangkan, sebab posisi kemanusiaan benar-benar terpelihara. Di sini, posisi agama tidak lagi beban dalam upaya mengejawantahkan ekspresi dalam wilayah estetika dan proses kreatif.
Kondisi ini akan berlaku jika pemahaman agama tidak terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada kebebebasan dan pembebasan ekspresi dalam seni memang harus ditafsir-ulangkan. Pembacaan tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari sejarah itu sendiri, seperti ide hermeneutik yang pernah digagas Gadamer.
Dengan landasan kemanusiaan, sebagaimana pernah ditulis Mashuri (lihat Radar Banjarmasin, Minggu 17 Agustus 2003), pembacaan terhadap realitas kegamaan itu bisa pula menggunakan strategi dekonstruksi Derrida, dengan paradigma bahwa sebuah teks itu tidak utuh. Ia memiliki celah dan jarak pemaknaan. Bisa pula dengan discourse Foucault dengan melihat asal pengetahuan dan konteks terjadinya teks. Umpamanya, jika agama formal melarang memvisualisasikan manusia, maka posisi seni tidak lagi terlarang menvisualisasikan mansuia, dengan mempertimbangkan kembali bahwa manusia tidak lagi manifestasi dari ‘Tuhan’. Ada jarak pemaknaan dan rentang waktu dan bergesernya penafsiran. Di sisi lain, religiusitas dikembangkan pada posisi asali, tidak lagi apriori pada ‘the other’ atau manusia lain di luar keyakinan sendiri.
Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam yang rahmanan lil ‘alamin, masih menurut Mashuri, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistemewaan pada pihak-pihak tententu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur dinding konsep status qou. Sebab, ambiguitas pada realitas bisa memberikan nilai tambah bahwa seni, sastra dan budaya bisa menelusup dalam “bayang” Tuhan dalam memahami realitas kemanusiaan. Ia, seni dan sastra religius, bisa jadi tidak sekadar pengejawantahan nilai-nilai agama. Religiusitas mejelma menjadi ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.
Mungkin yang perlu dikebangkan di sini – dalam hemat saya – bahwa roses penciptaan karya-karya religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia mesti bersifat bebas dan merupakan proses pembebesan juga. Bisa menggunakan lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja ada pertanggungjawaban estetik. Dalam hal ini, bisa berupa sebagai pengangkatan pada celah dan sisi yang perlu diperbaiki dari agama itu, yang mungkin lebih menekankan pada aturan-atura rutinitas dan tidak sampai pada penghayatan yang menyusup hingga tulang sumsum, dengan sentral masil berkutat dan berpihak pada sisi kemanuisaannya.
Nashr Hamed Abu-Zied menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena pertimbangan teks yang beku tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda (Nashr Hamed Abu-Zied dalam bukunya Naqd Al-Khitab Al-Diniy).
Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan, religiusitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubugan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pda indiviudu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian. Hal ini mengauc pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas From dalam Relegion dan Psycoanalyisis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra: “Aku butuh Tuhan yang mengerti bagaimana menari”.
Dalam sastra Indonesia modern, sastra religius yang paling masih dipegang oleh cerpen AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen yang kental dengan tradisi Minang yang memang ketat dalam masalah agama, cerpen itu sepenuhnya mengusung nilai-nilai religiusitas yang tidak mempermasalahkan aspek religius dalam penyebutan Tuhan dalam agama formal, tetapi lebih menekankan pada faktor manusianya, dengan jalan menggugah keberadaan manusia itu sendiri dalam sistem religi yang berkembang di sana. Bahkan, dalam satu sisi, cerpen ini mempertanyakan nilai terdalam dari sistem religi itu, dengan memunculkan nilai-nilai religiusitas yang perlu ditumbuhkembangkan. Bahkan, “surau” bisa pula dianggap sebagi penanda dari sebuah kebobrokan sistem yang hanya mengedepankan sebuah tatanan formal dan mapan dari sebuah agama.

Sastra 15 Menit?

Sebuah karya sastra yang menyatakan diri sebagai religius (baca: islami) dalam beberapa dekade terakhir ini makin menghias di sejumlah media massa, baik koran, majalah dan buku, khususnya dalam bentuk novel, cerpen dan puisi. Kita boleh menunda diskusi tentang klaim dan makna “religius” itu, tapi kehadiran sastra jenis ini cukup melegakan. Gaya penulisan dan tema yang diusung pun terhitung variatif, sarkatis dan modern, diukur dari standar karya sastra sejenis, meski boleh dibilang “monoton,” “kaku” dan bahkan “kuno” dipandang dari sudut “revolusi sastra” dewasa ini.
Hadir setiap saat di sejumlah media massa dan bahkan buku, keberadaan sastra religius seolah ingin memancarkan watak dan pesan umum yang mau disampaikan kepada khalayak: islami, modern, kreatif, toleran, dan mencerminkan keluasan cakupan dakwah Islam. Bahkan tampaknya diniatkan untuk memperlihatkan “totalitas” Islam – dengan tema-tema bermuatan dakwah, doktrin, ideologi, spiritual, ritulitas, sufistik, bahkan dunia remaja dan cinta, selain tema-tema standar lainnya. Watak pesan ini tampak merupakan perpanjangan langsung dari garis sastra religius sejenis sebagaimana dirumuskan oleh para pendahulunya itu, Di Bawah Lindungan Ka’bah (novel) Hamka, Robohnya Surau Kami (cerpen) AA Navis, dan yang lainnya.
Kebangkitan sastra religius yang akhir-akhir ini kian meruah itu saya kira bukan sepenuhnya diilhami oleh sastrawan Muslim Indonesia “Angkatan Revolosi Kemerdekaan” itu, tapi juga oleh karya-karya laris sastrawan “Generasi Short Message Service” saat ini, seperti novel-novel Habibururrahman El-Sirazi. Memang yang tampil bukanlah ratusan judul yang mengeksplorasi kata “cinta” sebagaimana dalam novel-novel laris El-Sirazi melainkan, dalam jingukan saya, isi dan tema yang mengadopsi novel “Ayat-Ayat Cinta”, yang, konon adalah ikon “sastra religius/Islam” nasional paling monomental, yang sesungguhnya boleh saja disebut “cuma” sebagai karya sastra anonim berbaju Islam.
Hal demikian juga terlihat jelas pada karya-karya anggota Forum Lingkar Pena dan dari sastrawan yang ingin saya sebut “mazhab cerpenis Anida”. Di Kalimantan Selatan, karya-karya sejenis bisa kita itihi dari hasil karya “Sekte Cerpenis Serambi Ummah”. Tema pokok yang diangkat pun menganalogikan pernyataan Andy Warhol yang terkenal itu, bahwa di zaman yang serba instan ini, dengan kian maraknya televisi, “setiap orang hanya bisa terkenal selama 15 menit”. Dengan pernyataan itu jangan-jangan kita telah terperosok ke dalam plesetan berikut: “Sastra 15 Menit!”
Jenis-jenis karya seni religius itu, tidak hanya di bidang sastra, mendeskripsikan dan menjelajahi budaya pop Islam di Indonesia sebagaimana yang ditampillkan di halaman koran dan majalah, lebih khusus di layar televisi (dalam bentuk film dan senitron). Intinya: terlalu banyak program Islam (atau yang diniatkan sebagai promosi ajaran Islam) yang sangat dangkal, diskriptif, literal, dan bahkan buruk. Ada pula gejala latah. Jika ada acara yang membawa kata “Ilahi” sukses, semua stasiun mengekor dengan menayangkan acara yang dimirip-miripkan.
Begitu pula dengan buku-buku “sastra Islam” dan “musik Islam”. Seperti ketika kata “cinta” sebagaimana dalam novel-novel El-Sirazi meledak, banyak novel-novel berikutnya, selain karangan El-Siraji sendiri, yang juga “memelintir” kata tersebut. Epigonisme merajalela. Dalam “musik Islam”, muncul pula gejala “pop Islam”, “rock Islam” dan “rap Islam” – grup atau penyanyi pop, rock dan rap pindah atau mencoba jalur tembang “rohani Islam”. Demikian pula dalam sastra, banyak sastrawan atau penyair “liberal” dan “sekuler” loncat pagar atau mencoba jalur sastra religius dan islami. Semuanya menunjukkan satu hal yang pasti: segala sesuatu yang “Islam” masih laku keras di pasar negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Tentu saja kita berharap sastra/seni religius mengungkapkan preferensinya dalam arus besar budaya pop Islam itu. Kita, misalnya, sangat menikmati karya-karya film Deddy Mizwar, yang sukses komersial sekaligus bermutu filmis tinggi – ini paduan yang langka – dengan acara-acara televisinya seperti Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan dan film Nagabonar Jadi 2. Berikutnya, dalam ranah sastra, kita berharap ada sastrawan-sastrwan yang mau dan mampu mengadopsi kreatifitas jenis-jenis film tersebut ke dalam bentuk karya sastra, apakah itu cerpen atau novel dan karya kreatif lainnya.
Eksplorasi sastra religius terhadap budaya pop yang kian menjamur saat ini saya kira memperlihatkan pemahaman yang kuat para pengarangnya terhadap nilai-nilai agama (Islam) itu sendiri. Gejala besar yang bercabang-cabang itu dipetakan, dijahit dengan paparan yang lancar, meski tak bisa dibilang ringan untuk dicerna oleh para pelaku dan penikmat budaya pop itu. Selanjutnya kita berharap, sastra religius tak hanya berhenti pada kecaman dan imbauan moral dan dakwah ataupun khotbah yang berbusa-busa tentang seni islami yang ideal, melainkan membedah banyak aspek dari dunia itu, mulai dari filosofi, kekuatan dan kelemahan tema, eklporasi, dan segi-segi kaidah sastra lainnya. Sejatinya, ia berperan sebagai critics yang memadai.
Tampil dengan intensitas tinggi pada halaman “art paper” yang glossy, banyak bagian sastra religius yang mengidap semangat “apologetik”. Dalam sisi tema, misalnya, ditampilkan sejumlah tokoh “suci” yang mengkhotbahkan nilai-nilai religi dan asek-asek spiritual yang sebenarnya merupakan doktrin dan dogma ediologi yang dipahami ribadi atau kelompok keagamaan pengarang. “Pemberitahuan: bahwasanya Islam tidak hanya suatu teologi – kepercayaan kepada Tuhan dan ajaran Nabinya, melainkan juga sebuah ideologi – keyakinan tentang seluruh jalan hidup (way of life ) dalam role of the game-Nya” – begitulah agaknya implikasi yang ingin dimaklumkan. Sehingga kita tergoda untuk menduga: jangan-jangan segmen pembaca yang disasar lebih terfokus bagi generasi jilbaber dari kaum haraky.
Masih perlu kita lihat apakah di kesempatan-kesempatan selanjutnya genre sastra ini mampu bertahan dan bisa menyajikan uraian tentang sumber atau aspek-aspek religius dan spiritual dari tradisi-tradisi lain di luar Islam. Bukan hanya dari lingkungan spiritulitas dan ritualitas Islam saja. Membatasi religiusitas apalagi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan dan keleluasaan religiusitas dan spiritualitas itu sendiri.
Spiritualitas dan ritualisme keliru kalau berhenti hanya pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.
Sejatinya, orientasi ritualisme yang diusung sastra religius – khususnya dalam kaidah Islam – tidak cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual, upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari Islam (saja) yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. Dengan kalimat-kalimat tersebut saya mau mengatakan bahwa dalam ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Orang harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman.
Jika dimaknai secara lebih radikal lagi, sastra religius harus pula menyajikan muatan spiritual yang juga mencakup arti kemampuan untuk memahami esensi dan semangat Islam melampaui ketentuan-ketentuan yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci atau bahkan ucapan-ucapan Nabi sendiri. “Menjadi Islam” tidak cukup sekadar mengikuti secara benar dan literal semua yang tertulis dalam agama, tetapi juga menembus tulisan dan huruf-huruf dalam ajaran agama itu hingga ke inti. Menjadi Islam adalah seperti yang diformulasikan dalam ayat ketiga surah Al-Baqarah: “Alladzina yu’minuna bil ghaibi”, orang-orang yang sungguh-sungguh percaya (beriman) adalah mereka yang percaya pada esensi sesuatu yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Orang beriman tidaklah memadai imannya jika masih terkungkung oleh huruf-huruf ajaran, tetapi harus menembus ke inti ajaran agama itu sendiri. Kita akan lihat, dan tentu saja berharap, di hari-hari mendatang apakah sumber spiritualitas (paling tidak dalam khasanah Islam) pada sastra religius itu bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang terkesan profan dan duniawi.
Yang patut pula disayangkan adalah nama-nama yang muncul di bawah judul karya-karya sastra relegius itu masih minim jika dibanding dengan karya sastra jenis lainnya. Meski setiap sastrawan atau penyair pernah menghasilkan sastra religius, namun untuk daerah Kalimantan Selatan, beberapa nama yang bisa disebut dan cukup istiqamah menulis sastra jenis ini antara lain: Bachtar Suryani, Burhanuddin Soebely, M. Fitran Salam, M. Hasbi Salim, Muhammad Radi, Aliansyah Jumbawuya, Imra’atul Jannah, Aspihan N. Hidin, dan sejumlah nama lainnya yang menulis sastra religius secara ”insidentil”. Itupun, dalam istilah Jarkasi, termasuk ”mereka yang mengaku sastrawan, yang hanya mengandalkan bayangan nostalgik dan status quo.” Selebihnya adalah dari kalangan yang saya sebut ”Sekte Cerpenis Serambi Ummah” itu. Nama-nama itu lebih minim lagi yang tampil dengan hasil karya dalam bentuk buku. Saya hanya dapat menyebut dua buah: Di Antara Warna-Warni Pelangi (kumpulan cerpen Muhammad Radi) dan Ritus Puisi (antologi puisi Burhanuddin Soebely). Tak enak juga rasanya nama yang sama muncul terlalu sering, apalagi dalam media yang sama pula.
Dengan cerpenis dan penyair yang berjumlah di bawah minimal itu, sangat mungkin sastra religius – khususnya di daerah ini – akan terengah-engah mempertahankan kelangsungan kreatifitasnya maupun mutunya, meski sampai saat ini mereka tampil cukup semangat. Ini pula mungkin yang menjelaskan mengapa cukup banyak gaya dan tema-tema yang diangkat sangat monoton, kaku dan bahkan kuno.
Namun melihat derasnya kebangkitan sastra religius sampai hari ini (secara nasional tentunya), boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis karya sastra yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam karya sastra yang “berkeyakinan lain”, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun genre sastra ini hidup dalam jiwa dan perilaku pengarang dan penikmatnya.”
Bagaimanapun, jenis sastra religius itu tampil cukup mengesankan, terutama diukur dari dominasi sastra “berkeyakinan lain” yang “sekuler” dan berkobar-kobar dalam beberapa tahun terakhir; ataupun yang meriah menyajikan aspek mistik sampai tingkat yang keterlaluan, dan semuanya menyatakan menerapkan estetika sastra – meski tak ada hubungan dengan prinsip-prinsipnya. Para pengutuk kegelapan “sekularisme sastra” dan kejumudan “kebebasan seni” boleh gembira sebab pada akhirnya ada sastrawan-sastrawan yang memilih menyalakan lilin bernama sastra religius.
Hanya saja, ada sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan oleh para sastrawan dan seniman sendiri terkait dengan mutu atau kualitas sastra religius itu. Sebab, bagaimanapun sastra itu bermain dalam wilayah estetika. Dari sini, ada semacam azam agar aspek religiusitas yang merambah segala relung-relung terdalam dari manusia dengan segala absurditasnya juga mendapat tempat yang seimbang dalam sastra religius, tanpa ada pemaksaan pada aspek-aspek dogmatik dan terjebak pada khotbah. Sebab, bagaimanapun wilayah seni dan sastra berbeda dengan wilayah agama.
Sambil menanti karya-karya sastra religius selanjutnya – yang mudah-mudahan terus membaik, dengan lengan terentang lebar kita mengucapkan: Ahlan wa Sahlan, Sastra Religius!
Dan Warhol pun pasti percaya bahwa karya sastra jenis ini akan tampil lebih lama dari 15 menit. 

(Kandangan, 3 Desember 2008)

No comments:

Post a Comment