Wednesday, December 24, 2008

Catatan Singkat Seputar Seminar Nur Muhammad



Oleh Aliman Syahrani

SABTU 24 Nopember 2007 lalu saya diundang dalam acara seminar sehari tentang Nur Muhammad oleh Pengurus Ikatan Alumni IAIN Antasari (IKASARI) Kab. HSS dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum Kandangan. Seminar tersebut dilaksanakan di Aula STAI Darul Ulum yang dihadiri tidak saja oleh para pengurus dan anggota IKASARI dan mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan tetapi juga dari Dewan Pimpinan MUI Kab HSS, Muspida HSS, DPRD HSS, Ormas Islam dan sejumlah Ulama serta da’i di Kab. HSS. Sebagai narasumber adalah H. Syahrudi (HS), Pimpinan Ponpes Darul Hijrah Martapura, dan H. Muhammad Ridwan (HMR), Pimpinan Ponpes Minhajul ‘Abidin Kandangan. Namun MHR hanya tampil sebagai pembicara karena materi yang dibawakan tanpa makalah, hal yang sungguh sangat “tidak afdhal” dalam kaidah sebuah seminar.
HS sebagai pembicara pertama membawakan makalah dengan judul “Nur Muhammad antara Agama dan Filsafat”. Dalam makalahnya HS membahas tentang arti, pemahaman, sejarah serta analisis histories-epistemologis tentang Nur Muhammad.
Pada bagian pembukaan, HS mempertanyakan apakah Nur Muhammad itu persoalan filsafat saja, ataukah persoalan filsafat yang merembes ke dalam agama atau persoalan agama murni yang bersumber dari al Qur’an dan al Hadits? Apakah ia qadim atau jadid (baru) atau ia qadim sekaligus jadid? Selanjutnya HS melakukan penelusuran melalui sejarah timbulnya Nur Muhammad, cara berpikir dalam memahaminya secara epistemologis sambil menghindari cara pendekatan yang hitam-putih atau teologis-normatif yang bisa berakibat the truth claim atau merasa saling benar sendiri atau bahkan berakibat menjadi taqdisul afkarid diny.
Secara arti, setelah melalui berbagai pembahasan dan kajian dari sejumlah sumber referensi, HS membagi istilah Nur Muhammad menjadi empat bagian. Pertama, berarti cahaya kebesaran dan keagungan Muhammad bersifat duniawi rasioal dan ukhrawi. Kedua, berarti konsep filsafat yang bersifat emanasi AlLah, bersifat qadim dan pada hakekatnya AlLah itu sendiri merupakan bahan asal alam semesta. Ketiga, berarti percampuran antara keduanya tetapi tidak bersifat falsafi, tetapi agama murni karena bersumber dari al Qur’an dan al Hadits Nabi. Keempat, berarti asma dan sifat AlLah yang tidak ada hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW yang lahir di Makkah.
Secara historis, tema Nur Muammad sudah muncul sejak abad pertama hijriyah, tetapi masih bersifat harfiyah, jadi belum berbentuk konsep filsafat, demikian uraian HS lebih lanjut. Sahabat Nabi yang bernama Jabir ibn Abdullah adalah orang yang pertama mengungkapkan adanya Nur Muhammad. Embrio Nur Muhammad pertama kali adalah berasal dari Sahal ibn Abdullah al Tustari, tetapi konsep Nur Muhammad yang jelas sebagai teori dikomandani oleh Al Hallaj. Konsep ini dibiakkan pula oleh Ibnu Arabi pada abad ke VI H., kemudian dikembangkan lagi oleh al Jily pada abad ke IX, selanjutnya dipopolerkan pula oleh al Bahanfuri dan Syekh Yusuf al Nabhani pada abad ke XIII. Meskipun para tokoh tersebut sama-sama meyakini dan mengembangkan tentang konsep Nur Muhammad, tetap mereka berbeda dalam memahaminya.
Berikutnya, HS menarik satu benang merah bahwa persoalan Nur Muhammad secara historis berawal dari al Tustari, persoalnnya yaitu tentang penafsiran surah An Nur ayat 53 yang dikaitkan dengan surah Al Najm ayat 13 tentang Nabi mi’raj dari Sidratul Muntaha yang dipahami sebelum ada waktu (zaman qadim) ketika Nur Muhammad di hadapan Tuhan. Nur Muhammad, menurut penafsiran mereka, berdiri dalam ’ubudiyahnya 1000 (seribu) tahun sebelum Adam diciptakan dari Nur Muhammad itu sendiri. Spekulasi-spekulasi al Tustari ini membumbung tinggi mempengaruhi al Hallaj, Ibnu Arabi dan kolega-koleganya. Dari al Tutsari inilah muncul pembicaraan Nur Muhammad dalam karya-karya mistik dan puisi kaum sufi. Apalagi sudah dianggap Nabi sendiri menyatakan dalam sebuah hadits, bahwa ia diciptakan sebelum Adam dan Nur beliau adalah awal kejadian dari segala sesuatu di alam ini. Tentu saja hadits ini merupakan riwayat maudhu atau palsu yang tidak punya otentisitas yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara syar’i maupun historis dan ilmiah
Secara historis-epistemologis, nampak pendekatan irfani yang bersifat emosional-spiritual lebih dominan digunakan oleh para penganut Nur Muhamad meskipun pendekatan bayani juga mereka lakukan mekipun hanya sebagai penunjang. Perbedaan pandangan para sufi dan penganut Nur Muhammad itu menunjukkan bahwa pemikiran mereka adalah bersifat filsafat bukan berdasar dalil naqli. Meskipun sesekali mereka juga menggunakan dalil naqli tetapi yang mereka comot terasa dengan ta’wil yang sangat dipaksakan; pemikiran yang bersifat irfani ditunjang dengan burhani, dicarikan dalil naqli sebagai legitimasi, seakan memberi mereka merk halal pada sesuatu yang haram, yang berikutnya berakibat pada taqdisul afkarid diny (saling mengkafirkan sasama muslim).
Di bagian penutup HS berharap persoalan Nur Muammad ini jangan sampai mengkafirkan sasama muslim, sebab meskipun Nur Muhammad itu diyakini oleh sebagian pemuka agama adalah qadim, tetapi bukankah ia diciptakan yang berarti qadimnya muqayyad, qadim muhdats, qadim zaman bukan qadim zat? Sebab hanya AlLah SWT yang qadim zatNya. Artinya, Nur Muhammad itu hanya sebatas mitos dan bukan logos (nilai-nilai ketuhanan atau teologi), hanya sebatas pemikiran filsafat yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan norma-norma akidah dan amaliah dalam Islam.
Sebagai pembicara kedua, seperti sudah saya duga, HMR terjebak pada pemikiran irfani dalam memandang Nur Muhammad. HMR memahami konsep Nur Muhammad bukan bersifat falsafi, tetapi persoalan agama murni karena bersumber dari al Qur’an dan al Hadits. Bahkan secara blak-blakan HMR mengaku sebagai pegikut dan pengamal ajaran Nur Muhammad (entah seperti apa dan bagaimana bentuk ajaran Nur Muhammad yang dimaksud HMR).
Seminarpun berjalan menjadi tidak menarik, karena fokus pembicaraan jadi “tidak nyambung”. Pembicara pertama dengan pembahasan ilmiah sekaligus syar’iyah, pembicara kedua tampil dengan semangat teologis-amaliah doang. Ibarat peribahasa, lain gatal lain yang digaruk.
Ada beberapa ulasan dan pengakuan HMR yang sempat saya catat tentang Nur Muhammad. Pertama, masalah Nur Muhammad tidak bisa dibicarakan dan diajarkan kepada umum (tidak semua orang Islam boleh mempelajari dan mengajarkannya), melainkan hanya kepada orang-orang tertentu dengan kriteria-kriteria dan tingkatan-tingkatan (maqam) tertentu pula.
Kedua, bahwa jelas ada ayat al Qur’an dan banyak hadits Nabi SAW yang menyatakan tentang adanya dan benarnya Nur Muhammad. Namun ayat dan hadits-hadits tersebut, sebagaimana kitab-kitab tasawuf macam ad Durun Nafis dan yang lainnya, tidak boleh dibaca dan dipelajari oleh orang awam karena akan menjadi sesat. Nur Muhammad tidak bisa dipelajari dan dijelaskan oleh orang awam yang tidak mempunyai cukup ilmu alat, yaitu penguasaan bahasa Arab, ilmu nahwu, syaraf, balagah dan lain-lain. (Sebuah doktrin “purba” yang selalu dan selalu saya dengar pada setiap pengajian bertema tasawuf secara khusus dan tema-tema keagamaan tradisional pada umumnya). Bahkan banyak dari hadits-hadits itu, menurut HMR, yang dalam kitab-kitab yang dicetak terkemudian dihilangkan, karena kalau tidak, bisa menyesatkan umat. (Saya dan beberapa teman peserta seminar sempat saling berbisik sambil bertanya-tanya, apa benar Rasul pernah menyampaikan satu ajaran dalam agama Islam ini yang bila diketahui orang secara luas bisa menyesatkan umat?). Di antaranya HMR mengutif hadits yang menyatakan bahwa Nur Muhammad adalah qadim dan merupakan awal serta sumber kejadian dari segala sesuatu di alam ini.
Teks-teks hadits seperti itu sering disampaikan oleh sejumlah pemuka agama dalam pengajian-pengajian bertema tasawuf. Sementara hadits-hadits itu sendiri tidak pernah dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan. Dan karena hadits-hadits Nur Muhammad tersebut tidak punya otentisitas yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara syar’i maupun secara historis dan ilmiah, maka ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits.
Ketiga, orang Islam yang tidak mempercayai dan tidak mengimani Nur Muhammad adalah kafir (keluar dari ajaran Islam) dan wajib memperbaharui syahadatnya, demikian diungkapkan HMR. Ini berarti HMR menganggap bahwa Nur Muhamad adalah salah satu akidah dan amaliah yang hukumnya wajib dalam Islam. Padahal semua kita tahu bahwa persoalan Nur Muhammad tidak termasuk dalam Rukum Islam dan Rukun Iman.
Naifnya, ketika sejumlah peserta mengajukan berbagai pertanyaan dalam sesi tanya-jawab, termasuk saya, yang nota bene diarahkan kepada HMR, di antaranya pertanyaan tentang otentisitas hadits tentang Nur Muhammad tersebut, baik dari segi matan (matn, teks) maupun dari sanad (tranmissi, silsilah keguruan), dengan alasan hendak mengisi pengajian, HMR ngacir tanpa memberikan jawaban secuilpun atas pertanyaan-pertanyaan para peserta. Meskipun HMR berjanji menyediakan waktu di rumah pribadinya untuk secara panjang lebar membicarakan seputar tema seminar hari itu (maaf, saya jadi mengkhawatirkan kalau sampai terjadi “Tragedi Sirih Jilid Dua”).
Kelakuan HMR yang ngacir dari forum seminar tersebut saya nilai merupakan sebuah sikap yang tidak ilmiah sama sekali di hadapan peserta dari para pengurus dan anggota IKASARI dengan taraf akademisi minimal S1, Ketua DPRD dan para Muspida HSS, serta para mahasiswa calon sarjana seperti mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan. Seminar pun bubar dengan berbagai nada celetukan dan ocehan tak mengenakkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu masih bisa dilanjutkan, misalnya, secara syar’i apakah benar ada hadits yang secara khusus atau ajaran Islam secara umum yang bila diketahui umat Islam secara umum pula bisa menyesatkan mereka? Secara ilmiah, dalam kitab-kitab apa saja hadits-hadits tersebut pernah dimuat dan sejak edisi penerbitan yang ke berapa hadits-hadits tersebut tidak lagi dicantumkan? Berikutnya, apakah HMR memiliki atau setidaknya punya sumber informasi ilmiah yang menyatakan bahwa kitab-kitab yang masih memuat hadits-hadits tersebut masih bisa ditemukan, sehingga kita bisa secara bersama-sama pula melakukan pelacakan dan pengkajian?
Sebenarnya, sungguh, saya tidak terlalu tertarik dengan seminar hari itu. Bukan pada bentuk seminar atau dari pelaksananya, melainkan pada bentuk tema yang dijadikan fokus pembahasan. Karena saya menganggap tema-tema semacam itu kurang menyentuh “kebutuhan pokok” masyarakat (umat) kebanyakan. Saya tetap berhadir lantaran ingin menghidupkan budaya seminar, diskusi dan mudzakarah keagamaan di HSS yang selama ini “impoten” karena sangat jarang sekali diadakan oleh dan yang melibatkan para pemuka agama.
Saya tentu tidak ingin mengatakan bahwa dialog hari itu tidak ada gunanya dan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap upaya membangun jembatan pertemuan antara umat dan pemuka agama. Tetapi tema dialog hari itu nyata berada pada level elite, bukan pada level gras rot atau akar rumput, sehingga perhatian kita harus mulai diarahkan ke sana. Saya berharap tema-tema dialog ke depan selayaknya lebih mengakomodir tema-tema yang menyentuh kaum awam, dan tidak melulu menjadi “kemewahan” bagi elite agama yang terpelajar. Misalnya, mengapa para kiai masih “mengeksploitasi” para santri dengan menjajakan bakul untuk meminta sumbangan guna kelangsungan dan kesejahteraan pondok pesantren, padahal sang kiai sendiri sudah punya mobil “mengkilap”? Atau, kenapa justru para pemuka agama yang mayoritas sudah punya mobil itu yang diberikan pelayanan pengobatan gratis oleh pemerintah daerah setempat, bukannya dari kalangan masyarakat kebanyakan yang pada realitasnya justru lebih memerlukan? Atau tema-tema yang lebih “membumi” dan aktual lainnya.
Walhasil, saya sungguh menyambut baik kegiatan-kegiatan semacam itu. Dan bahkan saya punya beberapa catatan singkat tentang seputar seminar hari itu, wa bil khusus tentang sikap dan pemaparan HMR. Pertama, ke depan, siapapun dan kapanpun, panitia pelaksana yang mengadakan sebuah acara diskusi, mudzakarah, apalagi yang berkaliber seminar, harus menghadirkan pemakalah (bukan pembicara doang) yang berani “waja sampai ka puting”; kada babubulikan lamun kada tuntung acara. Dan bagi seorang narasumber yang bila sudah bersedia menjadi pemakalah dan pembicara harus bersedia pula menyetujui alokasi waktu yang telah ditentukan, yang berarti pula harus mengcancel segala aktivitasnya di tempat lain dengan waktu yang bersamaan, serta mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya dalam “adab-adab” seminar.
Kedua, meskipun kedua pembicara sama-sama punya latar belakang dari tradisi pesantren, namun sangat jelas adanya “give” antara pemikiran akademis-ilmiah dan tradisional-amaliah. Dari arah pemikiran tradisional-amaliah seperti dipertontonkan oleh HMR (sekali lagi, saya kurang begitu tertarik tentang pemaparan kedua narasumber dengan tema Nur Muhammad itu), saya melihat adanya satu genre pemahaman dan pensikapan dalam memposisikan persoalan keagamaan bahkan pemahaman agama (Islam) itu sendiri. HMR saya lihat memandang Islam sebagai agama yang menjadikan ketaatan kepada ritus dan ibadah sebagai tujuan pokoknya. Jujur saya akui kalau saya tidak tertarik kepada agama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat orang lain adalah dengan cara menyuguhkan “kegembiraan di kemudian hari”, tetapi tidak menyuguhkan kegembiraan di dunia dan kehidupan sekarang ini. Agama yang telah merosot hanya menjadi “ibadah” badaniah belaka atau serangkaian hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai (meminjam istilah Ulil) second hand religion atau “agama bekas” yang sudah kehilangan semangat dasarnya.
Ketiga, pemahaman dan pensikapan keagamaan dari kalangan pemuka agama ataupun dari umat semacam itu (lebih menekankan agama pada segi ritualitas), hampir bisa dipastikan mereka itu adalah yang punya background dari tradisi pesantren, khususnya pesantren tradisional (saya tekankan: ‘pesantren tradisional’). Tarohlah seperti kaidah-kaidah ilmiah sebagaimana dalam sebuah seminar belumlah terbudayakan secara baik di kalangan kaum pesantren. Hal ini berakibat tidak hanya pada pensikapan dalam kehidupan keseharian tetapi juga dalam pengamalan sebuah kajian keagamaan. Ini bisa kita maklumi karena memang, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, bahan-bahan kajian yang dikuliahkan di pesantren tradisional sebenarnya sudah banyak yang “basi” bila dihadapkan dengan tuntutan zaman seperti dewasa ini. Dalam pondok pesantren tradisional, umumnya, para santri cuma dijejali dengan muatan kajian “kitab kuning” yang menyuguhkan pikiran-pikiran tempoe doloe. Tragisnya, apa yang telah terserap dari kitab kuning cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah.
Pada hakekatnya, pesantren “cuma” menjadikan santri sebagai manusia “bijak”, yang bergelut dengan fikih masa lalu. Manakala dihadapkan dengan sistem komputerisasi misalnya, yang bisa membantu kita dalam melakukan perhitungan praktis dan word processing; dilibatkan dalam arena diskusi tentang industri pesawat, reaktor nuklir, kegiatan matahari yang bisa mempengaruhi medan magnet bumi yang akhirnya mempengaruhi kualitas penerimaan gelombang radio, mereka hanya bisa gigit jari. Padahal, teknologi canggih itu tak mungkin terlepas dari keseharian hidup kita. Fenomena ini yang sungguh sangat ironis dari pesantren yang tetap memberlakukan pola kurikulum kuno.
Ada ribuan pesantren di negeri ini, belum lagi santrinya, puluhan bahkan mungkin ratusan ribu dalam setiap tahunnya menamatkan pendidikan di pesantren. Tetapi kenapa tidak bisa memperbaiki problem kemerosotan moral dan berbagai persoalan umat di negeri ini? Saya bukan apriori dengan pesantren. Tetapi, cukupkah Islam bisa bangkit hanya dengan memperkokoh agama dari sisi ritualitasnya semata? Sejak akhir abad 14 silam sebagian besar umat Islam yang dipelopori para pemuka agamanya lebih menitikberatkan instrumen pendidikan Islam dari sisi itu, dan justru karena itulah Islam hingga kini belum bangkit dan mampu merubah keadaan umat yang demikian camuh hingga hari ini, walaupun umat telah terpuruk ke dalam lumpur kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang demikian parah dan akut. Belum lagi tentang kemerosotan pengetahuan agama, kelaliman dan kebangkrutan akhlak – dalam arti yang luas – umat bahkan dari para penegak agama itu sendiri.
Bagaimanapun “kemasan” pesantren hingga hari ini, sampai sekarang pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan yang memiliki karakter khusus sebagai totalitas budaya, nilai-nilai, dan cita-cita dalam masyarakat konvensional, meskipun dalam perjalanannya mampu melampaui streotip yang selama ini dialamatkan pada masyarakat pesantren kolot, konservatif, tradisional, sarungan dan lain sebagainya.
Otoritas kiai dalam dinamika pesantren juga masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Yang pada gilirannya melahirkan justifikasi taklid buta dan kejumudan di kalangan umat. Karena secara konvensional pesantren pada awalnya hanya merupakan pusat studi pendidikan agama Islam klasik. Di sisi lain, saya curiga, pesantren justru telah dijadikan sebagai alat untuk meraih struktur kekuasaan tertentu, baik politik, teologi maupun ekonomi.
Berpegang teguh pada logika atau argumen lama bukan hanya tanda kepengecutan, tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Berbuat sesuatu berarti melakukan kemungkinan untuk salah dan kesalahan itu bisa fatal. Tapi bersikap diam juga bukanlah tindakan yang tepat. Sebab, diam bukanlah suatu sikap tetapi memberi legitimasi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Kebenaran mesti dicari di dalam rasionalitas yang ilmiah maupun mistisisme esoterik. Kepekaan rasa harus dididik dan dibimbing oleh akal kritis.
Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencermati kitab-kitab karya ulama tempo dulu, yang oleh sebagian umat cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Kecintaan terhadap sebuah kitab, doktrin ajaran atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan, sementara, fanatisme semakin akut saja.
Selama ini kita seperti telah menegaskan kebenaran sebuah adagium bahwa pesantren adalah wadah paling obyektif untuk kehidupan Islam, meskipun Islam tak pernah hidup obyektif dalam pesantren! Billahi fi sabilil haq! ¶

Risalah Istiqamah, edisi Dzulqaidah 1428 H – Nopember 2007 M,
No.10/Th. Ke-I
(Judul awal: “Nur Muhammad Antara Mitos dan Logos”)

No comments:

Post a Comment