Thursday, January 15, 2009

Cinta, Wanita dan AlLah


Oleh Aliman Syahrani

WANITA itu tengah berziarah di pusara Rasul. Dengan bibir bergemeletar dia berkata: “Bukannya aku tak mencintaimu, ya Rasul. Tetapi seluruh bilik hati dan jiwaku telah tergadai dan terpenuhi cinta kepada AlLah, sehingga tak ada tempat lagi buat berseminya cintaku padamu.”

Rabiah Al Adawiyah, sang wanita yang suaranya terdengar bergemeletar itu, sedang khusuk menikmati indahnya keimanan dan keimanan yang indah. Level Rabiah adalah level cinta. Tapi ia tidak berhenti pada kata-kata atau zikir yang diam, melainkan “aksi keimanan”-nya berlanjut pada fase kesalehan. Sekilas ia tampak menyepelekan realitas kultural yang demikian kusut dan camuh. Ia memilih aktif mempertahankan dirinya dari godaan materi dan teori.

Alternatif Rabiah untuk terlibat dalam kontemplasi yang berorientasi pada kesalehan semacam itu memang sah. Meski dengan pilihannya itu terbuka peluang yang cukup lebar untuk disembur kritik. Sebab dari kacamata kaum strukturalis tampak jelas, begitu Rabiah mamasuki mihrabnya untuk memuji Sang Kekasih Agung, pada saat itu pula ia lari dari concren sosialnya. Lari dari tanggung jawab sebagai khalifah AlLah yang ditugasi untuk membereskan persoalan bumi. Menegakkan kedaulatan ummat, keadilan ummat, demokrasi ummat, dan tata tertib ummat. Seakan ia mati-rasa terhadap membengkaknya kerakusan, kekerasan dan keserakahan. 

“Semua tindakanku ini bukan suatu hal yang istemewa. Aku hanya ingin menunjukkan kebebasan agama, melalui aspek zuhud demi mencari keridhaan AlLah,” kata Rabiah. Ia mengajak manusia pada hablulLah, yaitu mencintai AlLah tanpa reserve. Kawasan yang dijelajahinya tidak diciutkan oleh batas ruang dan waktu. Ia menembus eksistensi kemanusiannya untuk sampai pada alam keabadian, cakrawala makrifat. Fakta yang ia hadapi bukan lagi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan dalam arti material dan struktural, melainkan kemelaratan, kejahilan, dan penindasan yang bermakna ruhani; krisis iman dan akhlak.

Untuk itukah ia memilih tidak menikah? Di sinilah kewanitaan Rabiah patut dipertanyakan. Ia tak sanggup membagi cinta kepada makhluk. “Aku hanya punya satu cinta dan sudah kugadaikan sepenuhnya kepada AlLah,” tegasnya.

Rabiah memang terasa ganjil. Apalagi di era globalisasi, gombalisasi, bomBalisasi dan Inulisasi seperti sekarang ini. Ketika emansipasi wanita telah ditafsirkan selonggar mungkin hingga agama bukan lagi sebagai acuan nilai yang diyakini guna membangun peradaban tauhid. Ketika surplus gincu dan saham kemaksiatan tertanam di sana sini. Ketika bedak dan cermin telah merubah fungsi jadi topeng berbisa. Adakah pilihan Rabiah untuk menyendiri terasa aneh dan kocak?

Mungkin, karena terpenjara oleh hal-hal sensual, material dan visual, kita kehilangan kepekaan pada stimulus ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar jeritan batin kita, apalagi jeritan orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang diungkapkan dalam eufemisme. Sebabnya barangkali karena selama ini agama kita pelajari dan yakini semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak sebagai suatu keinsafan dan kesadaran batin yang mendalam. Aspek-aspek sufistik dalam agama sering kita abaikan, sehingga akhirnya keberagamaan kita kerontang dari spirit dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan. 

Mungkin saja figur Rabiah tidak pas untuk menjadi sosok idola. Ia tak menggelar dan menggelora. Ia tak lantang pidato sambil mengacung-acungkan tangannya. Ia tak galak di mimbar dan tak pernah ikut seminar. Ia tak pernah berdandan menor dan tak selincah peragawati yang melenggang-lenggok sambil mengumbar ‘aurat di catwalk. Ia juga tak pandai menggunting pita seperti ibu-ibu pejabat.

Tapi ia lembut, sopan dan beriman. Ia memilih bergaul dan mengakrabi AlLah tinimbang sibuk memoles bedak di wajah dan memutar-mutar tubuh di depan cermin. Bahkan ia tak kenal apa makna kosmetik dan salon. Ia hanya berdandan buat Sang Kekasih Agung Tercinta.

No comments:

Post a Comment