Thursday, January 1, 2009

Di Masjid Taqwa, Tuhan dan Setan pun Marah!


Oleh Aliman Syahrani

Sudah bukan waktunya lagi dakwah dilakukan “asal-cuap” oleh para penceramah dan da’i dadakan, karbitan, dan “hanyar pacah di karungkung”, tanpa ada sebuah perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksana ataupun metode operasional yang diterapkan.

DI kampung dulu, sewaktu kanak-kanak saya sering disuguhi sebuah cacapatian (tebak-tebakan) oleh orang-orang tua. Isi pertanyaan dari cacapatian itu sebagai berikut: “perbuatan apa yang bila dilakukan akan membuat Tuhan marah dan setan juga marah?” Pertanyaan ini – sebagai ciri khas sebuah cacapatian – memang “nyeleneh” karena menyimpang dari khariqul-adat atau kebiasaan umum, tetapi ia tetap memerlukan sebuah jawaban.
Sebelum saya memberitahukan jawaban dari cacapatian tersebut, perkenankan terlebih dahulu saya menceritakan sejarah singkat masjid Taqwa Kandangan dan berbagai aktivitas keagamaan yang dilaksanakan di masjid tersebut. “Sejarah” ini saya diskripsikan dengan sangat singkat melalui pengamatan dan pengalaman saya selama kurang lebih tujuh tahun beraktivitas sebagai pengurus perpustakaan di masjid Taqwa Kandangan.
Didirikan sejak tahun 1906, masjid Taqwa Kandangan hingga sekarang sudah memasuki usia lebih dari satu abad. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan. Meski sejak tahun 2005 lalu direnovasi total hingga ke pondasi paling dasar – dan di depan namanya dibubuhkan kata “Agung” – namun pada monumennya tetap dicantumkan tahun awal pendirian masjid tersebut yaitu tahun 1906.
Sejak awal berdirinya, sebagaimana fungsi masjid pada umumnya, masjid ini selalu marak – bahkan paling marak – dengan berbagai kegiatan peng(k)ajian dan syiar Islam dibanding semua masjid yang ada di Kandangan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi ceramah agama, pengajian ilmu-ilmu keislaman, MTQ, shalat ied, sampai kepada berbagai upacara, seremoni dan tradisi keagamaan. Sebut saja misalnya ritual nisfu sya’ban, peringatan isra’ mi’raj dan nuzulul qur’an, dan prosesi tradisi maulid nabi, di samping tentu saja untuk pelaksanaan shalat fardhu. Apalagi setelah direnovasi total sejak tahun 2005 lalu itu, frekuensi aktivitas pengajian dan syiar Islam di masjid Taqwa makin sesak, hampir setiap waktu usai shalat fardu diisi dengan pengajian dan ceramah agama. Bahkan sekarang sedang berlangsung sebuah pengajian yang berorientasi dalam pengamalan ajaran sebuah tarikat.
Khusus di bulan Ramadhan, digelar pengajian rutin selepas shalat Johor selama satu bulan penuh dengan tiga sub tema pilihan sebagai materi pengajian, yang diberikan oleh tiga orang pemuka agama pilihan pula: Fiqh, Tauhid dan Tasawuf. Sepanjang bulan diadakan juga acara buka puasa bersama, dan saban malam menjelang pelaksanaan shalat tarawih berjamaah digelar sesi kuliah tujuh menit (kultum) oleh imam atau seorang penceramah. Sedang pada sepuluh malam terakhir, ditanggap pula acara iktikaf dan sejumlah ritual dalam rangka mengisi malam-malam laitul qadar secara berjamaah.
Tampaknya, pengelola dan ta’mir masjid Taqwa ingin memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan masjid tersebut sebagaimana lazimnya fungsi sebuah masjid. Tampaknya pula, semua pihak begitu bersemangat menjadikan masjid Taqwa sebagai “lokomotif” dalam kegiatan keaagamaan bagi masjid-masjid lain di Hulu Sungai Selatan. Apalagi, semua kegiatan keagamaan tersebut tidak pernah mendapat sorotan apalagi kritik dari pihak manapun (kecuali barangkali sorotan dan kritik dari tulisan ini). Semua pihak, dari masyarakat umum sampai pemerintah daerah mendukung penuh – bahkan sampai kepada dukungan dana pendiriannya – semua kegiatan tersebut.
Dari semua pelaksanaan kegiatan keagamaan yang berlangsung di masjid Taqwa tersebut, ada satu kegiatan yang secara tidak resmi menjadi agenda tetapi secara “rutin” terus dilaksanakan, dan itu membuat saya jadi bertanya-tanya karena merasa “aneh”. Kegiatan dimaksud adalah mengumandangkan azan setiap terjadi peristiwa kebakaran, khususnya yang terjadi di wilayah kota Kandangan. Kegiatan itu kemudian dengan latah diikuiti oleh sejumlah masjid dan langgar lainnya. Selidik punya selidik, ternyata maksud dan tujuan dikumandangkannya azan tersebut adalah untuk menjinakkan api; supaya kebakaran tidak menjalar luas. Singkatnya, azan tersebut berkhasiat dapat memadamkan api kebakaran.
Biasanya, kebakaran memang reda dan api juga padam. Tetapi tentu saja bukan karena azan yang dikumandangkan secara bertubi-tubi lewat pengeras suara di masjid Taqwa dan langgar-langgar itu, melainkan oleh usaha keras tak kenal lelah para petugas BPK dari berbagai lapisan masyarakat – bahkan dari luar kota Kandangan – yang berjibaku memadamkan api.
Saya kembali bertanya-tanya, dari manakah informasi dan dasar kalau kumandang azan bisa mengatasi kebakaran? Dari sebagian masyarakat yang meyakini hal itu, meski tidak memberikan argumen yang kuat, saya memperoleh jawaban: informasi dan dasar itu mereka dapatkan dari sejumlah pemuka agama! Sementara dari sumber lain yang lebih bisa dipertanggungjawabkan (secara syar’i) saya memperoleh penjelasan, bahwa azan yang difungsikan selain sebagai seruan untuk mendirikan shalat – seperti pada waktu kebakaran, saat melepaskan calon jamaah haji atau ketika menurunkan mayit ke liang kubur – adalah inovasi terlarang atau bid’ah!
Lagi-lagi saya terus bertanya, apakah dengan durasi waktu ratusan tahun, dengan ribuan orang pemuka agama, dengan jutaan kali ceramah dan pengajian Islam di masjid Taqwa, tetapi belum juga disampaikan bahwa “azan yang dikumandangkan kecuali sebagai seruan untuk mendirikan shalat adalah inovasi terlarang (bid’ah)?” Dalam bahasa yang lebih lugas, sudahkan para pemuka agama yang jumlahnya ribuan dengan jutaan kali kesempatan memberikan ceramah di masjid Taqwa itu memberitahukan kepada jamaah bahwa azan yang dikumandangkan untuk mengatasi kebakaran adalah bid’ah dan hukumnya adalah haram???
Dari seorang pemuka agama (yang juga sering memberikan ceramah dan khotbah serta menjadi imam di masjid Taqwa) saya mendapat jawaban yang isinya kurang lebih sebagai berikut: “Dalam berdakwah kita harus melalui tahapan-tahapan. Karena berbagai persoalan yang dihadapi tidak sesederhana sebagaimana yang terlihat pada umumnya, tetapi banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Seperti misalnya tingkat dan corak pemahaman keberagamaan serta latar belakang tradisi masyarakat bersangkutan sebagai obyek dakwah itu sendiri.”
Saya turut mengamini jawaban tersebut, dakwah memang mesti dijalankan step by step. Hal ini agar aktivitas dakwah tidak terjebak kepada apa yang disebut isti’jal atau tergesa-gesa. Dalam kamus dakwah isti’jal berarti ingin merubah realitas kaum Muslimin dalam sekejab mata, tanpa banyak mempertimbangkan akibat-akibat yang terjadi, kurang memiliki persiapan yang memadai, baik menyangkut sarana, manhaj atau kelanjutan pembinaan. Ada beberapa bentuk isti’jal yang sering muncul dalam praktik dakwah: Pertama, ingin merenggut anggota jama’ah atau pengikut sebanyak-banyaknya secara kuantitas lahiriah dalam waktu dekat dan cepat, tanpa memperhitungkan kualitas tarqiyah (kesucian moral), moral intelektual dan operasional. Tindakan ini jika tidak segera diatasi akan mengakibatkan tasaqut (eliminasi/berguguran). Akibat lain yang muncul adalah terjadinya futur (kelesuan) di kalangan mereka (para aktivis dakwah), tidak bergairah untuk melaksanakan tugas dakwah. Bahkan nilai keislaman yang dimiliki pun akan mengalami degradasi (penurunan) sampai batas yang sangat menyedihkan, Kedua, ingin segera memetik dan melihat buah dakwah. Biasanya gejala ini muncul dalam bentuk gugatan-gugatan yang bernada frustrasi, umpamanya: “Kita sudah sekian waktu berdakwah, tetapi mengapa tidak pernah berhasil?” Tragisnya mereka mengukur keberhasilan dakwah hanya dengan bentuknya. Akibatnya timbul perpecahan di antara mereka sendiri. Sedangkan faktor-faktor yang membentuk sifat isti’jal antara lain: Pertama, faktor psikologis. Isti’jal sebagaimana dinyatakan AlLah memang merupakan salah satu tabiat yang melekat pada fitrah manusia (Qs 21:37). Kedua, karena semangat keimanan yang tidak dibarengi oleh penguasaan metodologi dakwah, suatu program pembinaan yang hanya mengandalkan pada pemompaan semangat keimanan, tanpa dibarengi dengan penguasaan konsepsional. Ketiga, ketidaktahuan tentang siasat dan cara kerja “musuh”, mereka mudah tertipu oleh lawan yang menyusup ke tubuh umat Islam dengan membawa racun-racun, virus-virus, yang dibungkus dengan label-label “bai’at”, “jihad”, barakah, fadilah, karamah, dan segala yang berbau “islami” lainnya.
Meski mengamini jawaban pemuka agama tadi, tetapi saya juga terus bertanya, sudah sampai di batas manakah tahapan-tahapan dakwah di masjid Taqwa seperti yang dimaksud oleh pemuka agama tadi? Sebab, dengan barometer durasi waktu, kwantitas pemuka agama, frekuensi jumlah ceramah dan pengajian yang ada di masjid Taqwa selama ini, bila belum juga disampaikan materi dakwah tentang bid’ah semacam mengumandangkan azan di saat kebakaran itu, barometer ini menstereotipkan bahwa tahapan dakwah yang berlangsung di masjid Taqwa selama ini (khususnya dalam konteks pelarangan bid’ah) masih jalan di tempat, bahkan tidak bergerak sama sekali, atau mungkin malah mundur ke belakang. Hal ini punya stereotip pula, kalau semangat pengelola dan ta’mir masjid bahkan pihak-pihak terkait yang bertujuan meningkatkan frekuensi kegiatan keagamaan dan pengajian Islam di masjid Taqwa selama ini tidak berbanding lurus dengan semangat “pelestarian” pengamalan bid’ah yang terus melesat jauh ke depan.
Tentu saja stereotip ini tidak secara mutlak memastikan bahwa para pemuka agama yang memberikan ceramah dan pengajian di masjid Taqwa dengan semua barometer kwantitas itu tidak pernah menyampaikan tema dakwah seputar masalah bid’ah seperti di singgung di atas. Sebab, seperti dijelaskan oleh pemuka agama tadi, bisa saja “pelanggaran azas” seperti ritual mengumandangkan azan pada setiap terjadi kebakaran itu hanya dilakukan oleh “oknum” jamaah atau “orang asing” di masjid Taqwa, bukan “ritual formal” yang diagendakan dan menjadi konsensus resmi dari semua unsur masjid tersebut, baik itu dari pengelola, ta’mir masjid dan unsur-unsur terkait lainnya.
Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan saya adalah, jika ritual azan di saat kebakaran itu memang dilakukan oleh “oknum” atau “orang asing”, kenapa tidak ada pihak-pihak dari semua unsur kepengelolaan masjid Taqwa yang melakukan pelarangan atau paling tidak merasa keberatan? Bukankah nyata-nyata “oknum” tersebut menggunakan fasilitas masjid Taqwa, dan melakukannya secara “rutin” pula pada setiap terjadi peristiwa yang sama? Hal ini cukup memberi kesan bahwa “ritual mengumankan azan di saat kebakaran” itu memang telah direstui oleh pihak-pihak terkait dalam unsur kepengelolaan masjid Taqwa meski tidak diagendakan secara “resmi”.
Perlu dicatat, persoalan yang saya kemukakan dalam tulisan ini bukan semata persoalan masjid Taqwa sebagai sebuah rumah ibadah umat Islam di Hulu Sungai Selatan dengan kepanitiaan dan kepengelolaan tersendiri, melainkan sebagai miniatur dari pesoalan-persoalan serupa yang terjadi pada masjid-masjid lain di daerah ini. Saya berharap pembaca juga dengan cerdas merespon bahwa persoalan ini bukan bertendensi menyudutkan masjid Taqwa baik sebagai sebuah rumah ibadah atau lembaga keagamaan, maupun pihak pengelolanya serta semua unsur yang terlibat di dalamnya, apakah itu organisasi Islam yang menaunginya (katakanlah kaum Nahdiyin?) bahkan pihak pemerintah daerah yang sangat “berperan” di masjid tersebut. Hal ini merupakan persolan bersama yang mesti dipikirkan dan ditangani secara bersama-sama pula. Sebab, jika ditangani secara serius dengan konsepsional kepengurusan yang profesional saya yakin pengamalan-pengamalan bid’ah di masjid Taqwa semacam mengumandangkan azan di saat kebakaran itu – dan bid’ah- bid’ah lainnya – bisa dieliminasi. Buktinya, dengan manajemen kepengurusan semacam itu banyak masjid yang bisa menyuarakan pelarangan bid’ah secara tegas tanpa sekat-sekat klasifikasi bid’ah itu sendiri.
Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh, saya kembali ingin bercerita, yang mudah-mudahan ada kaitannya dengan tema dalam tulisan ini. Cerita ini tentang seorang ustadz yang sering memberikan ceramah dan pengajian serta menjadi imam di banyak masjid di Kandangan, termasuk juga di masjid Taqwa. Suatu kali sang ustadz datang ke tempat kerja saya minta dibuatkan surat permohonan bantuan dana untuk kegiatan maulid nabi di lingkungannya. Dengan sedikit berat hati saya buatkan surat tersebut (karena saya bukan seorang maulid mania). Pada bagian akhir dari konsep surat itu dicantumkan kalimat berikut: “Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku maka ia akan tinggal bersamaku di dalam surga”. Barangkali kalimat tersebut bertujuan untuk merangsang kaum muslimin supaya menyumbang dalam kegiatan yang dimaksud pada surat tersebut.
Tidak ada yang salah dari kalimat tersebut, tetapi yang kemudian membuat saya keberatan adalah karena kalimat yang berbau propaganda itu diklaim sebagai sebuah hadits. Dengan memberanikan diri saya lantas menyampaikan keberatan untuk mencantumkan kalimat tersebut dalam surat itu, seraya dengan sedikit sok tahu memaparkan akar historis tradisi maulid nabi yang baru dilaksanakan pada sekitar 400 tahun setelah wafatnya baginda Nabi saw., yang berarti pula tidak akan ada hadits tentang maulid nabi! Saya menyandarkan penjelasan itu kepada kitab I’anut Thalibin (Syarah Fathul Mu’in).
Sang ustadz tampak gelagapan sesaat (barangkali kaget karena seorang jaba seperti saya berani mengguruinya) sebelum kemudian memberi bargaining agar kalimat itu disandarkan sebagai atsar saja, tidak sebagai hadits. Saya mengucap istighfar dalam hati seraya bergumam: “Berani benar ini ustadz merubah hadits menjadi atsar!” Saya juga tetap bersikeras menolak dengan argumen yang sama, bahwa tidak akan pernah ada hadits maupun atsar tentang tradisi maulid nabi mengingat akar historis tersebut.
Akhirnya melalui tawar-menawar yang cukup alot, kami bersepakat – khususnya saya – untuk tidak mencantumkan kalimat tersebut. Tetapi sepulang saya ke rumah, saya langsung mengirim short missage service (sms) kepada sang ustadz, yang isinya sangat menyayangkan sekaligus mempertanyakan kenapa seorang ustadz yang notabene seorang pemuka agama seperti dirinya sampai berani menyampaikan hadits palsu seperti dalam surat itu. Layanan pesan pendek saya tidak dijawab, tetapi beberapa puluh menit kemudian pintu rumah saya diketuk. Ternyata sang ustadz yang datang. Sekarang saya yang jadi gelagapan dibuatnya, barangkali saja dia ingin berdebat, paling tidak berdiskusi. Saya pun segera menyambar sejumlah referensi yang memuat tentang sejarah dan seluk-beluk tradisi maulid nabi dan meletakkannya di meja tamu.
Setelah sama-sama duduk di ruang tamu, ternyata sang ustadz bukannya mau berdebat, tetapi mengakui dengan jujur bahwa kalimat yang semula diklaimnya sebagai hadits itu bukanlah hadits. AlhamdulilLah! Tetapi saya buru-buru meralat ucapan ’alhamdulilLah’ saya karena sang ustadz kemudian mengemukakan bahwa kalimat yang sebenarnya sebuah hadits berkenaan dengan mualid nabi adalah kalimat berikut: ”Siapa saja yang mendermakan satu dirham untuk mengagungkan hari kelahiran Nabi saw., maka seolah-olah ia mendermakan emas sebesar gunung Uhud.” AstagfirulLah!
Saya jadi kehilangan semangat untuk melanjutkan pembicaraan apalagi berdiskusi. Setelah berbasa-basi sebentar sang ustadz mohon diri. Saya langsung saja mengambil kesimpulan, ”Ini ustadz pasti tidak belajar mustalah hadits dan sejarah Islam dengan baik. Bahkan mungkin belum belajar Islam dengan benar!” Bagaimana mungkin seorang ustadz yang dalam mengklasifikasikan hadits dan menguji keabsahan para perawi yang metransmisikan sebuah hadits saja tidak beres tapi bisa direkrut untuk memberikan ceramah dan pengajian serta menjadi khatib dan imam di masjid, apalagi di sebuah masjid agung kabupaten seperti di masjid Taqwa Kandangan?
Dari sinilah agaknya titik mula timbulnya persoalan, kenapa kwantitas kegiatan ceramah dan pengajian Islam seperti di masjid Taqwa belum mencapai kualitas yang diharapkan. Yang lebih menyedihkan, karena keinginan menyemarakan kegiatan keagamaan dan dakwah Islam – seperti di masjid Taqwa – begitu besar, akhirnya kebutuhan akan penceramah dan da’i menjadi begitu tinggi. Sementara itu, suplai penceramah atau da’i yang terdidik dan terlatih dengan baik sangatlah rendah. Maka, muncullah penceramah-penceramah dan da’i-da’i “dadakan”. Hanya bermodal bisa membaca kitab kuning dan beberapa jilid bacaan Arab-Melayu yang tidak jelas siapa pengarang dan penerbitnya, mereka direkrut menjadi penceramah dan da’i. Penceramah dan da’i “kagetan” yang “hanyar pacah di karungkung” semacam ini sering menyampaikan pemahaman yang salah mengenai Islam.
Bahkan saya curiga, perselisihan antarkelompok dan organisasi keagamaan dalam Islam kerap ditularkan melalui penceramah dan da’i kagetan semacam ini. Saya sering menjumpai penceramah atau da’i yang berceramah di masjid – tak hanya di masjid Taqwa – langgar, majlis taklim, dan pengajian-pengajian lainnya, yang isinya justru memperuncing perbedaan dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin sendiri, dengan muatan-muatan yang tidak syar’i dan tidak ilmiah. Sering dialog ilmiah dan aksi sosial yang dilakukan dengan penuh dedikasi antara organisasi atau tokoh Islam untuk membangun kesepahaman antara kelompok dan organisasi Islam dirusak oleh satu kali ceramah para penceramah dan da’i karbitan ini. Dan ini semua terjadi, salah satunya, karena tidak seimbangnya suplai penceramah dan da’i yang baik dengan kebutuhan yang tinggi akan penceramah dan da’i gara-gara ingin meningkatkan frekuensi dakwah Islam di masjid-masjid. Tidak usah menunggu pihak manapun – pemerintah, Dewan Masjid Indonesia (DMI), atau Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) misalnya – saya kira, para ulama dan pemuka agama, khususnya panitia dan pengelola ta’mir masjid (khususnya lagi di masjid Taqwa) harus memulai memikirkan masalah ini. Masihkah kita perlu menyemarakkan pengajian dan dakwah Islam (tidak saja di masjid) jika tidak berbobot, apalagi kalau hanya berdampak semakin melegalkan bid’ah; mengokohkan ta’assub; memupuk benih kejumudan dan kepicikan ritualitas; memercikkan perpecahan antara kelompok dan aliran Islam; menyuburkan doktrin asabiah dan taklid buta?
Secara integralistik dakwah merupakan proses berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah yang mengubah sasaran dakwah agar bersedia untuk menuju jalan lurus. Ini suatu proses yang bukan insidentil (kebetulan), melainkan benar-benar, direncanakan, dievaluasi secara terus-menerus oleh para pengemban dakwah sesuai yang dirumuskan. Sudah bukan waktunya lagi dakwah dilakukan “asal-cuap” oleh para penceramah dan da’i dadakan, karbitan, dan “hanyar pacah di karungkung”, tanpa ada sebuah perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksana ataupun metode operasional yang diterapkan. Memang benar sudah menjadi sunatulLah bahwa yang haq akan mengeliminasi yang bathil (Qs 17:81). Tetapi kita tidak bisa terlepas dari hukum causalita (sebab akibat) atau sunantulLah ini juga berkaitan dengan yang lain, bahwa AlLah sangat mencintai dan meridhai kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi dan teratur (Qs 61:4).

* * *

Sekarang saatnya saya memberitahukan jawaban atas pertanyaan cacapatian di awal tulisan. Jawaban tersebut sebenarnya bisa beragam versi, tetapi saya mengambil satu yang sesuai dengan pembahasan dalam tulisan ini. Perbuatan yang akan membuat Tuhan dan setan sekaligus marah adalah: “mengumandangkan azan di luar waktu shalat.”
Tentu saja benar-salahnya jawaban dari cacapatian itu tidak perlu kita cari dasar hukumnya dalam kaidah ilmu fiqh. Cacapatian itu sendiri hanya merupakan salah satu “anekdot” atau mahalabio khas orang-orang tua di kampung. Namun sekarang saya jadi berpikir sekaligus bertanya-tanya, apakah pelantun azan di masjid Taqwa pada waktu setiap ada kebakaran itu ingin mempraktikkan jawaban dari cacapatian tersebut, atau memang ingin memadamkan api? AlLahu’alam bis shawab! 

No comments:

Post a Comment