Wednesday, January 7, 2009

Palestina, Rumit di Sana, Rumit di Sini


Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.

Oleh Aliman Syahrani


TOLONG bacakan Laa ilaha ilalLah AlLahu Akbar + surah Al-Ikhlas 3x untuk keselamatan Masjid Al-Aqsa dan umat Islam yang ada di Palestina yang jam ini sedang dikepung dan diserang Israel dan sekutu Amerika, Zionis dan Kristen yang anti Islam (orang-orang kafir). Sms-kan kepada 10 orang sebagai partisipasi jihad Anda. “Allahu Akbar!”.

Akhir-akhir ini saya banyak menerima layanan pesan pendek (short missage service) itu. Entah dari mana sumbernya sms-sms itu, tapi barangkali erat kaitannya dengan persoalan konflik yang melanda Palestina saat ini. Padahal dari berita-berita media massa saya juga belum mendengar ada pemintaan resmi baik dari pemerintah Palestina maupun dari rakyat Palestina sendiri yang menyatakan bahwa mereka memerlukan ”paket” berupa tahlil, surah al-Qur’an atau pekik takbir dan jihad tersebut. Saya bahkan dengan sedikit nakal menduga, jangan-jangan sms tersebut justru berasal dari salah satu operator jaringan selular di Indonesia untuk tujuan keuntungan finansial.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah hubungan Palestina dengan umat Islam di Indonesia? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Dari segi geografis, Indonesia dipisahkan oleh jarak ribuan mil dari tanah yang menjadi kelahiran para nabi itu. Tetapi, dari segi ”ikatan batin”, ada semacam hubungan psikologis yang begitu mendalam antara umat Islam di sini dan kejadian-kejadian yang berlangsung di sana. Setiap masalah Palestina muncul ke permukaan, resonasinya sudah barang pasti akan berimbas ke negeri kita, dalam satu dan lain bentuk.
Menarik untuk dipersolakan: kenapa respon terhadap masalah Palestina hanya datang dari segelintir umat Islam di Indonesia. Jika soal Palestina dipersepsikan oleh umat Islam di sini sebagai masalah antara hak bangsa Palestina yang ”muslim” dan perampasan atas hak tersebut oleh orang Yahudi yang ”nonmuslim”, mengapa hanya satu lapis kecil saja dari umat Islam Indonesia yang bangkit melakukan protes? Jika soalnya adalah antara ”Islam” dan orang kafir (baca: Yahudi, yang disokong negara-negara Barat, yakni Amerika), kenapa tidak seluruh umat Islam ikut terlibat dalam aksi-aksi itu?

Aksi-aksi solidaritas Palestina yang berlangsung akhir-akhir ini di berbagai pelosok Tanahair, khususnya di Jakarta sebenarnya hanya diikuti oleh sebagian kecil dari umat Islam di Indonesia. Bahkan, mereka yang ikut dalam aksi-aksi itu pun tidak bisa menggambarkan seluruh keragaman umat Islam yang ada di Indonesia. Walhasil, mereka ini hanyalah secuil dari seluruh umat Islam yang begitu beragam. Jumlah mereka pun tidak cukup signifikan. Ini menggambarkan bahwa soal Palestina sudah tentu dilihat secara berbeda-beda oleh umat Islam di sini. Soal Palestina, sudah pasti, tidak sekadar dilihat sebagai penghadapan antara ”Islam” dan ”nonIslam”. Jika itu soalnya, akan dengan mudah umat Islam ”dimobilisasi” untuk isu tersebut.

Yang menarik adalah, mereka yang paling bersemangat mengangkat isu Palestina itu bukan dari kelompok Islam ”arus utama”. Terus terang, saya tidak punya data yang cukup untuk mendukung pernyataan ini. Tetapi, sekilas melihat tokoh-tokoh dan massa yang ikut dalam aksi-aksi solidaritas Palestina ini, tampak bahwa mereka bukan dari kelompok umat Islam utama, yang tergabung dalam sejumlah ormas Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Al Washliyah, Persis, dan lain-lain. Besar kemungkinan, ada perorangan dari ormas-ormas tersebut yang turut dalam aksi-aksi itu. Tetapi, secara kelembagaan, tidak terdapat suatu tanda bahwa masalah Palestina adalah agenda yang penting buat mereka. Ini bukan saja berlaku sekarang. Tetapi, jika kita menoleh ke periode-periode sebelumnya, soal Palestina bukanlah agenda yang cukup penting buat ormas-ormas besar Islam di Indonesia.

Jika kita telisik lebih dalam, soal Palestina sebagaimana ”dipersepsikan” oleh sebagian umat Islam Indonesia ternyata lebih menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri ketimbang mencerminkan masalah Palestina yang sesungguhnya sebagaimana terjadi di Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem. Boleh jadi sangat sedikit dari para peserta aksi solidaritas itu yang tahu kompleksitas dan keruwetan, baik dalam tubuh bangsa Palestina maupun Israel, serta hubungan antara mereka. Lebih sedikit lagi yang memahami bagaimana proses perdamaian itu sendiri, ketika kepentingan-kepentingan politik para tokoh lebih menonjol ketimbang bangsa yang mereka wakili. Boleh jadi orang-orang Islam di sini memahami kunjungan Ariel Sharon ke Haram El Syarief (lebih tepatnya: El Haram El Syarief, sebagaimana orang Palestina sendiri menyebutnya) beberapa waktu lalu, yang menandai periode baru dalam konflik Arab-Israel, sebagai semata-mata cerminan sikap orang Yahudi konservatif, dan tidak membayangkan bahwa hal itu adalah bagian dari persaingan antara Ariel dan Ehud Barak, rival politiknya.

Soal Palestina biasanya memang menjadi agenda kelompok-kelompok tertentu dalam umat Islam. Jelas sulit untuk menyebutkan kelompok mana, tetapi yang jelas bukan bagian dari ”arus utama” umat Islam. Sebagian ada yang menyebut mereka ini sebagai kelompok Islam ”garis keras” (sekeras apa, juga sulit dijelaskan). Mereka inilah yang biasanya menjadikan isu-isu dalam dunia Islam sebagai salah satu agenda penting. Isu-isu seperti Afghanistan, Bosnia, Chechnya, minoritas Moro, Irak, dan terakhir Palestina biasanya mejadi masalah yang penting buat mereka. Ada kecenderungan, bahkan, bahwa isu-isu itu menjadi semacam ”identitas” yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain dalam umat Islam. Bahkan boleh jadi pula ada dari kelompok aski solidaritas itu yang memanfaatkan momen-momen tersebut untuk kepentingan politis kelompok mereka sendiri. Taruhlah misalnya untuk menarik simpati massa guna mendulang suara pada Pemilu 2009 nanti. Indikasi ini bisa kita kemukakan karena ada saja dari kelompok massa dalam aksi solidaritas itu yang sempat-sempatnya membawa atribut salah satu partai politik. Ibarat pribahasa, ”sambil menyelam minum dukungan”.

Setiap kelompok umat Islam biasanya mempunyai ”wilayah keprihatinan” (are of concern) yang berbeda-beda. Isu mengenai ”pemberdayaan masyarakat sipil”, misalnya, mencirikan satu kelompok tertentu dalam umat, dan hampir mustahil isu ini akan disuarakan oleh kelompok lain. Kelompok-kelompok dalam umat Islam yang lebih tertarik pada isu-isu hak asasi dan pluralisme biasanya kurang suka dengan isu Palestina ini, atau sekurang-kurangnya kurang menganggapnya sebagai agenda yang penting.

Yang juga patut dipersoalkan adalah cara sekelompok umat Islam di sini mempermasalahkan isu Palestina. Apakah masalah Palestina dianggap sebagai melulu soal ”Islam” dan ”Yahudi”/Barat, atau soal ketidakadilan yang bisa berlaku universal? Tampaknya, yang lebih menonjol di Indonesia, masalah Palestina lebih dipersepsikan sebagai masalah ”Islam” versus ”Barat”, yakni masalah ”identitas kultural dan politik”. Sedangkan masalah ketidakadilan kurang diproblematisasi di sana.

Itulah sebabnya pertanyaan patut diajukan kepada kelompok-kelompok umat Islam yang lebih menyukai isu-isu ketidakadilan: kenapa mereka kurang tertarik pada isu Palestina; apakah bedanya ketidakadilan bagi masyarakat korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, dengan di Palestina, toh ketidakadilan sebagai ”nilai” adalah tembus ruang dan waktu. Tetapi, pertanyaan serupa juga pantas diajukan kepada kelompok-kelompok yang ”asyik” dengan soal Palestina: kenapa mereka hanya membela bangsa Palestina yang diperlakukan tidak adil oleh Israel; kenapa mereka tidak mengajukan protes ketika orang-orang Papua juga diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh pemerintahan pusat. Bahkan, jika soal kesamaan agama menjadi penting di sini, kenapa soal Aceh kurang menempati agenda yang penting dalam ”wilayah keprihatinan” mereka?

Agaknya, Palestina tidak membutuhkan ”jampi-jampi agama” semacam paket Tahlil, Fatihah, kumandang Takbir, pekik Jihad, dan lain-lain. Palestina ingin mengabarkan kepada kita bahwa dunia Islam saat ini sedang ”sekarat” di berbagai bidang: akidah, spiritual, ekonomi, sosial budaya, politik, militer, sain, dan sebagainya. Palestina seolah menyerukan kepada kita: ”wujudkan Islam sebagai agama damai, toleran, inklusif, melek peradaban dan teknologi, dan kokoh dalam berbagai lini kehidupan.

Sebagaimana Palestina ”rumit” di sana, ia juga ”rumit” di sini. ψ

No comments:

Post a Comment