Friday, January 23, 2009

B O S S


Oleh Aliman Syahrani

MENJELANG
ujian akhir, seorang calon sarjana demikian tekun belajar. Temannya adalah buku, kamarnya adalah perpustakaan. Segala bentuk hoby dan kesenangan ia eliminasi. Semua daya dan upaya dicurahkan pada satu fokus: lulus ujian. Dan untuk mencapai tujuan itu upaya batiniah pun dilakukan dengan intensitas tinggi. Si calon sarjana senantiasa melaksanakan puasa-puasa sunnat, mengerjakan shalat malam, dan setiap saat berdo’a; memohon kekuatan dan petunjuk agar ujian akhir yang akan dihadapinya bisa ditempuh dengan baik.

“Alhamdulillah, segala puji hanya milik AlLah yang telah berkenan mengabulkan do’aku,” demikian ungkapan rasa syukur si (calon) sarjana setelah terbukti lulus ujian. Terasa olehnya betapa AlLah Mahaadil, Mahabijak dan Mahakasih. AlLah telah mendengarkan do’anya dan memberikan apa yang diinginkannya.

Dengan modal ijazah dan gelar yang baru diperolehnya, si sarjana mulai “menjajakan diri” dengan mengetuk kantor ini, kantor itu, baik swasta maupun negeri, untuk mendapatkan pekerjaan. Sudah berapa banyak pintu kantor yang diketuknya dengan penuh harapan. Namun ikhtiar yang dilakukannya tanpa kenal lelah dan diiringi dengan do’a itu belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Dia mulai lelah dan frustrasi. Bahkan dia mulai merasa do’anya tak berguna, nonsense. Lalu sampailah dia pada satu kesimpulan bahwa segala puasa sunat, duduk bertafakkur dan bangun di tengah malam yang sepi untuk shalat tahajud sambil mendaraskan untaian do’a adalah sia-sia belaka.

Kini si sarjana lebih banyak tinggal di rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merenung. Dalam hatinya masih tersisa angan-angan muluk, angan-angan yang telah berubah menjadi azam, renjana, bahkan nafsu, untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkan sesuai dengan taraf pendidikannya. Apabila hal itu terkabul maka sudah terbayang pula olehnya kehidupan yang serba “wah”, mewah dan “ah”, dan itulah sebenarnya keinginan yang sudah lama terperam di dasar hatinya.

Karena keinginan kuat yang sudah berubah menjadi nafsu itu tanpa sadar si sarjana telah mendiktekan kemauannya kepada AlLah. Seolah-olah dia menjadi boss yang merasa berhak dilayani oleh pembantunya. Padahal dalam kenyataannya dia hanyalah seorang hamba dan AlLah adalah “Boos” segala boss (Qs 20:144).

Tanpa disadarinya si sarjana sebenarnya telah berbuat dzalim kepada Zat yang siapa dan apa saja bergantung. Ia tak menyadari bahwa AlLah Mahatahu akan apa yang terbaik bagi hambaNya sehingga AlLah tak perlu didikte. AlLah tidak harus mengabulkan semua permintaan hambaNya karena Dia Mahakuasa. AlLah tidak punya kewajiban apa pun kepada hambaNya. Sebaliknya, manusialah yang mempunyai banyak kewajiban kepadaNya. Manusia wajib menjauhi cegahanNya dan wajib melaksanakan instruksiNya. Manusia harus berikhtiar untuk mencapai keinginannya namun kepastian tetap berada di tanganNya. Dan si sarjana tak menyadari bahwa yang termulia bagi manusia adalah berusaha menjadi manusia kesayangan AlLah. Manusia kesayangan AlLah akan memperoleh kebaikan-kebaikan, yang diminta maupun yang tidak diminta. Si sarjana tidak sadar bahwa “lebih berharga untuk menjadi manusia yang manusiawi daripada sekadar menjadi wanita, pun untuk sekadar menjadi seorang lelaki.”

Sayangnya, si sarjana lupa untuk meninjau kembali konsep do’a. Si sarjana memandang do’a sebagai mantera magis untuk mengendalikan alam semesta. Tuhan dilihatnya sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauannya. Do’anya mirip lampu Aladin dan Tuhan menjadi jin. Ketika si sarjana berdo’a, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di hadapannya, “Tuan katakan kehendak Tuan.” Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendaknya, si sarjana marah kepadaNya. Si sarjana kecewa dan ia segera membuang lampu Aladin itu.

“Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan,” kata Imam Ja’far ash-Shadiq, “lihatlah di mana posisi Tuhan di hati Anda.” Alangkah rendahnya Anda di mata Tuhan, bila Anda memperlakukan Dia hanya sebagai jin untuk lampu Aladin Anda. Anda berdalih, do’a adalah ungkapan cinta. Tetapi, Anda hanya berdo’a kepadaNya ketika Anda memerlukanNya. Jadi, Anda mencintaiNya karena Anda memerlukanNya. Erich Fromm menulis, “Immature love says, ‘I love you because I need you.’ Mature love says, ‘I need you because I love You.”

Sekarang, betapa banyak “sarjana-sarjana” yang telah menganggap dan memposisikan dirinya sebagai boss di hadaan Tuhan, dengan berbagai keinginan dan kemauan yang tidak boleh tidak mesti dipenuhiNya, namun mereka tidak menyadari telah terjebak dalam perangkap kedzaliman spektakuler semacam itu. Dari “sarjana-sarjana” itu termasuk yang membaca dan yang membuat tulisan ini!

3 comments:

  1. Tulisan yang inspiratif nih. Pakacil Aliman sungguh jeli melihat pergolakan hati manusia yang diwujudkan dalam bentuk doa.

    Yah..saya pun kadang berdoa bila ada "maunya". Seolah-olah doa ini jadi mantera magis untuk "memaksa" Tuhan agar mengabulkannya.

    Astagfirullah...

    ReplyDelete
  2. Kaitu lah mun orang kuliah,sorang kada suah makan bangku kuliahan pang,he..he...Salam kenal.

    ReplyDelete
  3. Salam kenal mas, saya urang Kandangan jua, tapi bagawi di Banjar, kunjungi blog saya di www.taufik79.wordpress.com

    ReplyDelete