Friday, January 30, 2009

Fikih, Syari'at dan Partai Islam

Oleh Aliman Syahrani


Jika Islam dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 M, lalu dijadikan sebagai ‘prasasti’ sejarah yang tidak boleh disentuh tangan peradaban, itu bukan agama saya!


GARA-gara umat Islam begitu obsesif menanyakan hukum segala hal, akibatnya fiqh menjadi membengkak, perintah-perintah dan larangan-larangan agama menjadi mekar begitu luas, dalil-dalil hukum juga menjadi menggelembung begitu banyak. Teks-teks Islam yang semula hanyalah menyangkut kasus-kasus spesifik yang ada pada zaman Nabi – yang belum pasti relevan untuk zaman berikutnya – yang semula merupakan teks-teks partikular menjadi universal. Dan tiba-tiba "berislam" sama saja dengan "berfiqih". Apa yang sudah ditetapkan oleh fikih tidak boleh lagi diganggu gugat; sudah dianggap sebagai “blue print” atau cetak biru syari’at Islam yang cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Jamal Al Banna, adik kandung Hasan Al Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, menyebut bahwa tampaknya fiqih pelan-pelan sudah menjadi "agama tersendiri".

Itu jelas tidak benar. Fikih sebagai salah satu yurispudensi hukum dalam Islam niscaya akan selalu mengalami perkembangan, bahkan perubahan. Sebab, fikih lahir sebagai “buah pemikiran” sang mujtahid/ulama Islam dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, fikih selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran (syari’at) Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya.

Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” (dengan atau tanpa tanda petik) umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik.

Selanjutnya, sebagian besar masyarakat Muslim bahkan ada yang menyenadakan fikih dengan syari’at Islam. Melaksanakan fiqih berarti menegakkan syari’at Islam. Karena, dalam anggapan mereka, syariat Islam adalah Islam itu sendiri. Perlu diketahui, Manoucher Paydar, dalam salah satu bukunya, Legitimasi Negara Islam, menyatakan bahwa syariat Islam sebagaimana kita ketahui sekarang adalah kumpulan-kumpulan dari pendapat, opini, interpretasi, bahkan inovasi-inovasi yang diwariskan para fuqaha terkemuka abad ke-5 setelah Rasulullah saw wafat. Dengan kata lain, syariat Islam tidak dapat dianggap sepenuhnya merupakan ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi umat.

Fakta ini perlu digarisbawahi untuk menjawab sinisme kaum agama, terutama yang biasanya memandang rendah potensi akal manusia.

Parahnya lagi, seringkali kaum literalis atau mereka yang mengaku “pengikut generasi awal” (saya agak takut menyebut fundamentalis), memperlakukan syariat Islam sebagai solusi final dalam menghadapi kondisi kekinian. Cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir yang menganggap enteng setiap permasalahan. Seolah syariat Islam – yang notabene merupakan produk pemikiran abad pertengahan – dapat selalu menjawab kompleksitas permasalahan yang dihadapi umat sekarang. Tentu hal ini sangat naif.

Dengan sendirinya, kehadiran partai-partai Islam saat ini (yang ikut pemilu atau tidak, semacam HTI?) patut dipertanyakan. Alih-alih sebuah tuntunan Islam, model yang mereka pakai merupakan model yang sedikitnya diadopsi dari pemikiran Barat (nah, lho, makanya kita jangan “alergi” berhadapan dengan segala sesuatu yang berbau Barat, apalagi dilawan [jika benar “Barat” memang harus dilawan]. Sejatinya, Barat – dalam banyak hal – lebih tepat dianggap sebagai “sparring fartner” bahkan guru untuk belajar). Jadi, apa sih yang hendak diperjuangkan lewat partai? Melaksanakan hukum fiqih untuk menegakkan syari’at Islam? Atau menegakkan syariat Islam demi menyelamatkan agama? Sepertinya terlalu arogan kalau kita berpikir demikian, karena bukankah kedatangan agama justru untuk menyelamatkan umat manusia?

Karenanya, ide mengenai negara agama harus didiskusikan lebih jauh. Kalau umat Islam mau mengatur hidup mereka berdasarkan agama, itu hak mereka sendiri, tetapi tidak serta-merta meminta negara mengatur itu karena negara merupakan lembaga milik publik. Jadi, kalau agama mau mengatur kehidupan publik, harus dibicarakan dulu oleh publik. Karena, spirit dasar agama adalah sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. Kalau agama adalah keinsafan dan kesadaran batin yang berdasarkan pada tindakan batin yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat dan institusi pemerintah seperti undang-undang atau bahkan negara?

Posisi saya, dalam hal ini mungkin adalah seorang liberal. Ya, katakanlah begitu. Karena menurut sementara pendapat saya, “Jika Islam dianggap sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 M, lalu dijadikan sebagai ‘prasasti’ sejarah yang tidak boleh disentuh tangan peradaban, itu bukan agama saya!”

Hal-hal seperti ini, sekali lagi, mesti terus kita diskusikan lebih intens, mengkaji dengan kritis, mendialogkan secara sehat dan berkeadilan. Sayangnya, tidak semua orang mau diajak diskusi secara kritis. Sekarang, kalau kita mendiskusikan masalah-masalah itu secara kritis, lantas dianggap menghina syariat, menghina agama, bahkan melecehkan Tuhan!

AlLahu’alam bish-shawab.

1 comment:

  1. Partai islam,banyak partai yg atas nama kan agama kalau sama ngapain nggak koalisi saja ?

    ReplyDelete