Wednesday, December 24, 2008

Catatan Singkat Seputar Seminar Nur Muhammad



Oleh Aliman Syahrani

SABTU 24 Nopember 2007 lalu saya diundang dalam acara seminar sehari tentang Nur Muhammad oleh Pengurus Ikatan Alumni IAIN Antasari (IKASARI) Kab. HSS dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum Kandangan. Seminar tersebut dilaksanakan di Aula STAI Darul Ulum yang dihadiri tidak saja oleh para pengurus dan anggota IKASARI dan mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan tetapi juga dari Dewan Pimpinan MUI Kab HSS, Muspida HSS, DPRD HSS, Ormas Islam dan sejumlah Ulama serta da’i di Kab. HSS. Sebagai narasumber adalah H. Syahrudi (HS), Pimpinan Ponpes Darul Hijrah Martapura, dan H. Muhammad Ridwan (HMR), Pimpinan Ponpes Minhajul ‘Abidin Kandangan. Namun MHR hanya tampil sebagai pembicara karena materi yang dibawakan tanpa makalah, hal yang sungguh sangat “tidak afdhal” dalam kaidah sebuah seminar.
HS sebagai pembicara pertama membawakan makalah dengan judul “Nur Muhammad antara Agama dan Filsafat”. Dalam makalahnya HS membahas tentang arti, pemahaman, sejarah serta analisis histories-epistemologis tentang Nur Muhammad.
Pada bagian pembukaan, HS mempertanyakan apakah Nur Muhammad itu persoalan filsafat saja, ataukah persoalan filsafat yang merembes ke dalam agama atau persoalan agama murni yang bersumber dari al Qur’an dan al Hadits? Apakah ia qadim atau jadid (baru) atau ia qadim sekaligus jadid? Selanjutnya HS melakukan penelusuran melalui sejarah timbulnya Nur Muhammad, cara berpikir dalam memahaminya secara epistemologis sambil menghindari cara pendekatan yang hitam-putih atau teologis-normatif yang bisa berakibat the truth claim atau merasa saling benar sendiri atau bahkan berakibat menjadi taqdisul afkarid diny.
Secara arti, setelah melalui berbagai pembahasan dan kajian dari sejumlah sumber referensi, HS membagi istilah Nur Muhammad menjadi empat bagian. Pertama, berarti cahaya kebesaran dan keagungan Muhammad bersifat duniawi rasioal dan ukhrawi. Kedua, berarti konsep filsafat yang bersifat emanasi AlLah, bersifat qadim dan pada hakekatnya AlLah itu sendiri merupakan bahan asal alam semesta. Ketiga, berarti percampuran antara keduanya tetapi tidak bersifat falsafi, tetapi agama murni karena bersumber dari al Qur’an dan al Hadits Nabi. Keempat, berarti asma dan sifat AlLah yang tidak ada hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW yang lahir di Makkah.
Secara historis, tema Nur Muammad sudah muncul sejak abad pertama hijriyah, tetapi masih bersifat harfiyah, jadi belum berbentuk konsep filsafat, demikian uraian HS lebih lanjut. Sahabat Nabi yang bernama Jabir ibn Abdullah adalah orang yang pertama mengungkapkan adanya Nur Muhammad. Embrio Nur Muhammad pertama kali adalah berasal dari Sahal ibn Abdullah al Tustari, tetapi konsep Nur Muhammad yang jelas sebagai teori dikomandani oleh Al Hallaj. Konsep ini dibiakkan pula oleh Ibnu Arabi pada abad ke VI H., kemudian dikembangkan lagi oleh al Jily pada abad ke IX, selanjutnya dipopolerkan pula oleh al Bahanfuri dan Syekh Yusuf al Nabhani pada abad ke XIII. Meskipun para tokoh tersebut sama-sama meyakini dan mengembangkan tentang konsep Nur Muhammad, tetap mereka berbeda dalam memahaminya.
Berikutnya, HS menarik satu benang merah bahwa persoalan Nur Muhammad secara historis berawal dari al Tustari, persoalnnya yaitu tentang penafsiran surah An Nur ayat 53 yang dikaitkan dengan surah Al Najm ayat 13 tentang Nabi mi’raj dari Sidratul Muntaha yang dipahami sebelum ada waktu (zaman qadim) ketika Nur Muhammad di hadapan Tuhan. Nur Muhammad, menurut penafsiran mereka, berdiri dalam ’ubudiyahnya 1000 (seribu) tahun sebelum Adam diciptakan dari Nur Muhammad itu sendiri. Spekulasi-spekulasi al Tustari ini membumbung tinggi mempengaruhi al Hallaj, Ibnu Arabi dan kolega-koleganya. Dari al Tutsari inilah muncul pembicaraan Nur Muhammad dalam karya-karya mistik dan puisi kaum sufi. Apalagi sudah dianggap Nabi sendiri menyatakan dalam sebuah hadits, bahwa ia diciptakan sebelum Adam dan Nur beliau adalah awal kejadian dari segala sesuatu di alam ini. Tentu saja hadits ini merupakan riwayat maudhu atau palsu yang tidak punya otentisitas yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara syar’i maupun historis dan ilmiah
Secara historis-epistemologis, nampak pendekatan irfani yang bersifat emosional-spiritual lebih dominan digunakan oleh para penganut Nur Muhamad meskipun pendekatan bayani juga mereka lakukan mekipun hanya sebagai penunjang. Perbedaan pandangan para sufi dan penganut Nur Muhammad itu menunjukkan bahwa pemikiran mereka adalah bersifat filsafat bukan berdasar dalil naqli. Meskipun sesekali mereka juga menggunakan dalil naqli tetapi yang mereka comot terasa dengan ta’wil yang sangat dipaksakan; pemikiran yang bersifat irfani ditunjang dengan burhani, dicarikan dalil naqli sebagai legitimasi, seakan memberi mereka merk halal pada sesuatu yang haram, yang berikutnya berakibat pada taqdisul afkarid diny (saling mengkafirkan sasama muslim).
Di bagian penutup HS berharap persoalan Nur Muammad ini jangan sampai mengkafirkan sasama muslim, sebab meskipun Nur Muhammad itu diyakini oleh sebagian pemuka agama adalah qadim, tetapi bukankah ia diciptakan yang berarti qadimnya muqayyad, qadim muhdats, qadim zaman bukan qadim zat? Sebab hanya AlLah SWT yang qadim zatNya. Artinya, Nur Muhammad itu hanya sebatas mitos dan bukan logos (nilai-nilai ketuhanan atau teologi), hanya sebatas pemikiran filsafat yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan norma-norma akidah dan amaliah dalam Islam.
Sebagai pembicara kedua, seperti sudah saya duga, HMR terjebak pada pemikiran irfani dalam memandang Nur Muhammad. HMR memahami konsep Nur Muhammad bukan bersifat falsafi, tetapi persoalan agama murni karena bersumber dari al Qur’an dan al Hadits. Bahkan secara blak-blakan HMR mengaku sebagai pegikut dan pengamal ajaran Nur Muhammad (entah seperti apa dan bagaimana bentuk ajaran Nur Muhammad yang dimaksud HMR).
Seminarpun berjalan menjadi tidak menarik, karena fokus pembicaraan jadi “tidak nyambung”. Pembicara pertama dengan pembahasan ilmiah sekaligus syar’iyah, pembicara kedua tampil dengan semangat teologis-amaliah doang. Ibarat peribahasa, lain gatal lain yang digaruk.
Ada beberapa ulasan dan pengakuan HMR yang sempat saya catat tentang Nur Muhammad. Pertama, masalah Nur Muhammad tidak bisa dibicarakan dan diajarkan kepada umum (tidak semua orang Islam boleh mempelajari dan mengajarkannya), melainkan hanya kepada orang-orang tertentu dengan kriteria-kriteria dan tingkatan-tingkatan (maqam) tertentu pula.
Kedua, bahwa jelas ada ayat al Qur’an dan banyak hadits Nabi SAW yang menyatakan tentang adanya dan benarnya Nur Muhammad. Namun ayat dan hadits-hadits tersebut, sebagaimana kitab-kitab tasawuf macam ad Durun Nafis dan yang lainnya, tidak boleh dibaca dan dipelajari oleh orang awam karena akan menjadi sesat. Nur Muhammad tidak bisa dipelajari dan dijelaskan oleh orang awam yang tidak mempunyai cukup ilmu alat, yaitu penguasaan bahasa Arab, ilmu nahwu, syaraf, balagah dan lain-lain. (Sebuah doktrin “purba” yang selalu dan selalu saya dengar pada setiap pengajian bertema tasawuf secara khusus dan tema-tema keagamaan tradisional pada umumnya). Bahkan banyak dari hadits-hadits itu, menurut HMR, yang dalam kitab-kitab yang dicetak terkemudian dihilangkan, karena kalau tidak, bisa menyesatkan umat. (Saya dan beberapa teman peserta seminar sempat saling berbisik sambil bertanya-tanya, apa benar Rasul pernah menyampaikan satu ajaran dalam agama Islam ini yang bila diketahui orang secara luas bisa menyesatkan umat?). Di antaranya HMR mengutif hadits yang menyatakan bahwa Nur Muhammad adalah qadim dan merupakan awal serta sumber kejadian dari segala sesuatu di alam ini.
Teks-teks hadits seperti itu sering disampaikan oleh sejumlah pemuka agama dalam pengajian-pengajian bertema tasawuf. Sementara hadits-hadits itu sendiri tidak pernah dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan. Dan karena hadits-hadits Nur Muhammad tersebut tidak punya otentisitas yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara syar’i maupun secara historis dan ilmiah, maka ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits.
Ketiga, orang Islam yang tidak mempercayai dan tidak mengimani Nur Muhammad adalah kafir (keluar dari ajaran Islam) dan wajib memperbaharui syahadatnya, demikian diungkapkan HMR. Ini berarti HMR menganggap bahwa Nur Muhamad adalah salah satu akidah dan amaliah yang hukumnya wajib dalam Islam. Padahal semua kita tahu bahwa persoalan Nur Muhammad tidak termasuk dalam Rukum Islam dan Rukun Iman.
Naifnya, ketika sejumlah peserta mengajukan berbagai pertanyaan dalam sesi tanya-jawab, termasuk saya, yang nota bene diarahkan kepada HMR, di antaranya pertanyaan tentang otentisitas hadits tentang Nur Muhammad tersebut, baik dari segi matan (matn, teks) maupun dari sanad (tranmissi, silsilah keguruan), dengan alasan hendak mengisi pengajian, HMR ngacir tanpa memberikan jawaban secuilpun atas pertanyaan-pertanyaan para peserta. Meskipun HMR berjanji menyediakan waktu di rumah pribadinya untuk secara panjang lebar membicarakan seputar tema seminar hari itu (maaf, saya jadi mengkhawatirkan kalau sampai terjadi “Tragedi Sirih Jilid Dua”).
Kelakuan HMR yang ngacir dari forum seminar tersebut saya nilai merupakan sebuah sikap yang tidak ilmiah sama sekali di hadapan peserta dari para pengurus dan anggota IKASARI dengan taraf akademisi minimal S1, Ketua DPRD dan para Muspida HSS, serta para mahasiswa calon sarjana seperti mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan. Seminar pun bubar dengan berbagai nada celetukan dan ocehan tak mengenakkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu masih bisa dilanjutkan, misalnya, secara syar’i apakah benar ada hadits yang secara khusus atau ajaran Islam secara umum yang bila diketahui umat Islam secara umum pula bisa menyesatkan mereka? Secara ilmiah, dalam kitab-kitab apa saja hadits-hadits tersebut pernah dimuat dan sejak edisi penerbitan yang ke berapa hadits-hadits tersebut tidak lagi dicantumkan? Berikutnya, apakah HMR memiliki atau setidaknya punya sumber informasi ilmiah yang menyatakan bahwa kitab-kitab yang masih memuat hadits-hadits tersebut masih bisa ditemukan, sehingga kita bisa secara bersama-sama pula melakukan pelacakan dan pengkajian?
Sebenarnya, sungguh, saya tidak terlalu tertarik dengan seminar hari itu. Bukan pada bentuk seminar atau dari pelaksananya, melainkan pada bentuk tema yang dijadikan fokus pembahasan. Karena saya menganggap tema-tema semacam itu kurang menyentuh “kebutuhan pokok” masyarakat (umat) kebanyakan. Saya tetap berhadir lantaran ingin menghidupkan budaya seminar, diskusi dan mudzakarah keagamaan di HSS yang selama ini “impoten” karena sangat jarang sekali diadakan oleh dan yang melibatkan para pemuka agama.
Saya tentu tidak ingin mengatakan bahwa dialog hari itu tidak ada gunanya dan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap upaya membangun jembatan pertemuan antara umat dan pemuka agama. Tetapi tema dialog hari itu nyata berada pada level elite, bukan pada level gras rot atau akar rumput, sehingga perhatian kita harus mulai diarahkan ke sana. Saya berharap tema-tema dialog ke depan selayaknya lebih mengakomodir tema-tema yang menyentuh kaum awam, dan tidak melulu menjadi “kemewahan” bagi elite agama yang terpelajar. Misalnya, mengapa para kiai masih “mengeksploitasi” para santri dengan menjajakan bakul untuk meminta sumbangan guna kelangsungan dan kesejahteraan pondok pesantren, padahal sang kiai sendiri sudah punya mobil “mengkilap”? Atau, kenapa justru para pemuka agama yang mayoritas sudah punya mobil itu yang diberikan pelayanan pengobatan gratis oleh pemerintah daerah setempat, bukannya dari kalangan masyarakat kebanyakan yang pada realitasnya justru lebih memerlukan? Atau tema-tema yang lebih “membumi” dan aktual lainnya.
Walhasil, saya sungguh menyambut baik kegiatan-kegiatan semacam itu. Dan bahkan saya punya beberapa catatan singkat tentang seputar seminar hari itu, wa bil khusus tentang sikap dan pemaparan HMR. Pertama, ke depan, siapapun dan kapanpun, panitia pelaksana yang mengadakan sebuah acara diskusi, mudzakarah, apalagi yang berkaliber seminar, harus menghadirkan pemakalah (bukan pembicara doang) yang berani “waja sampai ka puting”; kada babubulikan lamun kada tuntung acara. Dan bagi seorang narasumber yang bila sudah bersedia menjadi pemakalah dan pembicara harus bersedia pula menyetujui alokasi waktu yang telah ditentukan, yang berarti pula harus mengcancel segala aktivitasnya di tempat lain dengan waktu yang bersamaan, serta mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya dalam “adab-adab” seminar.
Kedua, meskipun kedua pembicara sama-sama punya latar belakang dari tradisi pesantren, namun sangat jelas adanya “give” antara pemikiran akademis-ilmiah dan tradisional-amaliah. Dari arah pemikiran tradisional-amaliah seperti dipertontonkan oleh HMR (sekali lagi, saya kurang begitu tertarik tentang pemaparan kedua narasumber dengan tema Nur Muhammad itu), saya melihat adanya satu genre pemahaman dan pensikapan dalam memposisikan persoalan keagamaan bahkan pemahaman agama (Islam) itu sendiri. HMR saya lihat memandang Islam sebagai agama yang menjadikan ketaatan kepada ritus dan ibadah sebagai tujuan pokoknya. Jujur saya akui kalau saya tidak tertarik kepada agama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat orang lain adalah dengan cara menyuguhkan “kegembiraan di kemudian hari”, tetapi tidak menyuguhkan kegembiraan di dunia dan kehidupan sekarang ini. Agama yang telah merosot hanya menjadi “ibadah” badaniah belaka atau serangkaian hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai (meminjam istilah Ulil) second hand religion atau “agama bekas” yang sudah kehilangan semangat dasarnya.
Ketiga, pemahaman dan pensikapan keagamaan dari kalangan pemuka agama ataupun dari umat semacam itu (lebih menekankan agama pada segi ritualitas), hampir bisa dipastikan mereka itu adalah yang punya background dari tradisi pesantren, khususnya pesantren tradisional (saya tekankan: ‘pesantren tradisional’). Tarohlah seperti kaidah-kaidah ilmiah sebagaimana dalam sebuah seminar belumlah terbudayakan secara baik di kalangan kaum pesantren. Hal ini berakibat tidak hanya pada pensikapan dalam kehidupan keseharian tetapi juga dalam pengamalan sebuah kajian keagamaan. Ini bisa kita maklumi karena memang, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, bahan-bahan kajian yang dikuliahkan di pesantren tradisional sebenarnya sudah banyak yang “basi” bila dihadapkan dengan tuntutan zaman seperti dewasa ini. Dalam pondok pesantren tradisional, umumnya, para santri cuma dijejali dengan muatan kajian “kitab kuning” yang menyuguhkan pikiran-pikiran tempoe doloe. Tragisnya, apa yang telah terserap dari kitab kuning cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah.
Pada hakekatnya, pesantren “cuma” menjadikan santri sebagai manusia “bijak”, yang bergelut dengan fikih masa lalu. Manakala dihadapkan dengan sistem komputerisasi misalnya, yang bisa membantu kita dalam melakukan perhitungan praktis dan word processing; dilibatkan dalam arena diskusi tentang industri pesawat, reaktor nuklir, kegiatan matahari yang bisa mempengaruhi medan magnet bumi yang akhirnya mempengaruhi kualitas penerimaan gelombang radio, mereka hanya bisa gigit jari. Padahal, teknologi canggih itu tak mungkin terlepas dari keseharian hidup kita. Fenomena ini yang sungguh sangat ironis dari pesantren yang tetap memberlakukan pola kurikulum kuno.
Ada ribuan pesantren di negeri ini, belum lagi santrinya, puluhan bahkan mungkin ratusan ribu dalam setiap tahunnya menamatkan pendidikan di pesantren. Tetapi kenapa tidak bisa memperbaiki problem kemerosotan moral dan berbagai persoalan umat di negeri ini? Saya bukan apriori dengan pesantren. Tetapi, cukupkah Islam bisa bangkit hanya dengan memperkokoh agama dari sisi ritualitasnya semata? Sejak akhir abad 14 silam sebagian besar umat Islam yang dipelopori para pemuka agamanya lebih menitikberatkan instrumen pendidikan Islam dari sisi itu, dan justru karena itulah Islam hingga kini belum bangkit dan mampu merubah keadaan umat yang demikian camuh hingga hari ini, walaupun umat telah terpuruk ke dalam lumpur kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang demikian parah dan akut. Belum lagi tentang kemerosotan pengetahuan agama, kelaliman dan kebangkrutan akhlak – dalam arti yang luas – umat bahkan dari para penegak agama itu sendiri.
Bagaimanapun “kemasan” pesantren hingga hari ini, sampai sekarang pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan yang memiliki karakter khusus sebagai totalitas budaya, nilai-nilai, dan cita-cita dalam masyarakat konvensional, meskipun dalam perjalanannya mampu melampaui streotip yang selama ini dialamatkan pada masyarakat pesantren kolot, konservatif, tradisional, sarungan dan lain sebagainya.
Otoritas kiai dalam dinamika pesantren juga masih menjadi tunggal simbolik feodalistik dan legitimasi untuk dianut dan dipatuhi. Yang pada gilirannya melahirkan justifikasi taklid buta dan kejumudan di kalangan umat. Karena secara konvensional pesantren pada awalnya hanya merupakan pusat studi pendidikan agama Islam klasik. Di sisi lain, saya curiga, pesantren justru telah dijadikan sebagai alat untuk meraih struktur kekuasaan tertentu, baik politik, teologi maupun ekonomi.
Berpegang teguh pada logika atau argumen lama bukan hanya tanda kepengecutan, tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Berbuat sesuatu berarti melakukan kemungkinan untuk salah dan kesalahan itu bisa fatal. Tapi bersikap diam juga bukanlah tindakan yang tepat. Sebab, diam bukanlah suatu sikap tetapi memberi legitimasi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Kebenaran mesti dicari di dalam rasionalitas yang ilmiah maupun mistisisme esoterik. Kepekaan rasa harus dididik dan dibimbing oleh akal kritis.
Sudah saatnya daya kritis umat Islam ditingkatkan, termasuk dalam mencermati kitab-kitab karya ulama tempo dulu, yang oleh sebagian umat cenderung dipertahankan mati-matian sebagai satu struktur hukum tak terbantah. Kecintaan terhadap sebuah kitab, doktrin ajaran atau seorang tokoh sering membuat nalar kritis tidak jalan, sementara, fanatisme semakin akut saja.
Selama ini kita seperti telah menegaskan kebenaran sebuah adagium bahwa pesantren adalah wadah paling obyektif untuk kehidupan Islam, meskipun Islam tak pernah hidup obyektif dalam pesantren! Billahi fi sabilil haq! ¶

Risalah Istiqamah, edisi Dzulqaidah 1428 H – Nopember 2007 M,
No.10/Th. Ke-I
(Judul awal: “Nur Muhammad Antara Mitos dan Logos”)

Tuesday, December 23, 2008

Menakar Makna Religius dalam Visi dan Misi Kabupaten HSS

Pemaknaan yang dangkal terhadap religiusitas akan mewujudkan penghayatan keagamaan yang dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka orang menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah, tetapi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bolduser atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat.

SALAH satu visi dan misi bupati dan wakil bupati Hulu Sungai Selatan (HSS) saat ini, DR. H. M. Safi’i, M.Si dan H. Ardiansyah S.Hut adalah, mewujudkan HSS menjadi kabupaten yang religius. Dan untuk itu, menurut anggota DPRD Kab. HSS, dana anggaran sebesar dua belas (12) milyar sudah diketok dan siap digelontorkan untuk menyokong tujuan tersebut.
Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan dan dikaji ulang terkait dengan bentuk realisasi dan pemahaman atas makna religius itu. Mengapa demikian? Dalam konteks mewujudkan HSS yang religius itu, kedua orang pejabat itu (dan para pendukungnya) tampaknya masih terkungkung pada pandangan dasar umum yang menangkap makna religius sebatas suasana atau tingkah laku yang mengusung dogma, lambang-lambang dan teks-teks agama, khususnya Islam, namun dalam lingkup yang sangat terbatas bahkan sempit. Karenanya wajar bila banyak masyarakat HSS jadi tersenyum-senyum ketika sebuah dinas mengusung slogan “religius” dalam kalimat berikut: “Mewujudkan Kabupaten HSS sebagai Pusat Bibit Hewan Ternak yang Unggul dan Religius”. Religius di sini seolah mengesankan sebuah pemaknaan kalau binatang ternak dimaksud mengenakan kopiah haji atau jilbab dan bahkan gamis?
Pemaknaan seperti itu pulalah barangkali yang membuat lomba perahu naga berhias di Nagara tidak mendapat simpati; pagelaran tetaer tidak mendapat “aplaus” (meski mengusung tema religius), dan bahkan mampu mengeliminasi pagelaran wayang kulit yang merupakan hiburan “wajib” masyarakat Kandangan pada setiap malam hari jadi kabupaten HSS setiap tahunnya menjadi suguhan orkes gambus. Argumentasinya sama, perahu naga, aktor teater dan wayang kulit tidak pakai jilbab, kopiah haji dan gamis! Meski pun pada realitasnya orkes gambus yang ditanggap itu justru menyuguhkan tarian perut ala Timur Tengah yang cukup erotis.
Konsepsi dasar umum makna religius yang sempit itu jelas tidak sekadar mengundang senyum, tetapi juga mendapatkan penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks agama sendiri. Dalam konteks agama-agama formal berkaitan dengan religius, makna itu tidak lagi sekadar dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme-dogmatis atau idealis-dogmatis tidak lagi begitu mewarnai kontruksi dan penyebutan istilah religius itu.
Posisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas berbeda dengan sistem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanisfestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.
Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi, tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya hubungan dengan Tuhan (hablum minAlLah), tetapi juga fungsi sosial, hubungan dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, tujuan pembangunan HSS berbasis religius yang terkonstruksi dalam visi dan misi bupati dan wakilnya itu sejatinya tidak hanya mengacu pada dogma yang bermain dalam tataran hukum positivisme atau syariah saja. Di sini, posisi agama tidak lagi menjadi beban dalam upaya mengejawantahkan makna religius baik dalam wilayah hablum minAlLah maupun dalam posisi hablum minan nas.
Kondisi ini akan berlaku jika pemahaman keagamaan bupati dan wakil bupati HSS (dan para “pembisiknya”) tidak terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada makna religius harus segera ditafsir-ulangkan. Sejatinyalah pembacaan teks tentang religius dan realitas keagamaan tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari makna itu sendiri.
Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam asasi yang rahmanan lil ‘alamin, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistemewaan pada pihak-pihak tertentu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur dinding konsep status qou.
Mungkin yang perlu dikebangkan oleh bupati dan wakilnya (dan semua perangkatnya) dalam visi misi HSS itu, adalah bahwa proses dan realisasi pembangunan HSS yang religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia mesti berpihak untuk kepentingan bersama dan merupakan proses dari kepentingan bersama juga. Bisa saja menggunakan lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja tidak disekat-sekat dalam pemahaman keagamaan yang sempit, dalam arti mesti lebih berkutat dan berpihak pada sisi kemanuisaannya.
Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan, religiusitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubugan dengan Tuha atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada indiviudu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian. Hal ini mengacu pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas From dalam Relegion dan Psycoanalyisis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra.
Nashr Hamed Abu-Zied menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena pertimbangan teks yang beku tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda (Nashr Hamed Abu-Zied dalam bukunya Naqd Al-Khitab Al-Diniy).
Masih perlu kita lihat apakah di kesempatan-kesempatan selanjutnya visi dan misi bupati HSS dan waklilnya itu mampu bertahan dan bisa menyajikan, lebih-lebih mewujudkan, muatan tentang bentuk-bentuk atau aspek-aspek religius dari tradisi-tradisi lain di luar pemahaman teks, dogma dan lambang-lambang Islam dalam kaca mata literal. Bukan hanya dari lingkungan spiritulitas dan ritualitas Islam saja yang menjadi takaran religius. Membatasi religiusitas apalagi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan religiusitas dan spiritualitas itu sendiri.
Spiritualitas dan ritualisme keliru kalau berhenti hanya pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.
Orientasi religius yang diusung dalam visi dan misi bupati dan wakil Bupati HSS saat ini tidak mungkin cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual (shalat hajat berjamaah, tahajjud bersama), upacara (maulid, pengajian rutin, pembacaan manakib), peraturan (perda khatam Qur’an), ritus, hukum, lambang-lambang (pemasangan lampu hias bertuliskan asma’ul khusna, tarbang, gambus, jilbab, gamis, surban), segi-segi sosiologis maupun segi politis dari teks-teks Islam (saja) yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam.
Dengan kalimat-kalimat tersebut kita bisa mengatakan bahwa dalam religiusitas dan ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Kita harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman, antara ritus dan ritualisme, antara religi dan religius. Pemaknaan yang dangkal terhadap religiusitas, seperti kata dosen FKIP Unlam Jarkasi, akan mewujudkan penghayatan keagamaan yang dikembangkan dan dijalankan dengan prinsip amalan dengan fiqih oriented. Semakin banyak amalan dan semakin sering mendekati hal-hal yang berbau fiqih dan tulisan-tulisan kearaban, maka orang menganggap bahwa itu adalah bagian dari manifestasi ibadah, tetapi praktik-praktik humanisme lain terabaikan. Dalam pemahaman “budaya” relegiusitas yang demikian, ortodoksi agama selalu dipakai otoritas agama, bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bolduser atas perilaku budaya yang tidak sepaham. Akibatnya relegiusitas menjadi tirani atas realitas pluralistik masyarakat
Kita akan lihat, dan tentu saja berharap, di hari-hari mendatang apakah visi dan misi kedua pejabat yang (katanya) didukung para ulama dan habib untuk mewujudkan HSS menjadi sebuah kabupaten yang religius itu bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang lebih terkesan profan dan duniawi, tidak sekadar terkungkung dalam jebakan ritus dan ritualisme.
Dan merupakan sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan oleh kedua pejabat bersangkutan terkait dengan mutu atau kualitas dari realisasi religius itu. Sebab, bagaimanapun visi dan misi itu bermain dalam wilayah masyarakat luas. Dari sini, ada semacam azam agar aspek religiusitas yang merambah segala relung-relung terdalam dari masyarakat HSS dengan segala absurditasnya juga mendapat tempat yang seimbang dalam tujuan religius itu, tanpa ada pemaksaan pada aspek-aspek dogmatik dan terjebak pada khotbah yang berbusa-busa.
Sambil menantikan langkah-langkah kongkrit dan nyata dari bupati dan wakil bupati HSS untuk mewujudkan HSS menjadi kabupaten yang religius selanjutnya – yang mudah-mudahan tidak sekadar jargon dan eforia politik yang sarat dengan beribu janji, dengan tangan terkepal ke udara kita mengucapkan: Qou Vadis, HSS yang Religius! 

Menyelesaikan Misi Dakwah Sunan Kalijaga

Menjelang penerbitan buku ini, Aliman memberikan beberapa naskahnya untuk turut saya baca. Saat itu awal Oktober 2008. Tentu, dengan senang hati “oleh-oleh” itu saya terima. Oleh-oleh, karena naskah-naskah yang masih berbentuk mirip makalah –koleksi printed out naskah-naskahnya yang sebagian juga sudah pernah dipublikasikan— saat diberikan kepada saya itu, saya terima saat pulang kampung Lebaran Idul Fitri lalu. Oleh-oleh ini sebenarnya juga cukup spesial buat saya karena dengan membaca naskahnaskah tersebut, rasanya seolah menapak-tilasi jejak proses pemahaman keberagamaan saya saat masih tinggal di Kandangan dulu –setidaknya hingga 1993.
Dari tradisi keluarga yang kental dengan penerapan Islam ala Nahdliyyin (NU) atau yang juga disebut dengan istilah ‘Kaum Tuha’, lalu oleh Kakak saya, Muhammad Radi, saya juga diperkenalkan pada forum diskusi di masjid tetangga di Kandangan, di Masjid Istiqamah, yang merupakan masjid Muhammadiyah itu. Maksud Kakak saya ini, agar tempurung wawasan saya terbuka, gaul dalam tradisi keagamaan, mencoba terus belajar membanding-bandingkan argumentasi agama yang lebih kuat (arjah), dalil-dalil dari setiap praktek keagamaan kita saban hari. Apalagi, antara NU-Muhammadiyah sesungguhnya masih dalam satu rumpun Islam Sunni, yang tidak punya perbedaan yang berarti kecuali dalam praktek syariat (fiqh)-nya saja. Itu pun hanya yang bersifat furu’, cabang.
Saat itu –jangan-jangan juga hingga kini, yang namanya talfiq, mencampuradukkan madzhab dan mengambil yang paling kuat dan paling mashlahat masih dianggap barang tabu. Artinya, bila mengikuti madzhab Syafii, ya madzhab itulah yang harus dipegangi seterusnya, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang dianggap darurat. Tapi Kak Radi –demikian biasa saya memanggilnya-- sudah mulai membuka wawasan saya dengan ide talfiq ini. Prinsipnya, agama itu mudah (yusr), jangan dipersulit. Lagian juga tak ada perintah Rasulullah untuk mengikuti madzhab Syafii atau Maliki saja, misalnya.
Karena membawa rekaman memori khusus buat saya, naskah ini berusaha saya baca utuh, tidak sekadarnya. Karena saat itu saya juga tengah sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Amerika Serikat untuk ‘liputan khusus 19 hari’ pemilihan presiden (pilpres) Negeri Abang Sam itu –yang akhirnya dimenangi Barack Hussein Obama, liburan pulang kampung saya yang rencananya dua minggu akhirnya “didiskon” menjadi satu minggu. Itu pun saya bagi antara Kandangan --kampung kelahiran yang buat saya punya magnet khusus meski sudah ditinggalkan 12 tahun!-- dan Banjarbaru serta Martapura (kampung kedua istri saya, Marhamah Ghazali).
Meski kondisi yang demikian, saya terus berusaha menyempatkan menikmati tulisan-tulisan Aliman ini tadi, dimanapun, dalam setiap kesempatan. Mulai saat di pesawat Banjarmasin-Jakarta, bahkan, hingga akhirnya dalam penerbangan panjang Jakarta-Boston pada 21 Oktober lalu. Setibanya di Boston, saya hanya bisa sebentar-sebentar membolak-balik naskah Aliman, karena kewalahaan dengan padatnya jadwal liputan selama di ibukota negara bagian Massachusetts ini. Juga saat di Athens (negara bagian Ohio). Barulah dalam penerbangan saya dari Chicago menuju San Fransisco, saya akhirnya leluasa menikmati suguhan “asli Kandangan” ini. Bahkan, di San Fransisco, saya lebih punya banyak waktu. Unik rasanya, membaca karya anak muda Kandangan yang kritis dan punya kepekaan sosial khusus di kota terbesar keempat dari negara bagian California ini. Saat itu, pikiran saya melayang jauh ribuan kilometer ke banua.
Lepas dari itu, saya berkesimpulan rasanya masalahnya masih berkutat pada ‘yang itu-itu juga’. Setelah 12 tahun berlalu, mulai urusan qunut, ushalli apa harus di-lafadzkan atau tidak, soal tarbang, basmalah yang harus di-jahar-kan atau tidak oleh imam pada Shubuh, Maghrib atau Isya, dan sejenisnya. Sayang sekali rasanya, energi kita habis hanya berkutat pada masalah-masalah seperti ini.
Yang jelas, satu hal yang ingin saya sampaikan adalah, soal kritisisme Aliman. Ini adalah powerful skill yang harus terus diasah sensitifitasnya terhadap berbagai fenomena sosio-relijus yang ada di masyarakat. Bahwa setiap orang punya potensi ini, mungkin ya. Tapi tak semua orang kadang mau “capek” alias uyuh mengungkapkannya, menggunakan dan mengekspresikannya pada publik. Termasuk dalam bentuk tulisan seperti ini. Padahal, al-Qur’an jelas-jelas menantang kita terus menggunakan otak ini, berpikir. Karena kemampuan berpikir adalah salah satu anugerah dahsyat dari Allah.
Salah satu tulisan yang menjadi perhatian khusus saya adalah ‘Doktrin Asabiyah dan Kemandegan Dialog Agama (Di balik Penyerangan Massa di Sirih)’. Tulisan ini mengingatkan saya pada kenangan pahit yang, secara pribadi dialami Kakak saya sendiri, oleh massa, yang ironisnya lagi, ummat, tapi terkurung pikiran picik, sempit, dangkal, tak lebih dari seukuran tempurung kelapa di depan rumah mereka.
Kejadian pada 8 Juni 2000 itu, meski saya tak ada di Kandangan –saat itu saya sudah tinggal di Jakarta—masih membekas di ingatan saya. Bahwa Kak Radi diserang, mobil yang mereka tumpangi –yang sudah butut itu—juga nyaris dibakar massa, dikejar-kejar, hingga harus lari ke luar daerah. Kesaksian sepupu saya di Banjarmasin, bersama dua anaknya yang saat itu masih kecil-kecil, Kak Radi sekeluarga hanya naik motor dari Kandangan ke Banjarmasin. Di rumah sepupu kami di Banjarmasin, Kak Radi sekeluarga menginap beberapa malam, lalu meneruskan perjalanan ke Kalimantan Tengah, naik motor (!). Untuk kondisi jalan yang saat itu masih belum mulus, menggunakan satu motor dinaiki empat orang, bersama barang-barang mirip pengungsi –karena tak tahu kapan bisa balik ke Kandangan, dengan jantung yang mungkin deg-degan, sulit buat saya bisa membayangkan betapa sulitnya keadaan saat itu.
Pertanyaannya, kenapa ada saudara seiman, satu rumpun yang masih sama-sama Sunni pula, tega menyakiti dan mengusir saudaranya sendiri hanya gara-gara urusan yang belum jelas, tanpa ada klarifikasi (tabayyun), gampang menelan fitnah tanpa lebih dulu “dikunyah”? Inti persoalan saat itu sebenarnya tak lebih dari soal pro-kontra penggunaan tarbang (kendang rebana) saat maulid (!). Kak Radi dan sejumlah rekannya saat itu tak lebih hanya berupaya menengahi kedua pertentangan ini dan mendatangi pihak yang pro tarbang untuk berdialog. Celakanya, isu yang beredar, sang guru --yang ‘pro tarbang’ ini-- akan diserang. Sehingga rombongan Kak Radi dikeroyok massa. Separah inikah dangkalnya wawasan kita? Ringan sekali tangan kita menyakiti sesama Muslim hanya untuk persoalan tarbang. Yang lebih menyakitkan lagi, sang Tuan Guru yang bersangkutan saat itu malah tak terlihat sama sekali kearifannya, minimal misalnya berusaha menenangkan massa, tapi malah membiarkan pengeroyokan. Saya tidak tahu, apa tarbang menjadi ukuran ketaqwaan seseorang di hadapan Allah sehingga harus sedemikian dibelanya seperti membela al-Qur’an, misalnya. Seolah tarbang adalah benda suci selevel al-Qur’an.
Tulisan di atas, hanya satu contoh yang membuat saya punya kesan khusus pada koleksi tulisan Aliman ini. Dan ketika menemukan sejumlah refleksi lainnya terhadap kasus yang berulang-ulang dari yang dikemukan Aliman, yang dulu sebenarnya sudah pernah saya alami, agaknya cukup menjelaskan, memang ada persoalan disini.
Soal ramainya masyarakat menggelar ‘aksi turun ke jalan’ demi membuka saluran sumbangan pembangunan atau renovasi masjid, adalah contoh lainnya. Saya tak mempermasalahkan kalau itu untuk membangun masjid. Tapi kalau untuk urusan merenovasi, terlebih dari masjid yang sesungguhnya masih layak digunakan, namun dirombak untuk dipermegah hingga menelan dana miliaran? Kok membangun rumah Allah sering kita banding-bandingkan dengan ukuran kelayakan saat kita membangun rumah kita sendiri, yang seringkali untuk urusan yang kedua ini didasari nafsu keserakahan. Maaf. Manusia cenderung tak pernah puas dengan rumah yang dimilikinya. Setelah renovasi, poles disana, tambah disini, ganti cat, dan seterusnya. Apa seperti itu kita juga kemudian memperlakukan rumah Allah?
Di beberapa tempat tertentu, kadang saya juga merasa heran, kenapa selalu saja ada keinginan di masyarakat kita untuk terus dan terus mempermegah masjid. Betul memang, masjid tak boleh kumuh. Meski di sisi lain, juga tak ada perintah dalam Islam, masjid haruslah megah dan mewah, sehingga kemudian dianggap sebegai sebuah sesuatu yang bajik di sisi Allah dengan mempermegah masjid. Ketika masjid itu memaksa jamaahnya tertengadah mengagumi kemegahan bangunannya. Tak ada dalil agama, bahwa nilai amal seseorang dinilai dari megahnya masjid yang dia kunjungi. Menyalurkan harta untuk ‘mempermegah’ (!) masjid, saya tidak yakin termasuk menyalurkan harta di jalan Allah. Terlebih bila kita belum yakin, masih banyak anak-anak yang tak mampu melanjutkan sekolahnya karena keterbatasan biaya. Atau di saat ada kaum Mulimin di belahan dunia yang lain yang terlunta-lunta dalam konflik dan perlu biaya untuk obat-obatan mereka. Mungkin di Kashmir sana, Filipina Selatan atau Thailand Selatan, dan seterusnya
Apa kita terobsesi pada megahnya sejumlah masjid di berbagai belahan dunia lainnya semisal di Timur Tengah itu? Di Irak, Iran, atau, hingga yang berdiri di Turki atau Spanyol yang terkenal dengan kemegahannya hingga membuat siapapun yang melihatnya kagum berdecak?
Saya teringat pada sebuah drama di satu jaringan televisi –judulnya lupa. Di salah satu adegan, seorang kyai masih bertahan di dalamnya, duduk berdzikir menghadap Kiblat, tak mau keluar masjid. Padahal saat itu ummat di kampung tempat dia tinggal memaksanya keluar sudha berteriak-teriak memaksanya keluar, karena masjid itu akan segera direnovasi. “Sejahterakan dahulu ummat disini, baru masjid ini.” Demikian kira-kira jawaban sang kyai saat itu.
Seorang rekan Jamaah Tabligh di Tangerang, alumni sebuah kampus di Jepang, juga menggambarkan sederhananya masjid yang pernah dia singgahi –kalau tidak salah di Bangladesh-- yang hanya berdindingkan seng, namun ramai (ta’mir)-nya luar biasa. “Jamaahnya membludak, siang dan malam,” tuturnya, saat ngobrol di sela-sela i’tikaf.
Sudah sejahterakah masyarakat kita? Katakan ‘ya’ di kecamatan sekitar masjid itu, tapi bagaimana dengan masyarakat di kecamatan tetangga kita? Apa ummat Muslim di kecamatan tetangga kita lalu bukan tanggungjawab kita? Bukankah ‘antara Muslim harus saling mendukung?’ Ka al-bunyaani yasyuddu ba’dluhuu ba’dlaa. Seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan, kata Rasulullah. Entah di kampung sebelah, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara tetangga sana, apa bukan tanggung jawab kita, Muslim di Indonesia sini? Apa karena di luar negeri, meski di abad yang dengan mudahnya mentransfer uang seperti sekarang, tapi kita lalu bisa cuek? Siapa yang menentukan batas-batas negara ini? Penguasa? Apakah penguasa itu penguasa-penguasa Muslim, yang berhak menentukan, Muslim ini yang boleh dibantu, tapi Muslim yang itu tidak perlu? Bukankah Islam tak mengenal batas-batas negara? Karena bukankah Islam untuk seluruh alam, bahkan jin pun turut pula merasakan dampak positif ajaran Islam ini, tak hanya manusia?
Alangkah latahnya kita, gigiran, ketika melihat masjid di Kabupaten A dibangun dengan kubah megah ala Timur Tengah, lalu masjid kita yang masih berkubahkan ‘sirap’ lalu diruntuh meski misalnya masih layak pakai. Saya tidak tahu, andai Rasulullah hidup saat ini dan menyaksikan kita sibuk merombak, merenovasi demi mempermegah masjid, sementara masih tak sedikit ummat yang bisa makan dengan standar ‘empat sehat lima sempurna’ –maksud saya, minum susu yang di Barat sana sudah seperti minum air putih setiap hari, tapi di kita masih sulit karena memang tak murah. Padahal susu adalah unsur penting yang wajib dikonsumsi— akan bagaimana reaksi beliau? Di saat masih tak sedikit anak-anak kita yang sulit melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang paling maksimal –minimal S1, tapi kalau bisa dibantu dengan dana ummat hingga S-3, kenapa tidak?-- kita seringkali malah sibuk menghimpun dana demi mempermegah masjid ini tadi. Atau kadang juga terus menambah jumlah, tanpa merasa terlalu perlu metakmirkannya setelah berdiri.
Persoalan lain yang juga disorot Aliman yang juga menarik buat saya adalah soal konflik di masyarakat, yang sayangnya, sesungguhnya tak lebih dari hal-hal yang furu’iyyah (cabang) itu tadi, tapi malah seakan dianggap menjadi sesuatu yang fundamen, akidah, ushuliyyah. Mengapa konflik internal yang tidak terlalu penting ini terus saja terjadi?
Mengapa, ketika ada masyarakat kita yang mengadopsi ajaran-ajaran Wahabi misalnya, lalu seakan dianggap sesat? Shalat mereka seakan dianggap tidak sah atau minimal dianggap tidak afdhal hanya karena mereka tidak pakai qunut, tanpa melafazkan ushalli, tanpa menyaringkan (men-jahar-kan) ucapan basmalah sebelum membaca al-Fatihah? Aneh sekali rasanya, ketika ada ummat Muslim yang berusaha berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits –yang tidak dhaif— tapi tak jarang malah dipandang ’sesat’. Ketika rujukan kitab-kitab kuning dipandang jauh lebih tinggi dari hadits-hadits Rasulullah yang derajatnya kuat, kok bisa begitu? Ketika selemah apapun koleksi Hadits, namun karena dimuat dalam sebuah kitab berbahasa Arab –karena dianggap kitab kuning, seolah derajatnya menjadi lebih tinggi dari kumpulan hadits shahih, namun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Disinilah kita harus sama-sama mengoreksi diri kita sendiri, masing-masing, siapapun kita. Apa koleksi hadits shahih yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu, lalu disebut ‘kitab putih’, kemudian derajatnya jatuh dibanding --tanpa mengurangi rasa hormat-- kitab-kitab semisal al-Baajuuri ibn al-Qaasim, I’aanah al-Thaalibiin?
Ekspresi keagamaan yang juga ingin saya soroti adalah soal pakaian yang seolah menjadi simbol keshalehan, misalnya dengan mengenakan ‘baju koko’ (baju Muslim) atau yang –di pulau Jawa-- disebut ‘baju takwa’ itu? Lalu harus pakai sarung dan peci? Hingga mereka yang tanpa peci dan tanpa sarung, tapi pakai celana panjang, apalagi blue jeans dan kaos oblong, seakan dianggap kurang afdhal shalatnya? Saya belum menemukan rujukan, dalil, argumentasi, bahwa Rasulullah dulu berpakain demikian; baju koko, sarung dan peci. Setahu saya, prinsip pakaian dalam shalat adalah menutup aurat. Soal model, tak ada acuan memang. Antum a’lamu bi umuuri dunyaa kum. Kalian lebih tahun tentang urusan dunia kalian, kata Rasulullah. Menutup aurat, urusan ritual, akhirat. Tapi model, urusan dunia.
Bahwa kita ingin mendekatkan sedekat-dekatnya dengan model pakaian Rasulullah yang mengacu pada tradisi zaman dahulu yang mengenakan gamis dan surban namun dengan ‘tanpa mewajibkannya’, ini tentu lain soal. Dan itu sah-sah saja. Tapi kenapa lalu di antara kita ada yang “memaksakannya” dan memandang kostum shalat demikian adalah lebih afdhal ketimbang hanya berbaju kaos, celana panjang dan tanpa peci? Sehingga yang kemudian dipersilakan menjadi imam, misalnya, adalah yang bersarung dulu, bukan yang pakai celana panjang, meski bacaan tajwid ayat yang berpeci, sarung dan baju koko ini tadi berantakan?
Alangkah kasihannya para pejuang intifadah (perlawanan bersenjatakan batu dan ketapel melawan tank-tank Israel dan banyak dibela kaum Muslimin sedunia) di Palestina itu, karena mereka tidak bersarung, baju koko dan peci. Karena mereka justru bertopi, celana panjang dan kaos oblong. Siapa yang menentukan, inilah seolah yang menjadi ukuran taqwa seseorang? Memang ada hadits-hadits yang menyatakan kelebihan mengenakan sorban misalnya. Tapi sejauh yang bisa ditelusuri, umumnya hadits-hadits itu ‘lemah’ (dhaif) –mohon dikoreksi bila ini keliru. Misalnya ini bisa dilihat dalam kitab --kuning!-- koleksi hadits Tanqiih al-Qaul. Meski memang sah-sah saja kita beramal dengan hadits-hadits dhaif (fadhail a’maal)), namun bukan berarti kemudian yang tidak mengamalkannya dicap rendah kualitas ketaqwaan atau kesalehannya. Bukankah demikian? Boleh jadi seseorang meninggalkan hadits-hadits dhaif itu justru untuk kehati-hatian (li al-ihthiyaath) dalam beribadah, sebagaimana alasan yang sama yang juga digunakan oleh mereka yang mengamalkannya.
Yang saya juga masih tak kunjung mengerti hingga kini, mengapa masih tak sedikit masyarakat kita yang selalu saja menganggap selesai sesuatu yang sesungguhnya adalah sebuah proses, yang karenanya memang belum selesai? Di pulau Jawa, ada istilah, untuk menyebar ajaran-ajaran Islam haruslah secara kultural, merangkul, tidak frontal, seperti yang dulu dilakukan Sunan Kalijaga, sehingga ummat tidak lari menjauh. Artinya, terhadap nilai-nilai tertentu yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tidak harus serta merta dilarang. Saya sudah bosan dengan contoh-contoh klasik ini, tapi inilah contoh sebuah proses yang mestinya sudah harus selesai tadi, tapi sejak ratusan tahun silam di saat Islam memang merupakan “barang baru” di kawasan yang bernama Nusantara saat itu hingga hari ini proses tersebut ternyata masih juga tak kunjung selesai. Tahlilan di hari pertama peringatan seseorang yang baru meninggal dunia hingga hari ketiga, yang berlanjut hingga tujuh hari, 40 hari, peringatan 100 hari hingga peringatan tahunan (haul) hanyalah salah satu contohnya, bagaimana sebuah kultur lokal masyarakat Hindu sebelum datangnya Islam Nusantara yang kemudian “diislamkan”. Yakni dengan tetap melakukannya, namun mengganti doa-doanya dengan doa-doa Islam, meski pun tradisi itu terbalik 180 derajat dari ajaran Islam, dimana yang mestinya yang menjamu adalah para tetangga yang meninggal dunia dan yang dijamu adalah keluarga yang meninggal dunia dan tak ada hitungan hari-harinya seperti yang sekarang berlaku di masyarakat. Tapi tradisi ini kok tetap diteruskan, meski kita tahu ini bertentangan dengan ajaran Rasulullah? Lalu apa gunanya kita memuja-muji Rasulullah dengan shalawat, bahkan digelar melalui maulid-maulid --ini juga bukan ajaran beliau-- yang menelan biaya hingga jutaan rupiah, tapi ajaran beliau malah tak dilaksanakan?
Atau misal lain adalah, motivasi saat melakukan ziarah (mengunjungi) kubur. Setahu saya, seperti yang kita bisa baca pada hadits, Rasulullah mengajarkan berziarah itu untuk tujuan-tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan si mayit di kubur tersebut. Bukannya berdesak-desakan di kuburan Kyai A untuk ‘minta berkah’ atau dengan niat yang sejenisnya. Karena makam, kuburan, kubur siapapun aritnya bisa dikunjungi bila niatnya demikian. Tak mesti ke makam kyai tertentu. Karena bila setelah meninggal, siapapun orangnya –kecuali Rasulullah, semua amalnya akan terputus. Anehnya, isi hadist ini masih saja tak merata disampaikan oleh para Tuan Guru kita. Saya tidak tahu, ajaran apa lagi selain hadits –setelah al-Qur’an— yang dipegang sehingga seakan mengalahkan kedua sumber itu tadi.
Haruskah ada dialog antara Kaum Tuha dengan Kaum Muda? Perlu, tentu, untuk saling membuka wawasan masing-masing dan --yang terpenting-- penyadaran bahwa tak perlu ada konflik sama sekali dalam hal ini. Karena rasanya ini juga berlebihan, karena kedua kelompok ini sesungguhnya masih berada dalam rumpun yang sama. Katakanlah Nahdliyin (NU) dan Muhammadiyah selama ini, naif dan aneh sekali rasanya bila keduanya harus saling bermusuhan. Karena keduanya berbeda tak lebih dari hanya dalam persoalan-persoalan furu’iyah, cabang.
Keterlaluan sekali rasanya, gara-gara tidak pakai qunut, lalu orangnya dicap sesat atau shalatnya tidak sah. Padahal sesungguhnya orang yang mencap itulah yang sesungguhnya berpandangan sempit.
Terakhir, dari catatan saya ini, soal sikap para politisi kita yang sering “mengobral” ayat itu, terlebih pada musim-musim kampanye, saya sangat memahami kritikan tajam yang diungkap Aliman. Jurus demikian ini memang sudah jadi andalan partai politik (parpol) apapun. Sejauh konstituen yang mereka temui dianggap punya basis keislaman yang kuat, jurus-jurus ayat ini memang bakal jadi andalan.
Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus cerdas memilah. Karena dari sejumlah parpol, memang ada yang menjadikan Islam sebagai landasan partainya. Saya pikir ini sebuah konsekuensi logis pilihan politik di samping juga tentu pilihan ideologi setiap partai. Meski ada juga yang tanpa memiliki basis Islam, namun demi merangkul massa ummat Muslim, lalu kemudian latah mengobral ayat di depan ummat. Ini tentu masalah, karena jelas-jelas oportunis. Karena secara sederhana, kita tahu, setidaknya ada dua rel dalam ekspresi politik. Pertama, agamis, yakni kelompok parpol yang menjadikan agama sebagai landasan, ruh dan sistemnya. Berbagai argumentasi yang melandasi jalannya partai mengacu pada al-Qur’an dan Hadits, bagi parpol Islam maksud saya disini.
Kedua, sekuler, yang memisahkan jauh-jauh antara agama dan urusan dunia politik dan kehidupan bernegara. Ada yang menilai agama tidak penting, karena tidak bicara kehidupan bernegara. Ada juga yang beralasan karena agama urusan yang suci (sakral), sementara politik itu kotor (profan), sehingga tidak boleh dicampura-dukkan, minimal demi memelihara kesucian agama.
Dari kedua warna ini, kita sendiri akan bisa memilah, mana yang menjadikan Islam sebagai pilihan perjuangan, dan mana yang menjadikan Islam tak lebih dari sekadar tunggangan kepentingan demi mencapai tujuan sempit, kepentingan kelompok, golongan dan parpolnya, yang berujung pada perjuangan isi perut dan memperkaya diri sendiri. Wa Allaah A’lam bi al-Shawaab.


San Fransisco-Jakarta, 9 November-18 Desember 2008

Muhammad Rusmadi

Sunday, December 7, 2008

Sastra Religius, Ahlan wa Sahlan

Sastra religius boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis karya sastra yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam karya sastra yang ‘berkeyakinan lain’, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun genre sastra ini hidup dalam jiwa dan perilaku pengarang dan penikmatnya.”


KEHADIRAN sastra religius dalam perkembangan kesusastraan Indonesia sebenarnya bukan fenomena yang baru lagi. Sekian tahun sebelum negeri ini merdeka, gejala semacam itu sudah mencuat. Haji Abdul Malik Karim Amrullah boleh dibilang sebagai assabiqunal awwalun yang menjadi pelopor dalam penulisan sastra religius. Karya-karya sastra religiusnya yang kemudian terkenal antara lain: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Tidak semua sastrawan beragama mencerminkan jiwa keagamaan mereka dalam karyanya. Ada sementara sastrawan yang diketahui beragama (pasip), tulisan-tulisannya tidak memantulkan spirit keagamaan, malahan terkadang “mempermainkan” Tuhan dan agama dengan tak patut. Memang, suatu karya sastra yang berbicara tentang Tuhan dan agama bila tidak bertolak dari hati nurani dan imajinasi yang dipadukan dengan iman, dan sekadar perminan kata-kata, maka pada gilirannya akan melahirkan suatu karya sastra yang sinis bahkan apatis terhadap Tuhan dan agama. Jadi tidak dengan sendirinya sastrawan yang beragama membiaskan karangan dan tulisan yang religius, kecuali selain agama (dalam makna luas). Ia berusaha menanamkan nilai-nilai dan moral keagamaan di dalam setiap karyanya. Dengan demikian karya tersebut ada hubungannya dengan tanggung jawab hidupnya sebagai sastrawan dan hamba Tuhan.
Sebab, sebagaimana dikatakan pujangga Islam asal Pakistan Dr. Muhammad Iqbal, bahwa agama (baca: Islam) bukan soal sebagian-sebagian, melainkan justru menacakup seluruhs segi-segi kehidupan. Sebagai sastrawan muslim yang religius umpamanya, maka ia merasa bahwa tugas menulis/mengarang mesti dikaitkan dengan misi kehidupan insan beriman, yaitu ibadah. Hal ini dikarikaturiskan AlLah dalam A-Qur’an surah az-Zuriyat ayat 56: “Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun; dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (dengan penuh ketaataan) kepadaKu.”
Maka ketika kita membaca cerpen “Rubuhnya Surau Kami”-nya AA Navis, “Ketika Isteriku Mengaji”-nya Asrul Rumbaya, “Pengakuan”-nya Eka Budianta, “Makam”-nya Zainuddin Tamir Koto, “Perjalanan Zikir”-nya Benni Setia, “Ziarah”-nya Sandi Firly, “Auzan”-nya Muhammad Radi, “Nyanyi Langgar Sunyi”-nya Muhammad Fuad Rahman, “Hitam Putih Kotaku”-nya Rismiyana, (sekadar menyebut sejumlah nama), pun saat kita membaca puisi “Lautan Jilbab”-nya Emha Ainun Nadjib, “Doa dari Seseorang yang Sangat Sulit Sekali untuk Berdoa”-nya Ajamudin Tifani, “Perarakan Senja”-nya Bachtar Suryani, “Ritus Puisi”-nya Burhanuddin Soebeli, “Membayangkan Baitullah”-nya Eza Thabri Husano (kembali, sekadar menyebut sejumlah nama), kita akan dapat merasakan betapa sikap religiusitas para cerpenis dan penyair tersebut terhadap agama yang mereka anut.

Perlu Tafsir Ulang

Perkembangan sastra religius yang marak akhir-akhir ini memang menggembirakan. Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan pemahaman pada masalah religiusitasnya. Mengapa demikian? Dalam konteks sastra religius, pandangan umum menangkap bahwa yang dinamakan sastra religius adalah sastra atau karya sastra yang mengusung lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen dan lainnya. Dengan begitu, penyebutan beberapa metafor dalam karya itu cukup mengacu pada agama formal. Hanya saja, konsepsi umum itu mendapatkan penyangkalan yang cukup signifikan dari beberapa teks sastra yang memiliki kandungan religiusitas tinggi.
Di sisi lain yang bermain dalam konteks agama-agama formal adalah yang terkait dengan dogma, sehingga kungkungan adanya konsep realisme dogmatis atau idealis dogmatis begitu mewarnai kontruksi dan penyebutan sastra religius itu. Dalam satu sisi, hal ini hampir sama dengan konsep realisme sosial yang digagas dalam sastra-sastra marxis, terlebih komunis.
Posisi ini tidak akan menemukan titik tertingginya, jika acuannya memang benar-benar sangat formalis, karena selama ini religiusitas dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan. Dalam satu sisi religiusitas berbeda dengan sistem religi. Religiusitas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiusitas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanisfestasikan dalam niali-nilai dan asas kemanusiaan.
Jadi posisinya tidak hanya transeden dalam arti teologi, tetapi juga imanen. Dalam kerangka Islam, tendensi yang diemban bukan hanya hubungan dengan Tuhan (hablum minAlLah), tetapi juga fungsi sosial, hubungan dengan sesamanya (hablum minan nas). Jadi posisi manusia juga diperhatikan, dan yang menjadi acuan adalah faktor kemanusiaan yang luas, yang menjadi landasan dari sebuah bangunan keagamaan. Dengan demikian, bangunan estetis yang terkonstruksi dalam sastra religius tidak mengacu pada dogma yang bermain dalam tataran hukum positivisme atau syariah.
Dalam masalah keindahan, Sayyed Husien Nasr mengungkapkan bahwa dalam keindahan itu terdapat pengetahuan tertinggi dan kesucian, sehingga seni-seni tradisional yang meliputi jiwa murni seharusnya memang dikembangkan, sebab posisi kemanusiaan benar-benar terpelihara. Di sini, posisi agama tidak lagi beban dalam upaya mengejawantahkan ekspresi dalam wilayah estetika dan proses kreatif.
Kondisi ini akan berlaku jika pemahaman agama tidak terkungkung dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal. Dalil-dalil yang mengacu pada pemahaman yang dangkal pada kebebebasan dan pembebasan ekspresi dalam seni memang harus ditafsir-ulangkan. Pembacaan tidak lagi bersifat heuristik, tetapi hermeneutik, dengan mengacu tiadanya prasangka dan proses penafsiran atau pembacaan itu merupakan bagian dari sejarah itu sendiri, seperti ide hermeneutik yang pernah digagas Gadamer.
Dengan landasan kemanusiaan, sebagaimana pernah ditulis Mashuri (lihat Radar Banjarmasin, Minggu 17 Agustus 2003), pembacaan terhadap realitas kegamaan itu bisa pula menggunakan strategi dekonstruksi Derrida, dengan paradigma bahwa sebuah teks itu tidak utuh. Ia memiliki celah dan jarak pemaknaan. Bisa pula dengan discourse Foucault dengan melihat asal pengetahuan dan konteks terjadinya teks. Umpamanya, jika agama formal melarang memvisualisasikan manusia, maka posisi seni tidak lagi terlarang menvisualisasikan mansuia, dengan mempertimbangkan kembali bahwa manusia tidak lagi manifestasi dari ‘Tuhan’. Ada jarak pemaknaan dan rentang waktu dan bergesernya penafsiran. Di sisi lain, religiusitas dikembangkan pada posisi asali, tidak lagi apriori pada ‘the other’ atau manusia lain di luar keyakinan sendiri.
Hal itu karena dengan merujuk pada sifat Islam yang rahmanan lil ‘alamin, masih menurut Mashuri, yang tidak lagi memberikan previliese dengan mengedepankan binary oposotion dalam pemihakan kebenaran atau memberi keistemewaan pada pihak-pihak tententu, maka konsepsi religiusitas itu tidak hanya membentur dinding konsep status qou. Sebab, ambiguitas pada realitas bisa memberikan nilai tambah bahwa seni, sastra dan budaya bisa menelusup dalam “bayang” Tuhan dalam memahami realitas kemanusiaan. Ia, seni dan sastra religius, bisa jadi tidak sekadar pengejawantahan nilai-nilai agama. Religiusitas mejelma menjadi ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.
Mungkin yang perlu dikebangkan di sini – dalam hemat saya – bahwa roses penciptaan karya-karya religius tidak harus terjebak pada dogma agama. Ia mesti bersifat bebas dan merupakan proses pembebesan juga. Bisa menggunakan lambang-lambang agama formal sebagai bahan, hanya saja ada pertanggungjawaban estetik. Dalam hal ini, bisa berupa sebagai pengangkatan pada celah dan sisi yang perlu diperbaiki dari agama itu, yang mungkin lebih menekankan pada aturan-atura rutinitas dan tidak sampai pada penghayatan yang menyusup hingga tulang sumsum, dengan sentral masil berkutat dan berpihak pada sisi kemanuisaannya.
Nashr Hamed Abu-Zied menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena pertimbangan teks yang beku tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda (Nashr Hamed Abu-Zied dalam bukunya Naqd Al-Khitab Al-Diniy).
Erich From dalam To Have or To Be pernah menegaskan, religiusitas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubugan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pda indiviudu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian. Hal ini mengauc pula pada konsep agama yang membebaskan yang digagas From dalam Relegion dan Psycoanalyisis. Seperti juga yang ditulis Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra: “Aku butuh Tuhan yang mengerti bagaimana menari”.
Dalam sastra Indonesia modern, sastra religius yang paling masih dipegang oleh cerpen AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Dalam cerpen yang kental dengan tradisi Minang yang memang ketat dalam masalah agama, cerpen itu sepenuhnya mengusung nilai-nilai religiusitas yang tidak mempermasalahkan aspek religius dalam penyebutan Tuhan dalam agama formal, tetapi lebih menekankan pada faktor manusianya, dengan jalan menggugah keberadaan manusia itu sendiri dalam sistem religi yang berkembang di sana. Bahkan, dalam satu sisi, cerpen ini mempertanyakan nilai terdalam dari sistem religi itu, dengan memunculkan nilai-nilai religiusitas yang perlu ditumbuhkembangkan. Bahkan, “surau” bisa pula dianggap sebagi penanda dari sebuah kebobrokan sistem yang hanya mengedepankan sebuah tatanan formal dan mapan dari sebuah agama.

Sastra 15 Menit?

Sebuah karya sastra yang menyatakan diri sebagai religius (baca: islami) dalam beberapa dekade terakhir ini makin menghias di sejumlah media massa, baik koran, majalah dan buku, khususnya dalam bentuk novel, cerpen dan puisi. Kita boleh menunda diskusi tentang klaim dan makna “religius” itu, tapi kehadiran sastra jenis ini cukup melegakan. Gaya penulisan dan tema yang diusung pun terhitung variatif, sarkatis dan modern, diukur dari standar karya sastra sejenis, meski boleh dibilang “monoton,” “kaku” dan bahkan “kuno” dipandang dari sudut “revolusi sastra” dewasa ini.
Hadir setiap saat di sejumlah media massa dan bahkan buku, keberadaan sastra religius seolah ingin memancarkan watak dan pesan umum yang mau disampaikan kepada khalayak: islami, modern, kreatif, toleran, dan mencerminkan keluasan cakupan dakwah Islam. Bahkan tampaknya diniatkan untuk memperlihatkan “totalitas” Islam – dengan tema-tema bermuatan dakwah, doktrin, ideologi, spiritual, ritulitas, sufistik, bahkan dunia remaja dan cinta, selain tema-tema standar lainnya. Watak pesan ini tampak merupakan perpanjangan langsung dari garis sastra religius sejenis sebagaimana dirumuskan oleh para pendahulunya itu, Di Bawah Lindungan Ka’bah (novel) Hamka, Robohnya Surau Kami (cerpen) AA Navis, dan yang lainnya.
Kebangkitan sastra religius yang akhir-akhir ini kian meruah itu saya kira bukan sepenuhnya diilhami oleh sastrawan Muslim Indonesia “Angkatan Revolosi Kemerdekaan” itu, tapi juga oleh karya-karya laris sastrawan “Generasi Short Message Service” saat ini, seperti novel-novel Habibururrahman El-Sirazi. Memang yang tampil bukanlah ratusan judul yang mengeksplorasi kata “cinta” sebagaimana dalam novel-novel laris El-Sirazi melainkan, dalam jingukan saya, isi dan tema yang mengadopsi novel “Ayat-Ayat Cinta”, yang, konon adalah ikon “sastra religius/Islam” nasional paling monomental, yang sesungguhnya boleh saja disebut “cuma” sebagai karya sastra anonim berbaju Islam.
Hal demikian juga terlihat jelas pada karya-karya anggota Forum Lingkar Pena dan dari sastrawan yang ingin saya sebut “mazhab cerpenis Anida”. Di Kalimantan Selatan, karya-karya sejenis bisa kita itihi dari hasil karya “Sekte Cerpenis Serambi Ummah”. Tema pokok yang diangkat pun menganalogikan pernyataan Andy Warhol yang terkenal itu, bahwa di zaman yang serba instan ini, dengan kian maraknya televisi, “setiap orang hanya bisa terkenal selama 15 menit”. Dengan pernyataan itu jangan-jangan kita telah terperosok ke dalam plesetan berikut: “Sastra 15 Menit!”
Jenis-jenis karya seni religius itu, tidak hanya di bidang sastra, mendeskripsikan dan menjelajahi budaya pop Islam di Indonesia sebagaimana yang ditampillkan di halaman koran dan majalah, lebih khusus di layar televisi (dalam bentuk film dan senitron). Intinya: terlalu banyak program Islam (atau yang diniatkan sebagai promosi ajaran Islam) yang sangat dangkal, diskriptif, literal, dan bahkan buruk. Ada pula gejala latah. Jika ada acara yang membawa kata “Ilahi” sukses, semua stasiun mengekor dengan menayangkan acara yang dimirip-miripkan.
Begitu pula dengan buku-buku “sastra Islam” dan “musik Islam”. Seperti ketika kata “cinta” sebagaimana dalam novel-novel El-Sirazi meledak, banyak novel-novel berikutnya, selain karangan El-Siraji sendiri, yang juga “memelintir” kata tersebut. Epigonisme merajalela. Dalam “musik Islam”, muncul pula gejala “pop Islam”, “rock Islam” dan “rap Islam” – grup atau penyanyi pop, rock dan rap pindah atau mencoba jalur tembang “rohani Islam”. Demikian pula dalam sastra, banyak sastrawan atau penyair “liberal” dan “sekuler” loncat pagar atau mencoba jalur sastra religius dan islami. Semuanya menunjukkan satu hal yang pasti: segala sesuatu yang “Islam” masih laku keras di pasar negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Tentu saja kita berharap sastra/seni religius mengungkapkan preferensinya dalam arus besar budaya pop Islam itu. Kita, misalnya, sangat menikmati karya-karya film Deddy Mizwar, yang sukses komersial sekaligus bermutu filmis tinggi – ini paduan yang langka – dengan acara-acara televisinya seperti Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan dan film Nagabonar Jadi 2. Berikutnya, dalam ranah sastra, kita berharap ada sastrawan-sastrwan yang mau dan mampu mengadopsi kreatifitas jenis-jenis film tersebut ke dalam bentuk karya sastra, apakah itu cerpen atau novel dan karya kreatif lainnya.
Eksplorasi sastra religius terhadap budaya pop yang kian menjamur saat ini saya kira memperlihatkan pemahaman yang kuat para pengarangnya terhadap nilai-nilai agama (Islam) itu sendiri. Gejala besar yang bercabang-cabang itu dipetakan, dijahit dengan paparan yang lancar, meski tak bisa dibilang ringan untuk dicerna oleh para pelaku dan penikmat budaya pop itu. Selanjutnya kita berharap, sastra religius tak hanya berhenti pada kecaman dan imbauan moral dan dakwah ataupun khotbah yang berbusa-busa tentang seni islami yang ideal, melainkan membedah banyak aspek dari dunia itu, mulai dari filosofi, kekuatan dan kelemahan tema, eklporasi, dan segi-segi kaidah sastra lainnya. Sejatinya, ia berperan sebagai critics yang memadai.
Tampil dengan intensitas tinggi pada halaman “art paper” yang glossy, banyak bagian sastra religius yang mengidap semangat “apologetik”. Dalam sisi tema, misalnya, ditampilkan sejumlah tokoh “suci” yang mengkhotbahkan nilai-nilai religi dan asek-asek spiritual yang sebenarnya merupakan doktrin dan dogma ediologi yang dipahami ribadi atau kelompok keagamaan pengarang. “Pemberitahuan: bahwasanya Islam tidak hanya suatu teologi – kepercayaan kepada Tuhan dan ajaran Nabinya, melainkan juga sebuah ideologi – keyakinan tentang seluruh jalan hidup (way of life ) dalam role of the game-Nya” – begitulah agaknya implikasi yang ingin dimaklumkan. Sehingga kita tergoda untuk menduga: jangan-jangan segmen pembaca yang disasar lebih terfokus bagi generasi jilbaber dari kaum haraky.
Masih perlu kita lihat apakah di kesempatan-kesempatan selanjutnya genre sastra ini mampu bertahan dan bisa menyajikan uraian tentang sumber atau aspek-aspek religius dan spiritual dari tradisi-tradisi lain di luar Islam. Bukan hanya dari lingkungan spiritulitas dan ritualitas Islam saja. Membatasi religiusitas apalagi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan dan keleluasaan religiusitas dan spiritualitas itu sendiri.
Spiritualitas dan ritualisme keliru kalau berhenti hanya pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Ritualisme memang penting, tetapi ia bukanlah tujuan. Ritualisme tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai tingkat spiritual yang lebih hakiki. Ritualisme bukan monopoli suatu agama saja tetapi menyangkut aktualisasi akan nilai-nilai agama yang dihayati seseorang.
Sejatinya, orientasi ritualisme yang diusung sastra religius – khususnya dalam kaidah Islam – tidak cukup kalau hanya menyangkut hal-hal luar, seperti ritual, upacara, peraturan, ritus, hukum, lambang-lambang, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari Islam (saja) yang disebut sya’riat. Islam tidak bisa disenadakan hanya dengan semua segi luar itu meskipun segi luar tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Islam. Dengan kalimat-kalimat tersebut saya mau mengatakan bahwa dalam ritualisme yang dipentingkan bukanlah teks-teks, huruf-huruf dan dalil-dalil yang tersusun menjadi hukum-hukum. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah esensi dan subtansi atau semangat dari hukum-hukum itu. Orang harus membedakan antara agama dan Islam, antara beragama dan beriman.
Jika dimaknai secara lebih radikal lagi, sastra religius harus pula menyajikan muatan spiritual yang juga mencakup arti kemampuan untuk memahami esensi dan semangat Islam melampaui ketentuan-ketentuan yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci atau bahkan ucapan-ucapan Nabi sendiri. “Menjadi Islam” tidak cukup sekadar mengikuti secara benar dan literal semua yang tertulis dalam agama, tetapi juga menembus tulisan dan huruf-huruf dalam ajaran agama itu hingga ke inti. Menjadi Islam adalah seperti yang diformulasikan dalam ayat ketiga surah Al-Baqarah: “Alladzina yu’minuna bil ghaibi”, orang-orang yang sungguh-sungguh percaya (beriman) adalah mereka yang percaya pada esensi sesuatu yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Orang beriman tidaklah memadai imannya jika masih terkungkung oleh huruf-huruf ajaran, tetapi harus menembus ke inti ajaran agama itu sendiri. Kita akan lihat, dan tentu saja berharap, di hari-hari mendatang apakah sumber spiritualitas (paling tidak dalam khasanah Islam) pada sastra religius itu bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang terkesan profan dan duniawi.
Yang patut pula disayangkan adalah nama-nama yang muncul di bawah judul karya-karya sastra relegius itu masih minim jika dibanding dengan karya sastra jenis lainnya. Meski setiap sastrawan atau penyair pernah menghasilkan sastra religius, namun untuk daerah Kalimantan Selatan, beberapa nama yang bisa disebut dan cukup istiqamah menulis sastra jenis ini antara lain: Bachtar Suryani, Burhanuddin Soebely, M. Fitran Salam, M. Hasbi Salim, Muhammad Radi, Aliansyah Jumbawuya, Imra’atul Jannah, Aspihan N. Hidin, dan sejumlah nama lainnya yang menulis sastra religius secara ”insidentil”. Itupun, dalam istilah Jarkasi, termasuk ”mereka yang mengaku sastrawan, yang hanya mengandalkan bayangan nostalgik dan status quo.” Selebihnya adalah dari kalangan yang saya sebut ”Sekte Cerpenis Serambi Ummah” itu. Nama-nama itu lebih minim lagi yang tampil dengan hasil karya dalam bentuk buku. Saya hanya dapat menyebut dua buah: Di Antara Warna-Warni Pelangi (kumpulan cerpen Muhammad Radi) dan Ritus Puisi (antologi puisi Burhanuddin Soebely). Tak enak juga rasanya nama yang sama muncul terlalu sering, apalagi dalam media yang sama pula.
Dengan cerpenis dan penyair yang berjumlah di bawah minimal itu, sangat mungkin sastra religius – khususnya di daerah ini – akan terengah-engah mempertahankan kelangsungan kreatifitasnya maupun mutunya, meski sampai saat ini mereka tampil cukup semangat. Ini pula mungkin yang menjelaskan mengapa cukup banyak gaya dan tema-tema yang diangkat sangat monoton, kaku dan bahkan kuno.
Namun melihat derasnya kebangkitan sastra religius sampai hari ini (secara nasional tentunya), boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis karya sastra yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam karya sastra yang “berkeyakinan lain”, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun genre sastra ini hidup dalam jiwa dan perilaku pengarang dan penikmatnya.”
Bagaimanapun, jenis sastra religius itu tampil cukup mengesankan, terutama diukur dari dominasi sastra “berkeyakinan lain” yang “sekuler” dan berkobar-kobar dalam beberapa tahun terakhir; ataupun yang meriah menyajikan aspek mistik sampai tingkat yang keterlaluan, dan semuanya menyatakan menerapkan estetika sastra – meski tak ada hubungan dengan prinsip-prinsipnya. Para pengutuk kegelapan “sekularisme sastra” dan kejumudan “kebebasan seni” boleh gembira sebab pada akhirnya ada sastrawan-sastrawan yang memilih menyalakan lilin bernama sastra religius.
Hanya saja, ada sebuah tantangan besar yang perlu dipikirkan oleh para sastrawan dan seniman sendiri terkait dengan mutu atau kualitas sastra religius itu. Sebab, bagaimanapun sastra itu bermain dalam wilayah estetika. Dari sini, ada semacam azam agar aspek religiusitas yang merambah segala relung-relung terdalam dari manusia dengan segala absurditasnya juga mendapat tempat yang seimbang dalam sastra religius, tanpa ada pemaksaan pada aspek-aspek dogmatik dan terjebak pada khotbah. Sebab, bagaimanapun wilayah seni dan sastra berbeda dengan wilayah agama.
Sambil menanti karya-karya sastra religius selanjutnya – yang mudah-mudahan terus membaik, dengan lengan terentang lebar kita mengucapkan: Ahlan wa Sahlan, Sastra Religius!
Dan Warhol pun pasti percaya bahwa karya sastra jenis ini akan tampil lebih lama dari 15 menit. 

(Kandangan, 3 Desember 2008)