Thursday, January 1, 2009

Doktrin Asabiyah dan Kemandegan Dialog Agama (Di Balik Penyerangan Massa di Sirih)

Oleh Aliman Syahrani

Dialog agama tidak membutuhkan orang-orang yang picik-pikiran dan suka menyesatkan sesama Muslim. Intinya, belum tentu kalau suatu kelompok “merasa paling benar” lantas dengan sendirinya bisa menyudahi dialog dan menuduh kelompok yang lain salah, sesat, bathil, menyelesihi syariat, murtad, kafir, kada sampai, dan seterusnya.
Bagaimana berbeda pendapat dalam dialog agama (bahkan dalam agama itu sendiri), dan tidak dituduh serta dicabar sebagai kafir dan murtad, itulah masalah utama yang menjadi keprihatinan saya – tentunya juga orang-orang lain yang masih meyakini akan manfaat sebuah dialog.

PERISTIWA penyerangan massa di desa Sirih pada tanggal 8 Juni 2000, delapan tahun lalu, masih segar dalam ingatan saya. Dalam insiden itu, tiga warga asal Kandangan mengalami luka-luka, bahkan satu orang sampai kritis hingga harus dirawat beberapa minggu di rumah sakit. Mobil yang digunakan warga asal Kandangan itu juga tak luput dari amukan massa, seluruh bagian mobil mengalami rusak berat. Tragedi itu kemudian menjadi headline sejumlah surat kabar di Kalimantan Selatan. Banjarmasin Post menurunkan berita di bawah judul “Tiga Warga Asal Kandangan Diserang Usai Diskusi” (Jum’at, 9 Juni 200 hal.1). Berita lain dimuat oleh Metro Banjar dan Kalimantan Post. Bahkan, 12 hari setelahnya Borneo Post memuat berita dengan judul yang sedikit nylekit: “Tuan Guru Jadi Provokator” (Kamis, 22 Juni 2000 hal.3).
Penyerangan itu terjadi ketika tiga warga asal Kandangan akan melaksanakan dialog agama dengan seorang tuan guru di desa Sirih. Kedatangan warga asal Kandangan itu sendiri sebenarnya sudah yang ketiga kalinya. Penyerangan itu dipicu oleh isu bahwa kedatangan warga Kandangan tersebut akan melakukan pengeroyokan dan tindakan kekerasan fisik terhadap si tuan guru, bukan untuk melaksanakan dialog. Entah siapa yang menyebarkan isu keliru tersebut. Padahal, selain tiga warga Kandangan dan keluarga tuan guru, tidak ada pihak lain yang mengetahui pelaksanaan dialog tersebut.
Tak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Apakah si tuan guru merasa tidak siap atau tidak sanggup meladeni warga asal Kandangan itu untuk berdialog, atau karena ada faktor-faktor lainnya, tetapi yang pasti pada waktu akan dilaksanakan dialog berikutnya itulah, seperti diberitakan sejumlah media tersebut, si tuang guru ”memprovokasi” warganya bahwa ada orang yang akan mencelakakan dirinya. Warga yang menerima kabar sepihak itu serta-merta bereaksi dengan melakukan pengadangan. Dan, terjadilah peristiwa penyerangan tersebut. Hebatnya, peristiwa anarkis itu tidak pernah diproses secara hukum, padahal tindakan penyerangan itu jelas mengandung unsur kriminal.
Saya sendiri – kecuali turut prihatin – juga cukup bersyukur karena ”tertinggal” dalam kegiatan dialog tersebut. Padahal sejak sehari sebelumnya saya telah menyatakan diri untuk bergabung dalam dialog lanjutan itu. Sampai saat ini, dalam catatan saya peristiwa itu merupakan tragedi terbesar yang pernah terjadi di Hulu Sungai Selatan bahkan di Kalimantan Selatan berkenaan dengan upaya dialog agama.
Peristiwa itu kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemuka agama, ormas Islam bahkan MUI HSS dan Kalsel. Sebabnya tentu sangat sederhana: karena faktor dialog dalam agama acapkali dipahami sebagai ”faktor yang tabu” dalam setiap konflik sosial yang pecah melalui simbol agama. Dialog agama dianggap sebagai ”bumbu penambah” saja dalam pertengkaran itu, sementara ”bumbu utama”nya adalah faktor-faktor ekonomi-politik. Sekiranya soal-soal ekonomi politik itu bisa diselesaikan, begitu diandaikan, maka secara otomatis konflik itu akan selesai, dan faktor dialog agama akan hilang dengan sendirinya. Tampaknya ada semacam keengganan untuk memasuki wilayah dialog dalam agama, karena sifatnya yang sensitif.
Dialog memang sebuah bidang yang belum populer, terutama dalam masyarakat dengan corak keberagamaan yang masih tradisional dan komunal. Salah satu penyebabnya saya pastikan adalah doktrin yang ditanamkan oleh para tokoh dalam satu kelompok agama bahwa orang lain di luar kelompok mereka adalah salah, sesat, bathil, menyelisihi syariat, “murtad” bahkan “kafir”. Pada lokal Kandangan, atau kalau mau diperluas Kalimantan Selatan, saya berani secara terang-terangan menuding bahwa doktrin semacam itu ditanamkan secara sistematis dan radikal oleh kelompok yang sering disebut sebagai “Kaum Tuha”. Kecurigaan ini berani saya kedepankan karena selama menjalani pendidikan dan berinteraksi di tengah-tengah komunitas kelompok ini saya pribadi pernah dicekoki bahkan sampai “termakan” doktrin-doktrin tersebut. Terlalu banyak pameo yang bisa dijadikan contoh untuk kasus ini.
Kecenderungan untuk menyalahkan dan menganggap “kada sampai” kelompok lain juga lebih menonjol dalam kelompok “Kaum Tuha”. Kesan saya selama bersentuhan dengan kelompok ini adalah bahwa kaum lain salah semua; yang benar adalah kaum mereka sendiri. Sikap absolutisme dan eksklusifisme sangat kuat dalam doktrin ini. Tak heran, jika sikap ini mudah sekali membiaskan dan membiakkan kekerasan, meskipun secara tak langsung.
Sudah saatnya agar kita berhenti menyalahkan “orang lain” dalam setiap bentuk kekerasan yang terjadi atas nama agama. Penyakit “menyalahkan dan menyesatkan orang lain“ ini merupakan kendala utama bagi kelompok agama manapun, termasuk dalam kelompok “Kaum Tuha” untuk melihat sejumlah borok dalam kelompok mereka sendiri.
Dialog agama kita sekarang menghadapi ancaman “kaum fanatik” yang lahir karena faktor yang ingin saya istilahkan chauvanistic doctrine atau doktrin asabiyah; fanatisme sempit terhadap satu penafsiran dan keyakinan keagamaan tertentu. Salah satu cara untuk menanamkan doktrin-doktrin semacam itu, seperti dilakukan para ulama “Kaum Tuha”, sampai-sampai memasang rambu-rambu “Tidak Ada Pertanyaan” dalam setiap pengajian mereka, baik di pesantren-pesantren, masjid atau majlis taklim. Ciri utama doktrin ini adalah penghunjaman sikap ke”aku”an yang begitu radikal atas kelompok sendiri. Ke”aku”an itulah yang selanjutnya membiaskan dan membiakkan rasa “pa” pada pribadi-pribadi “kaum fanatik” dalam kelompok tersebut: Rasa pambujurnya, paalimnya, paharatnya, paislamnya, dan rasa “pa”-“pa” dengan konotasi “arogan” lainnya.
Memang sulit mencari kaitan langsung antara doktrin asabiyah dengan sikap-sikap keagamaan fanatik, apalagi dengan tindakan kekerasan fisik semisal tragedi Sirih itu, fanatisme lahir karena sejumlah faktor penyebab yang kompleks dan beragam. Begitu juga dengan kekerasan fisik atas nama agama. Amat naif jika mengandaikan bahwa satu sebab saja telah memadai untuk menjelaskan kenapa seseorang menjadi fanatik atau “anarkis”. Tetapi, harus diakui bahwa “fanatisme agama” pada satu kelompok tertentu dalam pengertian yang negatif memang gampang meletup jika seseorang menerima begitu saja doktrin asabiyah seperti dalam kelompok “Kaum Tuha”.
Sejak waktu yang tidak bisa disebutkan, doktrin asabiyah pada “Kaum Tuha” (atau pada kelompok “pengikut generasi awal” yang saat ini mulai marak di Kandangan), dan pada kelompok-kelompok keagamaan “eksklusif” semisal lainnya, memperlihatkan sikap agresif dan “anarkis” dalam menyalahkan kelompok-kelompok Islam yang lain. Bahkan spirit dasar doktrin asabiyah dalam kelompok-kelompok ini adalah “purifikasi” atau pembersihan unsur-unsur keyakinan dari kelompok lain yang mereka anggap secara “liar” masuk dan mengotori keyakinan dan pemahaman mereka. Para pemuka agama dalam kelompok-kelompok ini di mana-mana sangat keras dan bahkan “ganas” dalam menyerang kelompok-kelompok Islam yang berbeda paham dan keyakinan dengan mereka.
Salah satu kelompok yang paling sering “diserang” dan sangat “dimusuhi” oleh “Kaum Tuha” adalah dari kalangan yang juga sering kita kenal sebagai “Kaum Muda”. Hampir semua perbedaan paham dan keyakinan dari kelompok ini tidak pernah diberi toleransi oleh “Kaum Tuha”. Contoh klasik dan terlalu sering diketengahkan dalam hal ini adalah masalah ushalli (melafadzkan niat ketika hendak memulai shalat); doa qunut dalam shalat Subuh; mentalqinkan mayit di atas kubur; tawassul dalam berdoa atau shalat hajat, dan beberapa persoalan furu’iyah dan khilafiah lainnya.
Selama menjalani pendidikan, pengajian dan berinteraksi dalam komunitas kelompok “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”, saya tidak pernah menemukan kesatuan pendapat atas persoalan-persoalan itu. Para ulama “Kaum Tuha” dengan tegas mefatwakan bahwa masalah-masalah tersebut, seperti shalat tanpa ushalli misalnya, adalah tidak sah, dan tidak sah pula shalatnya orang yang mengikuti (bermakmum) dengan mereka yang tidak menggunakan ushalli. Konsensus hukum ini bahkan disuarakan dengan lantang oleh para ustadz dan tuan guru yang mengisi pengajian di majlis-majlis taklim maupun oleh para da’i dan penceramah yang babacaaan di masjid dan langgar-langgar. Bahkan didiklamatorkan oleh para da’i dan penceramah yang “hanyar pacah di karungkung” sekalipun. Meskipun ketika ditanyakan dasar hukumnya mereka sepakat bahwa ushalli tidak mempunyai dasar dari sumber hadits, melaikan hanya merujuk kepada pendapat para ulama mereka saja dan dari tradisi “urang bahari” doang, yang dalam bahasa agama sendiri hal itu justru dikategorikan sebagai inovasi terlarang (bid’ah).
Sikap lebih toleran diperlihatkan oleh “Kaum Muda”. Meskipun sudah jelas persoalan ushalli tidak mempunyai dasar hukum dari sumber primer Islam (qur’an dan hadits), yang berarti inovasi terlarang (bid’ah), tetapi mereka tidak sampai menghukumkan tidak sah bagi mereka yang shalatnya memakai ushalli, dan tetap sah pula mereka yang bermakmum dengan mereka yang menggunakan ushalli. Tetapi perbuatan tersebut tetap dihukumkan sebagai inovasi terlarang (bid’ah) yang wajib dihindarkan, tanpa pengklasifikasian-pengklasifikasian jenis bid’ah itu sendiri menjadi beberapa bagian seperti yang lazim dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha”.
“Permusuhan” ini, kadang-kadang, berlebihan dan tidak masuk akal, tidak ilmiah dan meyimpang jauh dari etika syariat. Dari itu kemudian saya menduga, bahwa “permusuhan” ini bukan semata-mata bersifat “keakidahan” dan khilafiah semata-mata, tetapi juga ada unsur politis di sana. Kita tahu, bahwa sekitar 80% penduduk Kalimantan Selatan memiliki corak keberagamaan “Kaum Tuha”. Mereka ini sangat “ditakuti” sekaligus dibutuhkan oleh pemerintah, karena dikhawatirkan akan menjadi kekuatan “oposisi” yang “tidak mendukung” pemerintah, khususnya dalam waktu penggalangan suara di saat pemilu dan pilkada. Saya kira, ulama “Kaum Tuha”, secara sadar atau tidak sadar, dipakai oleh pihak penguasa untuk “menyerang” pemahaman keagamaan seperti pada kelompok “Kaum Muda” guna menghindarkan kemungkinan munculnya oposisi politik dari para pengikutnya. Fakta ini begitu spektakuler diperlihatkan pemerintah dengan mendukung penuh setiap kegiatan baik dalam tradisi, seremoni dan sarana keagamaan “Kaum Tuha”, dengan berbagai fasilitas, bentuk dan cara. Hal ini seolah menegaskan bahwa pemerintah juga adalah “salah satu” dari mereka.
Tindakan “preventif” dari pemerintah itu dari segi kepentingan politik mereka sendiri memang cukup beralasan. Pengandaiannya adalah, jika pemikiran “Kaum Muda” yang lebih bercorak realis dan kritis sampai memasuki ranah keberagamaan pengikut “Kaum Tuha”, dikhawatirkan dapat mengeliminasi ketaatan spritual dan kepatuhan sosial mereka terhadap ulama “Kaum Tuha” dan pemerintah. Pengandaian selanjutnya, pengikut “Kaum Tuha” dengan jumlah statistik yang mayoritas itu akan menjelma menjadi kekuatan oposisi yang dapat mengancam “kelembaman sosial” dalam stabilitas politik status qou dari pemerintah.
Bagi ulama “Kaum Tuha” sendiri, “ketakutan” juga dialamatkan kepada “ancaman” pemikiran “Kaum Muda”. Kalau pemikiran kalangan ini berhasil mempengaruhi para pengikut “Kaum Tuha” dikhawatirkan akan mengeliminasi wibawa “spiritual” yang dimiliki oleh ulama “Kaum Tuha” sekaligus dapat memutus “mata rantai” mereka dengan pengikutnya sendiri. Mata rantai di sini tidak saja semata-mata bersifat teologis, tetapi juga dari segi ekonomis dan bahkan politis.
Mata rantai dimaksud adalah, pemanfaatan ketaatan dan kepercayaan pengikut “Kaum Tuha” yang bisa dijadikan “lahan garapan” untuk tujuan ekonomis sekaligus politis itu sendiri. Contoh kongkritnya, para ulama “Kaum Tuha” tidak akan lagi bisa secara leluasa “mengeksploitasi” pengikutnya untuk dijadikan “sapi perahan” seperti dalam melaksanakan “proyek” bapintaan maupun penarikan zakat atau sumber ekonomi umat lainnya yang dialamatkan untuk mendukung lembaga keagamaan atau pribadi para ulama “Kaum Tuha” sendiri. Dan hal ini terjadi, lebih-lebih terbukti dalam dinamika keberagamaan “Kaum Muda”, di mana antara pemuka agamannya dan pengikutnya tidak terlahir sikap fanatisme dan kultus individu yang kebablasan.
Jika pemerintah berupaya mempertahankan “kelembaman sosial” dalam stabilitas politik status qou, maka para ulama “Kaum Tuha” berupaya mempertahankan keseimbangan “birokrasi” feodalistik dari fanatisme pengikutnya. Sebab, seperti kita ketahui, bahwa otoritas ulama dalam dinamika keberagamaan “Kaum Tuha” masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Apa yang sudah difatwakan ulama “Kaum Tuha” telah menjadi “blue print” yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah.
Saya punya contoh bagus terhadap dua streotif ini. Pertama, Yudi Wahyuni (Walikota Banjarmasin saat ini), yang mempunyai historis pribadi dan latar belakang keberagamaan dari kalangan “Kaum Muda”, dalam posisinya sebagi walikota sering terlihat dan terlibat dalam acara-acara ritual dan seremonial dalam tradisi keagamaan “Kaum Tuha”, yang, dalam kerangka pemahaman keberagamaan “Kaum Muda” sendiri, justru berupaya dengan gigih dieliminasi.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga punya bentuk dan misi (baik dilihat dari latar belakang pribadi para pengurus maupun ideologi gerakan yang diterapkan) lebih sejalan dengan pemahaman keagamaan “kaum Muda”, tetapi juga tidak dapat mengelak dari arus politik yang berlangsung deras di lapangan. Meskipun kondisi ini sering diakui oleh para aktivis dan elite PKS sendiri sebagai situasi yang delematis, sehingga sikap “terbaik” yang sementara bisa mereka ambil hanyalah diam, paling tidak untuk batas waktu tertentu. Ke depannya, jika PKS sebagai sebuah partai politik sudah mempunyai kekuasaan yang “memadai”, demikian diandaikan, umat akan dikader supaya memiliki pengetahuan agama yang baik dan “dikendalikan” agar hanya mempraktikkan nilai-nilai agama yang “lurus” saja. Pengkaderan itu boleh jadi akan dilakukan PKS lewat wadah “sayap dakwah” yang selama ini mereka galakkan.
Namun, alih-alih merasa “ngalih” atau paling tidak “diam” dalam beragam pemahaman dan tradisi keagamaan umat yang “belum lurus” itu, PKS sendiri justru tampil (men)jadi pelopor dan fasilitator seremoni-seremoni dan ritualitas dalam tradisi keagamaan yang “belum lurus” tersebut. Fakta ini bisa kita lihat seperti kegiatan yang dilakukan oleh kader, aktivis, caleg, dan pengurus PKS dalam setiap acara mobilisasi massa. Fakta lain adalah sosialisasi di media massa dan spanduk atau tulisan di sejumlah brosur atau famplet yang isinya mengajak umat untuk secara bersama-sama melaksanakan seremoni dan tradisi keagamaan yang “belum lurus” itu pada momen-momen tertentu. Khusus untuk tulisan di spanduk dan brosur atau famplet, PKS kerap memuat teks-teks agama yang tidak diklasifikasi dan menguji keabsahan para perawi yang metransmisikan teks-teks agama tersebut. Fakta terakhir menyebutkan, seorang kader PKS yang saat ini menjadi wakil kepala dearah berupaya mengundur upacara resmi kenegaraan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 63 hanya karena tanggal 17 Agustus pada hari itu berbarengan dengan nisfu Sya’ban. (Sekadar perbandingan, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto pernah dilaksanakan Upacara HUT RI meskipun bertepatan dengan hari libur nasional yaitu Hari Raya Idul Adha). Konon, upaya wakil kepala daerah dari kader PKS itu untuk menghormati kelompok masyarakat yang sedang melaksanakan tradisi keagamaan tertentu pada hari nisfu Sya’ban tersebut. Tetapi saya curiga hal itu dilakukan justru untuk tujuan politis, misalnya menarik simpati massa guna mendulang suara pada pemilu 2009 nanti.
Apakah sikap elite PKS tersebut dikarenakan – sebagai pejabat baru – belum “fasih” bagaimana memposisikan ketentuan-ketentuan kenegaraan dengan azas-azas “religi”; merasa “ngalih”; tujuan politis, atau memang berangkat dari keyakinan yang sama? Yang jelas, perlakuan itu mencerderai keyakinan nilai-nilai religi yang dianut oleh kader-kader PKS sendiri sebagaimana mereka proklamirkan selama ini.
Perlu dicatat, kegiatan-kegiatan itu dilakukan oleh para ilite dari kader-kader PKS, khususnya di Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan. Fakta-fakta tersebut sekaligus menampik argumen para “petinggi” PKS yang kadangkala masih berkilah bahwa aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan bukan oleh ”orang-orang” PKS, melainkan oleh para simpatisan yang notabene belum dikader dan belum memiliki pemahaman serta keyakinan keagamaan yang ”lurus”.
Baik Yudi Wahyuni maupun PKS dalam kapasitasnya sebagai politisi dan partai politik, saya lihat memang punya dasar pertimbangan kuat yang dijadikan justifikasi, apalagi kalau bukan “demi massa”. Tetapi mafhumnya tentu saja bukan “demi masa/waktu” seperti dalam surat Wal-Ashri. Melainkan “demi massa” atau masyarakat alias dukungan pemilih untuk suara partai dalam pemilu atau pilkada. Dalam bahasa Guru Sekumpul (KH. Zaini Abdul Ghani), dalil atas sikap dualisme para politisi dan aktivis partai semacam itu adalah: iyyakana’budu wa “partai” nasta’in!
“Dalil” Guru Sekumpul memang sejalan dengan fakta yang berlangsung di lapangan. Saya menyaksikan, setiap ada kegiatan politik seperti dalam kampanye pilkada dan pemilu, kedua streotif politisi dan parpol seperti pada contoh di atas, begitu suka bermain silat lidah dan retorika bahasa dengan mengutip teks-teks agama yang seolah-olah meyakinkan, khususnya dari para politisi dan partai politik yang berlatar belakang dan berasas serta berbasis massa Islam. Teks-teks agama kerap dihambur-hamburkan dan disembur-semburkan. Ketika berorasi atau berbicara, setelah satu dua kalimat langsung penuh sesak dengan kutipan-kutipan dari Kitab Suci. Seolah-olah sebuah orasi dan kampanye yang penuh dengan teks-teks agama akan benar dengan sendirinya.
Tidak cukup hanya dengan itu, para politisi dan model partai politik itu juga begitu keranjingan mengangkut atribut dan perkakas agama dalam kegiatan politiknya. Ulama, tuan guru, ustadz, habib diangkut dan dipamerkan di muka publik. Seolah-olah mereka adalah “tentara Tuhan” (meminjam istilah Ahmad Juhaidi) yang akan mengamankan tahta dan kerajaanNya dari serbuan partai politik dan politisi selain mereka. Kehadiran para “operator ritualitas” dan “teknisi seremoni” keagamaan itu seolah menjadi justifikasi sekaligus legitimasi atas segala gerak dan corak politik dalam partai mereka. Dengan klaim sebagai partai politik yang berazas atau berbasis massa Islam seolah mereka merasa berhak memakai dan memelintir teks-teks Kitab Suci sesuai keinginan mereka, kemudian mengendalikan segala perangkat ritualitas dan perkakas keagamaan demi menyokong kepentingan-kepentingan mereka. Dalam ranah partai mereka, agama seolah difungsikan layaknya sebuah jampi-jampi untuk mengeruk berbagai keuntungan, baik politis maupun ekonomis.
Itulah pengalaman yang sering saya saksikan dan begitu membekas pada diri saya hingga sekarang. Dan oleh karena itu pulalah yang membuat saya agak "muak" melihat para politisi dan aktivis partai saat melakukan kegiatan politiknya yang setiap berbicara atau berorasi selalu memercikkan teks-teks agama, mengangkut dan menjajakan atribut dan perkakas keagamaan ke mana-mana. Saya khawatir, agama bisa mengalami inflasi jika diobral dengan cara demikian.
Kembali ke pokok persoalan. Penyebab doktrin asabiyah dari golongan “Kaum Tuha” ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena “ketakutan” pemerintah yang mencabar pemikiran “Kaum Muda” sebagai ancaman kekuatan oposisi. Kedua, karena “wibawa spiritual” yang dimiliki oleh ulama “Kaum Tuha” sebagai “polisi moral” umat. Citra di kalangan umat Islam, khususnya di Kalimantan Selatan, bahwa ulama “Kaum Tuha” adalah termasuk orang-orang yang mempunyai karamah bahkan beberapa termasuk dalam maqam wali, juga demikian mengakar. Garanya-garanya sederhana saja: ulama “Kaum Tuha” mengenakan sorban dan sarung(an); menggunakan biji tasbih; rantas membaca kitab kuning; bisa mambari banyu; mau membuatkan rajah dan zimat, atau manjur bila mamandi’i urang; punya kekuatan supranatural sehingga dapat berperan ganda jadi “dukun putih” (untuk membantu pemenangan pilkada atau pemilu misalnya); dan ketika meninggal kuburannya diberi kubah dan kain kuning. Itu semua merupakan simbol kekaramahan dan kewalian dari ulama “Kaum Tuha”.
Banyak masyarakat Islam yang terpukau saat ziarah ke makam para “wali” tersebut: setiap saat pemakaman dijejali oleh para penziarah dari berbagai pelosok dan dari berbagai status pula. Mereka datang untuk memohon ini-itu kepada arwah di dalam kubur atau demi menunaikan nazar karena hajat dan keinginannya telah terkabul. Meskipun saya pastikan hajat dan keinginan yang dipanjatkan atau yang sudah diperoleh itu hampir semuanya dari segi keuntungan ekonomi – beberapa atas kepentingan politik – bukan karena kesadaran atas nilai-nilai keagamaan yang tulus atau mengambil suri tauladan dari keilmuan dan kesalehan (kalau memang ‘alim dan saleh?) dari pribadi si mayit semasa hidupnya.
Ini semua telah mematrikan suatu kesan bahwa ulama-ulama “Kaum Tuha” itu benar-benar karamat dan wali. Sedikit yang (di)sadar(kan) bahwa praktik-praktik semacam itu justru tidak pernah dilakukan oleh RasululLah saw., para sabahat dan ulama pendahulu Islam dalam generasi salafus shalih, yang, dalam bahasa agama sendiri, hal itu disebut bid’ah (inovasi terlarang). Dan tiap-tiap bid’ah (inovasi terlarang), menurut hadits, adalah menyesatkan. Sedang tiap-tiap yang menyesatkan (tempatnya) di neraka!
Dengan mencermati persoalan-persoalan semacam itu, saya punya kesan lain yang makin kuat sekarang ini, bahwa setiap kali melihat “pertengkaran” terjadi di antara umat, para pemuka agama selalu terjebak dalam repetisi yang menjemukan, dengan menekankan terus-menerus bahwa agama ini (Islam) tidak menghendaki pertengkaran tetapi perdamaian; bahwa perbedaan di kalangan umat adalah rahmat (ikhtilafu umati rahmatan). Namun kenyataan pahit di lapangan dicoba untuk diatasi dengan cara mempertontonkan suatu “seremoni” yang menampilkan sejumlah pertunjukan di atas pentas, di mana dikesankan bahwa seolah-olah semua golongan, aliran, kelompok, dan organisasi dalam Islam, bisa diperdamaikan, dipersatukan bahkan bersanding “mesra”. Akan tetapi, “kemesraaan” itu hanya berlangsung secara “seremonial” pula. Saya ingin menyebut hal ini sebagai staged encounter, (“teater perdamaian”), pertemuan antar golongan yang direkayasa di pentas, tetapi tidak menjangkau hingga ke kesadaran individual, apalagi kolektif, yang paling dalam.
Terkadang dialog agama juga diliputi berbagai prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah pemuka agama sendiri. Maksud saya adalah, bahwa para pemuka agama yang mengaku “Kaum Tuha” atau “kaum Muda” yang paling “pluralis” dan “moderat” sekalipun (yang bersedia dan setuju dengan adanya dialog antar kelompok agama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok lain selain mereka, sehingga dialog agama makin sulit berlangsung. Anggapan-anggapan bahwa kelompok selain kelompok mereka adalah “sesat”, “salah”, “bathil”, “murtad”, “beda imam”, “lain mazhab”, “menyelesihi syariat”, “kada sampai” dan lain-lain, terlalu sering kita dengar, sehingga tidak layak lagi untuk diajak berbicara dan berdialog. Contoh kecil dalam konteks ini adalah tragedi penyerangan warga di Sirih seperti sudah disinggung di awal tulisan.
Akibatnya adalah bahwa wacana dialog hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal percaya akan manfaat dialog, tetapi tidak pernah terjadi antarkelompok agama, misalnya antara “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”. Sebetulnya, penggunaan dua istilah ini juga kurang bermanfaat dari segi pengembangan dialog, karena mengandung prasangka penilaian tertentu. Saya kira sudah saatnya dialog agama justru sesering mungkin diadakan, setidaknya, antara dua kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan perdebatan yang mengganjal di tengah umat selama ini bisa diatasi dengan terbuka.
Selanjutnya saya melihat, fanatisme golongan yang lahir dari doktrin asabiyah merupakan salah satu “musuh” utama dialog yang sesunggguhnya. Kita perlu melakukan tafsir ulang atas doktrin-doktrin “berbahaya” semacam itu, khususnya di kalangan ulama “Kaum Tuha” saat ini. Jika hal ini dapat dilakukan, saya yakin pengaruhnya tentu akan sangat positif bagi berkembangnya budaya dialog dan suasana keberagamaan kita, khususnya di daerah ini. Sebab, bagaimanapun, ulama “Kaum Tuha” tetap merupakan “kiblat keagamaan” bagi mayoritas masyakarat Islam di daerah ini.
Musuh paling berbahaya bagi dialog agama berikutnya adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan “obat mujarab” atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa ada “orang lain” selain mereka.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan AlLah) dan hizbusy syaitan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, seperti pada “Kaum Tuha” dan “Kaum Muda”; doktrin demikian adalah penyakit spritual sekaligus sosial yang akan membinasakan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisahan antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme (chauvanistic doktrine), mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa didapatkan dan dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lungkungan “mereka”. Pandangan bahwa kebenaran hanya pada kelompok “kami” sebagai “satu-satunya kebanaran”, suatu pemahaman agama yang paling sahih, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami kebenaran agama itu sendiri. Mengedepankan kebenaran agama dalam persi kelompok atau golongan sebagai satu-satunya yang harus diakui adalah sebentuk kemalasan sekaligus kepicikan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan dasar agama dan hukum Tuhan.
Eskapisme inlah yang menjadi(kan) sumber kemunduran umat Islam di mana-mana, seperti budaya dialog yang senantiasa mandeg dan tidak popoler sepanjang masa dalam dimanika keberagamaan “Kaum Tuha”. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacan ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menjaga kesucian agama dan hukum Tuhan.
Syarat pertama bagi terciptanya dialog agama yang sehat adalah pengenalan mengenai pemahaman keagamaan yang dianut mitra dialog. Dengan pengenalan tersebut, kita bisa mengetahui bentuk pemahaman yang mereka yakini terhadap keberagamaannya. Dan ini mesti dihormati dan dihargai oleh semua pihak, kalau ingin pihak-pihak lain juga menghormati dan menghargai pemahaman mereka terhadap corak keberagamaan yang mereka yakini.
Soal mana yang paling benar atau salah, bukan tujuan utama dialog. Semuanya itu adalah urusan AlLah. Yang menjadi fokos utama dalam setiap dialog agama adalah mencari titik temu. “Dalam dialog hendaklah kita tidak sekadar membuka mulut”, kata Radius Ardanias Hadariah, “tapi juga harus bersedia membuka hati”. Karena itu harus ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tidak akan saling melakukan intervensi terhadap keyakinan atau mempengaruhi masing-masing kelompoknya.
Suasana yang demikian memang tidak mudah dicapai. Apalagi mengingat setiap kelompok memiliki klaim kebenarannya masing-masing. Tetapi justru di situlah tantangannya. Kita bisa memilih antara hidup berdampingan secara harmonis, atau atas nama kebenaran agama menciptakan situasi lingkungan yang selalu chaos.
Semua pengikut tiap kelompok keagamaan punya keakuan sendiri untuk merasa “benar” dan “menyalahkan” yang lain. Tetapi kita, sebagai manusia, mempunyai pengetahuan yang terbatas, dan kita tak layak dengan begitu mudah menyalahkan dan membathilkan pendapat dan keyakinan kelompok lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah “merasa benar”, paling jauh mengkritik, tetapi kita tidak diwenangkan untuk memberi kesimpulan bahwa pendapat dan keyakinan “lawan” kita bathil, kecuali jika pendapat dan keyakinan itu jelas-jelas melawan akal sehat dan dasar yang qat’i.
Dialog agama tidak membutuhkan orang-orang yang picik-pikiran dan suka menyesatkan sesama Muslim. Intinya, belum tentu kalau suatu kelompok “merasa paling benar” lantas dengan sendirinya bisa menyudahi dialog dan menuduh kelompok yang lain salah, sesat, bathil, menyelesihi syariat, murtad, kafir, kada sampai, dan seterusnya.
Bagaimana berbeda pendapat dalam dialog agama (bahkan dalam agama itu sendiri), dan tidak dituduh serta dicabar sebagai kafir dan murtad, itulah masalah utama yang menjadi keprihatinan saya – tentunya juga orang-orang lain yang masih meyakini akan manfaat sebuah dialog.

* * *

Baru-baru ini saya kembali diingatkan dengan peristiwa penyerangan massa di Sirih delapan tahun itu. Menurut penuturan seorang warga Tibung Raya, beberapa hari menjelang tragedi penyerangan itu sejumlah warga Sirih sampai basaruan (mengundang) warga desa lain sampai ke desa Tibung Raya yang berjarak hampir puluhan kilometer untuk melakukan pengadangan. Isu yang dibawa sama, bahwa ada orang yang akan mencelakai tuan guru “anu”. Dengan isu tersebut, berarti makin menegaskan kalau chauvanistic doctrine dalam golongan “Kaum Tuha” benar-benar sangat berbahaya – dan bahkan menjadi suatu ancaman – bukan saja bagi tumbuh-kembangnya budaya dialog agama tetapi juga bagi terciptanya suasana harmonisasi nilai-nilai agama (Islam) itu sendiri. 

No comments:

Post a Comment